Humaira terus saja meremas kuat ujung khimar yang ia kenakan. Ia sudah tak lagi bisa berontak, sebab tenaganya kini seakan ikut mengkhianatinya. Tubuh kecilnya itu pun tak mampu menandingi kekuatan pria itu. Dalam hati Humaira tak henti-hentinya mengucap dan merekam setiap inci dan setiap detik kejadian yang ia alami.
Air mata itu semakin tak dapat ia bendung. Perasaan jijik pada dirinya sendiri pun kian menyeruak di hatinya. Semua jamahan pria itu membuat dirinya seakan tidak bernilai dan tak berharga. Sorot matanya berubah kosong seolah tak adalagi sinar kehidupan yang dapat dipancarkannya. Perlahan dengan tubuh yang masih gemetar, Humaira memungut satu per satu pakaiannya.
Diliriknya sekilas pria yang telah merenggut harta yang paling berharga di dalam dirinya. Ia berusaha untuk terus mengingat wajah itu. Setelah merasa cukup kuat, Humaira menghapus kasar air matanya yang masih terus mengalir. Tanpa suara, ia berjalan meninggalkan tempat terkutuk yang telah menjadi saksi kehancurannya.
“Ya Allah, ampuni hamba,” ratap Humaira luruh di jalanan sunyi yang semakin diselimuti kegelapan dan dinginnya udara.
"kenapa harus Maira yang mengalami ini semua, ya Allah. Maira harus bagaimana?" Monolognya seorang diri membelah kesunyian malam.
Seolah mati rasa, angin malam yang semakin menusuk pun tak lagi ia hiraukan. Humaira memeluk dirinya erat dengan deraian air mata yang tak kunjung berhenti. Kesunyian malam akhirnya kembali membawa tubuh Humaira untuk melangkah. Humaira terus berjalan dengan tubuh ringkuh yang dipenuhi lebam pada dirinya. Hingga akhirnya kaki yang berjala tanpa alas itu sampai di rumah yang selalu memberikannya kenyamanan.
Baru saja ia membuka pintu yang berwarna putih gading itu, ia sudah mendapati keluarganya tengah menantinya dengan gelisah. Air mata Humaira kembali jatuh seiring dengan tubuhnya yang jatuh tak berdaya di kaki sang Bunda.
“B--bunda. Ma--maafin, maafin Maira,” ucapnya sesugupan sambil memegang erat kedua kaki wanita paruh baya itu.
“Astaghfirullah, Nak. Kamu kenapa? Bunda sama yang lain khawatir sama kamu dan ini kenapa penampilan kamu berantakan kayak gini, Nak?” tanya wanita itu yang juga ikut luruh ke lantai.
“Maafin Maira. Maira gak bisa menjaga diri Maira sendiri,” jawabnya sambil tertunduk dalam isakan yang tertahan.
“Maksud kamu apa, Nak?” Kali ini Husain lah yang angkat bicara saat melihat Humaira semakin terisak.
Perlahan dengan menatap keluarganya satu persatu dan perasaan yang takut. Perlahan Humaira menceritakan kejadian yang menimpanya itu pada keluarga. Ia begitu takut bila nantinya semua orang akan mengucilkannya karena hal itu. Namun, semua kemungkinan terburuk yang akan ia dapatkan sudah ia pertimbangkan dengan baik.
"Laki-laki itu merenggut kehormatan Maira, Bun," Isak Humaira yang semakin mengeratkan pelukan tangannya pada kaki wanita itu.
“Astaghfirullah, Nak. Bagaimana bisa itu terjadi sama kamu, Nak?" tanya Husain mencoba tetap tenang menyikapi semua yang terjadi kepada anak bungsunya.
"Bilang sama Ayah siapa laki-laki brengsek itu?” Sambung Husain dengan wajah merah padam dari laki-laki itu yang tak lagi bisa tertutupi. Amarahnya sudah semakin memuncak saat mendengarkan apa yang dikatakan anaknya.
“M--Maira, Maira gak kenal dengan laki-laki itu, Yah. Maafin, Maira. Maira benar-benar udah mempermalukan keluarga kita,” jawabnya masih dengan suara pelan yang bahkan sudah hampir tidak terdengar. Dia hanya bisa kembali tertunduk.
Namun, lain halnya dengan wanita paruh baya yang terlihat tengah berusaha keras untuk tetap terlihat tegar dihadapan sang anak dengan terus mendekap Humaira dengan penuh kasih sayang. Peluk itu kini mulai ia longgarkan, wanita itu menengkup kedua pipi Humaira. Humaira yang melihat hal itu hanya mampu menatapnya dengan tatapan sayu. Tidak ada lagi pancaran kehidupan dari sorot matanya.
"Maafin Maira, Bun. Maira benar-benar gak mau semua ini terjadi. Maafin Maira udah buat keluarga kita malu dengan keadaan Maira sekarang." Maira kembali mengeratkan pelukannya kepada sang ibu.
“Maira sayang, anak Bunda. Dengerin Bunda, kamu gak pernah membuat keluarga kita malu, sayang. Bunda gak malu atau pun marah sama kamu.” Wanita itu terus saja membelai kepala Humaira berusaha menyalurkan kehangatan yang tengah dibutuhkan Humaira. Ia mencoba untuk terlihat tegar di depan sang anak.
"Apapun yang terjadi sama kamu, kamu akan tetap jadi anak Bunda. Gak akan ada yang berubah sama sekali, Nak."
“Benar kata Bunda kamu, Nak. Tidak ada yang benci atau pun marah sama kamu. Semua ini bukan kehendak kamu. Sekarang Ayah mau nanya sama kamu. Kamu masih ingat dengan wajah laki-laki itu? Atau kamu sebelumnya pernah bertemu dengan dia?” Serentet pertanyaan ia dapatkan.
“Maira masih ingat, Yah. Tapi Maira gak yakin pernah ketemu dengan dia atau tidak sebelumnya,” jawab Humaira dengan sendu.
“Mangkanya, jadi perumpuan itu jangan murahan. Kamu pikir dengan Ayah sama Bunda bilang mereka gak marah, semuanya akan baik-baik aja? Kamu pikir orang-orang gak akan tau kebenaran ini?” hardik Amira dengan suaranya yang keras. Perkataan itu seakan menjadi anak panah yang sengaja di bidik ke ulu hatinya.
“Amira! Apa-apaan kamu ini?" Bentak Husaini yang tak menyangka anak sulungnya akan mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati. Tapi Amira tetaplah Amira, wanita yang sudah ditutupi rasa dendam dan benci di hatinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Lasmi Kasman
Kakaknya aku kurang suka
2021-04-14
3
Pramithadisya
Cerita pas di bawa laki2 tak dikenal kurang greget dan kurang tegang thor... Harus ny bisa lebih seru lg..
aq yg bacany jd mnyimpulkan humaira ny jg terlalu pasrah2au gt... Coba ada dialog maira yg memberontak atau brusaha minta tolong... Ato dibuat pingsan sama tu laki gt
2021-04-01
0