cinta terdinginmu

cinta terdinginmu

PERTEMUAN KEMBALI

Sejuk merasakan terpaan angin hujan. Turun butiran air dari langit. Membasahi seisi dunia dengan beban yang selama ini ditampung oleh awan. Membuatku terjebak dalam tempat sepi. Semua murid berhamburan pulang dengan alat pelindung diri untuk menghindari basahnya. Tinggal aku sendiri di sini yang terlupa membawa payung.

Aku menjulurkan tangan ke udara, menikmati sensasi dingin air hujan. Menyentuh jemari yang semula kering. Setidaknya, bebanku sedikit terhapus memandanginya.

Tersenyum miris, kuingat masa laluku yang mengagumi seseorang. Pria kecil yang selalu berlarian ketika hujan. Ceria, tampan, pintar, aku selalu membanggakan dirinya. Dengan sepeda merahnya, pria itu selalu mengajakku berkeliling. Membuat cengiran terlukis dari bibirku. Pria yang selalu membuatku tersenyum, meski hanya sesaat dan berlangsung pergi.

Aku tak membenci hujan, karena hujan adalah kenangan indah terakhir bersamanya. Hujan adalah anugerah Tuhan yang kami sukai. Memberikan kesempatan pada tumbuhan untuk bertumbuh tinggi, kepada manusia untuk bertahan hidup, dan kepada kami berdua yang menikmati masa indah kanak-kanak.

Aku tak membenci hujan, karena hujan aku tetap mengaguminya. Hujan mengingatkanku akan senyuman yang dengan mudah keluar. Membuatku bangga pada dunia bahwa aku sempat memilikinya.

Aku tak membenci hujan, karena hujan memberiku kesempatan. Memanggil petir agar aku dapat memeluknya. Menjalin kembali kehangatan walau hanya sebentar.

Hujan selalu kukagumi, tidak seperti pelangi. Disaat semua orang mencari untuk memandanginya, aku menutup mata untuk menghindar.

Aku membenci pelangi, pelangi seakan mengejekku atas apa yang telah terjadi. Senyumannya hilang di bawah pelangi. Kekagumanku padanya sirna ketika pelangi datang. Ia berubah.

Memiringkan kepala, mengamati seseorang mendekat. Ia tak melihatku yang berdiri di karidor sekolah. Saking fokusnya terhadap benda dalam genggamannya.

Sebuah benda yang baginya lebih menarik dari seisi dunia. Bahkan, tanpa sepatah kata, ia langsung melewatiku begitu saja. Tanpa melirik, tanpa menyapa. Seolah tak saling mengenal.

“Sudah kuduga,”

 

Sinar matahari terik memancarkan seisi ruang kelas 10 IPA 4, kelasku. Sebuah ruangan berbentuk balok tempatku menuntut ilmu.

Aku memandang keluar jendela. Dari lantai atas, aku dapat menyaksikannya. Bibir tanpa sadar menyunggingkan senyuman. Senyuman untuk orang yang sangat kurindukan kebersamaannya.

Mataku terbuka sempurna. Menuju ke pusat yang paling menarik. Sebuah pemandangan yang membuatku betah berlama-lama di tempat duduk tanpa bosan menatap.

Aku menyibakkan helaian rambutku ke belakang telinga. Membiarkan rambut kecoklatanku tergerai indah. Lurus panjang dengan sedikit gelombang pada bagian bawah. Itulah rambut asliku.

“Jangan senyum-senyum sendiri!”

Aku tersentak mendengar suara seseorang dari sebelah kananku. Orang pertama yang kukenal karena takdir membuat kita satu meja. Tertangkap basah, aku meringis memamerkan gigi-gigi kecilku.

“Vi, gue boleh tanya?”

“Hmmm,”

Menjawab tanpa melihatku. Masih tetap memfokuskan pandangan ke arah papan tulis.

“Viaaaa,” rengekku.

“Apaan?”

Barulah ia mau meluangkan waktunya untuk menanggapiku.

“Yang lagi pelajaran olah raga itu dari kelas berapa?”

“Oh itu, 11 IPA 2, emangnya kenapa?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban. 11 IPA 2, senyuman lagi-lagi terlukis dari bibirku. Aku benar-benar tak tahu letak kelasnya sebelum ini. Pernah berencana membuntutinya hingga kelas, tapi waktu selalu tak berkehendak padaku.

