NovelToon NovelToon

Cinta Bersemi Di Turki

Pernikahan

Dia beranjak menghampiriku ... Dia adalah seseorang yang baru saja menjadi suamiku. Aku tidak berani menatapnya, tapi aku bisa merasakan keberadaannya. Aku juga bisa merasakan rasa tak suka darinya kepadaku, rasa yang tak asing lagi untukku. Karena, aku pun sering medapatkannya dari kedua orang tuaku dan orang-orang di sekitarku dulu.

Aku merasakan matanya menatapku sejenak.  Kurasa dia sedang memperhatikanku. Sangat lucu! Ya, karena aku tidak memiliki apapun yang menarik untuk diperhatikan.

Aku jelek dan tidak berharga.  Dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku. Meskipun aku tidak mengenalnya, tapi setiap orang berhak mendapatkan lebih dari diriku.  Aku tidak pantas mendapatkan apa-apa.

Aku tidak punya apa-apa dan tidak akan pernah pantas menjadi seseorang yang berharga.  Begitulah bagaimana aku dibesarkan, bagaimana aku diajarkan oleh orang tuaku.

"Lihat aku!" perintahnya padaku.

Aku menunduk, tidak berani menatapnya.  Aku tidak bisa. Aku takut untuk melihat raut wajahnya. Raut wajah yang menggambarkan bagaimana perasaannya terhadapku dan aku takut jika mengetahui apa yang dia pikirkan tentang diriku.  Meskipun aku sudah tahu apa yang dia pikirkan, tapi tetap menyakitkan jika aku melihatnya secara langsung.  Meski sudah terbiasa dengan itu semua, namun masih menyakitkan saat mendapatkannya dari orang baru.

“Aku bilang lihat aku!” teriaknya, membuatku terlonjak karena aku tidak menduga dia akan berteriak.

Rasa takut dalam diriku meningkat.  Nada suara itu sama seperti nada suara yang selalu digunakan ayahku untukku.  Aku perlahan menatapnya dan melihat wajahnya untuk pertama kali.  Aku menatap mata cokelat terangnya yang indah. Kulit wajahnya yang putih bersih, disertai jambang yang halus. Namun, kesombongan terpancar dari wajahnya. Apakah dia memintaku untuk melihatnya hanya untuk menunjukkan betapa tampannya dia, dan betapa jeleknya aku?

"Jika kamu sudah selesai melihatku, aku akan pergi. Dan, jangan harap aku kembali!" ucapnya kemudian.

Dia bahkan tidak ingin menunggu jawaban dariku. Dan setelah beberapa saat aku mendengar pintu depan ditutup dengan kasar.

***

Ini adalah hari pertama pernikahan kami.  Orang tuaku memaksaku untuk menikah dengannya tanpa izin dariku. Mereka tidak pernah meminta pendapatku tentang apa pun. Aku seolah menjadi orang asing dalam keluargaku sendiri, hanya digunakan sebagai bola tinju. Bahkan mereka tak segan-segan untuk membunuhku jika aku bertanya sesuatu tentang itu. Aku harus mendengarkan mereka.  Mereka akan memukuliku lebih buruk dari biasanya jika aku tidak mendengarkan mereka. Aku tidak menginginkan hal itu. Tidak pernah!

Aku melihat ke arah cermin dan melihat diri sendiri.  Gaun pengantin ini bukanlah gaun yang akan membuatmu tampak mempesona.  Warnanya putih bersih dan tidak cocok untuk kulitku yang kotor.  Ketika aku melihat gadis-gadis di sekitarku yang menjalani kehidupan bahagia mereka, kebahagiaan itu seolah hanya dongeng belaka bagiku.

Aku tahu, ini semua karena diriku sendiri.  Ini semua karena aku jelek dan aku pantas mendapatkan perlakuan seperti itu darinya. Meski aku percaya bahwa suatu hari nanti semuanya akan berakhir, setidaknya itulah yang dikatakan nenekku.

Kedua mataku beradu dengan bayangan mataku di cermin.  Mata dengan setengah lingkaran gelap di bawahnya, semua orang bisa melihatnya. Mata yang menunjukkan bahwa aku tidak tidur selama beberapa malam.  Mata yang menggambarkan bagaimana aku masih menahan rasa takut itu. Rasanya aku ingin lenyap dari dunia ini. Nafasku mulai tak beraturan.

