NovelToon NovelToon

cinta terdinginmu

PERTEMUAN KEMBALI

Sejuk merasakan terpaan angin hujan. Turun butiran air dari langit. Membasahi seisi dunia dengan beban yang selama ini ditampung oleh awan. Membuatku terjebak dalam tempat sepi. Semua murid berhamburan pulang dengan alat pelindung diri untuk menghindari basahnya. Tinggal aku sendiri di sini yang terlupa membawa payung.

Aku menjulurkan tangan ke udara, menikmati sensasi dingin air hujan. Menyentuh jemari yang semula kering. Setidaknya, bebanku sedikit terhapus memandanginya.

Tersenyum miris, kuingat masa laluku yang mengagumi seseorang. Pria kecil yang selalu berlarian ketika hujan. Ceria, tampan, pintar, aku selalu membanggakan dirinya. Dengan sepeda merahnya, pria itu selalu mengajakku berkeliling. Membuat cengiran terlukis dari bibirku. Pria yang selalu membuatku tersenyum, meski hanya sesaat dan berlangsung pergi.

Aku tak membenci hujan, karena hujan adalah kenangan indah terakhir bersamanya. Hujan adalah anugerah Tuhan yang kami sukai. Memberikan kesempatan pada tumbuhan untuk bertumbuh tinggi, kepada manusia untuk bertahan hidup, dan kepada kami berdua yang menikmati masa indah kanak-kanak.

Aku tak membenci hujan, karena hujan aku tetap mengaguminya. Hujan mengingatkanku akan senyuman yang dengan mudah keluar. Membuatku bangga pada dunia bahwa aku sempat memilikinya.

Aku tak membenci hujan, karena hujan memberiku kesempatan. Memanggil petir agar aku dapat memeluknya. Menjalin kembali kehangatan walau hanya sebentar.

Hujan selalu kukagumi, tidak seperti pelangi. Disaat semua orang mencari untuk memandanginya, aku menutup mata untuk menghindar.

Aku membenci pelangi, pelangi seakan mengejekku atas apa yang telah terjadi. Senyumannya hilang di bawah pelangi. Kekagumanku padanya sirna ketika pelangi datang. Ia berubah.

Memiringkan kepala, mengamati seseorang mendekat. Ia tak melihatku yang berdiri di karidor sekolah. Saking fokusnya terhadap benda dalam genggamannya.

Sebuah benda yang baginya lebih menarik dari seisi dunia. Bahkan, tanpa sepatah kata, ia langsung melewatiku begitu saja. Tanpa melirik, tanpa menyapa. Seolah tak saling mengenal.

“Sudah kuduga,”

 

Sinar matahari terik memancarkan seisi ruang kelas 10 IPA 4, kelasku. Sebuah ruangan berbentuk balok tempatku menuntut ilmu.

Aku memandang keluar jendela. Dari lantai atas, aku dapat menyaksikannya. Bibir tanpa sadar menyunggingkan senyuman. Senyuman untuk orang yang sangat kurindukan kebersamaannya.

Mataku terbuka sempurna. Menuju ke pusat yang paling menarik. Sebuah pemandangan yang membuatku betah berlama-lama di tempat duduk tanpa bosan menatap.

Aku menyibakkan helaian rambutku ke belakang telinga. Membiarkan rambut kecoklatanku tergerai indah. Lurus panjang dengan sedikit gelombang pada bagian bawah. Itulah rambut asliku.

“Jangan senyum-senyum sendiri!”

Aku tersentak mendengar suara seseorang dari sebelah kananku. Orang pertama yang kukenal karena takdir membuat kita satu meja. Tertangkap basah, aku meringis memamerkan gigi-gigi kecilku.

“Vi, gue boleh tanya?”

“Hmmm,”

Menjawab tanpa melihatku. Masih tetap memfokuskan pandangan ke arah papan tulis.

“Viaaaa,” rengekku.

“Apaan?”

Barulah ia mau meluangkan waktunya untuk menanggapiku.

“Yang lagi pelajaran olah raga itu dari kelas berapa?”

“Oh itu, 11 IPA 2, emangnya kenapa?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban. 11 IPA 2, senyuman lagi-lagi terlukis dari bibirku. Aku benar-benar tak tahu letak kelasnya sebelum ini. Pernah berencana membuntutinya hingga kelas, tapi waktu selalu tak berkehendak padaku.

“Jangan bilang ada orang yang lo suka di kelas sana,”

Aku menggeleng cepat, “Enggak,” sebagai jawaban untuk menutupi rasa maluku. Aku merasakan pipiku menghangat. Akan kupastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.

“Mulut mungkin bisa bohong, tapi pipi lo menyiratkan kejujuran,”

Via kali ini tersenyum jail. Membuatku memanyunkan bibir hingga beberapa senti. Menampakkan lesung pipit yang kupunya dari sejak lahir.

Daripada terus menerus menerima ejekan tersirat olehnya, aku berpura-pura fokus pada pak Yoyon yang sedang mengajar di depan sana. Saking tak pernah marahnya, hanya beberapa orang saja yang sukarela memperhatikan beliau. Turut prihatin.

“Merika,”

“Ya pak,”

Kali ini aku serius menatap pak Yoyon karena ada suara yang memanggil namaku. Membuatku reflek mencari sumber suara. Mau tak mau.

“Ketua kelas?”

“Iya pak,” jawabku

“Bisa minta tolong ambilkan tinta spidol dari kelas bawah?”

Aku mengangguk. Memang begitulah nasib terpilihnya menjadi ketua kelas. Entah mengapa banyak sekali yang memilihku kala itu.

Menyibakkan lenganku ke udara, pertanda untuk mengusir Via agar tak menghalangi jalanku. Aku melewati bangkunya setelah ia bangkit untuk memberikanku jalan. Kucubit pula pipinya kencang hingga ia mengaduh. Itulah ucapan terima kasih yang kusampaikan dalam isyarat gerakan tubuh.

Lagi, aku meringis menyaksikannya yang melotot tak terima. Semoga saja bola matanya itu tak keluar dari kelopak mata.

