Sepulang sekolahku. Seperti biasa aku berjalan kaki menyusuri jalan raya. Melangkah berhenti kemudian seterusnya setiap melihat tong sampah di pinggiran jalan.
Aku sengaja tidak lewat gang sempit yang biasa aku lewati setiap pagi. Karena dengan alasan besar harapanku untuk bisa menemukan sisa makanan di tong pinggir jalan besar.
Ku ambil sisa bungkusan nasi itu. "Alhamdulillah aku mendapatkannya. Untuk bekal makan siang nanti bersama Emak", hal yang selalu aku ucapkan ketika mendapat sebongkah emas itu.
Meski hanya sisa makanan orang. Tapi bagiku itu adalah emas. Karena dengan sesuap sisa makanan itu kami, aku dan ibuku bisa bertahan hidup hingga usiaku saat ini.
Bukk. Segerombolan anak seusiaku tiba-tiba menyampar bungkusan makanan yang ku pegang. "Hei, tengil kasihan sekali hidupmu. Nih ambil dan pungut kembali. Haha", salah satu anak itu menginjak bungkusan itu dan begitulah panggilan mereka kepadaku. Tanpa mau menyebut namaku. Mungkin pakaianku yang sudah tak layak pakai sehingga aku pantas disebut itu.
Seperti itulah perlakuan Bagas dan ketiga temannya. Mereka selalu datang tiba-tiba untuk menggangguku dan mengataiku. Hinaan yang selalu mereka lontarkan sudah tak asing lagi di telingaku.
Perkenalkan. Namaku Jovan. Aku berumur sebelas tahun. Duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aku hanyalah anak seorang pekerja serabutan. Bernama Mak Silah. Sedari kecil aku hanya hidup berdua dengan ibuku dan tak memiliki ayah.
Menurut cerita ibuku, ayah meninggal ketika aku berusia tujuh bulan dalam kandungan. Sudah bisa dipastikan begitu menderitanya ibuku berjuang sendiri sampai saat ini membesarkanku.
"Maaf Mak, aku pulang tidak membawa apa-apa. Apakah Emak sudah makan?", tanyaku ketika sudah sampai digubuk berukuran kecil.
Rumah yang terletak di pinggir sungai pantas ku sebut gubuk. Karena ukurannya yang hanya tiga kali dua meter persegi. Dengan atap yang bolong-bolong penuh dengan tambalan di sana sini. Begitulah gambaran keadaan rumahku.
Meski seperti itu. Aku dan ibuku sudah cukup bersyukur. Karena dimana lagi kita akan tinggal kalau tidak di rumah ini? Rumah satu-satunya peninggalan ayahku. Hasil jerih payah ayahku saat itu.
"Sudah Nak, Emak sudah makan", jawab emakku yang sudah pasti berbohong.
Aku hanya terdiam. Ku lepas sepatu bututku yang sebenarnya sudah sedikit sesak kalau di pakai. Ku teguk air putih yang di tuangkan Mak Silah.
"Mak, Jovan ke sawah dulu ya cari tutut", ucapku.
Tutut adalah keong air tawar yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Cangkang besar mengkilap, berbentuk seperti bola tenis, berwarna hijau kekuningan atau kecoklatan, dihiasi jalur-jalur coklat. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut.
Aku mencari tutut di sawah milik tetanggaku. Mereka mengijinkan aku mencari tutut sesukaku di sawahnya. Asal aku tidak membuat tanaman mereka berantakan.
Tutut yang aku dapatkan biasanya ku jual. Atau bisa juga aku barter dengan beras sedapatnya. Karena tutut yang ku dapat tidak pasti, pernah aku menukarnya dengan beras seperempat liter. Tidak apa, bagiku bisa untuk makan aku dan ibuku.
Emak pernah melarangku untuk berhenti bekerja mencari tutut. Dan fokus terhadap brlajarku. Karena aku sering mendapat nilai yang pas-pasan. Maklum saja karena waktuku banyak tersita untuk membantu emakku. Sehingga aku sering mengabaikan belajarku. Tak jarang aku lupa mengerjakan pr-ku.
"Buk, apa boleh saya menukarnya dengan ikan ini?", tawarku pada penjual ikan asin sore itu.