"Kamu jelek!" ucapku sambil melihat bayanganku sendiri di cermin. Aku mengulanginya lagi dan lagi.

"Tidak akan ada yang mencintaimu. Pernahkah kamu melihat mata dan rambut sejelek ini?"  Kataku sambil menunjuk mataku yang bengkak dan rambutku yang acak-acakan. Air mataku mulai mengalir, tapi aku tidak peduli.

"Bahkan suamimu sendiri tidak akan pernah mencintaimu."

"Lebih baik kamu bunuh diri saja!" Aku mulai merusak ruangan. Aku meninjukan tanganku ke dinding dan menendang sofa.  Aku merobek jepit rambutku dan mengambil vas di sebelah cermin dan membantingnya ke bayangan wajahku di cermin. Rasanya aku ingin sekali melenyapkan diriku sendiri.

Aku sudah tidak tahan dengan diriku sendiri dan semua ingatan itu. Ingatan tentang bagaimana orang tuaku mengajarkanku tentang diriku.

Aku melihat lengan dan leherku yang sering kali terdapat bercak ungu atau kekuningan.  Ketika memar-memar itu hilang, mereka akan menyiksaku lagi untuk mengembalikan bercak ungu itu lagi, hingga membuatku terlihat jelek.  Aku meremas lenganku agar bercak itu hilang tapi tak memberikan hasil apa pun.  Bercak warna yang menghantuiku itu masih ada.

Aku menggelengkan kepala.  Sudah waktunya aku pergi.  Tidak akan ada yang merindukanku. 

"Bahkan dia tidak akan pernah mencintaimu," ucapku untuk yang terakhir kalinya, sebelum aku lari keluar rumah.

Aku tidak tahu kemana aku berlari tapi aku tetap berlari.  Ketika aku sampai di sebuah jembatan, aku memperlambat langkahku, aku terengah-engah.

Aku melihat ke samping jembatan.  Bagaimana jika aku lompat dari sini?  Tidak akan ada yang merindukanku.  Aku bahkan yakin bahwa Vian akan mengadakan pesta ... atau keluargaku yang mengadakan pesta.  Mereka semua akan senang, karena dunia telah terselamatkan dari sampah sepertiku.

Aku melangkah ke tepi jembatan dan melihat ke bawah.  Airnya berwarna biru tua dan mengalir deras.  Rasanya seolah-olah air itu memanggilku untuk datang. Panggilan yang tak mungkin kuabaikan, tak peduli apa pun yang terjadi. Perlahan aku melepas sepatu dan menutup mata.  Lalu aku naik ke sisi jembatan, memegang besi jembatan itu dengan erat.

"Kurasa, satu tarikan napas terakhir tidak akan merugikan siapa pun," ucapku sembari menarik napas dalam-dalam. Aku mendengar suara gemuruh air di bawah sana.  Suara yang seolah mengundangku untuk masuk kedalamnya.

Aku memejamkan mataku. Aku kembali mendengar suara-suara lain. Itu adalah suara orang tuaku.  Mereka berteriak dan mengumpat. Aku masih bisa merasakan sakit yang mereka berikan saat mereka memukuliku. Aku kembali mengingat ketika aku berteriak dan memohon agar mereka berhenti.

Aku merasakan air mata mengalir di wajahku. Aku memejamkan mataku lebih erat sambil melepaskan satu pegangan.  Aku sangat takut ketinggian, aku masih berpegangan dengan salah satu tanganku. Tinggal satu tangan lagi, dan aku akan pergi selamanya.

Selamanya ... Ah, terdengar sangat bagus.  Aku tidak akan pernah merasakan sakit lagi.  Semuanya akan berakhir. Dan akhirnya, semua orang akan beruntung jika aku pergi, terutama Vian.  Aku tahu bahwa dia tidak ingin menikahiku. Lagi pula, siapa yang mau menikah denganku?  Dia bisa menikah dengan gadis yang sesempurna dirinya jika aku pergi, bukan begitu?

Aku mengendurkan salah satu jari yang memegang besi jembatan itu. Sedangkan, kempat jari yang lain, membuatku masih bertahan hidup.  Apakah aku ingin hidup?  Tidak, aku tidak menginginkannya.  Bahkan aku tidak perlu memikirkan itu lagi.