Aku melangkahkan kaki ke luar kelas. Sebelum meminta tinta spidol ke kelas lain, kugunakan kesempatan emasku ini untuk menatapnya lebih dekat lagi. Setidaknya, tak lebih jauh jika dibandingkan dari jendela atas kelasku.

Lagi-lagi aku tersenyum, melihat dirinya yang meneguk sebotol air putih dalam genggamannya. Keringat bercucuran di pelipisnya berkat olah raga yang sempat kuintip dari atas. Jika ku masih memiliki kesempatan, aku ingin mendekatinya. Aku ingin duduk di sampingnya, mengelap keringatnya itu.

Selama beberapa minggu di sekolah ini, aku selalu memperhatikan dirinya. Ia tak terlihat seceria dulu. Entah apa yang terjadi setelah bertahun-tahun kami tak bertemu, ia berbeda. Wajahnya datar, meski begitu, ia tetap tampan seperti dahulu. Tetap menjadi pria pertama yang dapat membuatku tersenyum hanya karena memikirkannya. Meski menyesakkan karena dihindari olehnya, aku sungguh tak bisa marah terhadapnya. Ia seolah memberiku racun agar aku tetap saja mengaguminya.

Aku menggelengkan kepala untuk mengembalikan fokusku. Teringat sesuatu, aku berlarian menyusuri lorong-lorong koridor. Menuruni tangga sesuai perintah pak Yoyon. Hentakkan kakiku terdengar begitu aku turun. Membayangkan bagaimana nanti aku menjelaskan pada pak Yoyon karena diriku yang kelamaan hanya sekedar meminta tinta spidol ke kelas lain.

Aku memasuki asal kelas di samping tangga sekolah. Karena pikiranku masih tertuju pada tinta spidol, aku benar-benar tak menyadari kelas apa yang ku masuki. Juga karena statusku sebagai murid baru yang masih beberapa minggu disini, bukan salahku apabila belum mengenal letak seluruh kelas.

Aku masih kelas 10, masih menjadi junior di sekolah ini. Yang sungguh menyakitkan, ia hanya melihatku sekilas lantas pergi seolah tak mengenaliku sama sekali. Hingga sampai saat ini, ia tak pernah menyapaku. Melewatiku begitu saja dengan buku yang selalu di genggamannya. Seolah buku itu lebih menarik di bandingkan dengan diriku yang mati-matian mencari perhatiannya.

Meski begitu, aku tetap tak membencinya. Aku yakin dengan berjalannya waktu, ia akan kembali seperti dulu lagi. Dapat kembali ku miliki agar aku bisa memamerkan pada dunia. Seolah hanya diriku seorang yang bersinggah pada hatinya.

Karena kelas itu sepi, aku langsung memasukinya. Merogoh loker meja guru untuk mencari sebuah tinta. Membuka rak, membuka lemari kelas, hingga aku benar-benar mendapatkannya.

“Sama saja kelas ini kehabisan tinta,”

Aku melempar tempat tinta spidol yang telah habis isinya ke sembarang arah. Ku hembuskan napas kesal karena aku harus mencarinya lagi ke kelas lain. Aku memperhatikan nasib tempat tinta yang kulempar itu, menggelinding di atas lantai hingga berhenti akibat cegatan sepatu dari seorang pemilik.

Aku mematung mengetahui siapa sang pemilik sepatu. Tubuhku terasa memanas. Jantungku berpacu dengan cepat. Barulah aku menyadari mengapa kelas ini tak berpenghuni, 11 IPA 2.

Kakiku melemas dibuatnya. Ia seperti tak mengizinkanku agar aku bernapas dengan tenang. Menyalurkan sebuah energi yang sukses membuatku menjadi orang yang sedang merasakan demam cinta.

“Lo ngapain disini?”

Ia mengernyitkan alis mencurigaiku.

“A, aku,”

Bahkan, belum sempat aku menjawab, ia lebih dahulu pergi meninggalkanku. Berjalan ke arah bangku paling belakang. Membiarkanku sendirian melawan kegugupanku karenanya.

Aku diam tak berkutik. Menundukkan kepala untuk menetralkan detak jantung yang tak keruan. Bingung, tak tahu hendak melakukan apa. Bahkan hanya sekedar menyeretkan kaki keluar rasanya tak mampu.

Aku merasakan langkahnya yang kembali berjalan ke arahku. Kuberanikan diri untuk melihat. Ingin bersikap normal agar tak memalukan harga diri. Menatap wajahnya, sangat dekat. Hingga tak sadar aku sedang menahan napasku saking gugupnya. Wajahnya masih sama dengan yang kulihat sebelumnya, datar. Jangankan tersenyum, melirikku saja seperti tak sudi.

Aku menggigit bibir bagian bawah saat wajahnya mendekati wajahku. Napasku sudah ku tahan sedari tadi, tapi untuk kali ini, jantungku rasanya benar-benar ingin copot. Semakin mendekat, dapat kulihat bola mata coklatnya yang menawan. Tersinar cahaya matahari dari jendela yang berada tepat di belakangku. Sungguh tampan.

Aku memejamkan mata. Wajahnya sangat dekat. Tak kuat melihatnya melakukan sesuai yang kubayangkan.

Satu detik, dua detik, untuk yang ketiga dan keempat tidak ada reaksi apapun. Aku kembali membuka mata. Melihat punggungnya yang telah menjauh ke arah pintu kelas, ia pergi.

Dalam hati, aku menertawakan diriku sendiri. Sungguh konyol. Jangankan ingin mencium, aku saja tak pernah melihatnya tersenyum seperti dulu lagi. Ia sungguh tak menspesialkan diriku lagi. Kata-kata manis yang sering keluar, itu semua bohong.

Aku tertawa sekilas, lucu. Tertawa dipaksakan yang sungguh menyayat hati. Selama ini aku selalu mengingat ucapan manis yang selalu keluar dari bibirnya. Termasuk ia yang mengajakku menikah ketika sudah besar nanti.

Aku mengingat jelas ucapan itu, sungguh bodoh diriku.

Pandangan kuarahkan ke atas meja guru, sebotol kecil tinta spidol yang terisi penuh terpampang jelas di atas meja. Aku meraih tinta itu, lagi-lagi tersenyum. Kali ini senyumku sama sekali tak dipaksakan.

