“Bisa diam gak, lo?” sergah Faizan yang semakin jengah dengan perkataan Reza.
“Sensi Banget sih, lo. Asal to tau ya, Iz! Gak semua perempuan berkerudung lebar dan dalam itu kayak dia. Jadi, lo gak bisa asal menghakimi gitu aja,” tukas Reza yang semakin tak habis pikir dengan cara pandang Faizan.
“Maksud, lo?
“Jangan tanya maksud gue. Noh, tanya sama hati lo yang udah buta itu,” pungkas Reza berlalu meninggalkan Faizan yang masih termangu.
Di sisi lain, Humaira yang terlepas dari tatapan kedua laki-laki itu terus saja menyunggingkan senyumannya. Jarak semakin ia tepis, hingga terlihat dengan jelas laki-laki bertubuh jangkung itu melambaikan tangannya ke arah Humaira. Humaira lagi-lagi mengulum senyum di sudut bibirnya, dengan pasti ia mengayunkan langkahnya agar lebih cepat lagi untuk menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu.
“Assalamualaikum, Bang. Ya Allah, Maira rindu Banget,” ucapnya langsung menghambur dan memeluk laki-laki itu dengan erat.
“Waalaikumsalam, Dek. Eh, ini meluknya jangan kencang-kencang, dong. Gak bisa napas Abang, nih.” Candanya sambil membelai kepala yang tertutup rapat dengan kerudung itu.
“Heheh, maaf Bang. Abisnya Maira beneran kangen. Tapi kita langsung pulang aja ya, Bang,” pinta Humaira sambil melonggarkan pelukannya.
“Lah, emang selain pulang Abang mau ngajakin kamu kemana, Dek?” jawab Rayyan sambil mengulum senyumnya jenaka menggoda Humaira.
“Iii, Abang! Malu, udah ayuk pulang” jawab Humaira sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
“Ya udah. Supir pribadi mah nurut aja,” canda Rayyan sambil mengambil alih koper milik Humaira ke tangan kirinya dan tangan kanannya ia gunakan untuk menggandeng Humaira.
Dengan keadaan kota Jakarta yang luar biasa macetnya bila jam pulang kerja yang akhirnya hal itu sesekali membuat Humaira dan Rayyan mendengus kesal di dalam mobil. Meski demikian hal itu tak berlangsung lama, mereka kembali menghabiskan waktu untuk bercanda gurau.
“Akhirnya sampai juga.” Sungut Humaira yang telah menyadari mobil yang mereka kendarai telah berhenti tepat di kediaman mereka.
“Bang, bawain koper Maira, ya.” Sambungnya lagi dan langsung berlalu meninggalkan Rayyan.
“Kebiasaan,” teriak Rayyan yang masih sibuk mengeluarkan koper Humaira.
“Assalamualaikum. Ayah, Bunda, tuan putri pulang. Yuhu,” ucapnya sedikit berteriak.
“Waalaikumsalam. Ya Allah, Nak. Kamu ini pulang-pulang kok malah teriak-teriak gini, sih?” gerutu sang Bunda menggelengkan kepalanya.
“Hehe, maaf Bun. Oh ya, Bun, Ayah dimana?”
“Belum pulang, Ra. Udah sana, kamu bersih-bersih dulu,” pinta sang Bunda sambil mendorong tubuhnya dari belakang.
Tak butuh waktu lama bagi seorang Humaira untuk membersihkan dirinya. Karena ia meyakini bahwa berlama-lama di kamar mandi akan lebih banyak mendatangkan mudarat. Kini ia telah kembali rapi dengan setelan gamis simple berwarna moccanya. Senyumnya kembali terukir di sudut bibir tatkala ia melihat pantulan dirinya di cermin.
...“Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri seta. Maka jika salah satu dari kalian hendak masuk kamar mandi, ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”...
...(HR. Ahmad, Ibnu Majah)...
Tanpa terasa pula waktu berputar begitu cepat. Rasanya baru beberapa jam ia kembali ke tanah air, namun kini matahari bersinar dengan terinya. Kali ini ia kembali memperhatikan penampilannya dari pantulan cermin. Hari ini dia memiliki janji untuk datang ke rumah Dinar yang merupakan sahabatnya dari kecil.
“Bun, Maira berangkat dulu, ya. Assalamualaikum,” pamitnya.
