"Nick?" Alice mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan matanya tidak salah mengenali pria itu. Pria yang telah mencampakkannya empat tahun lalu. Wajahnya masih setampan dulu. Lebih terlihat dewasa sekarang.
Rasa sesak dan sakit menyerang dada Alice. Luka yang telah lama terkubur tiba-tiba menganga kembali hanya karena melihat pria bernama Nick itu.
"Alice." Sentuhan tangan Isabel di lengannya membuat Alice mengalihkan pandangan. Mata gadis itu menyiratkan luka dan kesedihan yang begitu dalam.
"Siapa Nick? Apa dia--" Isabel menggantung kalimatnya karena takut membuat sahabatnya itu sakit hati.
Alice mengangguk pelan. Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Dimana dia?" tanya Isabel. Sejujurnya dia sangat penasaran seperti apa wajah Nick yang telah menyakiti sahabatnya itu.
"Arah jam 11, di dekat tangga. Kemeja krem," jawab Alice pelan sambil menunduk. Ibu jarinya mengusap bulir bening yang sempat terjatuh dari sudut matanya.
Mendengar jawaban Alice, Isabel memutar kepala, mengarahkan pandangannya pada pria yang sedang berdiri di dekat tangga dengan kemeja krem. Benar saja, pria itu masih berdiri disana.
Tampan dan gagah. Kesan pertama yang dilihat Isabel. Wajar saja Alice dulu tergila-gila padanya.
Isabel kembali mengarahkan pandangannya ke samping dimana Alice duduk. Diluar dugaannya, Alice yang tadi terlihat sedih sekarang justru terlihat santai sambil menyesap minuman di gelas yang dia pegang.
"Kau baik-baik saja?" tanya Isabel. Dia yakin Alice tidak sedang baik-baik saja.
"Kenapa? Aku sudah melupakannya. Ada atau tidak dirinya, tidak akan mempengaruhiku," jawab Alice dengan senyum miring seolah kehadiran Nick bukan hal yang berarti untuknya.
Isabel membiarkan Alice dengan ucapannya. Apapun yang ada dalam hatinya, mungkin dia sedang tidak ingin membaginya dengan siapapun, termasuk Isabel sahabatnya.
Siapa sangka, ketika kedua gadis itu sudah larut dengan obrolan yang lain, tiba-tiba Nick mendekati mereka.
"Alice?" sapa Nick tak menyangka melihat Alice berada di tempat itu.
Mendengar namanya disebut, Alice menengadahkan kepalanya ke arah sumber suara. Tatapan matanya berserobok dengan mata hazel Nick. Mata yang pernah dia lihat dengan kilatan gairah yang membara.
Dengan cepat Alice mengembalikan fokus pikirannya. Dia harus membuktikan kalau dirinya sudah melupakan pria brengsek itu.
"Nick? Kau disini?" Nada bicara Alice terlihat santai.
Nick mengambil posisi duduk di sofa, berseberangan dengan Isabel dan Alice. Kedua mata hazel itu tak henti memperhatikan penampilan Alice yang terlihat sangat berbeda dengan saat terakhir kali dia melihatnya. Bukan 'terakhir kali' dalam arti harfiah, karena yang terakhir itu dia melihat Alice benar-benar naked tanpa sehelai benang pun. Tapi saat ini, Alice terlihat lebih dewasa dan cantik menurutnya.
"Bagaimana kabarmu? Kau semakin cantik." Nick masih tidak mengalihkan pandangannya.
Alice mendengkus sinis. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Kabar? Tidak salah dia bertanya kabar setelah apa yang dia lakukan terakhir kali padanya? Yang benar saja? Tentu saja semakin cantik. Karena hidupnya tidak semenyedihkan dulu.
"Aku baik. Dari dulu aku memang cantik," jawab Alice dengan nada sinis.
"Bolehkah aku--"
"Maaf Nick, aku harus segera mengantar temanku pulang. Sampai jumpa lain waktu." Alice beranjak sambil menarik tangan Isabel. Mulutnya tak henti mengumpat, menyesali kalimat terakhirnya.
Isabel yang ditarik oleh Alice mau tidak mau harus mengikuti langkah kaki sahabatnya itu. Begitu sampai di depan pintu, Alice melepaskan tangannya dari tangan Isabel.
"Aku menunggumu di parkiran. Sampaikan salamku pada Aiden," kata Alice. Tanpa menunggu jawaban Isabel, gadis itu sudah berlalu keluar.
