Aku segera meminta maaf kepada Jessy. Seharusnya aku tidak bertanya hal ini kepadanya. "Maaf, pertanyaanku membuatmu bersedih kembali".
"Tidak apa Kak. Aku senang setidaknya ada teman yang mau mendengarku sekarang", ucap Jessy.
"Apa sebelumnya kamu tak memiliki teman? Ah maksudku kemana temanmu? Bukankah orang sepertimu sangat mudah memiliki teman?", tanyaku semoga tidak menyinggung perasaan Jessy.
"Memang Kakak lihat aku orang yang bagaimana? Aku sama sepertimu. Selalu menyendiri", Jessy menjawab sambil menunduk. Terlihat jelas raut kesedihannya.
"Kamu berbeda denganku Jessy. Kamu anak orang berkecukupan. Sudah pasti dikelilingi teman di sekitarmu. Sedangkan aku. Aku dijauhi hampir semua orang hanya karena aku miskin dan tidak sederajat dengan mereka".
"Mungkin lebih senang kalau aku hanya memiliki sahabat sepertimu Kak. Temanku banyak. Tapi mereka dekat denganku hanya karena harta papa dan mamaku", ucap Jessy sendu.
"Sudahlah Kak. Jangan dibahas lagi. Mulai sekarang aku ingin menjadi temanmu. Apa Kakak mengijinkan?", pinta Jessy.
Aku pun terdiam. Baru kali ini ada orang memohon minta ijin untuk menjadi temanku. Sebelumnya tidak pernah. Mereka semua selalu menganggapku tak ada. Seperti tak nampak di mata mereka.
"Kenapa Kakak terdiam? Apa Kakak keberatan. Baiklah kalau begitu aku tidak akan menganggu Kakak lagi. Terimakasih untuk bantuannya tadi dan mau mendengar ceritaku barusan", Jessy berbalik badan. Kemudian melangkah meninggalkanku.
"Jessy", teriakku. Jessy segera menoleh ke arahku. Terukir senyum indah di bibir manisnya. Mata coklat dengan rambut kepang dua. Anak ini terlihat sangat manis dengan kulitnya yang putih bersih.
"Aku mau menerimamu jadi temanku. Tapi apa itu tidak menjadi masalah bagimu? Yang ada orang di sekitarmu akan menertawakanmu", ucapku meyakinkan Jessy aku tidak pantas jadi temannya.
"Aku tidak peduli itu", jawab Jessy memberi kepastian. Membuat hatiku bahagia. Amat sangat bahagia.
"Masuklah ke kelasmu. Bel akan segera berbunyi dua menit lagi", pintaku kemudian. Aku masih ingin sendiri. Mengukir bahagiaku hari ini.
Aku pun senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba aku terperanjat begitu mengingat jam selanjutnya ada ulangan bahasa indonesia. Aku segera bergegas kembali ke ruang kelasku.
Sampainya di kelas. Mata-mata tajam mereka seperti biasa menatapku dengan aura membunuh. Aku terus berjalan hingga sampai di bangku tempat dudukku.
Sudah hampir enam tahun aku disini. Bahkan perlakuan lain yang lebih dari ini sudah pernah ku lalui. Itulah yang selalu ku ingat untuk mengembalikan semangatku ketika aku mulai down.
Ulangan bahasa Indonesia akhirnya selesai. Pelajaran ini bukan merupakan kelemahanku. Sehingga aku bisa dengan mudah mengerjakannya. Tadi pagi diperjalanan saat berjalan kaki aku sempat membaca kembali materi yang sudah di ajarkan.
Ku buka pintu ketika sudah sampai dirumah. Krekkkkk. Bunyi pintu rumahku yang sudah mulai reot. Maklum pintu rumah hanya terbuat dari bambu yang di anyam.
Aku membuka sepatuku. Ku lihat robekan besar sisa perjuanganku berlari tadi pagi. Menghela nafas kemudian menuangkan air minum.
Aku meneguk air minum sampai habis dua gelas. Dengan begitu bisa menunda waktu makanku. Ku buka tudung saji yang tersedia. Ternyata emak sudah punya nasi untuk hari ini.
Sudah jam makan siang. Kenapa Emak belum juga pulang ya? Tanyaku sambil berpikir. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul emakku.
Aku tahu tempat dimana emakku bekerja. Di lahan gang depan yang sedang dibangun untuk dijadikan pabrik. Disitulah emakku bekerja sebagai tenaga serabutan.