“Jangan bilang ada orang yang lo suka di kelas sana,”

Aku menggeleng cepat, “Enggak,” sebagai jawaban untuk menutupi rasa maluku. Aku merasakan pipiku menghangat. Akan kupastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.

“Mulut mungkin bisa bohong, tapi pipi lo menyiratkan kejujuran,”

Via kali ini tersenyum jail. Membuatku memanyunkan bibir hingga beberapa senti. Menampakkan lesung pipit yang kupunya dari sejak lahir.

Daripada terus menerus menerima ejekan tersirat olehnya, aku berpura-pura fokus pada pak Yoyon yang sedang mengajar di depan sana. Saking tak pernah marahnya, hanya beberapa orang saja yang sukarela memperhatikan beliau. Turut prihatin.

“Merika,”

“Ya pak,”

Kali ini aku serius menatap pak Yoyon karena ada suara yang memanggil namaku. Membuatku reflek mencari sumber suara. Mau tak mau.

“Ketua kelas?”

“Iya pak,” jawabku

“Bisa minta tolong ambilkan tinta spidol dari kelas bawah?”

Aku mengangguk. Memang begitulah nasib terpilihnya menjadi ketua kelas. Entah mengapa banyak sekali yang memilihku kala itu.

Menyibakkan lenganku ke udara, pertanda untuk mengusir Via agar tak menghalangi jalanku. Aku melewati bangkunya setelah ia bangkit untuk memberikanku jalan. Kucubit pula pipinya kencang hingga ia mengaduh. Itulah ucapan terima kasih yang kusampaikan dalam isyarat gerakan tubuh.

Lagi, aku meringis menyaksikannya yang melotot tak terima. Semoga saja bola matanya itu tak keluar dari kelopak mata.

Aku melangkahkan kaki ke luar kelas. Sebelum meminta tinta spidol ke kelas lain, kugunakan kesempatan emasku ini untuk menatapnya lebih dekat lagi. Setidaknya, tak lebih jauh jika dibandingkan dari jendela atas kelasku.

Lagi-lagi aku tersenyum, melihat dirinya yang meneguk sebotol air putih dalam genggamannya. Keringat bercucuran di pelipisnya berkat olah raga yang sempat kuintip dari atas. Jika ku masih memiliki kesempatan, aku ingin mendekatinya. Aku ingin duduk di sampingnya, mengelap keringatnya itu.

Selama beberapa minggu di sekolah ini, aku selalu memperhatikan dirinya. Ia tak terlihat seceria dulu. Entah apa yang terjadi setelah bertahun-tahun kami tak bertemu, ia berbeda. Wajahnya datar, meski begitu, ia tetap tampan seperti dahulu. Tetap menjadi pria pertama yang dapat membuatku tersenyum hanya karena memikirkannya. Meski menyesakkan karena dihindari olehnya, aku sungguh tak bisa marah terhadapnya. Ia seolah memberiku racun agar aku tetap saja mengaguminya.

Aku menggelengkan kepala untuk mengembalikan fokusku. Teringat sesuatu, aku berlarian menyusuri lorong-lorong koridor. Menuruni tangga sesuai perintah pak Yoyon. Hentakkan kakiku terdengar begitu aku turun. Membayangkan bagaimana nanti aku menjelaskan pada pak Yoyon karena diriku yang kelamaan hanya sekedar meminta tinta spidol ke kelas lain.

Aku memasuki asal kelas di samping tangga sekolah. Karena pikiranku masih tertuju pada tinta spidol, aku benar-benar tak menyadari kelas apa yang ku masuki. Juga karena statusku sebagai murid baru yang masih beberapa minggu disini, bukan salahku apabila belum mengenal letak seluruh kelas.

Aku masih kelas 10, masih menjadi junior di sekolah ini. Yang sungguh menyakitkan, ia hanya melihatku sekilas lantas pergi seolah tak mengenaliku sama sekali. Hingga sampai saat ini, ia tak pernah menyapaku. Melewatiku begitu saja dengan buku yang selalu di genggamannya. Seolah buku itu lebih menarik di bandingkan dengan diriku yang mati-matian mencari perhatiannya.