"Bisa tapi dapatnya sedikit. Mau nggak? Kalau nggak mau ya sudah", ucap penjual ikan dengan ketusnya. Lagi-lagi aku sudah kebal dengan perlakuan mereka.
Aku hanya mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Di rumah hanya ada sisa beras kemarin. Sudah dua hari ini aku dan emakku hanya makan nasi saja tanpa lauk. Mungkin akan terasa nikmat sore ini jika disajikan dengan ikan asin.
"Mak, aku pulang. Mari kita makan enak sore ini", ucapku ketika membuka pintu dan menemui emak yang sedang menjahit baju seragamku.
"Kenapa ditukar ikan asin? Apa hari ini mendapat tutut banyak?", tanya emakku.
"Lumayan Mak. Daripada kemarin".
Aku pergi ke dapur mencuci ikan asin itu lalu menggorengnya. Baunya yang menggoda mulai tercium di hidungku. Menaruhnya di atas piring lalu meletakkan di atas dipan.
Dipan rapuh beralas tikar merupakan tempat duduk kami untuk makan. Aku mulai mengambilkan nasi di piring emakku beserta ikan asin yang barusan ku goreng.
"Mak, mari makan", panggilku. Tak lama emak pun datang. Kami makan dengan lahabnya.
"Nak, maaf Emak belum bisa membelikanmu seragam baru", ucap anaknya sendu.
"Tidak apa Mak. Emak jangan terlalu memikirkan itu", jawabku tak ingin membuat emakku terus merasa bersalah.
"Tapi pasti kamu selalu ditertawakan teman-temanmu Nak".
Aku mengambil tangan emakku. Lalu mencium keduanya. "Tidak Mak. Teman-temanku semua baik kepadaku", jawabku harus berbohong. Padahal aku tak punya satu pun teman di sekolahku. Mereka semua menjauhiku karena aku anak orang miskin. Tak sebanding dengan mereka. Bisa di tampung bersekolah disana saja aku sudah amat sangat bersyukur.
Ku lihat raut wajah emakku yang mulai tenang. Aku sedikit lega emak mau percaya padaku. Dan sudah tak lagi membahas tentang seragam. Bisa makan sehari-hari saja bagiku sudah lebih dari cukup.
Emak kemudian membelai puncak kepalaku. "Tidurlah, pasti kamu capek hari ini. Jangan sampai besok pagi terlambat datang ke sekolah", pinta emak.
Aku pun patuh. Segera beranjak pindah ke ruangan sebelah. Ruangan yang disekat triplek. Lantai tanah beralaskan tikar yang di atasnya di gelar kasur tipis. Tempat di mana aku tidur setiap malam untuk menuju ke alam mimpi.
Sedangkan emakku, ia tidur diatas dipan tadi. Emak melarangku untuk tidur bersama dengan alasan tidak pantas anak laki-laki masih tidur jadi satu dengan ibunya. Aku pun menerima alasan itu.
Di setiap sebelum tidur. Tak lupa aku selalu memanjatkan doa. Doa untuk wanita terhebatku. Emak. Semoga Tuhan angkat derajat emakku. Dan aku bisa membahagiakannya kelak.
Tak jarang aku selalu meneteskan air mata. Tapi aku selalu menahan isaknya agar emakku tak mendengarnya. Aku tidak ingin emakku merasakan sedih karena melihatku rapuh. Biarkan hanya Tuhan yang tahu keluh kesahku. Sedangkan emakku, jangan.
"Selamat tidur Mak", ucapku setelah memanjatkan doa. Karena hanya berbatasan triplek yang sudah mulai lapuk, Emak bisa dengan mudah mendengar dan menyahut ucapanku. Begitulah kebiasaanku setiap malam menjelang tidur.
Tuhan, berikan aku dan emakku mimpi yang sangat indah malam ini. Biar emakku bisa merasakan indahnya hidup meski hanya dalam mimpi.
Tidur malam yang bagiku sudah lebih dari cukup telah berganti menjadi pagi yang indah. Aku bangun dari jam lima pagi. Tidak ingin terlambat ke sekolah. Perjalanan dari rumah ke sekolahku memakan waktu hampir satu jam dengan berjalan kaki.