Meski seorang wanita. Apapun beliau kerjakan. Asal mendapat bayaran. Bagi kami pekerjaan apapun kita lakukan asal halal. Sudah tidak memandang gengsi atau malu. Karena kalau hanya mengandalkan rasa malu, orang seperti kami tidak akan bisa makan.
"Mak....", ucapku ketika melihat emakku berteduh di bawah pohon pisang.
"Nak, kamu sudah pulang. Apa sudah makan?", tanya emakku. Walaupun emakku sendiri belum makan siang, tapi ia selalu bertanya lebih dulu padaku ketika aku pulang sekolah. Itulah hati mulia seorang ibu. Meski dirinya kekurangan tapi tidak ingin juga anaknya kelaparan.
Aku hanya menggelengkan kepala. "Duduklah sini. Emak ada rejeki. Tadi dikasih Bapak itu", menunjuk ke salah satu mandor bangunan.
"Sudah dimakan Emak saja. Emak pasti capek", ucapku.
Emak mengeluarkan bungkusan nasi yang disimpannya. Rencananya bungkusan itu hendak ia bawa pulang untuk bekal makan nanti.
"Ayo kita makan berdua", ucap emak mulai membuka bungkusan nasi.
"Alhamdulillah ada lauk tempe tahu dan sayur kacang nak", ucap emakku senang.
Aku menahan sesak di dadaku. Aku berjanji dalam hatiku suatu saat nanti aku harus bisa memberi makan emakku yang enak. Jangankan tempe dan tahu, apapun yang emakku inginkan akan ku berikan.
Emak dengan telaten menyuapiku. Tapi aku menghentikan menerima suapan itu. Karena melihat emakku belum makan dan hanya menyuapiku saja.
"Mak, biar Jovan yang gantian menyuapi Emak", aku mengambil alih bungkusan itu. Dan menyuapi emakku penuh kasih sayang. Rasa tulusku yang tidak bisa digambarkan.
"Sebaiknya kamu cepat pulang Nak. Tidak usah cari tutut kalau capek", ucap emakku ketika kami sudah selesai makan.
"Tidak Mak, aku tetap akan cari tutut", jawabku penuh semangat. Aku malu kalau harus berdiam diri di rumah. Sedangkan emakku yang seorang wanita saja berjuang mati-matian di luar rumah. Harga diriku sebagai laki-laki seperti tidak ada artinya kalau aku hanya enak-enakan di rumah.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya Nak", pesan emak sambil melambaikan tangannya.
"Bu, itu anaknya ya?", tanya mandor yang memberi nasi tadi.
"Iya Pak. Maaf kalau dia datang kesini barusan. Tapi tidak menganggu pekerjaan saya kok", jawab emak penuh ketakutan. Takut atasannya akan memberhentikan ia bekerja kalau terlihat menyalahi aturan.
"Iya saya tahu. Ibu tidak perlu takut. Lanjutkan pekerjaan Ibu", ucap mandor itu membuat Mak Silah lega.
Mak Silah kembali melanjutkan pekerjaannya. Kebetulan jam istirahat juga telah usai. Membawa satu persatu bata ringan mendekat ke arah pekerja lainnya. Agar mudah untuk dinaikkan.
Beliau adalah pekerja wanita satu-satunya di proyek bangunan itu. Panas terik tidak menjadi kendala baginya. Membuat pekerja lain menaruh kagum kepadanya. Sering kali salah satu temannya menggoda. Untuk menjadikan istrinya dan meminta berhenti dari pekerjaan ini.
Namun Mak Silah tidak pernah goyah. Ia tahu semua hanya candaan dari teman-temannya sesama pekerja bangunan untuk melepas lelah dan penat.
Di sinilah Mak Silah bisa merasakan kehangatan keluarga. Beruntung teman-temannya mau menerima dirinya yang seorang wanita. Dan mau menghargainya.
Karena di usianya sekarang yang menginjak empat puluh tahun dan latar belakang pendidikan yang hanya lulusan sekolah dasar tidaklah mudah untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Inyoman Raka
bagus ,tapi terlalu miskin yg diangkat
2023-07-24
0
Spyro
Sehat2 Mak Silah 😢
Semangat terus thor 😁 Salam dari The Secret of Marriage Contract
2021-04-14
1
Winda Rahayu
Lanjut kakk
2021-02-20
0