Ketika aku baru saja tertidur, aku samar-samar mendengar suara. Aku tergelagap bangun. Aku mendengar suara seseorang berteriak keras. Aku bangkit dari tempat tidurku dan mencoba mencari tahu apakah suara itu nyata atau hanya dalam mimpiku saja. Aku mendengarkan dengan saksama dan menyadari bahwa suara itu nyata. Itu adalah suara Vian. Aku melihat sekeliling, menyadari bahwa hari masih gelap. Aku segera bergegas setengah berlari ke kamarnya. Pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa masuk dengan mudah.
Baru saja aku hendak bertanya ada apa, aku melihatnya tertidur. Tapi dia seperti berkelahi dalam tidurnya. Tangannya terangkat ke udara seolah dia sedang mencoba mendorong seseorang. Aku menghampirinya dan meraih tangannya.
"Tidak ... tidak, jangan," Dia berteriak terus menerus. Aku mencoba membangunkannya tetapi tidak berhasil. Sepertinya dia mengalami mimpi buruk dan tidak bisa bangun. Aku mengusap kepalanya.
"Vian ... Vian," ucapku lirih. Mungkin itu akan membangunkannya. Tapi ternyata tidak. Dia sama sekali tidak menjawab. Aku terus menyebut namanya dan terus mengguncang tubuhnya tetapi dia tidak juga bangun.
"Tidak ... Tidak ... Tidak ... " Dia mengatakan 'tidak' berulang kali. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang menarik perhatianku dan menghentikanku yang sedang mengguncang tubuhnya untuk mencoba membangunkannya.
"Liza ... Kumohon," ucapnya lirih. Siapakah Liza? Pacarnya? Dan apa yang dia lihat? Aku menepis pikiranku. Ah, itu tidak penting bagiku. Aku kembali mengguncang tubuhnya sekali lagi agar dia terbangun. Aku terus memanggil namanya berkali-kali tetapi tidak ada gunanya, ia tidak mendengarnya. Akhirnya, aku mendekat ke arahnya dan meneriakkan namanya dengan keras hingga membuatnya tersentak kaget dan sedikit terjingkat dari tempat tidurnya.
Dia terbangun dan dia tampak ketakutan seolah baru saja menonton film horor. Aku tidak tahu apa yang baru saja kulakukan, aku hanya mengikuti kata hatiku. Setelah beberapa menit, aku menyebut namanya lagi agar dia tersadar dari mimpinya.
"Vian ... " ucapku lirih sembari merengkuh pundaknya. Dia tidak bergerak sama sekali, dan sedikit gemetar.
Dia menatapku sesaat dan kemudian melihat lenganku yang melingkari bahunya dari samping. Dia segera mendorong lenganku dan berdiri, seolah-olah aku telah menyakitinya atau mengotorinya, aku tak tahu itu.
"Jangan! Jangan pernah berani menyentuhku lagi!" ucapnya sambil menatapku dengan jijik. Bukan ini yang kuinginkan. Aku tidak ingin bertengkar di tengah malam. Aku terlalu lelah untuk itu.
"Aku hanya mencoba membantumu dan kamu tidak-" kataku dengan tenang, namun dia langsung menyela perkataanku.
"Aku tidak butuh bantuanmu, oke? Kamu tidak bisa langsung masuk ke kamarku tanpa izin dariku dan menyentuhku seperti ini!." Dia berkata dengan nada marahnya. Aku hanya bisa terdiam, tidak mengatakan apa-apa karena aku memang tidak mengerti apa-apa.
"Aku tidak ingin kau menyentuhku lagi, apapun yang terjadi. Lain kali jangan masuk ke kamarku!" ucapnya memperingatkanku. Aku mengangguk. Aku bergegas melangkahkan kaki menuju pintu.
"Maaf," ucapku tanpa peduli padanya lagi. Aku melenggang meninggalkan kamar itu. Aku tak sabar untuk segera pergi. Namun tiba-tiba langkahku terhenti begitu aku melihat sesuatu berwarna putih di tangannya yang dia hirup dengan hidungnya. Apa itu? Tanyaku dalam hati dengan penasaran, tapi aku membiarkannya saja. Dia bahkan tidak akan memberi tahuku jika aku bertanya dan aku seharusnya tidak peduli lagi apapun tentangnya
Aku kembali ke kamarku untuk tidur. Namun aku tidak bisa tidur setelah mengingat kengerian yang kulihat di mata Vian. Itu sangat aneh. Tapi, ah sudahlah. Apa hakku untuk memikirkannya? Akhirnya aku memejamkan mata rapat-rapat dan berbaring menyamping ke kanan, mencoba untuk tidur dan tidak memikirkan tentangnya lagi.
