Aku tahu bahwa aku memang selalu bernasib buruk. Aku tahu, tidak akan ada yang membantuku di saat aku membutuhkan bantuan.
"Aku akan kembali," ucapnya. Dia kemudian melepaskanku. Dia menatapku untuk terakhir kali kemudian pergi entah kemana. Aku berlari menuju rumah secepat mungkin sebisaku, dan segera masuk. Aku mengunci pintu dan kemudian terduduk lemas di baliknya. Aku tak dapat menahan kakiku yang terasa sangat lemas. Nafasku terengah-engah.
Haruskah aku memberi tahu Vian? Pikirku. Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja tidak! Dia akan memberikanku begitu saja ke tangan pria itu. Tidak!
Aku lebih suka bersama Vian daripada dengan pria menakutkan seperti dia. Aku memandang ke sofa dan melihat Vian sedang berbaring di sana dengan sebatang rokok di antara bibirnya sambil menonton TV dengan santainya.
"Aku akan keluar malam ini" katanya tanpa mengangkat kepala melihatku.
Aku memutar bola mataku. Kenapa dia harus memberitahuku? Dia seharusnya tidak perlu repot-repot memberitahuku, bukan begitu?
"Kamu tidak perlu memberitahuku," ucapku sembari berjalan ke kamar tidur. Aku benar-benar ingin mandi.
Tepat ketika aku hendak mengambil pakaian dari lemari, Vian datang ke kamar. Dia menatapku dengan intens sesaat dan aku merasa tidak nyaman. Aku tahu dia melakukan ini dengan sengaja untuk membuatku tak nyaman.
"Kamu tahu, kamu beruntung bel pintu itu berbunyi tadi," katanya sambil bersandar ke dinding dengan tangan di saku dan sebatang rokok di antara bibirnya. Aku tidak mengerti apa yang dia maksud.
"Apa?" tanyaku sambil mencari celana abu-abuku yang aku yakin tadi aku melihatnya di sini.
"Jika dia tidak datang ... Kamu tahu apa yang akan terjadi. Kamu beruntung!" ucapnya sambil menyeringai. Dia menyilangkan kedua lengannya dan mengangkat alisnya, seolah dia menantangku.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memikirkan apa yang harus aku katakan. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga bisa berbicara. Aku menghampirinya dan berdiri di dekatnya. Aku menatapnya dan menyeringai ketika ekspresi bosannya tidak berubah. Aku terlihat percaya diri, tetapi dari dalam hati aku merasa takut setengah mati. Takut dia akan menamparku atau apapun untuk bisa menyakitiku. Hal seperti itu bisa terjadi kapan saja.
"Jika kamu seorang pria sejati, kamu akan mengerti bahwa kamu tidak seharusnya memukul wanita," ucapku sembari melangkah pergi. Tapi tentu saja, dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.
Dia segera menanggapi, "Bagaimana kamu tahu apa itu pria sejati? Ayah dan kakakmu memukulmu setiap saat. Tapi aku lupa, kamu sendirilah penyebabnya."
Telingaku terasa panas mendengar perkataannya. Aku tidak tahan lagi. Aku berbalik dan hendak menamparnya tetapi dia menangkap tanganku. “Laki-laki hanya bisa ditampar satu kali. Dan aku sudah mengambil kesempatan itu,” ucapnya sambil memegang erat pergelangan tanganku. Sangat menyakitkan sampai aku tidak tahan lagi.
"Lepaskan! Sakit!" Pekikku. Dia melihat tanganku dengan jijik dan segera melepaskannya, seolah-olah sentuhannya pada diriku telah mengotori lengannya. Itu memang menyakitkan tapi aku mengabaikannya.
"Aku pergi," katanya sembari pergi. Aku menghela nafas dan berjalan ke kamar mandi. Aku tidak berani bercermin, karena aku tidak ingin hatiku hancur dengan melihat diriku sendiri. Saat-saat ketika aku bercermin adalah saat-saat dimana semua pertahananku runtuh.
Aku membiarkan air panas mengalir. Lebih panas dari yang seharusnya tapi aku menyukainya. Aku merasakan tubuhku terbakar, tetapi aku tidak peduli. Terasa seperti hukuman bagiku. Rasanya seolah-olah aku menghukum diriku sendiri atas apa yang dilakukan keluargaku. Tetapi dengan cara itu membuatku mati rasa. Air panas membuat otakku membeku dan aku tidak pernah benar-benar bisa berpikir ketika aku berdiri di bawah air panas yang kubiarkan mengguyurku ini.
***
Tepat ketika aku akan tertidur di sofa, bel pintu berbunyi. Aku sedang menonton film yang masih belum kuketahui tentang apa. Aku terdiam membisu. Aku tidak yakin seseorang yang datang itu adalah Vian. Itu tidak mungkin Vian, karena aku tahu dia punya kunci rumah sendiri yang selalu dia bawa. Aku duduk dan mendengarkan. Mungkin aku bisa mendengar siapa dia.