“Sungguh mengerti apa yang sedang kucari,”

 

 

 

MENGINGAT MASA KECIL

Suara berbunyi nyaring. Ditambah dengan hentakkan kaki berhamburan keluar kelas menuju tempat langganan murid-murid ketika jam istirahat.

Aku membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejaku. Merapikannya lantas memasukkan ke dalam loker mejaku.

“Mer, ke kantin yuk!”

“Gak ah, males gue,”

Aku mengeluarkan buku serbagunaku. Menaruhnya di atas meja. Tanganku dengan lincah menggesekkan grafit di atas lembaran kertas putih. Membentuk dan mulai mengarsirnya. Menggambarkan seorang pria di dalam kelas. Berdiri sangat dekat dengan wajah sang wanita. Tak lupa memberikan garis-garis blush di pipinya.

Aku tersenyum simpul melihat gambaranku sendiri. Meski sedikit kecewa karena pria itu hanya menaruh tinta di atas meja, tapi aku tetap senang bisa melihatnya dari dekat. Aku menggambar fakta tentang diriku dan dia. Termasuk pria itu yang menggenggam sebuah tinta. Juga sang perempuan yang berjinjit, memejamkan mata, dan juga tulisan deg deg deg pada bagian dadanya.

“Ah, kebiasaan lo gambar muluk!”

Via mencondongkan badan mungilnya ke atas meja. Menekuk lengannya sebagai tumpu untuk memperhatikan gambaranku.

“Tumben lo gambar cowok ceweknya pas udah remaja. Biasanya yang gue liat masih bocah,”

“Suka-suka gue lah,” jawabku acuh tak acuh

“Terserah lo aja, daripada gue mati kebosanan karena nungguin lo, mending gue isi perut ke kantin,”

Via tak lagi memedulikanku yang asyik dengan gambaran. Memang sahabat yang kejam. Sebelum ia benar-benar pergi, aku menarik pergelangan tangannya untuk mencegah.

“Ikut,” cengirku.

“Katanya males?”

“Gak jadi, gue mau cari suasana luar daripada ngurung diri di kelas,”

Aku ikut berdiri menjajarinya begitu diperkenankan. Kutarik tangannya untuk mengikutiku ke arah kantin. Aku yang memimpin.

“ Kok posisinya kebalik sih, gue yang ngajak tapi malah lo yang nyeret gue,”

Tak memedulikannya yang bergumam, tangan kananku masih meremas jemarinya. Sedangkan yang kiri lagi membawa buku serbagunaku. Berwarna coklat keemasan dengan lambang jari kelingking. Buku yang selalu kurawat sejak masa kanak-kanak bersamanya.

Aku terdiam begitu sampai di pinggiran kantin. Bola mataku jelalatan mencari kursi kosong, nihil. Semua terisi oleh murid-murid yang kelaparan.

“Penuh Mer, gimana dong?”

Berpikir sejenak, kutarik lagi tubuh mungil sahabatku menuju ke sebuah meja dengan satu orang berpenghuni. Aku tak mengenal siapa laki-laki yang tengah terduduk sendirian menatap layar ponsel. Tak terlalu penting siapa, yang jelas kami bisa duduk.

“Permisi kak, boleh ikutan?”

Lelaki itu mendongak, menatap kami berdua yang masih menunggu jawaban. Ia mengangguk tersenyum, mempersilahkan. Bergeser untuk memberikan ruang pada kami.

“Makasih, gue Merika,”

Aku menjulurkan tangan untuk berkenalan. Tersenyum memamerkan lesung pipit yang kupunya.

“Rakha,” balasnya.

Duduk di sebelahnya, mataku memberikan kode agar Via mengikuti apa yang kulakukan.

“Silvia,” angguknya ramah dan langsung melesat duduk di hadapanku.

Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan kantin. Dengan begitu, wanita tua penjaga warung kantin menyuruh asistennya untuk mendekati kami.

“Btw, lo kelas berapa kak?”

“Gausah pake kak, langsung aja Rakha. Kita Cuma beda satu tingkat,”

“Oh, berarti lo kelas 11?”

“11 IPA 2 lebih tepatnya,”

Kami berbincang-bincang sambil menunggu pelayan datang. Rupanya seru juga dapat berbincang dengan Rakha. Murah senyum, lucu, bahkan saat pertama kali berkenalan tak ada canggung-canggungnya sama sekali. Meski aku hanya bertanya basa-basi, Rakha sama sekali tak keberatan untuk menjawab. Bahkan saat kutanya topik ini, ia menjawab dengan bertele-tele hingga menuju topik selanjutnya. Sesekali Via ikut bergabung dalam perbincangan tak penting ini, tapi ia tak secerewet diriku. Hingga tanpa sadar, topik itu mengarah tentang kelasnya dan dia yang disebutnya sebagai batu es.

“Sejak kapan dia jadi dingin kayak gitu?”

“Sejak pertama kali masuk, gak tau lah, dia memang orang yang paling misterius di kelas,”

Mengangguk, aku teringat akan masa kecil kami. Saat itu, kami berpisah setelah bermain. Ia masih tersenyum ramah kepadaku di bawah hujan. Saat aku menyelonong masuk ke rumah, aku mengambil beberapa pudding dari lemari es. Kami berdua menyukainya.

Matahari telah cerah kala itu, terdapat sebuah lengkungan indah di atas langit. Berwarna-warni, seperti suasana hatiku.

Aku tak lagi basah kuyup. Kuganti bajuku dengan warna merah, warna kesukaanku dan dia. Rambut kukucir dua kesamping membuatku tampak imut pada masa kanak-kanak.

Aku keluar, ke rumahnya yang terletak di sebelah rumahku. Membawakan pudding untuk kami makan berdua. Aku menyelinap masuk ke rumahnya diam-diam. Pertama, karena aku ingin mengejutkannya. Kedua, karna ayahnya tak menyukaiku. Begitu pula dengan begitu ibuku yang tak menyukainya, entah mengapa.

