Siang ini Jessy terlihat masih menunggu papanya datang menjemput. Ia terpaksa membatalkan janji dengan supir rumah karena papanya yang akan pergi menjemput.
Sudah lewat lebih dari satu jam. Sekolah mulai kosong. Semua murid sudah dijemput orang tuanya. Hanya tinggal dirinya yang masih duduk di depan gerbang sekolah.
"Non, apa belum dijemput? Gerbang sekolah sudah mau Bapak kunci", ucap pak satpam menghampiri.
Jessy hanya menggelengkan kepala. Ia merasa frustasi. Untuk kesekian kalinya papanya melanggar janji. Dan hanya selalu meminta maaf keladanya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi tiap kali bertemu Jessy.
Akhirnya mobil berwarna hijau berhenti di depannya. Ini adalah mobil om Axel papa Bagas kakak kelasnya. Kebetulan rumah mereka satu komplek perumahan. Dan om Axel sangat mengenal papa Jessy. Karena merupakan rekan bisnisnya.
"Jessy, ayo naik ke mobil. Om antar pulang".
Tidak ada pilihan lain Jessy langsung naik ke mobil om Axel. "Apa tidak ada yang menjemputmu hari ini?", tanyanya kemudian.
"Tidak Om. Papa mengingkari janji", Jessy tertunduk.
"Mungkin Papamu sibuk. Sehingga lupa untuk menjemputmu", om Axel mengusap puncak kepalaku lembut berusaha untuk menghibur.
Jessy membuka pintu mobil ketika sudah sampai di depan rumahnya. Tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada om Axel.
"Sama-sama. Besok minta saja Bagas menemani kalau kamu sedang menunggu jemputan. Sehingga bisa bareng Bagas kalau tidak ada yang jemput", pesan dari om Axel.
Jessy lagi-lagi hanya mengangguk. Benar saja harus minta Bagas menemani. Melihat anak itu saja sudah membuat mual isi perut. Tingkahnya yang begitu songong yang selalu menyombongkan harta orang tuanya benar-benar membuat malas dengannya.
Sesampainya di dalam rumah. ART rumah sudah menyambut anak majikannya. Ada yang mengambil alih tasnya. Ada yang melepas sepatunya dan satunya lagi membuatkan minuman segar.
Jessy hanya diam. Tak seperti biasanya yang banyak bertanya kemana papa mamanya. Pasti jawaban akan selalu sama yang ia dengar. Papa dan mamanya belum pulang.
Setelah melepas sepatunya. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar. ART nya mengantarkan makan siangnya ke kamar. "Non, makan dulu. Non, pasti lapar dan capek kan?", ucapnya meletakkan makanan di atas meja kamar.
"Kenapa bibi mau berhenti bekerja? Siapa yang menemani Jessy tidur kalau Jessy sakit?", salah satu ART yang merawatnya dari bayi tiba-tiba kemarin sore pamit akan resign. Karena orang tuanya sakit. Dan karena beliau anak paling tua dari saudara-saudaranya, beliaulah yang akan merawat orang tuanya.
"Kan masih ada dua ART lagi yang menemani Non Jessy. Non Jessy nggak usah sedih", memeluk Jessy ke pangkuannya. Selama ini beliaulah ART yang paling dekat dengannya.
"Banyak bi orang di rumah ini. Tapi yang seperti bibi, yang menyayangi Jessy hanya bibi seorang".
"Non Jessy tidak boleh seperti itu. Papa dan Mama sangat menyayangi Non Jessy kok. Lebih dari kasih sayang yang diberikan bibi untuk Non".
"Kalau mereka sayang. Tidak akan mungkin bercerai bi".
ART itu memeluk erat tubuh mungil Jessy. Ia sangat tahu betapa terlukanya hati Jessy saat ini. Gadis mungil dan kecil yang seharusnya ceria tapi ia tumbuh dalam kesedihan dan kesusahan yang timbul dari orang tua.
"Sebelum bibi pergi, besok Jessy kenalkan dengan sahabat Jessy bi. Namanya Kak Jovan".
Anak itu tiba-tiba ceria mengingat nama Jovan. "Benarkah?", tanya ART.
"Sekarang Non Jessy makan dulu kalau begitu", ucapnya kemudian melihat gadis itu sudah sedikit membaik dari sedihnya.