Isabel sempat tercengang melihat sikap Alice. Biasanya dia akan mengantar Isabel pulang di detik-detik terakhir aturan keluarga Bennings. Tapi ini baru satu jam mereka disana dan Alice sudah mengajaknya pulang.
"Sayang." Panggilan dan kecupan di pipi Isabel membuatnya tersadar.
Gadis itu menoleh. Aiden sudah berdiri di sampingnya dengan segelas minuman di tangan.
"Dimana Alice?" tanya Aiden.
"Dia ingin pulang," jawabnya.
Aiden melirik arloji di pergelangan tangannya lalu menaikkan sebelah alisnya sambil berkata, "Baru satu jam."
"Sepertinya dia sedang tidak enak badan," sahut Isabel.
Aiden meletakkan gelasnya di meja terdekat. "Kau yakin mau pulang sekarang?" tanyanya sambil melingkarkan tangan di pinggang Isabel.
"Aku tidak mungkin membiarkan sahabatku yang sedang tidak enak badan sendirian." Meskipun tidak rela meninggalkan Aiden di party itu, tapi dia harus. Dia tahu Alice lebih membutuhkan dirinya dibandingkan Aiden.
"Aku akan mengantarmu turun," kata Aiden kemudian.
Aiden melingkarkan tangannya di bahu Isabel, menuntun gadis itu keluar. Sebenarnya dia masih ingin Isabel berada di party itu bersamanya, meski tanpa Alice. Karena pasti akan lebih menyenangkan. Tapi tanpa Alice, Isabel tidak akan ada disana. You know why.
Pintu lift terbuka. Mereka segera masuk.
"Aiden." Isabel menengadahkan kepalanya menatap Aiden yang memang jauh lebih tinggi darinya.
"Hm?" respons Aiden tanpa melepaskan tangannya dari bahu Isabel.
"Kalau kau bertemu dengan gadis yang lebih cantik dariku, apa kau akan tetap mencintaiku?"
Pertanyaan Isabel membuat Aiden terkejut. Apa Isabel sedang meragukannya? Jika seperti itu, Isabel salah besar. Karena dalam hati Aiden hanya ada satu nama. ISABEL JOSEPHINE BENNINGS. Dia sangat mencintai gadis itu melebihi apapun.
"Apa kau sedang meragukanku?" tanya Aiden dengan tatapan menyelidik.
"Hanya bertanya." Isabel mengedikkan bahu, menghindari bersitatap dengan mata Aiden.
Aiden menarik kedua sudut bibirnya keatas. Memutar tubuh kecil Isabel menghadap dirinya dan memegang bahu gadis itu erat-erat.
"Lihat mataku," katanya sambil menatap Isabel dengan tatapan cinta yang sesungguhnya. "Tidakkah kau lihat betapa besar cinta yang ada disana? Kau tidak perlu meragukanku. Disini," Aiden mengarahkan tangan Isabel ke dada bidangnya, "hanya ada satu nama, satu cinta. Dan tidak akan pernah berubah," lanjut Aiden.
Isabel merasa jawaban Aiden sudah cukup membuktikan kalau memang dirinya lah yang selalu mengisi hati kekasihnya itu.
Seperti hanyut dalam suasana romantis itu. Mempertemukan tatapan mata mereka dalam waktu lebih dari tiga detik, bisa dipastikan bibir keduanya akan bertemu. Seperti sekarang ini, di dalam lift hanya ada mereka berdua dengan mata saling bertatapan intens. Mereka tidak akan bisa bertahan untuk tidak saling memagut.
Tangan Aiden menekan tombol stop ketika lift yang mereka naiki sampai di lantai 2. Melepaskan gadisnya disaat seperti ini? Tidak akan!
Keduanya masih larut dalam kenikmatan masing-masing. Aiden memanjakan bibir gadis itu dengan lembut. Membiarkan kekasihnya menikmati setiap sentuhan lembutnya. Aiden mendorong tubuh Isabel ke dinding lift. Meraih tengkuknya untuk memperdalam ciumannya.
Semenjak ciuman mereka di dalam mobil beberapa hari lalu, entah kenapa Isabel selalu mengharapkan lebih dalam setiap ciuman mereka.
Sejenak mereka mengambil napas untuk tetap menjaga pasokan oksigen ke paru-paru mereka. Meninggal karena kekurangan oksigen saat berciuman tentu tidak lucu, bukan!