Pelangi masih menghiasi langit. Sungguh indah pada sore hari. Saat aku berada tepat di depan kamarnya, aku ingin membuka pintu dan langsung mengagetinya. Akan tetapi semua tak berjalan sesuai keinginanku. Pintu itu terkunci. Aku mengetuk pintu berkali-kali tapi ia tak kunjung membukanya. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Kutempelkan telingaku ke pintu kamarnya. Sebuah suara mengagetkanku, suara tangisan dari dalam sana. Ia menangis.

“Vallen!”

Semakin kencang jemari kecilku mengetuk pintunya. Aku khawatir padanya, ia menangis dan tak mau membukakan pintu untukku. Baru beberapa jam yang lalu, aku masih melihat senyumnya. Akan tetapi, sekarang ia justru menangis untuk alasan yang tidak kuketahui.

“Vallen, kamu kenapa menangis?”

“Pergi!”

Hatiku terasa seperti tersambar kilatan begitu mendengar ucapannya. Mataku melotot, pudding dalam genggamanku kujatuhkan begitu saja.

“Kau kenapa Len?”

Aku masih tak percaya. Apa salahku hingga tiba-tiba ia mengusirku. Setahuku, kami masih baik-baik saja hingga saat ini.

“Aku bilang pergi! Kamu gak pantes lagi buat aku. Jangan pernah temui aku lagi dari sekarang. Aku gak mau liat wajahmu, pergi!”

Suara itu seperti mencekikku. Apakah aku berbuat kesalahan? Apa kesalahanku begitu besar sehingga saat ini ia benar-benar membenciku? Apa yang sebenarnya terjadi aku sungguh tak mengetahuinya.

Hari ini, dalam satu hari yang sama ia memperlakukanku berbeda. Sebelumnya ia masih hangat terhadapku, tapi kali ini ia justru mengusirku.

Aku mengeluarkan linangan air mata, masih tak percaya terhadapnya yang begini. Ia seolah bukan lagi menjadi pria yang kusayangi, bukan lagi menjadi pria yang kubanggakan. Apa aku seburuk itu hingga ia bilang aku tak pantas untuknya?

Selama ini aku tak memiliki teman selain dirinya. Selama ini aku tak peduli dengan yang lain. Aku tak membutuhkan teman , Vallen terus berada disisiku saja itu sudah lebih dari cukup. Tak terbayang bagaimana jadinya apabila ia pergi.

Aku sama sekali tak memiliki teman. Aku susah bersosialisasi dengan teman. Waktu itu saja, Vallenlah yang pertamakali menawarkan diri untuk menjadi temanku. Awalnya terasa canggung, tapi lambat laun aku suka berada di dekatnya. Saking bahagianya, aku justru tak memikirkan kemungkinan buruk terjadi. Aku sendirian lagi. Apakah ini rencana Tuhan agar aku tak bergantung padanya? Apakah Tuhan menyuruhku supaya mencari teman? Jika memang begitu aku akan melakukannya. Aku akan lebih terbuka dengan yang lain. Akan memiliki banyak sekali teman seperti dirinya. Jika aku sudah bisa menyamainya, jika aku sudah menjadi orang yang pantas untuknya, aku akan menggapainya kembali. Sesusah apapun.

Aku pulang dengan hati kecewa. Mengutuk pelangi di atas kepalaku. Pelangi itu seperti mengejekku. Pelangi sungguh berbohong padaku. Kukira dengan melihat pelangi, suatu hal yang baik akan terjadi di sana. Akan tetapi, justru sesuatu yang buruklah yang terjadi.

Semenjak saat itu aku tak menemuinya lagi. Begitu pun sebaliknya. Vallen masih bertetangga padaku hingga saat ini, tapi rasanya ia begitu jauh untuk kukunjungi. Aku memutuskan untuk sekolah di SMP yang berbeda dengannya. Akan kutunjukkan padanya, kelak aku telah berbeda dari sebelumnya. Aku akan menjadi Merika yang aktif, memiliki banyak teman, dan tak lagi susah bersosialisasi.

Aku mulai terbuka sejak SMP. Mulai banyak bicara, ceria seperti dirinya. Jika telah begitu, jika telah pantas, aku akan menemuinya lagi. Untuk saat ini belum saatnya. Setiap pulang sekolah, aku langsung memasuki rumah, begitu pula dengannya. Raga kami berdekatan, tapi hati kami terasa sangat jauh. Aku tak lagi bertemu dengannya, tak lagi mengetahui kondisinya. Hingga saat aku merasa pantas, aku memasuki SMA yang sama dengannya. Akan tetapi semua berubah, ia menjadi sesosok orang yang dingin dan pendiam. Ia seperti tak mengingatku, tak mengingat kenangan manis kita ketika kanak-kanak. Vallen berubah.

 

“MERIKA!”

Seseorang berteriak membuyarkan lamunanku. Aku tersentak mencari arah sumber suara, Via. Ah, sungguh menyebalkan.

“Kebiasaan lo, dikit-dikit melamun,” dumelnya

Rakha memperhatikanku lantas menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Berarti sejak tadi lo gak dengerin cerita gue?” protes Rakha.

Aku cengengesan mendengar komentar dari dua orang ini. Menatap bingung, mereka bertanya-tanya apa yang sedang kulamunkan sedari tadi. Aku menggeleng seolah itu tak penting. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengangkat tanganku lagi hendak memesan.

“Pelayannya lama banget, males gue,”

“Lo harus sabarlah, liat tuh pengunjungnya banyak,”

“Yee, kan gue kesel dari tadi manggil pelayan tapi gak dateng-dateng,”

“Pelayannya ngelayanin yang lain dulu. Kita datengnya akhir-akhir. Lo sih, pake acara gambar dulu tadi,”

Aku memanyunkan bibir. Sahabat tak setia. Seharusnya sebagai sahabat itu mendukung, ini malah suka ngajak debat,”

“Bener Mer, lo sabar aja nunggu,”

Dua lawan satu, ah, menyebalkan. Jangan-jangan mereka bersekongkol lagi untuk melawanku. Jika tahu kantin seramai ini, lebih baik aku makan pudding saja tadi. Aku tak perlu makan berat untuk mengenyangkan isi perutku. Cukup dengan pudding, aku sudah kenyang. Toh, tadi pagi juga sudah makan nasi.