Hari mulai senja. Seorang anak laki-laki mencuci kakinya. Lumpur di kakinya berhasil ia bersihkan. Pertanda sudah berakhir pekerjaan yang ia lakukan mencari tutut di sawah.
"Mak!!", ucapnya menemui emak di dapur. Terlihat mak Silah sedang memasak air untuk kebutuhan minum.
"Lekaslah mandi. Emak sudah siapkan air di belakang rumah", rumah mereka tidak memiliki kamar mandi. Air di dapat dari menimba sumur tetangga. Dan di taruhnya di belakang rumah yang di buat bilik seadanya.
"Terimakasih Mak. Lain kali biar Jovan yang ambil airnya sendiri. Bukankah itu sudah menjadi tugas Jovan untuk mengambilkan Emak air?".
"Sudahlah. Sama saja. Kamu pasti capek", ucap Mak Silah kepadaku.
Di segala keterbatasannya Mak Silah selalu berusaha mencukupi kebutuhanku. Ia sebenarnya tak ingin aku banyak membantunya. Karena berpikir tugasku hanyalah belajar dan belajar.
"Mak, ayo kita makan", ucapku setelah kami berdua selesai membersihkan diri secara bergantian.
Baju kemarin dipakai lagi asal sudah habis dicuci merupakan hal biasa. Kami tak punya pakaian yang bisa digunakan untuk berganti-ganti di setiap harinya.
Malam ini menu makan malamku bersama Mak Silah adalah sayur lodeh dengan ikan asin sisa kemarin. Sungguh nikmat luar biasa untuk hari ini. Hasil tutut sore ini tidak aku tukarkan dengan sembako ataupun lauk. Melainkan aku tukar dengan uang untuk cicilan administrasi sekolahku.
Sedikit demi sedikit hasil dari Mak Silah bekerja dan hasil dari aku mencari tutut di sisihkan untuk uang sekolah. Karena dengan begitu beban biaya sekolahku tidak akan begitu membengkak di kemudian hari.
Apalagi ini sudah minggu pertama mendekati ujian. Aku harus segera melunasi sisa tunggakan. Agar aku bisa mengikuti ujian nantinya.
Bisa membayar uang tunggakan dan ikut ujian saja sudah lebih dari cukup bagiku. Untuk itu aku tidak akan muluk-muluk punya keinginan untuk melanjutkan ke sekolah menengah pertama.
Di rasa sudah kenyang. Aku dan Mak Silah membereskan piring kotor. Seperti biasa tempat yang barusan untuk makan untuk tempat tidur Mak Silah.
"Selamat malam Mak", ucapku kemudian. Mak Silah selalu menjawabnya.
Pagi pun datang. Aku beranjak dari tidurku. Mengambil alih pekerjaan emak untuk memasak air minum.
"Lho kok sudah bangun duluan tidak membangunkan Emak to Nak?".
"Tidak papa Mak. Tadi Jovan tidak sengaja terbangun dan tidak bisa tidur lagi", jawabku beralasan.
"Owalah Nak. Kalau terbangun sebaiknya kamu itu belajar saja. Tidak usah di dapur. Lagian ujiannya semakin dekat".
"Hehe iya Mak".
Matahari mulai terang. Jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku sudah siap dengan seragam dan tasku.
"Mak, Jovan berangkat ya", ucapku berpamitan dengan Emak.
Aku keluar rumah dengan hati yang penuh riang. Menyusuri jalanan sempit dan gang-gang hingga akhirnya menemukan jalan raya. Itulah jalanan yang tiap hari aku lalui ketika berangkat dan pulang sekolah.
Sesampainya di halaman sekolah. Aku melihat Jessy turun dari mobil yang sama dengan Bagas. Aku pura-pura tak melihatnya dan segera masuk ke kelas.
Jessy hendak memanggilku namun seketika terdiam. Sepertinya ia paham dengan situasi saat ini. Aku tak pernah diinginkan di hadapan Bagas dan teman-temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
syafridawati
aku mampir semangat faeedback balik ya makasih
2021-07-30
1
Eva Santi Lubis
keren thor lanjut
2021-06-20
1
Lakewood
Lanjuuuuut semangat thor 😁
2021-02-28
1