Suara gelak tawa seorang bocah terdengar begitu nyaring dari ruang tengah. Bocah laki-laki berusia 4 tahun yang memiliki mata bening berwarna biru. Mata yang begitu jernih membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung jatuh cinta pada bocah kecil itu.
Yah, itu adalah mata indah si kecil Liam. Keponakan satu-satunya Isabel. Dan tentu saja keponakan kesayangan Isabel.
"Lagi, Daddy! Lagi!" Suara Liam terdengar sangat antusias.
Dan Mike sekali lagi mengangkat tubuh kecil itu tinggi-tinggi seolah dia adalah sebuah pesawat yang sedang terbang tinggi lalu menukik tajam dan mendaratkannya diatas sofa.
"Sudah, Sayang. Daddy lelah." Mike meringis. Tenaganya dibuat habis oleh bocah kecil itu.
"Sekali lagi, Daddy! Ayo, sekali lag!" rengek bocah kecil itu sambil menarik-narik ujung kaos Mike. Namun sepertinya tenaga Mike sudah benar-benar terkuras.
"Besok lagi, Sayang," bujuk Mike yang lantas mengangkat tubuh anak laki-lakinya itu untuk dia dudukkan diatas paha.
"Aku mau lagi!" Bocah itu masih saja merengak.
Isabel yang muncul dari arah ruang tamu, memberi kode pada Mike untuk tidak memberi tahu Liam yang sedang berada di pangkuan Mike dengan posisi membelakangi dirinya kalau dia datang. Berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara hingga dia berdiri tepat di belakang Liam, lalu tiba-tiba mengecup pipi gembil bocah itu.
"Sweet Boy," sapa Isabel setelah mengecup pipi gembil keponakan tersayangnya itu.
Kepala kecil Liam langsung menoleh terkejut. Saat mengetahui siapa yang ada di belakangnya, secepat kilat bocah itu turun dari pangkuan ayahnya lalu melompat memeluk aunty kesayangannya.
"Aunty!" teriak Liam.
"Aw ... aw ... aw ..., semakin besar saja keponakanku yang tampan ini." Isabel mencubit hidung mungil Liam dengan gemas saat sudah ada dalam gendongannya.
"Aunty bawa mainan untuk Liam," kata Isabel sambil menunjukkan paper bag berisi mobil-mobilan di tangannya.
Liam segera menyerobot papar bag itu dan mengeluarkan kardus berwarna biru dari dalamnya.
"Wow! Bagus sekali, Aunty!" Mata bocah kecil itu berbinar-binar saat mengetahui isinya adalah mobil-mobilan, mainan kesukaannya. Lalu Isabel menurunkannya dari gendongan dan membiarkan bocah itu membuka mainan yang dia belikan.
Isabel menjatuhkan diri di sofa, tepat di sebelah kakak laki-lakinya.
"Dari mana saja kau anak manja?" Mike mengacak rambut Isabel.
"Don't do this!" Isabel mencebikkan bibir lalu merapikan rambutnya yang berantakan. "Aku dari apartemen Alice," lanjutnya.
"Oh," sahut Mike yang masih fokus memperhatikan anaknya yang tampak begitu antusias bermain dengan hadiah dari Isabel.
"Dimana Daddy?" tanya Isabel sambil menyandarkan kepalanya di punggung sofa.
"Dad dan Mom sedang menghadiri undangan ulang tahun pernikahan teman mereka. Ada apa mencari Dad?"
"Akhir pekan nanti Aiden dan teman-temannya mengadakan party. Aku ingin minta izin padanya," jawab Isabel.
"Party?" Mike mengernyit. "Jangan macam-macam Isabel," Mike memperingatkan.
Isabel melirik kakaknya dengan malas. "Jangan mulai lagi, ini hanya party biasa. Lagipula, aku akan datang bersama Alice," tukasnya.
Mike mencondongkan tubuh ke depan dengan siku bertumpu pada paha. "Masih ingat pesanku dan Dad, kan?"
Suara helaan napas kasar Isabel begitu kentara. Selalu saja itu yang di katakan kalau dia meminta ijin untuk ikut party. Iya, Isabel tahu mereka hanya tidak ingin dia dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi terkadang rasanya terlalu berlebihan.