Aku mengeluh pada pelayan yang tak kunjung datang. Bukan karena lapar, melainkan agar aku bisa mengintip Vallen dari jendela walau hanya sebentar. Aku meraih buku serbagunaku yang kutaruh di atas meja, bosan.

12 Agustus 2018

Saat aku terbangun, pikiranku kembali ke hari lalu. Saat dimana aku merasakan kehilangan. Kehilangan dia yang selalu melindungi. Dia yang selalu menjagaku dari goresan luka menyayat. Dia penolong hidupku. Tanpanya, nyeri selalu menjalari seluruh tubuhku. Tanpanya, aku selalu menjalani pahitnya dunia sendirian. Kehadiranmu adalah anugerah terbesar hidupku. Tak bisa dibeli dengan harga. Karena aku tahu, kamulah satu-satunya yang berharga dibanding yang lain. Kamu lebih spesial. Aku tak dapat menahan air mata yang merembes begitu kamu pergi. Meninggalkanku sendirian di atas permukaan bumi. Jika aku diperbolehkan berharap, aku berharap dapat menemukanmu kembali. Menemaniku lagi agar aku tak kesakitan saat menginjak tanah kasar wahai sandalku yang hilang

“Bwahaha, lo lagi stres Mer? Sandal ilang aja sampai disesali,”

Via terbahak memegangi perutnya. Tak terima, aku menyikut lengannya agar ia diam. Apa salahnya aku menangis jika sendal itu berharga bagiku. Sendal pemberian Vallen karena saat itu, sandalku sempat hanyut di kali saat kami mencari ikan kecil-kecil.

“Biarin, kalo emang kenyataannya sendal itu berharga, mau gimana lagi?”

Aku mendengus. Hampir setengah jam waktu kami terbuang sia-sia. Berarti, tinggal setengah jam lagi waktu istirahat akan berakhir.

“Ah, tu pelayan lama bener. Awas aja sampai dateng, kuomelin abis-abisan!”cerocosku karena kesal.

Aku kembali terfokuskan pada buku serbaguna ku. Kembali menggoreskan pensil di atasnya. Kali ini, goresan itu kubuat sebuah gambaran. Gambaran sandal persis seperti yang dahulu Vallen beri. Berwarna merah kecil dengan gambar kucing berbulu tebal,  Imut sekali.

Seseorang berdehem dari samping tubuh Rakha. Ini dia, aku sudah menyiapkan kata-kata yang akan ku semburkan nanti apabila pelayan itu datang.

“Gimana sih pak, lamban banget! kita udah nungguin da-“

 Ucapanku terjeda saat aku memandang pelayan itu. Suaraku tersekat dalam kerongkongan. Aku diam seribu bahasa. Tubuhku mematung, yang semula pipiku berwarna merah akibat marah, kini semakin bertambah merah akibat malu.

“Kenapa Mer, lo tadi mau marah-marah kan, kok sekarang diam?”

  Tolong  Jangan sekarang. Aku mengutuk Rakha dalam hati karena membuatku semakin malu saja. Sangat tak tepat kondisinya jika mereka ingin menertawakanku.

“ Vallen, lo?”

 “Satu mie ayam ceker, satu bakso versi jumbo, dan dua gelas es jeruk. Ada lagi?”

  Kondisi ku makin mematung saat ini. Aku menoleh ke arah mereka berdua, tak paham.

“Kapan lo berdua pada pesan?”

“Sejak lo bilang mau mengancam pelayan karena lama banget, dia dah datang duluan. Lo si, sibuk sama diary lo itu, sandalku yang hilang,”

Entah bagaimana nasib pipiku yang memerah padam saking malunya, Via justru terbahak, diikuti oleh Rakha. Aku sungguh tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus disembunyikan di mana wajah merah ku. Sesekali, aku melirik kearah Vallen, sungguh tak menikmati obrolan kami. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tak terlukis kan senyum walau hanya setipis apapun.

“Gu, gue puding rasa coklat aja,” pesanku gugup karena rasa malu itu.

“Yaelah Mer, lo kira ni kantin apaan bisa melayani setiap kemauan lo?”

“Emang gak jual puding?”

Via menempelkan punggung tangannya pada dahi. Menggelengkan kepala, tak kuat menatap wajahku yang terlihat polos itu. Sementara, aku dapat melihat Rakha tertawa kecil di sampingku.

Ya, Tuhan. Sudah beberapa kali pipiku memanas. Termasuk saat kepergok akan kata-kataku. Mungkinkah Vallen mendengarnya?

Aku menutup mukaku menggunakan kedua telapak tangan. Berharap Vallen tak melihat rona merah di pipiku. Sungguh memalukan.

“Oiya Mer, kenapa nggak sekalian aja lo pesen baru untuk mengganti sendal lo yang ilang itu di kantin ini?”

Via melirik buku serbagunaku yang terbuka di atas meja makan.

“Gambarnya kucing ya?”

Cerobohnya diriku. Aku cepat-cepat menutup buku itu agar tak dilihat oleh Vallen. Kutendang kaki sahabat di depanku itu.

Kuberanikan diri memandangi wajahnya. Ia mendengus kesal seolah tak dianggap. Wajahnya diam tanpa ekspresi. Matanya menatap malas ke arah Via yang terpingkal, Rakha yang tertawa kecil, dan diriku yang dengan separuh nyawa menahan malu.

“Jika hanya itu, permisi,”

Ia pergi. Aku mengamati punggungnya yang menjauh. Untuk sebuah alasan yang tidak kumengerti, ia sungguh berubah. Berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang asing yang tak kukenal. Sesosok orang yang sama sekali berbeda dari masa lalu. Ia sudah tak menganggap kehadiranku lagi, wajah dingin itu yang menjelaskan semuanya.

 

 

 

TRAUMA

 

Masih sama seperti kemarin, hari ini hujan deras. Ribuan tetes air berjatuhan membanjiri sekolahku. Membuat pohon sekitar bergoyangan. Menciptakan angin yang menerpa wajahku.

