NovelToon NovelToon

Menggapai Cinta Humaira

Part 01

..."Layaknya tetesan hujan yang jatuh ke bumi yang tidak pernah memilih dimana dan bagaimana ia terjatuh....

...Seperti itu pulalah rasanya cinta dan suka yang tak pernah merencanakan bagaimana dan kepada siapa dia akan berlabuh."...

...[Faizan Sai'dan Manaf]...

Semilir angin kian terasa membelai pipi. Perlahan namun pasti matahari mulai kembali ke peraduannya. Tanpa bosan gadis itu akan selalu menikmati keindahan pesona senja dimana pun kakinya berpijak. Seperti halnya saat ini, ia akan selalu menunggu kilau eksotis yang akan disajikan senja di retinanya.

Khalisa Humaira Husaini, seorang gadis berhijab yang memiliki paras cantik dengan kulit putih bersih, hidung mancung dan bibir merah delima yang selalu merekah bila tersenyum. Gadis yang sudah begitu candu dengan kilaunya senja sejak kecil.

"Maira! Mau sampai kapan kamu duduk di luar? Udah mau masuk waktu magrib loh, Nak!" Wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu berteriak dengan keras dari dalam rumah.

"Maaf, Bun. Ini juga Maira mau masuk ke dalam, kok." Cengiran khasnya ia sunggingkan dengan sempurna, berharap agar wanita itu tak lagi mengomelinya.

"Kamu ini kebiasaan tau gak. Pulang kerja bukannya langsung istirahat tapi malah asik nungguin matahari sampai gelap gini," omel wanita itu dengan terus menggelengkan kepalanya.

"Senja itu spesial Bundaku. Ya, udah Maira naik ke atas dulu ya, Bun." Maira mencium pipi wanita itu sekilas dan segera menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.

Setelah melarikan diri dari omelan wanita paruh baya itu, Humaira langsung bergegas membersihkan diri. Sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang. Seakan tak merasa lelah pada tubuhnya, setelah selesai dengan rutinitas bersih-bersihnya, ia langsung bersiap untuk menunaikan kewajibannya kepada sang khaliq.

Menurutnya salat bukan hanya sekedar melunasi kewajiban seorang hamba kepada Rabb-nya. Namun, suatu kebutuhan yang jaga harus terus diberikan untuk asupan rohani seseorang. Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dimana Asty Allah tengah terbuka lebar untuk menyambut permohonan hambaNya.

"Maira. Udah selesai salatnya, Nak?” panggil ayah Humaira dengan suara lembutnya di balik pintu kamar Humaira yang masih tertutup rapat.

“Iya, Yah. Bentar, ini Maira baru aja selesai.” Maira menjawab panggilan Ayahnya dan langsung bergegas membuka pintu kamarnya.

“Kalau udah selesai langsung ke bawah, ya. Kita makan malam bareng, sekalian sama kakak kamu juga lagi ada di bawah,” ucap laki-laki itu dengan senyum yang memancarkan kasih sayang kepada anak bungsunya itu.

“Siap, Yah. Maira siap-siap dulu.”

Dengan setelan gamis berwarna biru muda yang dipadukan dengan khimar senada, Humaira mulai menuruni anak tangga. Sepasang retina menatapnya begitu tajam saat ia baru saja menuruni setengah dari anak tangga yang ada. Suasana terasa begitu canggung dengan tatapan yang terus menatapnya dengan tak suka.

“Ngapain masih disitu sih, Nak?” tanya Halimah dengan lembut saat mendapati anaknya itu masih diam mematung di anak tangga terakhir.

“Aa—gak ada apa-apa kok, Bun,” jawabnya asal saat sadar dari lamunannya.

“Udah, sini kita makan dulu. Ayah udah laper banget ini.” Sambung Husain--sang Ayah mencoba mencairkan suasana.

Setelah semuanya duduk di ruang makan, keheningan menyeruak dengan sendirinya. Hanaya suara dentingan sendok dan piring lah menjadi pengisi suara di ruangan itu.

"Alhamdulillah, Kenyang. Jadi besok lusa berangkat ke Medannya, Dek?" kali ini Rayyan lah yang bertanya kepada Humaira.

Rayyan merupakan kakak laki-laki Humaira. Perawakannya yang berkarisma seakan menduplikat ketampanan Ayah mereka saat muda. Ia begitu menyayangi Humaira dan ialah yang akan selalu menjadi tempat berkeluh kesah Humaira selain Bunda mereka.

