Aiden mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah. Kondisi jalan yang lumayan padat membuat perjalanan mereka menjadi lambat.
Kalau biasanya hal semacam ini menjadi waktu yang sangat mereka nikmati karena bisa menghabiskan berdua lebih lama, tapi tidak dengan hari ini. Hari ini terasa berbeda bagi Isabel. Rasanya dia ingin secepatnya sampai rumah dan membenamkan tubuhnya di bathtub. Tubuhnya terasa panas dalam mobil yang di dominasi udara dingin dari AC. Apa yang salah dengan diri Isabel?
Semenjak lulus kuliah beberapa bulan lalu Aiden mulai bekerja di perusahaan milik kakeknya. Karena kesibukannya itu, Aiden hanya bisa sesekali menjemput Isabel karena memang waktunya tidak memungkinkan. Dia masih harus banyak belajar tentang dunia bisnis. Jika ada kesempatan pasti dia akan dengan senang hati menemui gadisnya. Dan jalanan padat seperti ini akan menjadi momen terbaik mereka. Sudah tahu lah alasannya apa.
"Are you okay?" Seketika pertanyaan Aiden membuat gadis itu menoleh.
"Eh ... eum ... ya." Kali ini Isabel benar-benar merasa harus segera menjauh dari Aiden.
Gelagat mencurigakan itu dengan mudah ditangkap oleh Aiden. Laki-laki itu hafal betul tabiat gadisnya.
Kedua sudut bibir Aiden tertarik keatas. Dengkusan kecil terdengar dari hidungnya. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Gadis itu menoleh sekilas pada pria di sampingnya dengan tatapan ragu. "Aku? Tidak. Tidak ada yang aku pikirkan."
"Jangan bohong."
Isabel menunduk lesu. Haruskah dia jujur pada Aiden? Tapi itu sungguh memalukan. Aiden pasti akan berpikir macam-macam nantinya. Tapi menyembunyikan sesuatu dari Aiden adalah hal tersulit bagi gadis bermata biru itu.
"Aku malu mengatakannya," ucapnya lirih.
Tangan kanan Aiden meraih kepala belakang Isabel dan mengelusnya lembut. Desiran tak terduga menyergap hati gadis itu. Perasaan yang ... entahlah, bagaimana harus menjabarkannya. Yang jelas tubuh Isabel serasa meremang hanya karena usapan lembut di rambutnya. Padahal itu bukanlah hal baru yang dilakukan Aiden.
"Katakan saja," kata Aiden dibarengi senyum tampannya.
"Aku ...." Suara Isabel tercekat di tenggorokan. "Lupakan saja! Aku hanya merasa gerah dan ingin segera mandi," lanjutnya sambil mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Sungguh? Bahkan aku merasa dingin disini."
Oops! Apa hanya Isabel yang merasa kepanasan disini?
"Just drive!" tukas Isabel yang tidak ingin memperpanjang topik pembicaraan mereka, sekaligus menepis perasaan aneh yang sejak tadi berusaha mendobrak pertahanannya.
Jika tidak ingin ini berakhir dengan perdebatan, Aiden harus mengalah dan membiarkan gadisnya dengan apapun yang ada dalam pikirannya saat ini.
Aku harus membuat perhitungan dengan Alice. Ini semua gara-gara dia. Huuuh! Kenapa rasanya panas sekali disini?
Tanpa sadar tangan Isabel mengibas kearah wajahnya, berusaha meredam panas yang menjalar ditubuhnya. Panas yang dia rasakan saat mencium aroma tubuh Aiden, saat merasakan sentuhannya dan saat melihat wajah kekasihnya itu. Apa ini hal yang wajar? Maybe.
"Aku lapar." Aiden berusaha memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa saat.
"Aku tidak lapar," sahut Isabel tanpa melihat pria disampingnya.
Kedua alis Aiden berkerut. Dia semakin dibuat bingung dengan tingkah gadisnya. "Temani aku makan." Dia mencoba lagi.
"Aku ingin pulang," kata Isabel, masih tidak ingin melihat kekasihnya.
Tanpa diduga, suara perut Isabel terdengar begitu nyaring.
Aiden melirik gadisnya sambil menahan senyum. Disaat yang bersamaan Isabel tampak memegangi perut ratanya sambil melirik ke arah Aiden. Sesaat lirikan mata mereka bertemu. Namun secepat kilat Isabel memalingkan wajahnya.
Menunduk, memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya adalah cara Isabel menyembunyikan rasa malu. Ternyata para penghuni perutnya tidak bisa diajak bekerja sama untuk mempertahankan gengsi.