Aku mengendurkan satu jari lagi.  Tinggal tiga jari lagi yang akan memberikanku  neraka jika aku tidak melepaskannya.  Baiklah, satu jari lagi .. Sekarang tinggal dua jari dan aku kesulitan menahan diriku di jembatan.

'Ayo, terjun saja! Tunggu apa lagi?' Aku seolah mendengar suara ibuku.

Dalam hitungan ketiga, aku akan menjatuhkan diri.  Aku mengambil napas terakhir dalam-dalam dan memejamkan mataku lebih erat.

Satu ... Dua ...

Aku Memang Menjijikkan

Tepat ketika aku hampir jatuh, aku merasa seperti berjalan di lantai. Aku berhenti dan membuka mataku perlahan. Aku melihat sekeliling. Tidak ada apa-apa. Aku masih tergantung di jembatan, hampir saja jatuh. Aku menutup mataku lagi dan lagi, sebelum aku benar-benar terjatuh. Tapi lagi-lagi tidak, aku merasakan hal yang sama, berjalan di lantai.  Aku tidak bisa membuka mataku, aku tidak bisa.  Aku merasa takut jika hal mengerikan itu telah terjadi, jika ternyata aku telah jatuh.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Ternyata aku masih berdiri di sana. Sama seperti sebelumnya, aku mendengar suara.  Suara yang jauh tapi aku masih bisa mendengarnya samar-samar.

"Apakah kamu benar-benar serendah itu? Allah memberimu kehidupan ini dan Dia satu-satunya yang bisa mengambilnya. Jangan lakukan itu! Hidupmu akan menjadi lebih baik, percayalah! Allah merindukanmu."

Suara itu seperti suaraku sendiri, tapi terdengar lebih manis dan ceria. Suara itu bergema di benakku. Aku membuka mata dan melihat sekeliling. Tidak ada apa-apa. Tidak ada seorang pun yang mengatakan itu. 

Aku naik ke sisi lain jembatan dan mundur selangkah, meletakkan telapak tanganku di dahi. Kepalaku mulai terasa sakit, entah kenapa. Sakit, sakit sekali. Aku terduduk di tepi jembatan itu, sambil menahan sakit di kepalaku yang berdenyut. Aku tidak tahan lagi merasakannya, aku menjambak rambutku, mencoba untuk menghilangkan rasa sakit di kepalaku. Aku belum pernah merasakan sakit seperti ini. Aku masih terduduk, berharap rasa sakit ini segera menghilang. Tapi, rasanya itu tidak mungkin. 

Setelah beberapa saat, rasa sakit ini menghilang perlahan. Dan beberapa saat kemudian, rasa sakit itu tidak ada lagi. Seolah-olah, sakit itu datang dan pergi begitu saja. Aku memberanikan diri membuka mata dan melihat sekeliling lagi. Tidak ada siapa-siapa. Lalu, dari mana suara itu berasal?  Dan apa maksudnya?

"Apa ada orang di sini?" Aku berteriak.  Tidak ada, tetap tidak ada siapa pun.  Aku melihat sepatuku yang tergeletak di tepi jembatan. Aku memikirkan kembali tentang apa yang baru saja akan kulakukan dan aku segera tersadar.  Aku melihat ke bawah dari tepi jembatan, air itu tak lagi bergemuruh, tak ada lagi gemuruh yang seolah-olah memanggilku. Hanya ada air yang mengalir dengan tenang dan menciptakan rasa damai bagi yang melihatnya.

Aku kembali memikirkan kata-kata yang membuatku berhenti melakukan hal konyol itu, tiba-tiba aku merasakan sakit di dadaku.  Bagaimana bisa hanya dengan melompat, semua masalahku akan selesai? Bagaimana aku bisa melakukan itu? Apa yang terjadi padaku? Aku berdiri dan berjalan pulang, seingatku dari sana lah tadi aku berjalan ke sini, semoga aku tidak salah jalan.

Aku ingin cepat-cepat menjauh dari tempat itu. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sana dan melupakan hal-hal tidak masuk akal yang baru saja terjadi. Aku mencoba mencari 'rumah' baruku, tetapi aku tidak dapat menemukan jalannya.  Mungkin tempat itu tidak pantas disebut 'rumah' untukku, tempat itu lebih pantas disebut neraka, karena disitulah aku merasa seperti berada di dalam neraka. 