"Insyaallah. Jadi, Bang," jawab Humaira dengan anggukan sembari menelan kunyahan terakhirnya.

"Gak capek apa, Dek. Harus bolak-balik?" tanyanya kembali.

"Ya mau gimana lagi, Bang. Udah kerjaannya Maira begitu. Gak mungkinkan cabang yang di sana gak Maira kontrol."

"Tapi jangan lupa kesehatan kamu juga penting, Dek," timpal Bunda mereka sambil beranjak dari kursi makannya.

"Udahlah, Bun. Lagian dia udah besar juga. Alasannya aja cabang yang di sana perlu di kontrol, mau dibilangin juga susah. Memang dasarnya aja cewek kegatelan," cibir Amira sambil melemparkan tatapan tak sukanya kepada Maira.

"Omongan kamu itu, Ra!" segah Husain yang tak suka bila anak bungsunya dikatai yang tidak baik-baik.

"Lah memang kenyataannya gitukan, Yah?" selanya tak ingin kalah.

"Kak Amira kenapa, sih? Masih dendam karana Bang Atha gak jadi nikahin kakak waktu itu? Udahlah, Kak. Kurang baik apa lagi Bang Arsyad, Hah? Lagian masalah Bang Atha bukan sepenuhnya kesalahan Maira," seru Rayyan menaikkan suaranya satu oktaf.

"Berani ya kamu ngebentak kakak kamu! Bukan salah dia kamu bilang, Ray? Jelas-jelas dia yang keganjenan ngegodain Mas Atha sampai-sampai Mas Atha suka sama dia dan ninggalin aku." Keheningan yang tadi menyelimuti saat makan malam kini telah lenyap dengan teriakan dan makian yang menyesakkan.

Perlahan pandangan Humaira mulai mengabur karena kabut kesedihan telah menutupinya dengan pilu. Kebencian yang sudah tersulut sejak satu tahun terakhir kian membara dengan hadirnya percikan api kecil yang kembali menyalakannya.

"Udah cukup! Kalian gak perlu lagi kelahi gara-gara Maira. Demi Allah, Kak, Maira sama sekali gak pernah menggoda Bang Atha." Akhirnya air mata yang ia tahan sejak tadi tidak lagi dapat dibendung olehnya.

Dengan langkah cepat Humaira berlalu meninggalkan mereka yang masih mematung mendengar suaranya yang meninggi. Sesak--itu yang kini tengah ia rasakan. Kebencian itu seakan tak pernah redup dari hatinya.

Sepanjang malam ia tak bisa memejamkan matanya dengan sempurna. Bayang-bayang tatapan benci itu terus saja menghantuinya. Hingga pada akhirnya semua itu berdampak pada keadaannya pagi ini. Kepalanya begitu pusing, namun ia tetap memaksakan untuk menjalankan semua aktifitasnya seperti biasa.

"Assalamualaikum. Pagi, Bun, Yah, Bang." Sapa nya saat mendapati keluarganya sudah berkumpul di ruang makan.

"Waalaikumsalam. Pagi, Sayang," jawab Husain dengan senyum hangat miliknya.

"Masalah tadi malam jangan dipikirin ya, Nak," ucap Bunda Humaira mencoba menenangkan Humaira yang terlihat gusar dengan senyum yang dipaksakan.

"Gak papa kok, Bun," balas Humaira dengan menyunggingkan senyum sumbang dari sudut bibirnya.

"Nanti Abang yang anterin ke bandara ya, Dek?" pinta Rayyan saat Humaira sudah duduk di sampingnya.

"Emang Abang gak sibuk?"

"Buat kamu apa pun Abang lakuin," jawabnya sambil kebanggaan diri.

"Uuu, baiknyaa. Makin sayang, deh," balas Humaira dengan bergelayut manja di lengan Rayyan.

"Kak Amira mana, Bun?" tanya Humaira yang tak melihat Amita.

Meski tak lagi pernah akur dengan sang kakak, rasa sayang dan peduli Humaira tidak pernah berkurang untuk wanita itu. Baginya wanita itu tetaplah kakak perempuan yang selalu menyayanginya sejak kecil. Tidak ada alasan baginya untuk ikut membenci Amira, meski wanita itu kini begitu membenci dan menaruh dendam padanya.