"Buka pintunya!" teriaknya dari luar. Oh, itu pasti Vian, pikirku. Aku dapat mengenali suaranya.
Aku memutar bola mataku malas dan berjalan untuk membuka pintu. Dia masuk sempoyongan. Kurasa dia tidak sedang baik-baik saja. Dia mencoba masuk, tetapi dia bahkan tidak bisa berjalan dengan baik. Dia menabrak pintu dan hampir terjatuh. Aku segera membantunya masuk dan dia duduk di sofa.
Aku kemudian melihat tangannya memegang sebotol alkohol. Dia meneguknya dan matanya menatap kosong ke dinding. Matanya benar-benar merah dan wajahnya agak bengkak. Ada yang salah dengan orang ini.
"Tidak tahukah kamu bahwa minum minuman seperti itu haram?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku ingin melihat reaksinya terhadap pertanyaanku.
Dia justru tertawa sambil menatapku. Dia tidak terlalu mabuk tetapi aku dapat melihat bahwa dia telah minum lebih banyak dari yang biasanya dia lakukan. Matanya sedingin biasanya, sudah tidak mengejutkanku lagi.
"Siapa bilang? Aku tidak cukup bodoh untuk menjadi seorang Muslim!" ucapnya sambil meneguk botolnya lagi.
Aku menatapnya dengan tidak percaya. Mulutku menganga mendengar pernyataannya. Dia melihatku dan menyeringai, sambil tertawa.
"Apa? Apa kau tidak percaya? Aku tidak sebodoh itu untuk percaya pada Tuhan. Seharusnya kamu juga memikirkannya sekarang. Tapi kamu tidak bisa, karena kamu bodoh! Hahaha ... " ucapnya diselingi gelak tawa.
Aku mengabaikan perkataan yang baru saja ia katakan. Aku masih terpukul atas pernyataannya bahwa dia bukan seorang Muslim. Pernyataan orang-orang yang tidak mengakui agamanya sendiri sama sekali tidak mengejutkanku karena aku sendiri dibesarkan oleh keluarga seperti itu. Tetapi menikah dengan seseorang yang tidak mengakui agamanya sendiri adalah hal yang berbeda. Hal yang sama sekali tidak pernah kuharapkan! Aku harus tahu mengapa dia tidak percaya.
"Kenapa? Kenapa kamu tidak percaya?" tanyaku, memanfaatkan keadaan mabuknya. Dia menyeringai lagi. Ada apa dengan dia? Menyeringai? Tindakannya selalu sangat aneh dan acak.
"Tuhan meninggalkanku saat aku sangat membutuhkannya." katanya.
"Itu sebabnya aku tidak percaya pada omong kosong itu!" ia menambahkan.
Aku semakin penasaran. Hal seburuk apa yang telah terjadi sehingga dia menyalakan Allah karenanya? Apakah dia benar-benar melalui banyak buruk sehingga menjadi seperti ini? Jutaan pertanyaan melintas di benakku.
"Apa yang terjadi?" Aku mencoba bertanya.
Ekspresinya berubah dan aku bisa melihat matanya sedikit menggelap. Dia marah! Aku menjadi gelisah. Aku memainkan jari-jariku yang mulai berkeringat.
Aku mencoba untuk mengabaikan ingatanku tentang masa lalu yang kembali muncul, tetapi tidak ada gunanya. Aku yakin bahwa sebentar lagi dia akan mengampiriku dan bertindak seperti yang mereka telah lakukan padaku. Kemudian, dia akan memukuliku hingga aku hampir kehilangan kesadaran. Itulah yang selalu mereka lakukan. Tanganku terangkat ke udara, seolah itu akan melindungiku, walaupun ku tahu bahwa itu sama sekali tidak berguna.
“Kenapa aku harus memberitahumu? Kamu hanya seonggok sampah yang diperoleh orangtuaku dengan uang,” ucapnya seolah hal itu biasa saja. Dia mengatakannya tanpa ekspresi apapun.
Dia tidak menyadari bahwa kata-katanya benar-benar menusuk hatiku. Meskipun aku tahu apa yang dikatakannya itu memang benar, tapi tetap saja itu sangat menyakitkan. Apalagi jika diucapkan oleh seseorang yang baru saja kukenal. Aku menahan air mataku agar tidak jatuh, sembari bergegas ke kamarku. Aku tidak ingin menangis di depannnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
hìķàwäþî
laaa.. wkt nikah dy ngucap ap? mantera sihir? ingerdium la viossah!!! wkwkwk.. jd kucing dah
2022-03-09
0
istriHanbinPacarKyungSoo
harusnya ini sedih bangt kan? tapi aku ga dapet feel nya sama sekali
2021-10-27
3