"Hei, beruntung sekali kamu Jessy bisa ikut di mobilmu", teriak salah satu teman dekat Bagas.
Dengan sombongnya, Bagas menaikkan kerah seragamnya. "Siapa dulu dong, Bagas", ucapnya.
Hal ini terdengar oleh Jovan yang berjalan masuk ke kelas. Bagas dan teman-temannya masih terus membahas tentang Jessy.
"O ya, bagaimana ceritanya dia bisa satu mobil denganmu?", tanya teman yang lain ingin tahu.
Jessy merupakan anak terpopuler di sekolah dasar itu. Meski baru kelas lima tapi prestasinya di ajang olimpiade menjadikan dirinya banyak dikenal siswa siswi lainnya. Ditambah lagi anak orang kaya yang banyak menjadi incaran.
"Apa kamu tidak tahu? Dia itu tetanggaku. Dan papaku rekan bisnis papanya. Bagaimana? Kita cocok kan?", jawab Bagas dengan lagaknya.
Membuat nyali Jovan menciut seketika. Sangat cocok memang jika dipasangkan dengan Bagas yang memiliki wajah tampan dan juga dari keluarga orang berada. Namun mengapa bisa-bisanya Jessy memilihnya menjadi sahabatnya?
Pertanyaan itu muncul dari dalam dirinya. Meski ia sudah tahu dari Jessy di awal perkenalannya. Kalau memilih Jovan karena mau berteman tulus dengannya. Namun Jovan masih ragu.
Bel masuk pun berbunyi. Tanda awal pelajaran akan segera dimulai. Anak-anak yang tadi bergerombol membicarakan hal-hal yang menurut mereka asyik segera bubar dan kembali ke tempat duduk masing-masing.
"Jovan, bantu Ibu mengambil buku di kantor", ucap bu Ana wali kelasku.
Aku segera mengikuti bu Ana pergi untuk mengambil buku di kantor. Ketika melewati ruang administrasi tiba-tiba petugas administrasi memanggilku untuk masuk ke ruangan beliau.
Aku meminta izin pada bu Ana. Bu Ana kemudian mengizinkan dan beliau memanggil siswa lain untuk membantu membawa buku tadi.
"Jovan, seminggu lagi ujian akan dimulai. Kamu belum juga melunasi tunggakanmu. Ibu beri waktu dua hari untuk kamu melunasinya agar bisa mengikuti ujian", ucap petugas administrasi.
Aku hanya bisa pasrah dan mengiyakan untuk melunasi tunggakan paling lambat sesuai batas yang telah ditentukan. Yaitu dalam waktu dua hari.
Aku tak menyadari kalau ternyata Jessy juga berada di ruangan itu. Lalu ia mengejarku ketika aku sudah keluar ruangan. "Kak, temui aku di tempat biasa istirahat nanti", ucapnya lalu berlari ke kelasnya ketika belum sempat aku menjawab.
Aku hanya berpikir apa Jessy mendengar pembicaraan kami tadi? Lalu bagaimana kalau ia tahu masalahku?
Ah sudahlah. Lagipula memang benar adanya bukan. Aku menunggak berbulan-bulan. Ucapku meyakinkan. Bahwa Jessy tidak akan menjauhiku karena masalah itu bukan? Seperti halnya temanku yang lain yang selalu mencibirku.
Aku kembali ke kelasku untuk mengikuti pelajaran yang disampaikan bu Ana. Dengan antusias aku mengikuti pelajaran yang biasanya aku tidak suka. Semua ini aku lakukan agar aku bisa dalam ujian nanti.
Semua siswa menginginkan bisa lulus bukan? Dan mungkin aku salah satunya. Emak pasti akan bangga kalau aku lulus dengan hasil yang bagus.
Meski tidak bisa melanjutkan ke sekolah menengah pertama setidaknya aku tidak akan membuat malu emakku karena nilaiku. Karena tujuanku saat ini hanya ingin membuat emakku bahagia.
Bel istirahat berbunyi. Aku segera menemui Jessy di tempat biasa. Meski aku tak tahu ada apa Jessy meminta aku menemuinya disana. Tapi aku tidak akan membuatnya kecewa dan menunggu lama.
"Hai Kak. Duduklah", Jessy menepuk-nepuk lantai di sebelahnya.
"Apa jam di kelasmu kosong? Kenapa begitu cepat sampai disini?", tanyaku sambil memposisikan untuk duduk.
"Tidak Kak. Hanya saja aku takut ketahuan temanku".