Part 02

"Tadi malam dijemput Arsyad, Dek,” jawab Bundanya seadanya.

Setelah selesai dengan rutinitas sarapan pagi mereka, Humaira dan Rayyan bergegas menuju bandara. Humaira lah yang akan berangkat ke Medan, namun Rayyan begitu antusias untuk mengantarkan si bungsu keluarga Husain ini. Membutuhkan waktu sekitar 25 menit bagi Humaira dan Rayyan untuk tiba di bandara.

"Dek, jangan lama-lama di sana. Entar Abang gak ada teman yang mau dibawa ke acara penting lagi," ucapnya sambil mengacak-acak khimar yang dikenakan Humaira.

"Iii, Abang! Berantakan tau," omel Humaira tak terima dengan perlakuan Rayyan.

"Haha, iya maaf. Udah sana entar telat lagi." Tambah Rayyan meminta Humaira untuk segera pergi.

"Maira berangkat ya, Bang. Assalamualaikum," pamitnya sambil memeluk erat Rayyan.

"Waalaikumsalam warahmatullahi."

Seperti inilah kesibukan yang terus dilakoni Humaira sejak dua tahun terakhir. Berprofesi sebagai perancang busana dan memiliki beberapa butik membuat ia selalu disibukkan dengan pekerjaannya.

Rasanya baru saja ia meninggalkan ibu kota untuk berangkat dan menyelesaikan pekerjaannya di kota ini. Namun, tanpa terasa waktu tiga hari sudah ia habiskan. Hingga pada akhirnya waktu kembali membawanya kembali ke tengah hiruk pikuk ibu kota.

Disini Humaira tengah menunggu Rayyan untuk menjemputnya. Rasanya sudah cukup lama ia menunggu Rayyan namun laki-laki itu tak kunjung datang. Akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari kursi yang ia duduki, berharap jika Rayyan sudah ada di luar.

Namun, baru saja beberapa langkah kakinya berayun, ia menabrak tubuh tegap yang membuatnya harus terus menunduk. Laki-laki bertubuh tegap itu terus saja menatapnya, sedangkan Humaira masih mematung tanpa mau menatapnya. Ia masih setia menunduk, entah apa yang lebih menarik di bawah sana yang ia tatap.

"Maaf, Mas. Saya gak sengaja," ucapnya saat menyadari laki-laki yang ia tabrak masih mematung di hadapannya.

"Iya--gak papa," jawab laki-laki itu dengan suara baritonnya.

Saat ingin beranjak dari posisinya, pandangan mereka bertemu untuk pertama kalinya. Sepasang retina itu menatapnya dengan lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki Humaira.

"Cantik!" gumamnya tanpa sengaja saat menatap lekat wajah Humaira.

"Woiii! Faiz? Lo kenapa?" tegus Reza yang menyadari temannya tak berkedip menatap wanita yang berada di hadapan mereka.

"Maaf, Mas. Saya permisi," ucap Humaira segera saat merasa kedua laki-laki itu sedang memperhatikannya.

Masih dengan tatapan yang sama, laki-laki itu menatap lekat punggung yang perlahan mulai meninggalkannya.

"Lo naksir dia, Iz?" tanya Reza kembali.

Belum sempat Faizan menjawab pertanyaan temannya itu, Reza kembali berucap.

"Lah udah ada pacarnya, Iz," semprot Reza sambil menunjuk ke arah Humaira yang tengah memeluk erat Rayyan.

“Pinggangnya pakai dipeluk-peluk lagi,” cicit Reza kembali.

“Cihh. Ternyata sama aja. Kerudungnya aja yang lebar." hardik Faizan yang ikut melihat ke arah tunjuk Reza.

"Jangan asal ngomong lo, Iz. Mana tau itu suaminya!" potong Reza yang mulai tak suka dengan ucapan Faizan.

"Gua udah liat dia gak makai cincin atau sejenisnya," jawab Faizan tak mau disalahkan.

"Sampai segitunya lo merhatiin dia. Gila!" balas Reza yang semakin tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu.

"Bisa diam gak lo." Sergah Faizan semakin geram saat mendengar jawaban Reza.

"Sensi Banget sih lo. Asal lo tau ya, Iz, gak semua perempuan yang berkerudung lebar itu kaya dia. Jadi lo gak bisa asal menghakimi aja." tukas Reza yang semakin tak tahan dengan cara pandang Faizan.

