Cinta Bersemi Di Turki
Dia beranjak menghampiriku ... Dia adalah seseorang yang baru saja menjadi suamiku. Aku tidak berani menatapnya, tapi aku bisa merasakan keberadaannya. Aku juga bisa merasakan rasa tak suka darinya kepadaku, rasa yang tak asing lagi untukku. Karena, aku pun sering medapatkannya dari kedua orang tuaku dan orang-orang di sekitarku dulu.
Aku merasakan matanya menatapku sejenak. Kurasa dia sedang memperhatikanku. Sangat lucu! Ya, karena aku tidak memiliki apapun yang menarik untuk diperhatikan.
Aku jelek dan tidak berharga. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku. Meskipun aku tidak mengenalnya, tapi setiap orang berhak mendapatkan lebih dari diriku. Aku tidak pantas mendapatkan apa-apa.
Aku tidak punya apa-apa dan tidak akan pernah pantas menjadi seseorang yang berharga. Begitulah bagaimana aku dibesarkan, bagaimana aku diajarkan oleh orang tuaku.
"Lihat aku!" perintahnya padaku.
Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Aku tidak bisa. Aku takut untuk melihat raut wajahnya. Raut wajah yang menggambarkan bagaimana perasaannya terhadapku dan aku takut jika mengetahui apa yang dia pikirkan tentang diriku. Meskipun aku sudah tahu apa yang dia pikirkan, tapi tetap menyakitkan jika aku melihatnya secara langsung. Meski sudah terbiasa dengan itu semua, namun masih menyakitkan saat mendapatkannya dari orang baru.
“Aku bilang lihat aku!” teriaknya, membuatku terlonjak karena aku tidak menduga dia akan berteriak.
Rasa takut dalam diriku meningkat. Nada suara itu sama seperti nada suara yang selalu digunakan ayahku untukku. Aku perlahan menatapnya dan melihat wajahnya untuk pertama kali. Aku menatap mata cokelat terangnya yang indah. Kulit wajahnya yang putih bersih, disertai jambang yang halus. Namun, kesombongan terpancar dari wajahnya. Apakah dia memintaku untuk melihatnya hanya untuk menunjukkan betapa tampannya dia, dan betapa jeleknya aku?
"Jika kamu sudah selesai melihatku, aku akan pergi. Dan, jangan harap aku kembali!" ucapnya kemudian.
Dia bahkan tidak ingin menunggu jawaban dariku. Dan setelah beberapa saat aku mendengar pintu depan ditutup dengan kasar.
***
Ini adalah hari pertama pernikahan kami. Orang tuaku memaksaku untuk menikah dengannya tanpa izin dariku. Mereka tidak pernah meminta pendapatku tentang apa pun. Aku seolah menjadi orang asing dalam keluargaku sendiri, hanya digunakan sebagai bola tinju. Bahkan mereka tak segan-segan untuk membunuhku jika aku bertanya sesuatu tentang itu. Aku harus mendengarkan mereka. Mereka akan memukuliku lebih buruk dari biasanya jika aku tidak mendengarkan mereka. Aku tidak menginginkan hal itu. Tidak pernah!
Aku melihat ke arah cermin dan melihat diri sendiri. Gaun pengantin ini bukanlah gaun yang akan membuatmu tampak mempesona. Warnanya putih bersih dan tidak cocok untuk kulitku yang kotor. Ketika aku melihat gadis-gadis di sekitarku yang menjalani kehidupan bahagia mereka, kebahagiaan itu seolah hanya dongeng belaka bagiku.
Aku tahu, ini semua karena diriku sendiri. Ini semua karena aku jelek dan aku pantas mendapatkan perlakuan seperti itu darinya. Meski aku percaya bahwa suatu hari nanti semuanya akan berakhir, setidaknya itulah yang dikatakan nenekku.
Kedua mataku beradu dengan bayangan mataku di cermin. Mata dengan setengah lingkaran gelap di bawahnya, semua orang bisa melihatnya. Mata yang menunjukkan bahwa aku tidak tidur selama beberapa malam. Mata yang menggambarkan bagaimana aku masih menahan rasa takut itu. Rasanya aku ingin lenyap dari dunia ini. Nafasku mulai tak beraturan.
"Kamu jelek!" ucapku sambil melihat bayanganku sendiri di cermin. Aku mengulanginya lagi dan lagi.
"Tidak akan ada yang mencintaimu. Pernahkah kamu melihat mata dan rambut sejelek ini?" Kataku sambil menunjuk mataku yang bengkak dan rambutku yang acak-acakan. Air mataku mulai mengalir, tapi aku tidak peduli.