Setelah sekitar dua puluh menit akhirnya aku dapat menemukan rumah itu. Aku melihat lampu rumah itu menyala. Aku mengamati rumah itu sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke dalam. 

Aku melihat Vian duduk di sofa sambil merokok. Dia tidak melihatku. Bahkan, mungkin dia tidak menyadari bahwa aku sudah lama pergi dari tadi.

“Di mana kamu?” Dia bertanya tanpa melihat ke arahku.

Aku memikirkan dari mana aku barusan. Tapi aku segera menggelengkan kepala. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Dan aku tidak perlu memberitahunya. Sayangnya aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memberitahunya.  Aku ingin melihat bagaimana reaksinya jika aku bunuh diri.

"Aku ingin bunuh diri. Tapi ternyata kamu tidak beruntung, aku gagal melakukannya," ucapku dengan nada yang sama dinginnya dengan kata-katanya. Aku sangat penasaran. Aku sangat ingin tahu, apa yang akan dia katakan. 

"Jadi, aku tidak beruntung kalau kamu gagal bunuh diri, begitu?" ucapnya dingin. Kemudian dia berjalan ke kamar tidur dan menutup pintu dengan suara keras. Lalu, aku mendengar dia mengunci pintu.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu melangkahkan kakiku menuju sofa.  Aku berbaring di sana karena tidak ada tempat lain untuk tidur. Pakaianku terasa sangat tidak nyaman, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa sekarang, walaupun sekedar untuk mengganti pakaian.

Aku memandang langit-langit. Aku merasa sangat lelah, setalah melalui hari ini. Kepalaku lagi-lagi terasa sakit, membuatku tak bisa walau hanya sekedar menutup mata, apalagi terlelap. Hal seperti ini sering sekali terjadi.  Entah kapan terakhir kalinya aku tidur nyenyak, aku tak tahu. Atau mungkin, aku belum pernah merasakannya sama sekali seumur hidup. Bayang-bayang masa laluku selalu menghantuiku dan membuatku tak bisa tidur.

Mataku tertuju pada meja dan aku melihat laptop. Sebuah ide muncul di benakku. Aku mengambil laptop itu. Aku meletakkannya di pangkuanku, kemudian aku berselancar mencari sesuatu yang ingin kutahu.

Aku mengetik beberapa kata untuk mencari tahu tentang apa yang telah terjadi padaku tetapi semua yang muncul tidak berguna. Aku ingin tahu apa yang terjadi padaku, kenapa aku bisa mendengar suara-suara aneh.

Aku mencari tentang hukum bunuh diri menurut Islam. Aku menyurusi beberapa informasi yang terpampang di layar laptop. Banyak sekali orang-orang yang memposting cerita mereka, penjelasan mengapa seseorang bunuh diri. Itu cukup untuk membuatku menyadari apa yang baru saja akan kulakukan.  Aku menggulir layar ke bawah untuk mencari lebih banyak informasi. Saat membaca penjelasan tentang depresi dan hal-hal yang mereka rasakan membuatku merasa sangat sedih. 

Bagaimana bisa aku melakukan hal seperti itu?  Jika aku bunuh diri apakah Allah dengan mudahnya akan mengampuniku, menghapus dosa dosaku? Tidak! Tidak semudah itu!

Bukankan Allah tidak akan memberikan ujian pada hambanya diluar kemampuan hambanya? Aku benar-benar merasa sangat tidak berharga.

Aku kembali menelusuri tulisan demi tulisan, aku ingin tahu segalanya. Aku mengklik sebuah blog dari seseorang yang menulis tentang bunuh diri. Aku mulai membaca. 

Ketika Allah memberi kita sesuatu yang buruk, itu berarti kita tidak meminta kepada Allah, kita tidak berdoa kepada Allah. Karena itu Allah merindukan kita, Dia menguji kita untuk menaikkan derajat kita. Setiap ujian adalah proses untuk menuju tingkat yang lebih tinggi. Sama seperti ujian sekolah, kalau kita tidak lulus, kita tidak akan naik kelas. Begitulah yang namanya ujian.

Tidak terasa air mata mengalir di wajahku. Bagaimana aku bisa begitu buta dan egois?  Aku akan membuang nyawa yang telah diberikan Allah kepadaku. Sesaat, aku merasa lebih baik setelah membaca tulisan itu. Walaupun akhirnya aku kembali mengingat kata-kata orang tuaku bahwa aku tidak berguna.