"maksud lo?”

Part 03

“Bisa diam gak, lo?” sergah Faizan yang semakin jengah dengan perkataan Reza.

“Sensi Banget sih, lo. Asal to tau ya, Iz! Gak semua perempuan berkerudung lebar dan dalam itu kayak dia. Jadi, lo gak bisa asal menghakimi gitu aja,” tukas Reza yang semakin tak habis pikir dengan cara pandang Faizan.

“Maksud, lo?

“Jangan tanya maksud gue. Noh, tanya sama hati lo yang udah buta itu,” pungkas Reza berlalu meninggalkan Faizan yang masih termangu.

Di sisi lain, Humaira yang terlepas dari tatapan kedua laki-laki itu terus saja menyunggingkan senyumannya. Jarak semakin ia tepis, hingga terlihat dengan jelas laki-laki bertubuh jangkung itu melambaikan tangannya ke arah Humaira. Humaira lagi-lagi mengulum senyum di sudut bibirnya, dengan pasti ia mengayunkan langkahnya agar lebih cepat lagi untuk menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu.

“Assalamualaikum, Bang. Ya Allah, Maira rindu Banget,” ucapnya langsung menghambur dan memeluk laki-laki itu dengan erat.

“Waalaikumsalam, Dek. Eh, ini meluknya jangan kencang-kencang, dong. Gak bisa napas Abang, nih.” Candanya sambil membelai kepala yang tertutup rapat dengan kerudung itu.

“Heheh, maaf Bang. Abisnya Maira beneran kangen. Tapi kita langsung pulang aja ya, Bang,” pinta Humaira sambil melonggarkan pelukannya.

“Lah, emang selain pulang Abang mau ngajakin kamu kemana, Dek?” jawab Rayyan sambil mengulum senyumnya jenaka menggoda Humaira.

“Iii, Abang! Malu, udah ayuk pulang” jawab Humaira sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

“Ya udah. Supir pribadi mah nurut aja,” canda Rayyan sambil mengambil alih koper milik Humaira ke tangan kirinya dan tangan kanannya ia gunakan untuk menggandeng Humaira.

Dengan keadaan kota Jakarta yang luar biasa macetnya bila jam pulang kerja yang akhirnya hal itu sesekali membuat Humaira dan Rayyan mendengus kesal di dalam mobil. Meski demikian hal itu tak berlangsung lama, mereka kembali menghabiskan waktu untuk bercanda gurau.

“Akhirnya sampai juga.” Sungut Humaira yang telah menyadari mobil yang mereka kendarai telah berhenti tepat di kediaman mereka.

“Bang, bawain koper Maira, ya.” Sambungnya lagi dan langsung berlalu meninggalkan Rayyan.

“Kebiasaan,” teriak Rayyan yang masih sibuk mengeluarkan koper Humaira.

“Assalamualaikum. Ayah, Bunda, tuan putri pulang. Yuhu,” ucapnya sedikit berteriak.

“Waalaikumsalam. Ya Allah, Nak. Kamu ini pulang-pulang kok malah teriak-teriak gini, sih?” gerutu sang Bunda menggelengkan kepalanya.

“Hehe, maaf Bun. Oh ya, Bun, Ayah dimana?”

“Belum pulang, Ra. Udah sana, kamu bersih-bersih dulu,” pinta sang Bunda sambil mendorong tubuhnya dari belakang.

Tak butuh waktu lama bagi seorang Humaira untuk membersihkan dirinya. Karena ia meyakini bahwa berlama-lama di kamar mandi akan lebih banyak mendatangkan mudarat. Kini ia telah kembali rapi dengan setelan gamis simple berwarna moccanya. Senyumnya kembali terukir di sudut bibir tatkala ia melihat pantulan dirinya di cermin.

...“Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri seta. Maka jika salah satu dari kalian hendak masuk kamar mandi, ucapkanlah “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.”...

...(HR. Ahmad, Ibnu Majah)...

Tanpa terasa pula waktu berputar begitu cepat. Rasanya baru beberapa jam ia kembali ke tanah air, namun kini matahari bersinar dengan terinya. Kali ini ia kembali memperhatikan penampilannya dari pantulan cermin. Hari ini dia memiliki janji untuk datang ke rumah Dinar yang merupakan sahabatnya dari kecil.