Termasuk suara genteng sekolah yang berbunyi keras, ditambah bunyi hujan itu sendiri, membuatku harus berteriak untuk menjawab Via yang menawari tumpangan.

Aku membuka payung merah kecil dalam genggamanku. Belajar dari masa lalu, yang harus hujan-hujanan karena kecerobohanku lupa membawa payung. Rumahku dekat dari sini, cukup berjalan kaki saja. Pandanganku seketika berlarian menatap sekitar, mencari Vallen. Aku sungguh ingin menatapnya sebelum pulang. Walau hanya dari kejauhan pun tak masalah bagiku. Itu sudah cukup membuatku puas.

Sekolah mulai sepi. Aku sengaja menungguinya di karidor depan tangga. Agar saat ia keluar dari kelas 11 IPA 2, aku dapat melihat sosoknya. Seluruh penghuni kelasnya mulai berhamburan keluar. Aku dapat melihat senyum mengembang dari masing-masing murid. Tampak senang dengan waktu perpulangan mereka. Aku dapat melihat para seniorku pulang dengan cara mereka. Ada yang pulang sendirian, tak sedikit yang berjalan bersama teman, dan banyak yang pulang bersama pacar mereka masing-masing.

“Mer?”

Seseorang memanggilku dari belakang. Aku melihat ke arah pria yang tak asing lagi bagiku. Bersiap pulang dengan jaket hitam yang menyatu pada tubuhnya.

“Lo ngapain disini?”

“Eh, engga ngapa-ngapain Rak, suka aja liatin hujan,”

Rakha bermangut-mangut, “nggak pulang?”

“Iya, bentar lagi gue pulang,”

Aku tersenyum ke arahnya. Setidaknya, ada yang bisa kuajak bicara sambil menunggui Vallen.

“Mau gue anter?”

“Engga usah, makasih. Rumah gue deket sini kok,”

Rakha menaikkan sebelah alisnya seperti ingin menginterogasiku.

“Beneran?”

Kuanggukkan kepala mantap. Ia lantas berbalik badan meninggalkanku. Aku menoleh ke arah kelas 11 IPA 2, kelas itu tampak menjadi hening. Kudekati jendela untuk mengintip, barangkaali Vallen telah pergi tanpa kusadari.

Beginilah nasib tubuhku tang pendek. Aku harus berjinjit untuk mengintip dari jendela luar. Rupanya, Vallen masih sibuk berkemas. Memasukkan barang-barangnya ke dalam tas coklat polos miliknya. Setelah itu, ia membiarkan tasnya bertengger pada kursi. Mendekati jendela kelas yang berlawanan dari jendela yang kuintip karena masing-masing kelas memiliki deretan jendela di dua sisi. Aku dapat menyaksikannya yang terdiam memandang ke luar jendela.

Bisa disebut dengan sebuah penekatan, aku mendadak memasuki kelasnya. Ikut berdiri disampingnya memandangi hujan. Karena melihatnya yang begitu, tanpa sadar, masa lalu seakan menyeret kakiku untuk berdiri di sampingnya, memandangi hujan bersama-sama.

“Hai,”

Ia tak membalas sapaanku. Sedikit terkejut dengan diriku yang sudah berada di sampingnya. Selepas itu, ia sama sekali tak menganggapku ada. Kembali melihat ke luar jendela. Memang sedikit sesak rasanya tak diacuhkan, tapi aku bisa menahannya. Harus bisa.

“Hmm, hujannya bagus,”

Aku melirik Vallen sekali lagi. Ia masih tak menanggapiku. Mungkin suatu saat, aku akan terbiasa dengan sifatnya yang mendadak berubah itu. Akan terbiasa berbicara dengannya, seolah berbicara seorang diri.

“Ternyata lo masih suka huj-“

“Gue benci hujan,”

Vallen membalikkan badannya. Tak memandangi lagi hujan yang berjatuhan. Menyambar tas yang bertengger, lantas pergi meninggalkan kelas. Aku sendirian lagi.

Ditinggal olehnya bukan berarti menyerah begitu saja. Aku mengikutinya dari belakang. Berdiri menjajari tubuhnya. Aku yakin ia sungguh tak menyukai keberadaanku. Tak masalah.

“Boleh pulang bareng?”

“Gak,”

Hanya satu kata, sungguh menyakitkan. Aku tetap mengikutinya meskipun ia tak mengizinkanku. Rumah kami searah, apa salahnya pulang bersama. Mesti menolak permintaanku, tapi nyatanya ia tak memprotes saat aku tetap berjalan di sampingnya.

Kami berjalan di bawah hujan. Ia menggunakan payungnya sendiri dan aku juga menggunakan payungku sendiri. Kupamerkan payungku yang masih sama seperti saat lalu. Akan tetapi, ia sungguh berbeda. Dahulu kami menyukai merah. Hampir semua barang yang kami punya berwarna merah. Namun saat ini, ia benar-benar melupakan warna favorit kami. Payungnya itu, berwarna biru tua.

Aku tak memusingkan masalah warna, itu tak penting. Jika warna favorit Vallen telah berubah, aku tak bisa memaksakannya.

Aku menutup payung merahku, membiarkan tetesan hujan membasahiku. Terasa segar saat bersentuhan langsung dengan kulit. Langkah kaki lebih kupercepat dari semula. Kali ini, posisi tubuhku berada tepat di depannya. Aku membalikkan tubuhku sehingga dapat melihat mata kecoklatannya dari dekat. Ia sungguh menawan di bawah payung biru, di bawah hujan.

Jalanan begitu sepi, terasa hanya milik kami berdua. Aku masih berjalan mundur di depannya. Tak takut andai aku menabrak sesuatu. Yang lebih kutakutkan apabila aku terjatuh saking terlenanya diriku padanya.

“Len, coba deh lo ikutin gue, ayo hujan-hujanan!”

“Males,”

Ia menarik bola matanya ke arah lain. Menghindari kontak mata denganku yang berada di depannya. Sabar.

“Coba dulu aja. Dijamin habis ini beban pikiran lo ilang. Percaya deh sama gue!”