Aku tenggelam dalam kenangan buruk itu lagi hingga aku tidak mendengar Vian keluar dari kamarnya. Aku melihat sekeliling dan melihat jam. Hari sudah pagi, dan aku belum tidur sama sekali. 

"Aku pergi," ucap Vian tanpa melihatku.  Dia berjalan ke dapur dan mengambil makanan.

"Apakah kamu ingin aku membuatkan sesuatu untukmu?" tanyaku  Aku merasa ingin membuatkan dia makanan agar kita bisa sarapan bersama. Walau hanya makanan kecil.

"Aku tidak menginginkan apa pun dari tangan kotormu! Apa yang terjadi pada wajahmu itu? Lihatlah dirimu sendiri," celetuknya sambil menatapku dengan jijik dan melangkahkan kakinya keluar pintu. 

Aku merasakan air mata menetes dari mataku, tetapi air mata itu segera kuhapus bahkan sebelum jatuh. Aku sudah terbiasa dengan kata-kata seperti itu jadi aku tidak kaget ketika dia mengatakan hal itu. Dan selain itu, kenapa aku harus menangis untuk sebuah pernyataan yang memang merupakan suatu kebenaran?  Aku memang menjijikan, bukan begitu?

Aku menghela nafas sembari beranjak ke kamar mandi.  Melihat wajahku di cermin, aku bahkan merasa takut untuk melihat wajahku sendiri. Aku melihat riasan pengantin yang masih ada di wajahku, tapi sudah tak beraturan, make up belepotan ke mana-mana.  Rambutku juga sangat berantakan dan menjuntai ke mana-mana.

Aku berjalan kembali ke kamar suamiku dan mengambil pakaianku dari lemari. Aneh, mereka menaruh pakaianku di sini, padahal aku tidur di ruangan lain. Aku segera melepas gaun pengantin yang kukenakan lalu mandi. Entah berapa lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi.

***

Hari sudah larut malam. Aku duduk dan memakan sedikit makanan. Aku tahu ini sudah terlalu malam untuk makan, tapi aku sudah terbiasa makan larut malam. Aku biasanya hanya mendapat sedikit makanan untuk sarapan dan bahkan terkadang tidak makan malam. Jadi, aku harus menyelinap keluar di tengah malam untuk mencari makanan sisa yang masih bisa dimakan.

Saat aku hendak pergi tidur aku mendengar suara pintu depan dibuka. Kemudian terdengar suara ketukan langkah kali seseorang yang masuk, aku tahu itu pasti Vian. 

Setelah itu, sebuah suara mengejutkanku. Aku mendengar sesuatu pecah. Aku bergegas berjalan ke sana untuk melihatnya. Ternyata Vian hampir terjatuh dan bau alkohol menyeruak dari tubuhnya menyengat hidungku. Itu sangat menjijikkan dan membuatku kembali mengingat masa laluku. 

Dia sedang mabuk dan akan memukulku, aku tahu itu. Itu yang selalu dilakukan kakakku. Itu juga yang selalu dilakukan ayahku. Tubuhku gemetar dan mulai berkeringat, tetapi aku mengabaikannya. Dia menatapku beberapa saat, lalu melangkahkan kakinya ke arahku.  Aku sontak menutup wajahku dengan kedua tanganku, berusaha untuk melindungi diri.

Dia menatapku dengan mata lebar lalu menyeringai.

“Aku bisa memukulmu sampai kamu mati,” ucapnya membuatku gemetar.  Aku tidak bergerak, aku takut jika dia benar-benar akan melakukan hal itu. Jika aku bergerak atau mengatakan sesuatu, dia akan memulainya.

"Katakan sesuatu!" ucapnya kasar, karena melihatku hanya diam saja. Air mata mulai mengalir dari mataku. Perlahan aku menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan.

"Apa yang kamu ingin aku katakan?" Aku berkata perlahan. Dia hanya menatapku dan mencoba melangkah menuju ke kamar tidur tetapi dia terjatuh. Aku menghela nafas sembari membantunya berdiri lalu memapahnya ke tempat tidurnya.

Aku takut dia akan melakukan sesuatu kepadaku tetapi ternyata dia tidak melakukan apa-apa. Aku melepas sepatunya dan menyelimuti tubuhnya. Setelah itu aku pergi ke ruang tengah yang telah menjadi kamar tidurku, aku berbaring di sofa dan memejamkan mata mencoba untuk terlelap.