“Bun, Maira berangkat dulu, ya. Assalamualaikum,” pamitnya.

“Waalaikumsalam.”

Hanya butuh waktu 15 menit untuk dirinya sampai di rumah berwarna biru tua itu. Senyumannya seakan langsung terbawa untuk terukir dengan manisnya saat melihat rumah kedua yang selalu memberikannya kenyamanan selain rumah kedua orang tuanya.

“Assalamualaikum, Nar,” ucap Humaira.

“Waalaikumsalam. Lah, udah nyampai aja, Sha?” jawab Dinar cukup terkejut melihat Humaira yang sudah ada di depan pintu rumahnya.

“Hehe, iya. Ini aku gak disuruh masuk, nih?” canda Humaira sambil menenggerkan kedua lengannya di dada sembari memasang wajah polosnya.

“Ya Allah. Iya, sampai lupa. Ya udah, yuk masuk, Sha,” ajak Dinar sambil menggandeng tangan Humaira.

“Lagi ada tamu, Nar?” tanya Humaira mengarahkan pandangannya pada mobil yang ada di halaman itu dan kembali melirik pada seseorang yang tengah memunggunginya di sofa.

“Iya, Sha. Tapi udah biarin aja. Kita langsung ke atas aja, ya,” jawab Dinar tanpa memperhatikan wajah Humaira yang celingukan dan hanya mengikuti Dinar saja.

Baru saja langkahnya ia tuntun masuk, sepasang mata itu sudah menatapnya dengan lekat. Tanpa sengaja kedua pasang retina itu kembali saling merekam pandangan mereka. Namun, dengan cepat Humaira kembali menundukkan pandangannya.

...“Setiap manusia sudah Ditentukan bagiannya dari berzina. Hal itu pasti akan dirasakannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan mendengar, zina lisan adalah dengan berucap, zina tangan adalah dengan memukul, zina kedua kaki adalah dengan melangkah. Hati itu bisa suka dan berkeinginan, sedangkan ******** bisa melaksanakan hal itu atau pun tidak melakukannya.”...

...(HR. Bukhari dan Muslim)...

“Astaghfirullahalladzim,” gumam Humaira sambil terus menggelengkan kepalanya. Dengan cepat ia menundukkan kembali pandangannya.

“Kenapa, sha?” tanya Dinar keheranan melihat tingkah Humaira.

“Hah? Ga..gak kenapa-kenapa kok. Ya udah, yuk ke kamar kamu aja.” Elak Humaira sambil menarik tangan Dinar.

Setelah puas berbagi cerita dengan Dinar, akhirnya Humaira berpamitan untuk pulang. Berbagi cerita dengan sahabatnya yang satu ini adalah salah satu cara untuk ia melepaskan penatnya. Senyum yang tadinya terus bertengger di sudut bibirnya, tiba-tiba kembali memudar setelah menuruni anak tangga. Laki-laki itu kembali menatap Humaira dengan tatapan yang sulit diartikan.

Pada dasarnya Humaira paling tidak suka bila dipandang oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Ia akan selalu mengalihkan pandangannya bila ada yang meliriknya. Bukan karena terlalu percaya diri, melainkan sejak kecil ia sudah diajarkan tentang batasan-batasan seorang wanita saat bertatakrana atau bergaul sekalipun dengan yang namanya laki-laki.

“Aku pulang ya, Nar. Bang, aku pamit dulu ya, Assalamualaikum,” pamit Humaira langsung bergegas meninggalkan rumah Dinar.

“Waalaikumsalam,” jawab mereka bersamaan.

Meski sudah hilang, Faizan masih saja menatap ke arah yang sama.

“Itu siapanya adik lo, Dit?”

“Itu sahabatnya Dinar, Bang. Kenapa? Bang Faizan naksir dia?” tanya Dinar setelah kembali dari mengantar Humaira.

“Apaan sih, Nar. Masih kecil juga.” Lagi-lagi Faizan mempungkirinya.

“Ya elah. Tapi, ngomong-ngomong namanya Khalisha Bang,” tambah Dinar yang masih saja terus menggodanya.

“Kalau lo mau sama, dia! Lo harus ekstra buat ngedapetinnya. Karena, dia itu spesies langka.” Sambung Radit.

“Langka apaan! Dia bahkan gak lebih dari perempuan murahan itu. Baik bungkusan luarnya doing,” gumam Faizan di dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!