Sama sekali tak membalas perkataanku, aku mulai kesal. Hatiku seperti ikut beku di buatnya. Kenyataan bahwa saat ini Vallen adalah es berjalan tak dapat lagi kuelak. Meski tak tahu letak kesalahannya ada dimana, tapi aku sangat yakin ini semua karena diriku. Vallen berubah menjadi sedingin balok es, pasti berkat diriku. Menjadi misterius, ini semua karena kesalahanku yang sungguh tak kumengerti.

Aku berusaha tersenyum, tak akan pernah menyerah. Selama lima tahun aku telah menunggu momen langka ini. Menunggu dapat berduaan bersamanya lagi di bawah hujan. Meski membutuhkan pengorbanan hati.

Aku menarik paksa payung yang dipegangnya. Kubuang payung itu ke segala arah. Ia melotot, menatapku tajam seperti ditusuk oleh tatapan dinginnya.

Aku menggenggam erat lengannya. Kutarik tubuhnya untuk berlarian di bawah hujan. Rintikan air masih menjatuhi kami. Membasah kuyupkan seragam putih abu-abu yang kami kenakan. Seperti kami mengulang masa lalu, kami masih berlari bersamaan dengan rintikan hujan. Hebatnya, Vallen justru mengikuti tarikanku. Ia sama sekali tak berontak jika kupaksa. Sama seperti halnya dahulu. Bedanya, dulu Vallen lah yang menarikku keluar. Bermain bersama air hujan yang menyejukkan.

“Ayo Mer, percaya deh. Bebanmu akan hilang saat bermain hujan!”

Begitulah kata-katanya dahulu yang menarikku karena enggan bermain hujan-hujanan. Aku tertawa riang sambil berlari. Ia mengikuti di belakangku. Bagai robot yang pasrah saja mengikuti perintah majikan.

“Gimana, beban lo dah ilang?”

Aku melepas tangannya begitu badanku mulai kelelahan.  Memperhatikan wajahnya, ia sama sekali tak tersenyum. Ah, buntu sudah pikiranku harus bagaimana lagi membuat Vallen tersenyum.

“Valleeeenn,” rengekku.

Vallen tak seperti Via yang bisa luluh dengan rengekkanku, ia berbeda. Tak mempedulikan bagaimana perasaanku lantas dengan seenaknya berjalan mendahuluiku. Mendahului tubuhku yang telah beku dibuatnya.

“Segitu bencinyakah ia terhadapku hingga enggan untuk menatap wajahku. Apa salahku?”

Pikiran itulah yang selalu menggentayangiku. Ia seolah menjadi makhluk asing yang baru keluar ke bumi dan berjumpa denganku. Tak melirikku, bahkan hanya sekedar menganggapku ada, rasanya ia tak sudi.

Vallen telah musnah. Vallen yang kukenal telah hilang. Ia seperti hilang di telan bumi. Begitu bumi mengeluarkannya kembali, ia seperti terlahir berbeda. Terlahir menjadi sosok dingin yang pendiam, misterius, dan susah didekati. Padahal dahulu akulah yang memiliki sifat itu.

 

 

---

 

 

Hujan masih saja mengguyur kami. Membasahi semua seragam yang kukenakan. Aku hanya diam membisu di belakangnya. Membiarkan derasnya air hujan menusuk-nusuk kepalaku. Melihat tubuh Vallen yang berjalan mendahuluiku, aku akhirnya membiarkannya. Tetap berjalan di belakangnya untuk menenangkan hatiku yang hampir goyah. Hati yang percaya akan bisa mendapatkannya lagi, aku percaya.

Oh Tuhan, aku lantas berbalik arah, kembali.

Berlarian menginjak jalan yang sama saat kulewati sebelumnya. Menginjak genangan air kotor karena larianku. Hingga itu tak segan-segan melompat mewarnai bagian bawah rok abu-abuku menjadi kecoklatan.

 Aku mengambil payung itu kembali. Payung merahku yang sempat kulempar asal. Payung sama yang telah kurawat hingga bertahun-tahun. Vallen telah jauh di depanku, aku yakin ia telah menghangatkan tubuhnya di dalam rumah. Sedangkan diriku, aku masih berdiri di pinggir jalan merasakan sensasi hujan. Hujan kebahagiaan masa lalu.

Samar-samar, suara guntur keluar di tengah-tengah hujan. Semula hanya kecil, tapi kelamaan petirlah yang datang bersamaan dengan geledek besar. Aku sedikit merinding, takut tersambar. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk berlari pulang. Kali ini payung merah kesukaanku berada dalam genggamanku. Tak kugunakan lagi karena percuma saja, toh baju seragam yang kukenakan telah basah.

Aku menghentikan larianku. Bukan karena telah sampai, tapi seseorang membuat langkahku mendadak berhenti. Seseorang tak jauh di depanku, tengah diam berdiri dengan kedua tangan yang menutupi telinganya, ia bergetar.

Geledek lagi-lagi datang bersamaan dengan kilatan petir. Suaranya masih terdengar keras seperti semula, bahkan lebih keras. Memekakkan telingaku yang dibuat kaget olehnya. Aku hanya kaget, namun tak berteriak. Bukan suaraku saat seseorang berteriak memanggil papanya. Suara berat dari seseorang di depanku.

Aku berlari menghampirinya. Berdiri di depannya yang tertunduk. Ia ketakutan. Dengan kedua lengan yang masih menutupi telinganya itu seolah ia menghindari suara petir. Wajahnya pucat, aku dapat melihatnya sekalipun wajahnya tertunduk melihat aspal hitam.

“Vallen?”

Suaraku melembut menatapnya. Memastikan yang kulihat saat ini benar-benar Vallen yang kukenal. Vallen cinta pertamaku.

“Lo, kenapa?”

Matanya terpejam, ia menangis. Baru pertama kali kumelihatnya menangis seperti ini. Saat itu, hanya suara tangisnya yang terdengar dari luar kamar. Namun kali ini, aku melihatnya secara langsung, menitikkan air mata. Aku menggigit bibir bagian bawahku. Setakut itukah Vallen terhadap suara petir? Tapi kenapa? Sejak kapan? Setahuku dulu baik-baik saja.