Meski begitu, aku tetap tak membencinya. Aku yakin dengan berjalannya waktu, ia akan kembali seperti dulu lagi. Dapat kembali ku miliki agar aku bisa memamerkan pada dunia. Seolah hanya diriku seorang yang bersinggah pada hatinya.

Karena kelas itu sepi, aku langsung memasukinya. Merogoh loker meja guru untuk mencari sebuah tinta. Membuka rak, membuka lemari kelas, hingga aku benar-benar mendapatkannya.

“Sama saja kelas ini kehabisan tinta,”

Aku melempar tempat tinta spidol yang telah habis isinya ke sembarang arah. Ku hembuskan napas kesal karena aku harus mencarinya lagi ke kelas lain. Aku memperhatikan nasib tempat tinta yang kulempar itu, menggelinding di atas lantai hingga berhenti akibat cegatan sepatu dari seorang pemilik.

Aku mematung mengetahui siapa sang pemilik sepatu. Tubuhku terasa memanas. Jantungku berpacu dengan cepat. Barulah aku menyadari mengapa kelas ini tak berpenghuni, 11 IPA 2.

Kakiku melemas dibuatnya. Ia seperti tak mengizinkanku agar aku bernapas dengan tenang. Menyalurkan sebuah energi yang sukses membuatku menjadi orang yang sedang merasakan demam cinta.

“Lo ngapain disini?”

Ia mengernyitkan alis mencurigaiku.

“A, aku,”

Bahkan, belum sempat aku menjawab, ia lebih dahulu pergi meninggalkanku. Berjalan ke arah bangku paling belakang. Membiarkanku sendirian melawan kegugupanku karenanya.

Aku diam tak berkutik. Menundukkan kepala untuk menetralkan detak jantung yang tak keruan. Bingung, tak tahu hendak melakukan apa. Bahkan hanya sekedar menyeretkan kaki keluar rasanya tak mampu.

Aku merasakan langkahnya yang kembali berjalan ke arahku. Kuberanikan diri untuk melihat. Ingin bersikap normal agar tak memalukan harga diri. Menatap wajahnya, sangat dekat. Hingga tak sadar aku sedang menahan napasku saking gugupnya. Wajahnya masih sama dengan yang kulihat sebelumnya, datar. Jangankan tersenyum, melirikku saja seperti tak sudi.

Aku menggigit bibir bagian bawah saat wajahnya mendekati wajahku. Napasku sudah ku tahan sedari tadi, tapi untuk kali ini, jantungku rasanya benar-benar ingin copot. Semakin mendekat, dapat kulihat bola mata coklatnya yang menawan. Tersinar cahaya matahari dari jendela yang berada tepat di belakangku. Sungguh tampan.

Aku memejamkan mata. Wajahnya sangat dekat. Tak kuat melihatnya melakukan sesuai yang kubayangkan.

Satu detik, dua detik, untuk yang ketiga dan keempat tidak ada reaksi apapun. Aku kembali membuka mata. Melihat punggungnya yang telah menjauh ke arah pintu kelas, ia pergi.

Dalam hati, aku menertawakan diriku sendiri. Sungguh konyol. Jangankan ingin mencium, aku saja tak pernah melihatnya tersenyum seperti dulu lagi. Ia sungguh tak menspesialkan diriku lagi. Kata-kata manis yang sering keluar, itu semua bohong.

Aku tertawa sekilas, lucu. Tertawa dipaksakan yang sungguh menyayat hati. Selama ini aku selalu mengingat ucapan manis yang selalu keluar dari bibirnya. Termasuk ia yang mengajakku menikah ketika sudah besar nanti.

Aku mengingat jelas ucapan itu, sungguh bodoh diriku.

Pandangan kuarahkan ke atas meja guru, sebotol kecil tinta spidol yang terisi penuh terpampang jelas di atas meja. Aku meraih tinta itu, lagi-lagi tersenyum. Kali ini senyumku sama sekali tak dipaksakan.

“Sungguh mengerti apa yang sedang kucari,”

 

 

 

Terpopuler

Comments

Rize

Rize

POV 1 nya mayan bikin ngeh, hehe. nanti tak lanjut baca kak,

2021-06-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!