Hari ini adalah hari rabu. Ada jadwal PJOK di kelasku. Sesuai info dari Pak Guru di pertemuan sebelumnya. Hari ini akan diadakan pengambilan nilai lari jarak jauh. Dimana satu persatu siswa akan di lawankan dengan berpasang-pasangan.
Sebenarnya aku selalu resah setiap kali pelajaran ini. Dimana aku selalu terkendala dengan sepatuku. Untuk berjalan saja rasanya sudah sakit apalagi kalau harus untuk berlari.
Tapi aku selalu berusaha menutupi keresahan yang berselimut dalam diriku. Tak ingin emakku sampai tahu. Karena beliau sudah pasti akan sedih.
Setibanya di sekolah. Tak lama kemudian kami sudah berkumpul di lapangan. Pak Guru datang dan mulai memimpin doa.
"Baik anak-anak, di pertemuan kali ini kita akan melakukan lari jarak jauh. Dengarkan baik-baik, Bapak akan bacakan pasangan masing-masing yang akan menjadi lawan kalian", ucap Pak Guru memulai pelajaran PJOK.
"Jovan berpasangan dengan Bagas", tiba-tiba terdengar namaku disebut. Dan sudah ku duga aku pasti berpasangan dengan dia lagi.
"Ah itu kecil. Bagas dilawan", teriak Bagas menyombongkan diri dan banyak anak cewek yang mensuportnya.
"Bagas, kamu tidak boleh sombong. Buktikan kemampuanmu!", lerai Pak Guru.
Tibalah giliranku untuk maju. Tak terasa semua siswa sudah mendapat giliran. Aku memantapkan langkahku. Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan. Karena hanya dengan ridhoNya aku pasti bisa menang.
"Hei, anak tengil. Kamu pasti kalah", ucap Bagas ketika menyalip langkah kakiku.
Sepatuku mulai robek satu persatu. Dan menambah robekan yang semakin luas. Tapi aku tak pedulikan itu. Aku semakin menambah kecepatan berlariku.
Berulang kali Bagas ingin mencurangiku dengan menaruh batu kerikil di tengah jalan. Namun berhasil ku lewati tanpa terinjak.
Ketika ia berusaha mengambil ranting berduri ke tengah jalan, tiba-tiba kakinya tersandung dan ia pun terjatuh. Hingga akhirnya aku bisa mendahuluinya dan memenangkan perlombaan ini.
Aku tak tega melihatnya. Setelah memasuki finish, dan Pak Guru menyatakan aku pemenangnya aku kembali menghampiri Bagas yang masih kesakitan dengan lecet di bagian lututnya.
Ku ulurkan tanganku untuk membantunya berdiri. Plakkk. Seketika tangannya menampar tanganku.
"Nggak usah sok mau nolong deh. Ini semua salahmu. Aku jadi sial", ucapnya sambil mencoba berdiri.
"Hei, apa kalian buta. Nggak lihat apa aku jatuh. Bantuin oeyyy", teriaknya memanggil anggota gengnya.
Tak lama teman-temannya membantunya berdiri dan membawanya ke ruang uks.
Aku hanya duduk terdiam. Apa salahku? Sehingga Bagas begitu jijiknya menerima uluran tanganku. Tapi lagi-lagi ku kuatkan hatiku. Aku tidak boleh rapuh. Aku adalah laki-laki sejati. Kata emak laki-laki sejati tidak boleh cengeng.
Jam pelajaran telah berganti. Pelajaran lari tadi telah menguras tenagaku. Dari rumah tadi aku belum sarapan. Pantas saja kalau saat ini perutku sudah keroncongan.
Aku duduk di belakang perpustakaan. Mencoba mengobati perih di lambungku karena lapar. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang gadis yang sedang menangis terisak disana.
"Hei, apa kamu bisa menolongku?",tanyanya padaku.
"Maksudmu aku?", aku seperti orang linglung.
"Iya. Siapa lagi? Disini hanya ada kamu dan aku", jawab gadis itu.
"Apa yang bisa aku lakukan?", tanyaku kemudian.
"Belikan aku air minum. Ini uangnya. Kembaliannya ambil untukmu", menyerahkan uang dua puluh ribu.