"Bahkan suamimu sendiri tidak akan pernah mencintaimu."
"Lebih baik kamu bunuh diri saja!" Aku mulai merusak ruangan. Aku meninjukan tanganku ke dinding dan menendang sofa. Aku merobek jepit rambutku dan mengambil vas di sebelah cermin dan membantingnya ke bayangan wajahku di cermin. Rasanya aku ingin sekali melenyapkan diriku sendiri.
Aku sudah tidak tahan dengan diriku sendiri dan semua ingatan itu. Ingatan tentang bagaimana orang tuaku mengajarkanku tentang diriku.
Aku melihat lengan dan leherku yang sering kali terdapat bercak ungu atau kekuningan. Ketika memar-memar itu hilang, mereka akan menyiksaku lagi untuk mengembalikan bercak ungu itu lagi, hingga membuatku terlihat jelek. Aku meremas lenganku agar bercak itu hilang tapi tak memberikan hasil apa pun. Bercak warna yang menghantuiku itu masih ada.
Aku menggelengkan kepala. Sudah waktunya aku pergi. Tidak akan ada yang merindukanku.
"Bahkan dia tidak akan pernah mencintaimu," ucapku untuk yang terakhir kalinya, sebelum aku lari keluar rumah.
Aku tidak tahu kemana aku berlari tapi aku tetap berlari. Ketika aku sampai di sebuah jembatan, aku memperlambat langkahku, aku terengah-engah.
Aku melihat ke samping jembatan. Bagaimana jika aku lompat dari sini? Tidak akan ada yang merindukanku. Aku bahkan yakin bahwa Vian akan mengadakan pesta ... atau keluargaku yang mengadakan pesta. Mereka semua akan senang, karena dunia telah terselamatkan dari sampah sepertiku.
Aku melangkah ke tepi jembatan dan melihat ke bawah. Airnya berwarna biru tua dan mengalir deras. Rasanya seolah-olah air itu memanggilku untuk datang. Panggilan yang tak mungkin kuabaikan, tak peduli apa pun yang terjadi. Perlahan aku melepas sepatu dan menutup mata. Lalu aku naik ke sisi jembatan, memegang besi jembatan itu dengan erat.
"Kurasa, satu tarikan napas terakhir tidak akan merugikan siapa pun," ucapku sembari menarik napas dalam-dalam. Aku mendengar suara gemuruh air di bawah sana. Suara yang seolah mengundangku untuk masuk kedalamnya.
Aku memejamkan mataku. Aku kembali mendengar suara-suara lain. Itu adalah suara orang tuaku. Mereka berteriak dan mengumpat. Aku masih bisa merasakan sakit yang mereka berikan saat mereka memukuliku. Aku kembali mengingat ketika aku berteriak dan memohon agar mereka berhenti.
Aku merasakan air mata mengalir di wajahku. Aku memejamkan mataku lebih erat sambil melepaskan satu pegangan. Aku sangat takut ketinggian, aku masih berpegangan dengan salah satu tanganku. Tinggal satu tangan lagi, dan aku akan pergi selamanya.
Selamanya ... Ah, terdengar sangat bagus. Aku tidak akan pernah merasakan sakit lagi. Semuanya akan berakhir. Dan akhirnya, semua orang akan beruntung jika aku pergi, terutama Vian. Aku tahu bahwa dia tidak ingin menikahiku. Lagi pula, siapa yang mau menikah denganku? Dia bisa menikah dengan gadis yang sesempurna dirinya jika aku pergi, bukan begitu?
Aku mengendurkan salah satu jari yang memegang besi jembatan itu. Sedangkan, kempat jari yang lain, membuatku masih bertahan hidup. Apakah aku ingin hidup? Tidak, aku tidak menginginkannya. Bahkan aku tidak perlu memikirkan itu lagi.
Aku mengendurkan satu jari lagi. Tinggal tiga jari lagi yang akan memberikanku neraka jika aku tidak melepaskannya. Baiklah, satu jari lagi .. Sekarang tinggal dua jari dan aku kesulitan menahan diriku di jembatan.
'Ayo, terjun saja! Tunggu apa lagi?' Aku seolah mendengar suara ibuku.
Dalam hitungan ketiga, aku akan menjatuhkan diri. Aku mengambil napas terakhir dalam-dalam dan memejamkan mataku lebih erat.
Satu ... Dua ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ
mampir kak 🤗
2022-01-11
0
Mammi Rachmah
otw ksni ,hbs liat ig ceritanya bgs pnasran jdnya..
2021-11-15
0