"Pasti kamu sangat malu kan berteman denganku kalau teman-temanmu tahu?", aku hanya bisa menebak sebelum aku tahu kenyataan lebih pahitnya. Dan ini sudah menjadi hal biasa kalau tebakanku benar.
"Tidak. Aku hanya takut mereka akan bertindak jahat kepada Kakak", jawaban Jessy yang membuatku kaget. Baru kali ini aku salah menebak. Dan jawabannya mengejutkan. Ternyata dia khawatir denganku. Dengan orang tengil sepertiku.
"Jangan takut Jessy. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku. Apa ada hal yang ingin kamu sampaikan?".
"Maaf lancang sebelumnya. Tadi aku mendengar pembicaraan Kakak di ruang administrasi. Apa aku boleh membantu Kakak?".
"Jangan Jessy. Ini hanya masalah uang. Aku akan lebih giat lagi dalam bekerja dua hari ini".
"Jadi selama ini Kakak bekerja? Lalu dimana orang tua Kakak?", Jessy mengajukan pertanyaan kepadaku.
"Maaf Kak, kalau pertanyaanku tidak sopan. Aku hanya ingin tahu tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya kaget. Seharusnya anak seusia kita belum boleh bekerja".
"Tidak apa. Aku hanya memiliki seorang Ibu. Ayahku telah meninggal lama. Hanya ibuku yang banting tulang untuk biaya hidup. Untuk itu aku membantu ibu bekerja".
"Kakak bekerja apa?".
"Aku hanya pergi mencari tutut di sawah tetangga".
"Maaf Kak, lalu ibu bekerja apa?", tanya Jessy semakin penasaran dengan kehidupanku.
"Ibuku hanya pekerja bangunan".
Jessy menundukkan kepala. Mungkin ia merasa kaget atau iba kepada aku dan ibuku. "Ijinkan aku untuk melunasi uang sekolahmu Kak. Kakak biar bisa ikut ujian".
"Tidak Jessy. Aku baru mengenalmu. Aku tidak ingin memanfaatkan kebaikanmu", Jovan menolak.
"Kalau begitu apa aku boleh main le rumah Kakak?".
"Boleh saja. Tapi maaf rumahku hanya gubuk di pinggiran sungai. Dan lingkungan kami sangat kumuh".
"Tidak apa Kak. Kalau begitu nanti pulang sekolah aku ikut denganmu".
"Tapi bagaimana dengan Bagas?", tanyaku tiba-tiba teringat tadi pagi Jessy satu mobil dengan Bagas.
"Ah iya. Kakak teman Kak Bagas ya. Dia hanya tetanggaku. Lagipula aku tidak pulang dengannya nanti".
"Apa kamu yakin ingin pulang denganku?", aku memastikan.
"Yakin Kak. Aku malah senang diijinkan ke rumah Kakak", ucap Jessy dengan polosnya.
Kami berbincang cukup lama di belakang perpustakaan. Hingga bel masuk kelas menyadarkan kami untuk segera kembali ke kelas mengikuti pelajaran.
Kelas masih terdengar riuh ketika aku kembali. Maklum saja belum ada guru yang datang ke kelas. Sehingga para siswa masih asyik berbincang disana sini.
"Hei tengil! Darimana kamu? Aku perhatikan sekarang kamu sering keluar kelas ya? Apa sudah punya teman sekarang?", tanya salah satu temannya.
"Mana mungkin dia ada teman. Palingan dari toilet atau baca buku di perpustakaan", sahut Bagas.
"Haahahahhahaha", anak-anak yang lainnya menyahut dengan tertawa. Ejekan Bagas untukku seakan membuat mereka semua terhibur.
Aku hanya diam seperti biasa. Mengacuhkan ejekan mereka. Akan sia-sia jika menanggapi mereka. Lagipula satu banding satu kelas tak akan menang untuk melawan.
Hingga kelas mulai tenang ketika guru pendidikan agama memasuki ruang kelas dan memulai pelajaran. Hari ini merupakan tes hafalan. Dan siswa yang ditunjuk untuk maju pertama adalah aku. Dengan percaya diri aku maju ke depan kelas. Karena emak selalu mengajarkan kepadaku untuk membacanya setiap selesai sholat. Sehingga aku tidak akan kesulitan dalam tes ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
abdan syakura
Good Jovan!!
Baarakallahu fiika
2023-06-12
1
Ulfa
hadir lagi
2021-03-07
1
Ezrahi
semangat ya
2021-03-04
1