Aku mengambil uang itu dan segera pergi ke kantin. Betapa beruntungnya aku hari ini. Aku pun bisa membeli roti dan air minum untuk mengganjal perutku yang lapar.
Tak ingin berlama-lama di kantin. Aku segera mendapatkan pesananku. Banyak anak-anak di kelasku yang melihatku. Pasalnya aku hampir tak pernah ke kantin. Boro-boro ngantin, untuk makan saja sulit.
"Ini air minumnya", aku menyerahkan jus jeruk yang ku bawa untuknya.
"Terimakasih", ucapnya.
Aku hanya berbalik. Sebenarnya aku juga ingin mengucapkan kata terimakasih padanya. Karena dirinya aku bisa makan. Tapi ku urungkan niatku. Aku harus cepat kembali ke kelas.
"Hei, tunggu. Siapa namamu?", teriak gadis itu.
"Jovan", aku hanya menjawab singkat dan segera berlalu. Aku bukannya sombong. Tapi aku takut. Karena sepertinya dia anak orang kaya terlihat dari merk sepatu yang ia kenakan tadi.
Aku tidak ingin berurusan dengan orang kaya yang buntutnya hanya ingin mencaciku seperti teman-temanku yang lainnya. Dan baru kali ini seumur-umur aku sekolah disini ada yang mau bertanya namaku selain Pak Guru dan Bu Guru.
Sesampaiku di kelas. Alhamdulillah pelajaran belum di mulai. Salah seorang teman dekat Bagas berdiri menghadangku. "Hei, apa kalian tahu, barusan aku lihat dia ke kantin. Dapat uang darimana dia kira-kira? Jangan-jangan mencuri. Hahahaha", teman yang lain ikut tertawa.
Aku hanya diam. Meladeni mereka hanya menguras tenagaku. Biarkan mereka tertawa sepuasnya asal aku tidak melakukan apa yang dituduhkannya. Tak lama wali kelasku datang.
"Anak-anak, ujian nasional akan diadakan dua bulan lagi. Pergunakan waktu kalian untuk melakukan les tambahan", ucap wali kelasku menyampaikan.
Lagi-lagi aku terdiam memikirkan. Aku sudah berulang kali di panggil ke bagian administrasi. Dan terancam tidak akan bisa ikut ujian akhir kalau belum melunasi administrasi yang menunggak.
Tanda bel istirahat berbunyi. Membuyarkan lamunanku. Mungkin saatnya aku harus lebih giat bekerja. Agar dapat mengikuti ujian nanti.
Seperti biasa aku tidak ke kantin. Kalaupun keluar aku selalu ke tempat persembunyianku yaitu belakang perpus. Dan mungkin siang ini aku akan kesana.
"Hei, bukankah kamu anak yang tadi? Jovan ya namamu?", tiba-tiba gadis itu datang lagi dari arah belakang.
"Iya benar", jawabku gugup.
"Kenalin aku Jessy anak kelas lima B", mengulurkan tangannya kemudian aku pun membalas.
"Oh ya, aku kelas enam B", ucapku.
"Apa kamu sering kesini?", tanya Jessy.
"Ya aku setiap kali jam istirahat selalu kesini".
"Apa kamu tidak ke kantin? Bagaimana kalau ke kantin denganku?", ajak Jessy.
"Tidak terimakasih. Aku lebih suka disini", jawabku tanpa memberi penjelasan kalau aku tak punya uang.
"O ya sudah. Aku temani kamu saja disini. Apa boleh aku memanggilmu Kakak?", tanya Jessy lagi.
"Boleh kalau kamu tidak keberatan memanggil orang sepertiku dengan sebutan Kakak", jawabku.
"Kenapa tadi kamu menangis?", tanyaku memberanikan diri.
Jessy belum menjawab. Ia terlihat murung. Kemudian matanya seperti berkaca-kaca. "Papa mamaku mau bercerai", ucapnya kemudian.
"Papaku berselingkuh dengan tanteku. Setiap hari kedua orang tuaku bertengkar. Dan mengabaikanku. Aku seperti anak terlantar. Mereka hanya memenuhi kebutuhan materiku tapi tak pernah memberiku kehangatan dan kasih sayang", Jessy menuturkan keluh kesahnya.