Kugerakkan tanganku untuk melepas secara lembut tangannya yang menutupi telinga. Bermaksud baik, hanya agar ia terbiasa.

“Minggir!”

Suaranya keras, tak bersahabat. Ia mendorongku ke belakang hingga menciptakan jarak diantara kami. Untungnya, aku tak sampai terjatuh.

Aku tak akan minggir. Tak setega itu membiarkan satu-satunya pria yang telah berjasa padaku sendirian, ketakutan bersama petir.

Kembali melangkah maju mendekatinya. Kali ini, aku tak memaksanya untuk mendengar petir. Kupegang lembut pipinya yang tertunduk. Menegakkannya agar melihatku, menatapku seorang.

“Len, gue disini. Lo tenang ya, gue anter lo pulang,”

Aku membuka kembali payung merahku yang tadi kuambil. Memayunginya tepat di atas kepalanya. Meski aku yang terkena derasnya hujan, tak masalah. Yang terpenting, dengan caraku itu, ia tak lagi melihat kilatan petir diatas sana.

Perlahan, kulepaskan lagi tangannya yang masih menutupi telinga. Kuremas jemarinya yang dingin. Kugandeng tangannya untuk memberitahunya bahwa aku berada disini. Ia tak sendirian. Tangan kiriku merogoh ke dalam kantong seragam untuk mengambil sesuatu, headseat. Kupasangkan satu ke telinganya agar ia tak lagi mendengar suara geledek.

If this night is not forever

At least we are together

I know I'm not alone

I know I'm not alone

Anywhere, whenever

Apart, but still together

I know I'm not alone

I know I'm not alone

Aku menatapnya yang mulai melihatku. Bahkan, hanya dengan tatapannya, bisa membuatku meleleh saking senangnya. Aku berusaha tersenyum meski jantungku terasa ingin copot. Degupan kencang itu memberiku pertanda bahwa hanya pria di depanku seorang yang berhasil mencuri hatiku dan membawanya pergi. Bisa membuatku terus-terusan mengejar agar mendapatkannya lagi. Ia begitu berharga untuk dilepaskan. Orang yang telah membuatku menjadi lebih baik.

“Ayo pulang,”

Aku menariknya perlahan, ia mengikuti. Berjalan beriringan di bawah payung saat hujan ingin menerkam kami. Aku merindukan kejadian itu. Kejadian lima tahun yang lalu.

Selama perjalanan ke rumahnya, kami saling terdiam. Sibuk mengatur napasku yang sedari tadi kutahan. Aku harap ia tak sadar. Aku harap ia tak terganggu karenaku.

Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Ia hanya diam menatap lurus jalanan. Wajahnya masih putih pucat tapi melihatnya sudah tak bergetar ketakutan, merupakan sebuah kemajuan.

 

Saking rindunya dengan kejadian seperti ini, saking berharapnya aku agar kejadian seperti ini dapat terus kulakukan bersamanya, sampai-sampai aku ingin bertanya dimanakah letak kesalahanku hingga kami tak dapat lagi melakukan apa yang sering kami lakukan dahulu.

Aku ingin tanya begitu andaikan bisa, tapi aku tak sebodoh itu bertanya ketika ia sedang melawan ketakutannya. Akan tetapi, justru pertanyaan lain lah yang pada akhirnya keluar dari bibirku untuk mengisi keheningan.

“Kenapa lo takut banget sama suara petir?”

Ia menoleh sekilas ke arahku dan kembali memandang lurus. Sama sekali tak mengacuhkanku yang sedang bertanya. Baiklah, aku mengerti, sangat tidak tepat mengajaknya bicara disaat-saat seperti ini.

“Bokap meninggal pas mau pulang dari kerja. Suara petir mengagetkannya hingga mobilnya menabrak sebuah pohon. Nyawanya hilang disaat hujan masih berjatuhan,”

Astaga, apakah dulu aku segitu ingin menghindarinya sampai-sampai aku tak sadar bahwa bokapnya telah tiada.

“Tapi, kapan?”

“Saat lo dan nyokap pergi beberapa minggu ke jogja untuk silaturahmi ke rumah nenek lo, saat itu juga bokap gue meninggal,”

Ia menghentikan langkahnya. Secara otomatis, langkahku pun ikut terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Sungguh menyesal diriku bertanya hingga membuatnya kembali mengingat masa suramnya.

Aku mengerti jelas bagaimana perasaannya. Aku juga merasakan kehilangan seorang ayah bahkan belum lama setelah aku menghirup udara dunia. Rupa ayahku bagaimana saja, aku tak mengetahuinya. Setiap kali aku meminta foto ayah pada ibu, ibu selalu bilang bahwa ibu telah menghapus seluruh kenangan bersama ayah. Membakar semua foto-fotonya dan juga barang-barangnya karena ibu tak ingin bersedih ketika melihat kembali bukti kenangan masa-masa bersama ayah. Untuk itu, ibu benar-benar menghapus segalanya. Menghapus semua tentang ayah hingga aku sama sekali tak mengetahui bagaimana wajah ayah kandungku.

Aku anak yatim, tapi aku masih bersyukur masih memiliki seorang ibu. Sedangkan Vallen, ia yatim piatu. Kekayaan almarhum ayahnyalah yang membuatnya masih bertahan.

“Untuk itu gue nyambi kerja jadi pelayan kantin. Biar gak terus-terusan ngabisin uang bokap,”

Tak sanggup melihat air matanya, aku memeluknya. Bukan apa-apa, hanya bermaksud memberikan ketenangan agar ia tetap bertahan. Ia tak membalas pelukanku, tak apa. Meski aku mengharapkannya, tapi ialah yang kali ini lebih membutuhkan. Bukan aku.

“Mer, makasih,” ucapnya pelan. Sangat pelan namun terdengar ke telingaku.

Mataku melotot seketika. Untuk pertamakalinya setelah lima tahun yang lalu, ia memanggil namaku. Kupikir ia enggan mengingatnya, bahkan untuk menyebut namaku, pikiranku mengatakan ia tak akan sudi melakukannya.

 

 

---

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!