Siapa Wanita itu?

Ketika aku baru saja tertidur, aku samar-samar mendengar suara. Aku tergelagap bangun. Aku mendengar suara seseorang berteriak keras. Aku bangkit dari tempat tidurku dan mencoba mencari tahu apakah suara itu nyata atau hanya dalam mimpiku saja. Aku mendengarkan dengan saksama dan menyadari bahwa suara itu nyata. Itu adalah suara Vian. Aku melihat sekeliling, menyadari bahwa hari masih gelap. Aku segera bergegas setengah berlari ke kamarnya. Pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa masuk dengan mudah.

Baru saja aku hendak bertanya ada apa, aku melihatnya tertidur. Tapi dia seperti berkelahi dalam tidurnya. Tangannya terangkat ke udara seolah dia sedang mencoba mendorong seseorang. Aku menghampirinya dan meraih tangannya.

"Tidak ... tidak, jangan," Dia berteriak terus menerus. Aku mencoba membangunkannya tetapi tidak berhasil. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk dan tidak bisa bangun. Aku mengusap kepalanya.

"Vian ... Vian," ucapku lirih. Mungkin itu akan membangunkannya. Tapi ternyata tidak. Dia sama sekali tidak menjawab. Aku terus menyebut namanya dan terus mengguncang tubuhnya tetapi dia tidak juga bangun.

"Tidak ... Tidak ... Tidak ... " Dia mengatakan 'tidak' berulang kali. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang menarik perhatianku dan menghentikanku yang sedang mengguncang tubuhnya untuk mencoba membangunkannya.

"Liza ... Kumohon," ucapnya lirih. Siapakah Liza? Pacarnya? Dan apa yang dia lihat? Aku menepis pikiranku. Ah, itu tidak penting bagiku. Aku kembali mengguncang tubuhnya sekali lagi agar dia terbangun. Aku terus memanggil namanya berkali-kali tetapi tidak ada gunanya, ia tidak mendengarnya. Akhirnya, aku mendekat ke arahnya dan meneriakkan namanya dengan keras hingga membuatnya tersentak kaget dan sedikit terjingkat dari tempat tidurnya.

Dia terbangun dan dia tampak ketakutan seolah baru saja menonton film horor. Aku tidak tahu apa yang baru saja kulakukan, aku hanya mengikuti kata hatiku. Setelah beberapa menit, aku menyebut namanya lagi agar dia tersadar dari mimpinya.

"Vian ... " ucapku lirih sembari merengkuh pundaknya. Dia tidak bergerak sama sekali, dan sedikit gemetar.

Dia menatapku sesaat dan kemudian melihat lenganku yang melingkari bahunya dari samping. Dia segera mendorong lenganku dan berdiri, seolah-olah aku telah menyakitinya atau mengotorinya, aku tak tahu itu.

"Jangan! Jangan pernah berani menyentuhku lagi!" ucapnya sambil menatapku dengan jijik. Bukan ini yang kuinginkan. Aku tidak ingin bertengkar di tengah malam. Aku terlalu lelah untuk itu.

"Aku hanya mencoba membantumu dan kamu tidak-" kataku dengan tenang, namun dia langsung menyela perkataanku.

"Aku tidak butuh bantuanmu, oke? Kamu tidak bisa langsung masuk ke kamarku tanpa izin dariku dan menyentuhku seperti ini!." Dia berkata dengan nada marahnya. Aku hanya bisa terdiam, tidak mengatakan apa-apa karena aku memang tidak mengerti apa-apa.

"Aku tidak ingin kau menyentuhku lagi, apapun yang terjadi. Lain kali jangan masuk ke kamarku!" ucapnya memperingatkanku. Aku mengangguk. Aku bergegas melangkahkan kaki menuju pintu.

"Maaf," ucapku tanpa peduli padanya lagi. Aku melenggang meninggalkan kamar itu. Aku tak sabar untuk segera pergi. Namun tiba-tiba langkahku terhenti begitu aku melihat sesuatu berwarna putih di tangannya yang dia hirup dengan hidungnya. Apa itu? Tanyaku dalam hati dengan penasaran, tapi aku membiarkannya saja. Dia bahkan tidak akan memberi tahuku jika aku bertanya dan aku seharusnya tidak peduli lagi apapun tentangnya

Aku kembali ke kamarku untuk tidur. Namun aku tidak bisa tidur setelah mengingat kengerian yang kulihat di mata Vian. Itu sangat aneh. Tapi, ah sudahlah. Apa hakku untuk memikirkannya? Akhirnya aku memejamkan mata rapat-rapat dan berbaring menyamping ke kanan, mencoba untuk tidur dan tidak memikirkan tentangnya lagi.