"Iya, aku ingat," jawabnya malas. Barangkali hanya Isabel yang masih perawan diantara teman kuliahnya. "Tapi boleh, kan?" Wajah Isabel berubah memelas sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan manja.
Mike melirik malas pada adiknya itu. "Selama kau bisa menjaga dirimu dan tidak pulang lebih dari jam 11 malam."
"Yeay! Terima kasih, kau adalah kakak terbaik yang pernah ada," Isabel menghamburkan dirinya memeluk Mike.
Melihat kelakuan adiknya, membuat Mike tersenyum kecil. Meskipun usianya sudah dewasa, tapi kadang kelakuannya masih saja seperti anak kecil.
"Tapi kau tetap harus meminta izin pada Dad dan Mom," kata Mike.
"Siap!" Jemari Isabel berjajar rapi di pelipisnya.
***
"Kau jadi ikut ke party akhir pekan ini, kan?" tanya Alice pada Isabel yang tengah berjalan beriringan dengannya menuju area parkir universitas.
"Tentu saja," jawab Isabel. Sebentar kemudian wajahnya ekspresinya berubah jengah. "Seperti biasa, jaga diri dan pulang tidak lebih dari jam 11." Isabel memutar bola matanya malas.
"Seriously? Again?" Alice tersenyum mengejek.
Isabel berdecak. "Kau seperti tidak tahu mereka saja. Pria tapi cerewetnya melebihi wanita." Isabel membayangkan wajah ayah dan kakaknya yang tidak berhenti mewanti-wanti dirinya supaya selalu menjaga diri.
Alice tergelak. Bagaimana bisa Isabel mempertahankan keperawanannya sampai sekarang? Berani bertaruh, sebenarnya Isabel juga menginginkan yang lebih dari sekedar bercumbu dengan Aiden. Ah, mata biru Aiden sungguh menggoda. Membayangkan mata biru yang berkilat penuh gairah. Siapa yang tidak ingin menghabiskan malam panjang dengan laki-laki itu?
"Kau pasti meledekku lagi." Isabel menoyor lengan Alice yang sejak tadi menertawakannya.
"No! Aku hanya kasihan padamu." Alice tersenyum jail. "Aku yakin Aiden pasti sangat seksi diatas ranjang," bisiknya kemudian.
Isabel membelalak mendengar ucapan Alice. Lalu dengan cepat mendaratkan pukulan ke arah Alice. Bagaimana bisa Alice berbicara seperti itu? Aiden itu kekasihnya. Dan, ya ... sekelabat bayangan tubuh shirtless Aiden yang menampilkan pahatan sempurna otot-ototnya memenuhi pikiran Isabel. Bagaimana tatapan penuh cinta dari mata biru Aiden sebelum menciumnya. Aroma maskulin tubuhnya yang sangat menenangkan. Embusan napas hangat yang membelainya.
Oh, no, Isabel! Jangan berpikir yang macam-macam atau kedua pria di rumahmu akan mencincang habis tubuhmu.
Tapi ... mengingat betapa memabukkannya ciuman panas Aiden, membuat Isabel membayangkan bagaimana kalau mereka melakukan yang lebih dari itu. Isabel menggigit bibir bawahnya ketika bayangan Aiden dengan tubuh shirtless sedang mencumbunya.
"Hei!" Dorongan keras di bahu Isabel membuyarkan pikiran liar itu dari otaknya.
Isabel menggoyangkan kepala agar pikiran liar itu segera enyah dari otaknya. Tidak! Dia tidak boleh melakukannya.
"Kau membayangkan Aiden yang sedang bercumbu denganmu tanpa sehelai benang pun di tubuhnya?" terka Alice yang lantas tertawa lantang, karena sepertinya tebakannya itu tepat, hingga membuat wajah Isabel merona seperti tomat.
"Alice!" Isabel berusaha menghentikan tawa sahabatnya itu. Dia merasa sangat malu karena tertangkap basah memikirkan hal-hal liar dengan Aiden.
"Kenapa? Tidak perlu dibayangkan. Kau bisa melakukannya dengan pria yang ada di belakangmu." Alice tersenyum jail dengan mata melirik pada laki-laki yang tengah berjalan mendekat tidak jauh di belakang Isabel.
