Masih sama seperti kemarin, hari ini hujan deras. Ribuan tetes air berjatuhan membanjiri sekolahku. Membuat pohon sekitar bergoyangan. Menciptakan angin yang menerpa wajahku.
Termasuk suara genteng sekolah yang berbunyi keras, ditambah bunyi hujan itu sendiri, membuatku harus berteriak untuk menjawab Via yang menawari tumpangan.
Aku membuka payung merah kecil dalam genggamanku. Belajar dari masa lalu, yang harus hujan-hujanan karena kecerobohanku lupa membawa payung. Rumahku dekat dari sini, cukup berjalan kaki saja. Pandanganku seketika berlarian menatap sekitar, mencari Vallen. Aku sungguh ingin menatapnya sebelum pulang. Walau hanya dari kejauhan pun tak masalah bagiku. Itu sudah cukup membuatku puas.
Sekolah mulai sepi. Aku sengaja menungguinya di karidor depan tangga. Agar saat ia keluar dari kelas 11 IPA 2, aku dapat melihat sosoknya. Seluruh penghuni kelasnya mulai berhamburan keluar. Aku dapat melihat senyum mengembang dari masing-masing murid. Tampak senang dengan waktu perpulangan mereka. Aku dapat melihat para seniorku pulang dengan cara mereka. Ada yang pulang sendirian, tak sedikit yang berjalan bersama teman, dan banyak yang pulang bersama pacar mereka masing-masing.
“Mer?”
Seseorang memanggilku dari belakang. Aku melihat ke arah pria yang tak asing lagi bagiku. Bersiap pulang dengan jaket hitam yang menyatu pada tubuhnya.
“Lo ngapain disini?”
“Eh, engga ngapa-ngapain Rak, suka aja liatin hujan,”
Rakha bermangut-mangut, “nggak pulang?”
“Iya, bentar lagi gue pulang,”
Aku tersenyum ke arahnya. Setidaknya, ada yang bisa kuajak bicara sambil menunggui Vallen.
“Mau gue anter?”
“Engga usah, makasih. Rumah gue deket sini kok,”
Rakha menaikkan sebelah alisnya seperti ingin menginterogasiku.
“Beneran?”
Kuanggukkan kepala mantap. Ia lantas berbalik badan meninggalkanku. Aku menoleh ke arah kelas 11 IPA 2, kelas itu tampak menjadi hening. Kudekati jendela untuk mengintip, barangkaali Vallen telah pergi tanpa kusadari.
Beginilah nasib tubuhku tang pendek. Aku harus berjinjit untuk mengintip dari jendela luar. Rupanya, Vallen masih sibuk berkemas. Memasukkan barang-barangnya ke dalam tas coklat polos miliknya. Setelah itu, ia membiarkan tasnya bertengger pada kursi. Mendekati jendela kelas yang berlawanan dari jendela yang kuintip karena masing-masing kelas memiliki deretan jendela di dua sisi. Aku dapat menyaksikannya yang terdiam memandang ke luar jendela.
Bisa disebut dengan sebuah penekatan, aku mendadak memasuki kelasnya. Ikut berdiri disampingnya memandangi hujan. Karena melihatnya yang begitu, tanpa sadar, masa lalu seakan menyeret kakiku untuk berdiri di sampingnya, memandangi hujan bersama-sama.
“Hai,”
Ia tak membalas sapaanku. Sedikit terkejut dengan diriku yang sudah berada di sampingnya. Selepas itu, ia sama sekali tak menganggapku ada. Kembali melihat ke luar jendela. Memang sedikit sesak rasanya tak diacuhkan, tapi aku bisa menahannya. Harus bisa.
“Hmm, hujannya bagus,”
Aku melirik Vallen sekali lagi. Ia masih tak menanggapiku. Mungkin suatu saat, aku akan terbiasa dengan sifatnya yang mendadak berubah itu. Akan terbiasa berbicara dengannya, seolah berbicara seorang diri.
“Ternyata lo masih suka huj-“
“Gue benci hujan,”
Vallen membalikkan badannya. Tak memandangi lagi hujan yang berjatuhan. Menyambar tas yang bertengger, lantas pergi meninggalkan kelas. Aku sendirian lagi.
Ditinggal olehnya bukan berarti menyerah begitu saja. Aku mengikutinya dari belakang. Berdiri menjajari tubuhnya. Aku yakin ia sungguh tak menyukai keberadaanku. Tak masalah.
“Boleh pulang bareng?”
“Gak,”
Hanya satu kata, sungguh menyakitkan. Aku tetap mengikutinya meskipun ia tak mengizinkanku. Rumah kami searah, apa salahnya pulang bersama. Mesti menolak permintaanku, tapi nyatanya ia tak memprotes saat aku tetap berjalan di sampingnya.