Aiden tersenyum melihat napas Isabel yang memburu. Sepertinya gadis itu sedang menahan sesuatu dalam dirinya.
Tanpa menunggu lebih lama, kini gadis itu bertindak lebih cepat dari Aiden. Dia meremas rambut Aiden untuk memperdalam ciumannya.
Ciuman Aiden turun ke leher jenjang Isabel membuat gadis itu melenguh memejamkan matanya menikmati gigitan-gigitan kecil Aiden.
Desahan kecil pun lolos dari bibir mungil Isabel. Dan suara lembutnya semakin memicu gairah lelaki yang tengah mencumbunya itu. Napas keduanya semakin memburu dan saling bersahutan.
Aiden menaikkan kaki kiri Isabel keatas pahanya, memberikan sentuhan lembut pada paha gadis itu. Isabel semakin dibuat gila oleh sentuhan Aiden. Dia benar-benar menikmatinya. Sungguh!
Akal sehat mereka sudah dibutakan oleh nafsu. Keduanya saling menginginkan. Dan terus menginginkan lebih.
Aiden menyingkap ujung dress Isabel hingga menampakkan paha mulus gadis itu. Dia merabanya lembut dan terus naik yang membuat Isabel kembali meloloskan desahannya.
Sensasi yang diberikan Aiden di tulang selangkanya membuat gadis itu menggigit bibir. Tubuhnya gemetar merasakan gelenyar hebat dalam dirinya.
"Aiden, we have to stop," kata Isabel dengan suara parau menahan keinginan lebih yang menguasai dirinya.
Aiden tidak mendengarkan ucapan Isabel. Dia sudah terlanjur menginginkan gadis itu. Selama tiga tahun ini dia benar-benar menahan diri karena janjinya. Menahan keinginannya untuk menyentuh gadis itu lebih dalam.
"Aiden, stop!" Suara Isabel terdengar lebih keras sambil mendorong pelan tubuh Aiden.
Akal sehat Aiden kembali. Laki-laki itu mundur selangkah memberi jarak dengan tubuh Isabel dengan napas yang masih memburu.
"I'm sorry. I'm so sorry." Aiden menangkup wajah Isabel yang memerah karena gairah dengan tangan besarnya. dia menatap penuh penyesalan lalu menempelkan kening mereka.
"Sshh ...! It's okay. This is not your fault." Isabel menempelkan jari telunjuknya ke bibir Aiden.
Dua kali ini mereka hampir melewati batas, melanggar janji yang mereka buat.
"Alice menungguku," ucap Isabel.
Aiden memberikan kecupan kilas pada bibir Isabel lalu melepaskan gadis itu. "Ya," katanya.
Pintu lift terbuka setelah sampai di lobi. Di sana terlihat beberapa orang sedang berdiri di depan pintu lift. Ketika mereka keluar, beberapa melihat dengan tatapan tidak suka. Sepertinya mereka bisa menebak apa yang baru saja terjadi di dalam lift hingga orang-orang itu terlalu lama menunggu. Beberapa lagi terlihat tidak peduli.
Aiden dan Isabel berjalan melewati orang-orang itu dengan santai. Setelah dirasa cukup jauh, keduanya tertawa.
"Jangan membuat orang-orang terlalu lama menunggu." ucap Aiden pada kekasihnya.
"Kau yang memulainya." balas Isabel. Satu cubitan mendarat di perut Aiden.
Mereka kembali terkekeh mengingat ekspresi orang-orang itu.
Aiden mengantar Isabel sampai di tempat parkir, dimana mereka harus berjalan lagi menuju basement.
"Hati-hati." Aiden mengusap pipi Isabel.
Isabel mengangguk. Aiden menyelipkan rambut Isabel ke belakang telinga lalu meninggalkan kecupan ringan di bibir Isabel.
Suara klakson mobil Alice membuat keromantisan sejoli itu terhenti.
"Yes, Alice!" Aiden terkekeh.
"Jangan mabuk, okay!" pesan Isabel.
Tak mau membuat Alice menunggu lebih lama lagi, Isabel segera masuk ke dalam mobil, meninggalkan Aiden yang masih berdiri di tempatnya hingga mobil itu meninggalkan area parkir.
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
KaiRA🎉PUCUK~SQUAD🌱🐛🌱🐛🥀🐛
😌😌aq disini
2021-03-30
1
Bunny🥨
Titip jejak, aku nyicil ya kak bacanya^^
2020-07-12
2