Isabel membalikkan badannya dan menangkap sosok Aiden yang sedang berjalan mendekat. Isabel berbalik lagi memandang Alice dengan tatapan kesal. Sejak kapan Alice tahu Aiden berjalan dibelakang mereka? Apa dia mendengar percakapannya dengan Alice tadi? Betapa malunya Isabel kalau Aiden sampai mendengarnya.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" Isabel setengah berbisik geram.
"Hai, Sayang!" sapa Aiden.
Isabel membalik badannya dengan helaan napas berat. Berharap Aiden tidak mendengar percakapan mereka tadi. "Hei, aku tidak tahu kalau kau akan kesini." Isabel berusaha bersikap biasa.
Sementara Alice di sampingnya terlihat menahan tawa. Melihat ekspresi Isabel saat ini sungguh membuatnya ingin melepaskan tawa sekeras mungkin.
"Hai, Alice!" sapa Aiden pada sahabat kekasihnya itu.
"Hai, Aiden," balas Alice masih berusaha menahan senyumannya yang tak kunjung berhenti.
"Sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang menarik," terka Aiden yang melihat Alice sedari tadi tidak berhenti menahan tawa.
"Oh, ya. Kami sedang membi--" Isabel tidak membiarkan mulut Alice berceloteh dan dengan segera membekap mulut sahabatnya itu. Kalau tidak, jangan tanya apa saja yang akan dia bicarakan.
"Bukankah tadi ayahmu sudah menunggu? Sebaiknya kau pulang sekarang," kata Isabel pada Alice setelah melepaskan bekapannya. Asal mencari alasan saja, karena dia tidak ingin Alice berlama-lama bersama dirinya dan Aiden.
"Ayahku? Aku tidak--" Belum lagi Alice menyelesaikan kalimatnya, namun Isabel segera mendorong tubuh Alice menjauh.
"Cepat pulang! Ayahmu sudah terlalu lama menunggu," kata Isabel.
Akhirnya Alice mengalah dan menuruti kemauan Isabel untuk meninggalkan mereka. Dia tahu Isabel tidak ingin Aiden mendengar percakapan mereka tadi.
Dengan senyum lebar Alice membalikkan badannya menghadap Isabel dan Aiden. "Hei, Bells! Jangan hanya di bayangkan!" katanya setengah berteriak. Lalu dia tertawa kencang meninggalkan kedua sejoli itu.
Isabel memandang kesal pada Alice yang tampak puas meledek dirinya. Awas saja nanti Isabel akan membuat perhitungan dengan sahabatnya itu.
"Membayangkan apa?" Suara Aiden membuat Isabel mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang sangat dia cintai itu.
Mata Isabel mengerjap berkali-kali sambil mengalihkan pandangan dari mata Aiden. Dari pertanyaan itu bisa diartikan kalau Aiden tidak mendengar percakapan mereka tadi. Ada rasa lega di hati Isabel.
"Sayang, kau membayangkan apa?" Aiden mengulangi pertanyaannya dengan tatapan penasaran pada Isabel.
"Eh ... itu ... bukan apa-apa. Jangan dengarkan Alice. Dia hanya bicara omong kosong," jawab Isabel gugup. Kalau saja Aiden tahu apa yang dia bayangkan tadi, entah akan semalu apa dirinya.
Seulas senyuman muncul di wajah Aiden. "Kenapa kau jadi gugup?" Aiden menyelipkan rambut Isabel ke belakang telinga. Membuat wajah kekasihnya itu semakin merona.
"Ayo, pulang. Bukankah kau datang kesini untuk menjemputku?" Isabel mengalihkan pembicaraan.
Andai saja Isabel tahu kalau wajah meronanya itu semakin menggoda dimata Aiden. Tapi, Aiden sudah berjanji untuk menjaga gadis itu dengan baik. Dia menghormati prinsip gadisnya itu. Atau lebih tepatnya prinsip keluarga Bennings.
Aiden segera merengkuh bahu Isabel dan menuntunnya menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
***
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Ovie Ana
next up nya
2020-02-13
0