“Waalaikumsalam.”
Hanya butuh waktu 15 menit untuk dirinya sampai di rumah berwarna biru tua itu. Senyumannya seakan langsung terbawa untuk terukir dengan manisnya saat melihat rumah kedua yang selalu memberikannya kenyamanan selain rumah kedua orang tuanya.
“Assalamualaikum, Nar,” ucap Humaira.
“Waalaikumsalam. Lah, udah nyampai aja, Sha?” jawab Dinar cukup terkejut melihat Humaira yang sudah ada di depan pintu rumahnya.
“Hehe, iya. Ini aku gak disuruh masuk, nih?” canda Humaira sambil menenggerkan kedua lengannya di dada sembari memasang wajah polosnya.
“Ya Allah. Iya, sampai lupa. Ya udah, yuk masuk, Sha,” ajak Dinar sambil menggandeng tangan Humaira.
“Lagi ada tamu, Nar?” tanya Humaira mengarahkan pandangannya pada mobil yang ada di halaman itu dan kembali melirik pada seseorang yang tengah memunggunginya di sofa.
“Iya, Sha. Tapi udah biarin aja. Kita langsung ke atas aja, ya,” jawab Dinar tanpa memperhatikan wajah Humaira yang celingukan dan hanya mengikuti Dinar saja.
Baru saja langkahnya ia tuntun masuk, sepasang mata itu sudah menatapnya dengan lekat. Tanpa sengaja kedua pasang retina itu kembali saling merekam pandangan mereka. Namun, dengan cepat Humaira kembali menundukkan pandangannya.
...“Setiap manusia sudah Ditentukan bagiannya dari berzina. Hal itu pasti akan dirasakannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengar, zina lisan adalah dengan berucap, zina tangan adalah dengan memukul, zina kedua kaki adalah dengan melangkah. Hati itu bisa suka dan berkeinginan, sedangkan ******** bisa melaksanakan hal itu atau pun tidak melakukannya.”...
...(HR. Bukhari dan Muslim)...
“Astaghfirullahalladzim,” gumam Humaira sambil terus menggelengkan kepalanya. Dengan cepat ia menundukkan kembali pandangannya.
“Kenapa, sha?” tanya Dinar keheranan melihat tingkah Humaira.
“Hah? Ga..gak kenapa-kenapa kok. Ya udah, yuk ke kamar kamu aja.” Elak Humaira sambil menarik tangan Dinar.
Setelah puas berbagi cerita dengan Dinar, akhirnya Humaira berpamitan untuk pulang. Berbagi cerita dengan sahabatnya yang satu ini adalah salah satu cara untuk ia melepaskan penatnya. Senyum yang tadinya terus bertengger di sudut bibirnya, tiba-tiba kembali memudar setelah menuruni anak tangga. Laki-laki itu kembali menatap Humaira dengan tatapan yang sulit diartikan.
Pada dasarnya Humaira paling tidak suka bila dipandang oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Ia akan selalu mengalihkan pandangannya bila ada yang meliriknya. Bukan karena terlalu percaya diri, melainkan sejak kecil ia sudah diajarkan tentang batasan-batasan seorang wanita saat bertatakrana atau bergaul sekalipun dengan yang namanya laki-laki.
“Aku pulang ya, Nar. Bang, aku pamit dulu ya, Assalamualaikum,” pamit Humaira langsung bergegas meninggalkan rumah Dinar.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka bersamaan.
Meski sudah hilang, Faizan masih saja menatap ke arah yang sama.
“Itu siapanya adik lo, Dit?”
“Itu sahabatnya Dinar, Bang. Kenapa? Bang Faizan naksir dia?” tanya Dinar setelah kembali dari mengantar Humaira.
“Apaan sih, Nar. Masih kecil juga.” Lagi-lagi Faizan mempungkirinya.
“Ya elah. Tapi, ngomong-ngomong namanya Khalisha Bang,” tambah Dinar yang masih saja terus menggodanya.
“Kalau lo mau sama, dia! Lo harus ekstra buat ngedapetinnya. Karena, dia itu spesies langka.” Sambung Radit.
“Langka apaan! Dia bahkan gak lebih dari perempuan murahan itu. Baik bungkusan luarnya doing,” gumam Faizan di dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Lasmi Kasman
alhamdulilah novel islami
2021-04-14
1