SEPERTI TAK NAMPAK
Sepulang sekolahku. Seperti biasa aku berjalan kaki menyusuri jalan raya. Melangkah berhenti kemudian seterusnya setiap melihat tong sampah di pinggiran jalan.
Aku sengaja tidak lewat gang sempit yang biasa aku lewati setiap pagi. Karena dengan alasan besar harapanku untuk bisa menemukan sisa makanan di tong pinggir jalan besar.
Ku ambil sisa bungkusan nasi itu. "Alhamdulillah aku mendapatkannya. Untuk bekal makan siang nanti bersama Emak", hal yang selalu aku ucapkan ketika mendapat sebongkah emas itu.
Meski hanya sisa makanan orang. Tapi bagiku itu adalah emas. Karena dengan sesuap sisa makanan itu kami, aku dan ibuku bisa bertahan hidup hingga usiaku saat ini.
Bukk. Segerombolan anak seusiaku tiba-tiba menyampar bungkusan makanan yang ku pegang. "Hei, tengil kasihan sekali hidupmu. Nih ambil dan pungut kembali. Haha", salah satu anak itu menginjak bungkusan itu dan begitulah panggilan mereka kepadaku. Tanpa mau menyebut namaku. Mungkin pakaianku yang sudah tak layak pakai sehingga aku pantas disebut itu.
Seperti itulah perlakuan Bagas dan ketiga temannya. Mereka selalu datang tiba-tiba untuk menggangguku dan mengataiku. Hinaan yang selalu mereka lontarkan sudah tak asing lagi di telingaku.
Perkenalkan. Namaku Jovan. Aku berumur sebelas tahun. Duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aku hanyalah anak seorang pekerja serabutan. Bernama Mak Silah. Sedari kecil aku hanya hidup berdua dengan ibuku dan tak memiliki ayah.
Menurut cerita ibuku, ayah meninggal ketika aku berusia tujuh bulan dalam kandungan. Sudah bisa dipastikan begitu menderitanya ibuku berjuang sendiri sampai saat ini membesarkanku.
"Maaf Mak, aku pulang tidak membawa apa-apa. Apakah Emak sudah makan?", tanyaku ketika sudah sampai digubuk berukuran kecil.
Rumah yang terletak di pinggir sungai pantas ku sebut gubuk. Karena ukurannya yang hanya tiga kali dua meter persegi. Dengan atap yang bolong-bolong penuh dengan tambalan di sana sini. Begitulah gambaran keadaan rumahku.
Meski seperti itu. Aku dan ibuku sudah cukup bersyukur. Karena dimana lagi kita akan tinggal kalau tidak di rumah ini? Rumah satu-satunya peninggalan ayahku. Hasil jerih payah ayahku saat itu.
"Sudah Nak, Emak sudah makan", jawab emakku yang sudah pasti berbohong.
Aku hanya terdiam. Ku lepas sepatu bututku yang sebenarnya sudah sedikit sesak kalau di pakai. Ku teguk air putih yang di tuangkan Mak Silah.
"Mak, Jovan ke sawah dulu ya cari tutut", ucapku.
Tutut adalah keong air tawar yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Cangkang besar mengkilap, berbentuk seperti bola tenis, berwarna hijau kekuningan atau kecoklatan, dihiasi jalur-jalur coklat. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut.
Aku mencari tutut di sawah milik tetanggaku. Mereka mengijinkan aku mencari tutut sesukaku di sawahnya. Asal aku tidak membuat tanaman mereka berantakan.
Tutut yang aku dapatkan biasanya ku jual. Atau bisa juga aku barter dengan beras sedapatnya. Karena tutut yang ku dapat tidak pasti, pernah aku menukarnya dengan beras seperempat liter. Tidak apa, bagiku bisa untuk makan aku dan ibuku.
Emak pernah melarangku untuk berhenti bekerja mencari tutut. Dan fokus terhadap brlajarku. Karena aku sering mendapat nilai yang pas-pasan. Maklum saja karena waktuku banyak tersita untuk membantu emakku. Sehingga aku sering mengabaikan belajarku. Tak jarang aku lupa mengerjakan pr-ku.
"Buk, apa boleh saya menukarnya dengan ikan ini?", tawarku pada penjual ikan asin sore itu.
"Bisa tapi dapatnya sedikit. Mau nggak? Kalau nggak mau ya sudah", ucap penjual ikan dengan ketusnya. Lagi-lagi aku sudah kebal dengan perlakuan mereka.