"Sepertinya makan sebelum pulang bukanlah ide buruk." Menurunkan gengsi dan memasang wajah pasrah.
Tingkat kesabaran Aiden memang sangat tinggi saat bersama dengan Isabel. Gadisnya itu terkadang akan bersikap manja dan kekanakan. Namun kadang dia juga bisa bersikap dewasa dan bisa menjadi teman berdiskusi yang nyaman.
Dia tahu kalau dirinya adalah cinta pertama gadis itu. Meskipun Isabel bukanlah gadis pertamanya. Tapi percayalah, Aiden sangat mencintainya melebihi para gadis yang pernah dekat dengannya sebelum ini.
"Drive thru?" tawar Aiden.
Isabel mengangguk. Apapun itu yang penting cacing dalam perutnya tidak akan bersuara lagi.
Aiden membelokkan mobilnya ke drive thru sebuah restoran cepat saji dan memesan dua paket menu disana. Setelah mendapatkan pesanannya, mereka melanjutkan perjalanan kembali.
"Kalau sejak tadi kau lapar, kenapa tidak bilang padaku?"
Isabel menghela napas pelan. Bukan itu rasa yang dominan dalam dirinya, melainkan rasa yang lain. Rasa yang tidak bisa dia katakan pada Aiden.
"Aku malu," jawab Isabel sekenanya, yang disambut tawa oleh Aiden.
Satu alisnya terangkat dan bibirnya melengkung. "Sejak kapan kekasihku ini malu hanya untuk bilang 'lapar', hm? Apa aku melewatkan terlalu banyak hal semenjak lulus kuliah?"
"Maybe." Isabel menjawabnya dengan santai sambil memasukkan tumpukan burger ke mulut dan menggigitnya.
"Kau tidak makan?" tanya Isabel tanpa rasa bersalah setelah setumpuk burger itu masuk ke dalam perutnya.
"Bisa kau membantuku?" Aiden menjawab dengan pertanyaan.
Wajah polos Isabel mengkerut. "Membantu apa?" tanyanya. Sepertinya rasa panas ditubuhnya sedikit teralihkan ketika perutnya terasa kenyang.
Aiden menarik sudut bibirnya keatas. "Suapi aku," jawabnya diiringi lirikan mata indah itu.
Mata biru Isabel membula, sedikit terkejut dengan permintaan Aiden. Tapi membiarkan Aiden menyetir sambil makan ... rasanya kasihan juga. Apalagi yang ada di hadapannya adalah burger.
Akhirnya Isabel mengambil burger milik Aiden dan memenuhi permintaan kekasihnya.
Tangan kecil Isabel mengarahkan burger ke depan mulut Aiden agar kekasihnya itu bisa dengan mudah menggigit makanannya.
"Terima kasih," ucap Aiden pada gigitan pertamanya.
"Aku tidak tega jika harus melihatmu menyetir sambil makan."
Ucapan Isabel dibalas senyuman oleh Aiden. "Aku menyukainya."
"Apa?" tanya Isabel sambil mengarahkan burger itu lagi.
"Kau suapi. Aku menyukainya." Gigitan kedua Aiden sedikit lebih besar. Hingga menyisakan saus di sudut bibirnya.
"Kau makan seperti anak kecil," sahut Isabel.
Isabel dengan telaten menyuapi Aiden hingga burger itu habis. Dan tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Isabel.
Setelah pintu gerbang terbuka, Aiden kembali melajukan mobilnya masuk ke halaman yang di kanan kirinya terdapat banyak pohon pinus, membuat jalan menuju rumah utama itu terasa sangat teduh.
Jarak gerbang dan rumah utama sekitar 200 meter. Cukup jauh memang, tapi pemandangan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Beberapa bangku taman dan lampu tampak menghiasi kanan dan kiri jalan menuju rumah utama. Ada juga area bermain seperti ayunan, prosotan dan yang lainnya di sisi kanan jalan, yang merupakan tempat bermain anak-anak keluarga Bennings sewaktu kecil.
Aiden menginjak pedal rem ketika mobil yang mereka tumpangi sudah berada di halaman rumah utama.
"Here we go," kata Aiden.
"Mampirlah--" Ucapan isabel terhenti ketika mata indahnya melihat masih ada bekas saus di sudut kiri bibir Aiden.
"Ada apa?" Aiden penasaran kenapa Isabel tidak melanjutkan ucapannya dan malah memandang ke bagian bawah wajahnya.
"Ada saus di bibirmu," jawab Isabel.
Dia segera mengambil tissue lalu membantu Aiden untuk membersihkan saus yang menempel di sudut bibirnya.