Aku segera meminta maaf kepada Jessy. Seharusnya aku tidak bertanya hal ini kepadanya. "Maaf, pertanyaanku membuatmu bersedih kembali".
"Tidak apa Kak. Aku senang setidaknya ada teman yang mau mendengarku sekarang", ucap Jessy.
"Apa sebelumnya kamu tak memiliki teman? Ah maksudku kemana temanmu? Bukankah orang sepertimu sangat mudah memiliki teman?", tanyaku semoga tidak menyinggung perasaan Jessy.
"Memang Kakak lihat aku orang yang bagaimana? Aku sama sepertimu. Selalu menyendiri", Jessy menjawab sambil menunduk. Terlihat jelas raut kesedihannya.
"Kamu berbeda denganku Jessy. Kamu anak orang berkecukupan. Sudah pasti dikelilingi teman di sekitarmu. Sedangkan aku. Aku dijauhi hampir semua orang hanya karena aku miskin dan tidak sederajat dengan mereka".
"Mungkin lebih senang kalau aku hanya memiliki sahabat sepertimu Kak. Temanku banyak. Tapi mereka dekat denganku hanya karena harta papa dan mamaku", ucap Jessy sendu.
"Sudahlah Kak. Jangan dibahas lagi. Mulai sekarang aku ingin menjadi temanmu. Apa Kakak mengijinkan?", pinta Jessy.
Aku pun terdiam. Baru kali ini ada orang memohon minta ijin untuk menjadi temanku. Sebelumnya tidak pernah. Mereka semua selalu menganggapku tak ada. Seperti tak nampak di mata mereka.
"Kenapa Kakak terdiam? Apa Kakak keberatan. Baiklah kalau begitu aku tidak akan menganggu Kakak lagi. Terimakasih untuk bantuannya tadi dan mau mendengar ceritaku barusan", Jessy berbalik badan. Kemudian melangkah meninggalkanku.
"Jessy", teriakku. Jessy segera menoleh ke arahku. Terukir senyum indah di bibir manisnya. Mata coklat dengan rambut kepang dua. Anak ini terlihat sangat manis dengan kulitnya yang putih bersih.
"Aku mau menerimamu jadi temanku. Tapi apa itu tidak menjadi masalah bagimu? Yang ada orang di sekitarmu akan menertawakanmu", ucapku meyakinkan Jessy aku tidak pantas jadi temannya.
"Aku tidak peduli itu", jawab Jessy memberi kepastian. Membuat hatiku bahagia. Amat sangat bahagia.
"Masuklah ke kelasmu. Bel akan segera berbunyi dua menit lagi", pintaku kemudian. Aku masih ingin sendiri. Mengukir bahagiaku hari ini.
Aku pun senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba aku terperanjat begitu mengingat jam selanjutnya ada ulangan bahasa indonesia. Aku segera bergegas kembali ke ruang kelasku.
Sampainya di kelas. Mata-mata tajam mereka seperti biasa menatapku dengan aura membunuh. Aku terus berjalan hingga sampai di bangku tempat dudukku.
Sudah hampir enam tahun aku disini. Bahkan perlakuan lain yang lebih dari ini sudah pernah ku lalui. Itulah yang selalu ku ingat untuk mengembalikan semangatku ketika aku mulai down.
Ulangan bahasa Indonesia akhirnya selesai. Pelajaran ini bukan merupakan kelemahanku. Sehingga aku bisa dengan mudah mengerjakannya. Tadi pagi diperjalanan saat berjalan kaki aku sempat membaca kembali materi yang sudah di ajarkan.
Ku buka pintu ketika sudah sampai dirumah. Krekkkkk. Bunyi pintu rumahku yang sudah mulai reot. Maklum pintu rumah hanya terbuat dari bambu yang di anyam.
Aku membuka sepatuku. Ku lihat robekan besar sisa perjuanganku berlari tadi pagi. Menghela nafas kemudian menuangkan air minum.
Aku meneguk air minum sampai habis dua gelas. Dengan begitu bisa menunda waktu makanku. Ku buka tudung saji yang tersedia. Ternyata emak sudah punya nasi untuk hari ini.
Sudah jam makan siang. Kenapa Emak belum juga pulang ya? Tanyaku sambil berpikir. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul emakku.