Kami berjalan di bawah hujan. Ia menggunakan payungnya sendiri dan aku juga menggunakan payungku sendiri. Kupamerkan payungku yang masih sama seperti saat lalu. Akan tetapi, ia sungguh berbeda. Dahulu kami menyukai merah. Hampir semua barang yang kami punya berwarna merah. Namun saat ini, ia benar-benar melupakan warna favorit kami. Payungnya itu, berwarna biru tua.
Aku tak memusingkan masalah warna, itu tak penting. Jika warna favorit Vallen telah berubah, aku tak bisa memaksakannya.
Aku menutup payung merahku, membiarkan tetesan hujan membasahiku. Terasa segar saat bersentuhan langsung dengan kulit. Langkah kaki lebih kupercepat dari semula. Kali ini, posisi tubuhku berada tepat di depannya. Aku membalikkan tubuhku sehingga dapat melihat mata kecoklatannya dari dekat. Ia sungguh menawan di bawah payung biru, di bawah hujan.
Jalanan begitu sepi, terasa hanya milik kami berdua. Aku masih berjalan mundur di depannya. Tak takut andai aku menabrak sesuatu. Yang lebih kutakutkan apabila aku terjatuh saking terlenanya diriku padanya.
“Len, coba deh lo ikutin gue, ayo hujan-hujanan!”
“Males,”
Ia menarik bola matanya ke arah lain. Menghindari kontak mata denganku yang berada di depannya. Sabar.
“Coba dulu aja. Dijamin habis ini beban pikiran lo ilang. Percaya deh sama gue!”
Sama sekali tak membalas perkataanku, aku mulai kesal. Hatiku seperti ikut beku di buatnya. Kenyataan bahwa saat ini Vallen adalah es berjalan tak dapat lagi kuelak. Meski tak tahu letak kesalahannya ada dimana, tapi aku sangat yakin ini semua karena diriku. Vallen berubah menjadi sedingin balok es, pasti berkat diriku. Menjadi misterius, ini semua karena kesalahanku yang sungguh tak kumengerti.
Aku berusaha tersenyum, tak akan pernah menyerah. Selama lima tahun aku telah menunggu momen langka ini. Menunggu dapat berduaan bersamanya lagi di bawah hujan. Meski membutuhkan pengorbanan hati.
Aku menarik paksa payung yang dipegangnya. Kubuang payung itu ke segala arah. Ia melotot, menatapku tajam seperti ditusuk oleh tatapan dinginnya.
Aku menggenggam erat lengannya. Kutarik tubuhnya untuk berlarian di bawah hujan. Rintikan air masih menjatuhi kami. Membasah kuyupkan seragam putih abu-abu yang kami kenakan. Seperti kami mengulang masa lalu, kami masih berlari bersamaan dengan rintikan hujan. Hebatnya, Vallen justru mengikuti tarikanku. Ia sama sekali tak berontak jika kupaksa. Sama seperti halnya dahulu. Bedanya, dulu Vallen lah yang menarikku keluar. Bermain bersama air hujan yang menyejukkan.
“Ayo Mer, percaya deh. Bebanmu akan hilang saat bermain hujan!”
Begitulah kata-katanya dahulu yang menarikku karena enggan bermain hujan-hujanan. Aku tertawa riang sambil berlari. Ia mengikuti di belakangku. Bagai robot yang pasrah saja mengikuti perintah majikan.
“Gimana, beban lo dah ilang?”
Aku melepas tangannya begitu badanku mulai kelelahan. Memperhatikan wajahnya, ia sama sekali tak tersenyum. Ah, buntu sudah pikiranku harus bagaimana lagi membuat Vallen tersenyum.
“Valleeeenn,” rengekku.
Vallen tak seperti Via yang bisa luluh dengan rengekkanku, ia berbeda. Tak mempedulikan bagaimana perasaanku lantas dengan seenaknya berjalan mendahuluiku. Mendahului tubuhku yang telah beku dibuatnya.
“Segitu bencinyakah ia terhadapku hingga enggan untuk menatap wajahku. Apa salahku?”
Pikiran itulah yang selalu menggentayangiku. Ia seolah menjadi makhluk asing yang baru keluar ke bumi dan berjumpa denganku. Tak melirikku, bahkan hanya sekedar menganggapku ada, rasanya ia tak sudi.
Vallen telah musnah. Vallen yang kukenal telah hilang. Ia seperti hilang di telan bumi. Begitu bumi mengeluarkannya kembali, ia seperti terlahir berbeda. Terlahir menjadi sosok dingin yang pendiam, misterius, dan susah didekati. Padahal dahulu akulah yang memiliki sifat itu.
