Faiz masih setia dalam lamunannya. Mata elang miliknya itu masih setia menatap lekat punggung wanita yang dibalut gamis syar’i itu.
“Woi, Iz. Ngelamun aja, lo! Itu si Khalisa udah pergi, gak usah diliatin segitunya juga kali, Iz.” Kejut Radit yang melihat Faizan tak kunjung memalingkan pandangannya.
“Apaan sih, siapa juga yang ngeliatin dia?” dalihnya malah balik bertanya.
“Gak usah bohong. Keliatan juga dari muka lo kalau lo naksir dia kan?” Selidik Radit yang merasa ada sorot berbeda yang dipancarkan oleh mata Faizan saat menatap Humaira.
“Dit?” panggil Faizan tanpa menanggapi pertanyaan Radit sebelumnya.
“Apa?” sahut Radit menatap malas kepada Faizan.
“Gue pengen taklukin dia,” ucapnya lirih tanpa menatap Radit sebagai lawan bicaranya.
“Ya udah, datangin rumah orang tuanya,” jawab Radit dengan santai saat menanggapi ucapan sahabatnya itu.
“Gila lo? Mana mau gue nikah sekarang,” celanya dengan sengit saat mendengarkan tanggapan yang ia rasa tidak masuk akal untuk dia lakukan sekarang.
“Jadi lo mau ngajak dia pacaran? Kalau itu lo yang gila. Gak akan mau dia,” balas Radit yang mulai kesal melihat tingkah Faizan yang menurutnya sudah mulai tidak beres.
“Ya, mangkanya lo bantuin gue biar gue bisa ngerasaain dia!” ucapnya dengan santai tanpa menyaring perkataannya terlebih dahulu.
“Sarap lo! Gak! Gak, gua gak mau ikut-ikutan yang kayak beginian. Dia anak baik-baik. Emang udah gak waras lo, Iz.” Tolak Radit sambil terus menggeleng tidak percaya dengan jalan pikiran Faizan.
“Ya udah kalau lo gak mau bantuin gue. Gua balik dulu.” Faizan memutar bola matanya, sedikit tak suka dengan respon yang diberikan oleh Radit dan langsung meninggalkan kediaman Radit.
Kumandang adzan terdengar lantang di telinga Faizan saat masih mengemudikan mobilnya. Namun, panggilan itu seakan tak bisa menghentikan lajunya mobil yang ia bawa. Wajah kusut itu semakin terlihat sebagai penemuan nya di jalanan yang penuh sesak itu. Sorot mata tajamnya seakan ikut membelah jalanan yang dipenuhi oleh hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang.
...“Amalan yang paling dicintai Allah adalah salat tepat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, dan jihad di jalan Allah.”...
...(HR. Bukhari dan Muslim)...
“Gimana pun caranya, gua harus ngedapetin lo!” ucapnya penuh penekanan seorang diri di dalam mobilnya.
Matahari bersinar dengan teriknya, saat Humaira tengah bersiap-siap untuk berangkat ke butiknya. Hari ini rumahnya terlihat begitu sunyi sebab kedua orang tuanya sudah berangkat untuk mengunjungi sang nenek. Sedangkan abangnya sudah lebih dulu berangkat ke kantornya. Tanpa mengambil pusing dengan kesunyian rumah, ia langsung melangkah ke luar.
“Bismillahirrahmanirrahim,” ucapnya lirih sambil menyalakan motor metic miliknya.
Perlahan motor metic itu melaju membelah jalanan ibukota. Sepanjang perjalanan Humaira tak henti-hentinya melafalkan kalam-kalam Allah. Sedari kecil ia sudah terbiasa akan hal itu. Hingga tanpa terasa ia sudah memasuki area parker butiknya.
“Alhamdulillah, sampai juga.” Senyuman dari sudut bibirnya sudah bertengger manis dengan langkah yang mulai iya bimbing masuk.
Baru saja ia ingin melangkah memasuki butik itu, tiba-tiba benda pipih di dalam tasnya itu berbunyi. Dengan cekatan ia langsung membuka pesan yang masuk ke ponselnya. Ia sedikit mengernyitkan keningnya saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Dinar," ucapnya lirih saat membaca pelan tulisan yang tertera di layar ponselnya
Dinar
[Assalamualaikum. Sha, jangan lupa entar malam datang ke acara ultah aku, ya.]
Pesan singkat yang kembali membuat senyumnya terangkat. Bagaimana tidak, rasanya baru malam kemarin ia memberi tahu akan hal itu dan kini ia sudah kembali mengiriminya pesan.