Aku tahu tempat dimana emakku bekerja. Di lahan gang depan yang sedang dibangun untuk dijadikan pabrik. Disitulah emakku bekerja sebagai tenaga serabutan.
Meski seorang wanita. Apapun beliau kerjakan. Asal mendapat bayaran. Bagi kami pekerjaan apapun kita lakukan asal halal. Sudah tidak memandang gengsi atau malu. Karena kalau hanya mengandalkan rasa malu, orang seperti kami tidak akan bisa makan.
"Mak....", ucapku ketika melihat emakku berteduh di bawah pohon pisang.
"Nak, kamu sudah pulang. Apa sudah makan?", tanya emakku. Walaupun emakku sendiri belum makan siang, tapi ia selalu bertanya lebih dulu padaku ketika aku pulang sekolah. Itulah hati mulia seorang ibu. Meski dirinya kekurangan tapi tidak ingin juga anaknya kelaparan.
Aku hanya menggelengkan kepala. "Duduklah sini. Emak ada rejeki. Tadi dikasih Bapak itu", menunjuk ke salah satu mandor bangunan.
"Sudah dimakan Emak saja. Emak pasti capek", ucapku.
Emak mengeluarkan bungkusan nasi yang disimpannya. Rencananya bungkusan itu hendak ia bawa pulang untuk bekal makan nanti.
"Ayo kita makan berdua", ucap emak mulai membuka bungkusan nasi.
"Alhamdulillah ada lauk tempe tahu dan sayur kacang nak", ucap emakku senang.
Aku menahan sesak di dadaku. Aku berjanji dalam hatiku suatu saat nanti aku harus bisa memberi makan emakku yang enak. Jangankan tempe dan tahu, apapun yang emakku inginkan akan ku berikan.
Emak dengan telaten menyuapiku. Tapi aku menghentikan menerima suapan itu. Karena melihat emakku belum makan dan hanya menyuapiku saja.
"Mak, biar Jovan yang gantian menyuapi Emak", aku mengambil alih bungkusan itu. Dan menyuapi emakku penuh kasih sayang. Rasa tulusku yang tidak bisa digambarkan.
"Sebaiknya kamu cepat pulang Nak. Tidak usah cari tutut kalau capek", ucap emakku ketika kami sudah selesai makan.
"Tidak Mak, aku tetap akan cari tutut", jawabku penuh semangat. Aku malu kalau harus berdiam diri di rumah. Sedangkan emakku yang seorang wanita saja berjuang mati-matian di luar rumah. Harga diriku sebagai laki-laki seperti tidak ada artinya kalau aku hanya enak-enakan di rumah.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya Nak", pesan emak sambil melambaikan tangannya.
"Bu, itu anaknya ya?", tanya mandor yang memberi nasi tadi.
"Iya Pak. Maaf kalau dia datang kesini barusan. Tapi tidak menganggu pekerjaan saya kok", jawab emak penuh ketakutan. Takut atasannya akan memberhentikan ia bekerja kalau terlihat menyalahi aturan.
"Iya saya tahu. Ibu tidak perlu takut. Lanjutkan pekerjaan Ibu", ucap mandor itu membuat Mak Silah lega.
Mak Silah kembali melanjutkan pekerjaannya. Kebetulan jam istirahat juga telah usai. Membawa satu persatu bata ringan mendekat ke arah pekerja lainnya. Agar mudah untuk dinaikkan.
Beliau adalah pekerja wanita satu-satunya di proyek bangunan itu. Panas terik tidak menjadi kendala baginya. Membuat pekerja lain menaruh kagum kepadanya. Sering kali salah satu temannya menggoda. Untuk menjadikan istrinya dan meminta berhenti dari pekerjaan ini.
Namun Mak Silah tidak pernah goyah. Ia tahu semua hanya candaan dari teman-temannya sesama pekerja bangunan untuk melepas lelah dan penat.
Di sinilah Mak Silah bisa merasakan kehangatan keluarga. Beruntung teman-temannya mau menerima dirinya yang seorang wanita. Dan mau menghargainya.
Karena di usianya sekarang yang menginjak empat puluh tahun dan latar belakang pendidikan yang hanya lulusan sekolah dasar tidaklah mudah untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!