***

Keesokan harinya aku terbangun karena mendengar suara-suara lagi. Aku mendengarkan suara itu, dan ternyata ibu mertuaku yang sedang berbicara.

Aku segera keluar dari kamarku dan dia menatapku tajam. Aku menundukkan wajahku malu karena aku sedang tidur saat dia datang. Dia berjalan ke arahku dan menatapku dengan tatapan jijik. Aku hanya menghela nafas dan memutar mataku dengan malas. Aku tahu bahwa dia akan mengatakan sesuatu, yang pasti untuk menghinaku.

"Jika suamiku dan ayahmu tidak membuat kesepakatan, aku tidak akan pernah membiarkanmu menikahi putraku. Lihatlah betapa sempurnanya putraku ini, dan lihat penampilanmu. Dia juga bisa melakukan hal-hal yang lebih baik darimu." ucapnya dengan tegas. Apa yang dikatakannya itu tidak menyakitiku sama sekali, karena memang begitulah kenyataannya. Lagi pula perkataan seperti itu sudah tak asing lagi bagiku, bahkan mungkin sudah mendarah daging karena selalu masuk ke telingaku dan sudah permanen teringat di otakku.

"Ibu tidak perlu memberitahuku hal-hal seperti itu. Aku sudah tahu itu," ujarku dengan sopan dan dengan suara rendah. Walaupun aku tahu dia bukan ibu mertua yang baik, aku masih tahu bagaimana caranya menghormati yang lebih tua.

"Vian, lihat apa yang dikatakan istrimu itu. Kamu dengar itu? Dia sangat tidak sopan. Dan lihat, dia juga tidur sampai sore." ucapnya sambil menunjuk wajahku lalu melihat ke pintu kamarku. Aku menghela nafas lagi. Aku memilih untuk diam, tidak ingin membalas atau menjawab perkataanya, karena itu hanya akan membuat keributan. Aku sangat tidak suka itu.

"Oh, Ibu ... kenapa ibu membiarkan hal seperti ini terjadi?" ucap Vian sembari mengayunkan kedua lengannya. Seolah menyalahkan ibunya yang membiarkannya menikahiku.

Aku berusaha untuk tetap tenang. Apapun itu, tidak boleh mempengaruhi perasaanku lagi. 'Jangan biarkan mereka mempengaruhi perasaanmu, suatu hari kamu pasti akan memiliki hidup yang tenang dan damai,' ucapku dalam hati. Ya, aku selalu berbicara sendiri. Orang-orang akan mengira aku gila, tetapi aku tidak bisa menahannya. Mungkin karena aku tidak pernah punya seseorang untuk diajak bicara. Bahkan, tidak ada orang yang mau menasihatiku atau memberi motivasi. Jadi, aku harus menasihati dan memotivasi diriku sendiri.

"Yah, kurasa lebih baik menikahi Liza. Bukankah begitu Vian?" Aku berkata sambil menatap matanya. Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan hal itu. Bahkan aku belum memikirkannya, kata-kata itu terlontar dari mulutku begitu saja.

Dia terlihat terkejut. Namun, beberapa saat kemudian aku melihat kemarahan di matanya. Dia akan menyakitiku. Tatapan mata itu sama seperti tatapan mata ayahku sebelum ia menyakitiku. Kerutan marah di dahinya membuat wajahnya sangat menakutkan. Ujung jariku tiba-tiba mulai terasa berkeringat dan kakiku sedikit gemetar saat dia menatap mataku dengan tatapan mematikan.

"Ibu, pergilah!" ucapnya sambil mengertakkan gigi menatapku. Ibunya hanya mengangguk dan mengambil barang-barangnya dengan kasar setelah itu dia pergi dan menutup pintu dengan keras. Aku tahu bahwa sesuatu yang terburuk dalam hidupku mungkin akan segera dimulai setelah ini. Seluruh tubuhku mulai gemetar saat dia berjalan mendekatiku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!