Aku hanya mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Di rumah hanya ada sisa beras kemarin. Sudah dua hari ini aku dan emakku hanya makan nasi saja tanpa lauk. Mungkin akan terasa nikmat sore ini jika disajikan dengan ikan asin.
"Mak, aku pulang. Mari kita makan enak sore ini", ucapku ketika membuka pintu dan menemui emak yang sedang menjahit baju seragamku.
"Kenapa ditukar ikan asin? Apa hari ini mendapat tutut banyak?", tanya emakku.
"Lumayan Mak. Daripada kemarin".
Aku pergi ke dapur mencuci ikan asin itu lalu menggorengnya. Baunya yang menggoda mulai tercium di hidungku. Menaruhnya di atas piring lalu meletakkan di atas dipan.
Dipan rapuh beralas tikar merupakan tempat duduk kami untuk makan. Aku mulai mengambilkan nasi di piring emakku beserta ikan asin yang barusan ku goreng.
"Mak, mari makan", panggilku. Tak lama emak pun datang. Kami makan dengan lahabnya.
"Nak, maaf Emak belum bisa membelikanmu seragam baru", ucap anaknya sendu.
"Tidak apa Mak. Emak jangan terlalu memikirkan itu", jawabku tak ingin membuat emakku terus merasa bersalah.
"Tapi pasti kamu selalu ditertawakan teman-temanmu Nak".
Aku mengambil tangan emakku. Lalu mencium keduanya. "Tidak Mak. Teman-temanku semua baik kepadaku", jawabku harus berbohong. Padahal aku tak punya satu pun teman di sekolahku. Mereka semua menjauhiku karena aku anak orang miskin. Tak sebanding dengan mereka. Bisa di tampung bersekolah disana saja aku sudah amat sangat bersyukur.
Ku lihat raut wajah emakku yang mulai tenang. Aku sedikit lega emak mau percaya padaku. Dan sudah tak lagi membahas tentang seragam. Bisa makan sehari-hari saja bagiku sudah lebih dari cukup.
Emak kemudian membelai puncak kepalaku. "Tidurlah, pasti kamu capek hari ini. Jangan sampai besok pagi terlambat datang ke sekolah", pinta emak.
Aku pun patuh. Segera beranjak pindah ke ruangan sebelah. Ruangan yang disekat triplek. Lantai tanah beralaskan tikar yang di atasnya di gelar kasur tipis. Tempat di mana aku tidur setiap malam untuk menuju ke alam mimpi.
Sedangkan emakku, ia tidur diatas dipan tadi. Emak melarangku untuk tidur bersama dengan alasan tidak pantas anak laki-laki masih tidur jadi satu dengan ibunya. Aku pun menerima alasan itu.
Di setiap sebelum tidur. Tak lupa aku selalu memanjatkan doa. Doa untuk wanita terhebatku. Emak. Semoga Tuhan angkat derajat emakku. Dan aku bisa membahagiakannya kelak.
Tak jarang aku selalu meneteskan air mata. Tapi aku selalu menahan isaknya agar emakku tak mendengarnya. Aku tidak ingin emakku merasakan sedih karena melihatku rapuh. Biarkan hanya Tuhan yang tahu keluh kesahku. Sedangkan emakku, jangan.
"Selamat tidur Mak", ucapku setelah memanjatkan doa. Karena hanya berbatasan triplek yang sudah mulai lapuk, Emak bisa dengan mudah mendengar dan menyahut ucapanku. Begitulah kebiasaanku setiap malam menjelang tidur.
Tuhan, berikan aku dan emakku mimpi yang sangat indah malam ini. Biar emakku bisa merasakan indahnya hidup meski hanya dalam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
abdan syakura
Assalamu'alaikum
mampir kak...
Tp ..awalny sdh menderita....
😭😭😭😭😭
2023-06-12
1
mutoharoh
🤗🤗🤗🤗🤗🤗🤗
2021-07-03
1
🌹Dina Yomaliana🌹
kasihan banget kamu Van😭😭😭😭 duh ngak tahan nih air mata, hidup mengajarkan kita agar selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki karna masih banyak orang yang lebih menderita di luar sana dari pada kita😭😭😭😭😭😭 sedih amat thor, baru juga baca satu bab🤧🤧🤧🤧
2021-06-25
1