***
Keesokan harinya aku terbangun karena mendengar suara-suara lagi. Aku mendengarkan suara itu, dan ternyata ibu mertuaku yang sedang berbicara.
Aku segera keluar dari kamarku dan dia menatapku tajam. Aku menundukkan wajahku malu karena aku sedang tidur saat dia datang. Dia berjalan ke arahku dan menatapku dengan tatapan jijik. Aku hanya menghela nafas dan memutar mataku dengan malas. Aku tahu bahwa dia akan mengatakan sesuatu, yang pasti untuk menghinaku.
"Jika suamiku dan ayahmu tidak membuat kesepakatan, aku tidak akan pernah membiarkanmu menikahi putraku. Lihatlah betapa sempurnanya putraku ini, dan lihat penampilanmu. Dia juga bisa melakukan hal-hal yang lebih baik darimu." ucapnya dengan tegas. Apa yang dikatakannya itu tidak menyakitiku sama sekali, karena memang begitulah kenyataannya. Lagi pula perkataan seperti itu sudah tak asing lagi bagiku, bahkan mungkin sudah mendarah daging karena selalu masuk ke telingaku dan sudah permanen teringat di otakku.
"Ibu tidak perlu memberitahuku hal-hal seperti itu. Aku sudah tahu itu," ujarku dengan sopan dan dengan suara rendah. Walaupun aku tahu dia bukan ibu mertua yang baik, aku masih tahu bagaimana caranya menghormati yang lebih tua.
"Vian, lihat apa yang dikatakan istrimu itu. Kamu dengar itu? Dia sangat tidak sopan. Dan lihat, dia juga tidur sampai sore." ucapnya sambil menunjuk wajahku lalu melihat ke pintu kamarku. Aku menghela nafas lagi. Aku memilih untuk diam, tidak ingin membalas atau menjawab perkataanya, karena itu hanya akan membuat keributan. Aku sangat tidak suka itu.
"Oh, Ibu ... kenapa ibu membiarkan hal seperti ini terjadi?" ucap Vian sembari mengayunkan kedua lengannya. Seolah menyalahkan ibunya yang membiarkannya menikahiku.
Aku berusaha untuk tetap tenang. Apapun itu, tidak boleh mempengaruhi perasaanku lagi. 'Jangan biarkan mereka mempengaruhi perasaanmu, suatu hari kamu pasti akan memiliki hidup yang tenang dan damai,' ucapku dalam hati. Ya, aku selalu berbicara sendiri. Orang-orang akan mengira aku gila, tetapi aku tidak bisa menahannya. Mungkin karena aku tidak pernah punya seseorang untuk diajak bicara. Bahkan, tidak ada orang yang mau menasihatiku atau memberi motivasi. Jadi, aku harus menasihati dan memotivasi diriku sendiri.
"Yah, kurasa lebih baik menikahi Liza. Bukankah begitu Vian?" Aku berkata sambil menatap matanya. Aku tidak tahu kenapa aku mengatakan hal itu. Bahkan aku belum memikirkannya, kata-kata itu terlontar dari mulutku begitu saja.
Dia terlihat terkejut. Namun, beberapa saat kemudian aku melihat kemarahan di matanya. Dia akan menyakitiku. Tatapan mata itu sama seperti tatapan mata ayahku sebelum ia menyakitiku. Kerutan marah di dahinya membuat wajahnya sangat menakutkan. Ujung jariku tiba-tiba mulai terasa berkeringat dan kakiku sedikit gemetar saat dia menatap mataku dengan tatapan mematikan.
"Ibu, pergilah!" ucapnya sambil mengertakkan gigi menatapku. Ibunya hanya mengangguk dan mengambil barang-barangnya dengan kasar setelah itu dia pergi dan menutup pintu dengan keras. Aku tahu bahwa sesuatu yang terburuk dalam hidupku mungkin akan segera dimulai setelah ini. Seluruh tubuhku mulai gemetar saat dia berjalan mendekatiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
caa__a
ap cmn gw doang yg gapaham ma ceritanya?
2021-03-04
0