Me
[Waalaikumsalam, Nar. Iya. Insyaallah, aku datang kok]
Setelah membalas pesan itu Humaira kembali memasukkan ponselnya dan kembali melanjutkan langkahnya.
Malam ini, Humaira sudah siap dengan gamis berwarna navy sebagai pakaian pilihannya. Sepulang dari butik Humaira langsung menyiapkan apa saja yang ia perlukan untuk menghadiri acara Dinar dan sekarang ia tengah duduk manis menunggu kepulangan orang tuanya.
“Assalamualaikum, Nak. Lah, kamu udah siap-siap ternyata,” tanya Husain yang melihat anak gadisnya sudah rapi dengan pakaiannya.
“Waalaikumsalam. Yah, Bun. Hehe, iya ini jaga biar gak telat Maira datangnya. Ya udah, Maira langsung berangkat ya, Yah, Bun,” pamitnya sambil menyalami keduanya.
Malam bertaburan bintang dengan indahnya seakan memang mengIzinkan mata siapa pun untuk memandang kagum padanya. Namun, Humaira masih saja fokus mengemudikan mobilnya dan sesekali melirik kearah luar jendela dan tersenyum simpul melihat keindahan yang Allah titipkan di bumi ini. Perlahan namun pasti, mobil yang ia kendarai berhenti di sebuah gedung yang besar dan terkesan megah menurut pandangan Humaira.
“Masyaallah, cantiknya,” pekik Dinar saat mendapati Humaira sudah memasuki gedung pesta.
“Biasa aja, Nar. Bikin malu aja,” sungut Humaira yang menahan malu akibat ulah suara Dinar.
“Heheh, iya-iya maaf. Udah yuk, jangan lupa nikmati acaranya ya, Sha,” jawab Dinar bergelayut manja di lengan Humaira.
Malam sudah semakin larut. Hitamnya langit sudah semakin memekat di luar sana. Sedari tadi Humaira sedikit merasa risi dengan tatapan laki-laki yang tak lepas memandanginya. Matanya terus saja mencoba mencari sosok Dinar di tengah keramain. Setelah melihat seseorang yang ia cari, dengan langkah panjang Humaira langsung menyusul Dinar.
“Nar, aku pamit pulang ya. Udah malam soalnya,” pamit Humaira dengan wajah yang sudah mulai pias.
“Yah! Tapi ya udah gak papa, kok. Hati-hati di jalan ya, Sha.” Dengan bibir yang dikerucutkan Dinar membiarkan Humaira pulang.
Dengan langkah tergesa-gesa Humaira melangkah meninggalkan gedung. Baru saja ia memasuki area parkir, tiba-tiba tangan kekar yang entah dari mana itu membekap mulutnya dengan kencang. Humaira terus saja meronta meminta untuk dilepaskan. Tubuh Humaira sudah bergetar dengan hebat disertai peluh yang membanjirinya. Matanya semakin memerah dan mulai mengabur karena air mata yang sudah mulai menggenangi pelupuk matanya.
“K-kamu mau apa?” tanya Humaira dengan suara bergetar dan penuh ketakutan saat tangan itu mulai melepaskan bekapannya dan tubuh Humaira sudah di dorong ke tubuh mobil sedan berwarna hitam.
“Saya mau yang ada pada diri kamu,” ucap pria itu datar dan kembali mengeratkan cengkeramannya dan menarik tubuh Humaira entah akan dibawa kemana olehnya.
“Saya mohon lepaskan saya,” pinta Humaira dengan suara yang semakin bergetar.
Rasa sesak semakin menjalar dihatinya, bagaimana bisa kejadian naas ini menimpanya. Air mata itu terus saja mengucur tanpa henti. Sekuat apapun ia mencoba untuk meloloskan diri namun semuanya seakan sia-sia. Ia seakan tidak memiliki peluang untuk melarikan diri.
“Saya akan melepaskan kamu setelah saya mendapatkan apa yang saya mau.”
Pria itu tersenyum dengan santainya, seorang apa yang ia katakana hanyalah candaan semata. Pikiran Humaira semakin kalut saat laki-laki itu memasukkan tubuhnya di dalam mobil sedan itu. Ia tak tau kemana pria itu akan membawa dirinya. Tak berapa lama tubuhnya kembali terasa melayang saat pria itu membopongnya masuk ke dalam rumah yang terasa begitu asing baginya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Zulfa
Salken kak, JIKA mampir membawa like nih. Mari saling dukung kakak 😍
2021-04-14
1
Lasmi Kasman
kok aku yg deg 2an
2021-04-14
1