Pelan-pelan Isabel mengusap bibir Aiden dengan tissue. Dalam sekejap, bibir Aiden sudah bersih. Namun ada hal lain yang membuat Isabel tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir seksi yang ada di hadapannya itu. Ada dorongan dari dalam dirinya untuk menyentuh bibir kekasihnya. Perlahan ibu jari Isabel bergerak mengusap bibir Aiden dengan lembut.
Tanpa Isabel sadari sejak dia mengelap bibir Aiden dengan tissue, mata Aiden sudah lebih dulu mengagumi kecantikan gadis di hadapannya. Dan saat sentuhan lembut itu mengenai bibirnya, sudut hati Aiden bergetar. Dia sangat ingin mencium gadis itu. Ya, dia tidak bisa menahan keinginannya.
Tapi, sebelum Aiden mengeksekusi bibir yang sedikit terbuka itu, Isabel terlebih dulu mendaratkan ciumannya pada bibir Aiden.
Meski sempat terkejut, tapi dengan cepat Aiden mengimbangi gerakan bibir Isabel. Ada yang berbeda dalam ciuman ini. Aiden merasa Isabel sedikit lebih ... agresif. Aiden membiarkan gadisnya mendominasi, karena jujur dia sangat menikmatinya.
Dengan rakus Isabel ******* bibir Aiden, membiarkan kenikmatan itu menguasai dirinya. Meskipun ini bukan hal pertama bagi Isabel, tapi dia merasakan sensasi yang berbeda. Dia tidak ingin berhenti.
Kedua tangan Isabel sibuk meremas rambut Aiden karena terlalu menikmati setiap gigitan dan belitan lidah Aiden.
Jangan tanya apa yang dilakukan tangan Aiden. Mendapat serangan agresif dari Isabel membuat tubuh laki-laki itu bereaksi hebat. Tidak biasanya Isabel seagresif ini. Dan itu membuat gairahnya semakin menjadi. Kedua tangannya perlahan menyusup kedalam blouse Isabel. Dia meraba dengan lembut tubuh belakang kekasihnya itu. Setiap sentuhan yang dia berikan membuat Isabel semakin ... liar.
Saat tangan Aiden beberapa kali menyentuh pengait yang ada dibalik blouse itu, dia tidak bisa lagi menahan gerakan tangannya. Hanya satu gerakan dan Isabel bisa merasakan kain penutup bagian dalam tubuhnya mengendur.
Sejenak dia merasakan sensasi yang luar biasa saat tangan Aiden bergerak ke sisi depan tubuhnya. Tubuhnya meremang. Jantungnya berdetak menggila. Tanpa melepaskan pagutan bibirnya, Isabel semakin mengharapkan lebih. Dia ingin Aiden menyentuhnya lebih dari ini. Tubuhnya seperti memohon pada Aiden untuk melakukannya.
Tangan Aiden memberikan sentuhan yang begitu memabukkan. Saat kedua tangan itu mulai menyentuh bagian depan tubuh Isabel, entah kenapa Aiden menghentikan gerakan tangannya. Perlahan tangan Aiden meraih kedua ujung bra yang menggantung di sisi tubuh Isabel dan mengaitkannya kembali. Aiden juga menarik tangannya dari balik blouse Isabel.
Tentu itu membuat Isabel bertanya-tanya. Tubuhnya sudah siap menerima setiap sentuhan Aiden tapi tiba-tiba Aiden berhenti. Percayalah! Rasanya sungguh tidak enak.
Aiden melepaskan pagutannya lalu menggunakan kedua tangannya untuk menangkup wajah Isabel. Dia menempelkan kening mereka lalu berbisik, "I know you want it, 'cause I want it too."
Napas Isabel masih memburu dengan mata terpejam. Tidak mudah baginya meredam sensasi yang baru saja dia rasakan.
Aiden menarik tubuh Isabel lalu memeluknya. "Tapi ini belum saatnya." Dia mencium rambut pirang Isabel dan mengeratkan pelukannya.
"Maafkan aku," bisik Isabel lirih. Dia merasa malu sudah bertingkah seperti itu. Padahal selama ini Aiden sudah menjaganya dengan baik. Mungkin Aiden pernah merasakan apa yang baru saja dia rasakan. Sangat menginginkannya tapi sekuat tenaga menahan diri agar tidak melanggar janji. Ternyata rasanya sungguh menyiksa.
tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
rosa lini
Haredang haredang panas panas panas
2020-12-01
1
🌹Milea 🖤
ouch!! panas panas panas 🥵🥵
2020-11-10
1