---
Hujan masih saja mengguyur kami. Membasahi semua seragam yang kukenakan. Aku hanya diam membisu di belakangnya. Membiarkan derasnya air hujan menusuk-nusuk kepalaku. Melihat tubuh Vallen yang berjalan mendahuluiku, aku akhirnya membiarkannya. Tetap berjalan di belakangnya untuk menenangkan hatiku yang hampir goyah. Hati yang percaya akan bisa mendapatkannya lagi, aku percaya.
Oh Tuhan, aku lantas berbalik arah, kembali.
Berlarian menginjak jalan yang sama saat kulewati sebelumnya. Menginjak genangan air kotor karena larianku. Hingga itu tak segan-segan melompat mewarnai bagian bawah rok abu-abuku menjadi kecoklatan.
Aku mengambil payung itu kembali. Payung merahku yang sempat kulempar asal. Payung sama yang telah kurawat hingga bertahun-tahun. Vallen telah jauh di depanku, aku yakin ia telah menghangatkan tubuhnya di dalam rumah. Sedangkan diriku, aku masih berdiri di pinggir jalan merasakan sensasi hujan. Hujan kebahagiaan masa lalu.
Samar-samar, suara guntur keluar di tengah-tengah hujan. Semula hanya kecil, tapi kelamaan petirlah yang datang bersamaan dengan geledek besar. Aku sedikit merinding, takut tersambar. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk berlari pulang. Kali ini payung merah kesukaanku berada dalam genggamanku. Tak kugunakan lagi karena percuma saja, toh baju seragam yang kukenakan telah basah.
Aku menghentikan larianku. Bukan karena telah sampai, tapi seseorang membuat langkahku mendadak berhenti. Seseorang tak jauh di depanku, tengah diam berdiri dengan kedua tangan yang menutupi telinganya, ia bergetar.
Geledek lagi-lagi datang bersamaan dengan kilatan petir. Suaranya masih terdengar keras seperti semula, bahkan lebih keras. Memekakkan telingaku yang dibuat kaget olehnya. Aku hanya kaget, namun tak berteriak. Bukan suaraku saat seseorang berteriak memanggil papanya. Suara berat dari seseorang di depanku.
Aku berlari menghampirinya. Berdiri di depannya yang tertunduk. Ia ketakutan. Dengan kedua lengan yang masih menutupi telinganya itu seolah ia menghindari suara petir. Wajahnya pucat, aku dapat melihatnya sekalipun wajahnya tertunduk melihat aspal hitam.
“Vallen?”
Suaraku melembut menatapnya. Memastikan yang kulihat saat ini benar-benar Vallen yang kukenal. Vallen cinta pertamaku.
“Lo, kenapa?”
Matanya terpejam, ia menangis. Baru pertama kali kumelihatnya menangis seperti ini. Saat itu, hanya suara tangisnya yang terdengar dari luar kamar. Namun kali ini, aku melihatnya secara langsung, menitikkan air mata. Aku menggigit bibir bagian bawahku. Setakut itukah Vallen terhadap suara petir? Tapi kenapa? Sejak kapan? Setahuku dulu baik-baik saja.
Kugerakkan tanganku untuk melepas secara lembut tangannya yang menutupi telinga. Bermaksud baik, hanya agar ia terbiasa.
“Minggir!”
Suaranya keras, tak bersahabat. Ia mendorongku ke belakang hingga menciptakan jarak diantara kami. Untungnya, aku tak sampai terjatuh.
Aku tak akan minggir. Tak setega itu membiarkan satu-satunya pria yang telah berjasa padaku sendirian, ketakutan bersama petir.
Kembali melangkah maju mendekatinya. Kali ini, aku tak memaksanya untuk mendengar petir. Kupegang lembut pipinya yang tertunduk. Menegakkannya agar melihatku, menatapku seorang.
“Len, gue disini. Lo tenang ya, gue anter lo pulang,”
Aku membuka kembali payung merahku yang tadi kuambil. Memayunginya tepat di atas kepalanya. Meski aku yang terkena derasnya hujan, tak masalah. Yang terpenting, dengan caraku itu, ia tak lagi melihat kilatan petir diatas sana.
Perlahan, kulepaskan lagi tangannya yang masih menutupi telinga. Kuremas jemarinya yang dingin. Kugandeng tangannya untuk memberitahunya bahwa aku berada disini. Ia tak sendirian. Tangan kiriku merogoh ke dalam kantong seragam untuk mengambil sesuatu, headseat. Kupasangkan satu ke telinganya agar ia tak lagi mendengar suara geledek.
If this night is not forever
At least we are together
I know I'm not alone
I know I'm not alone
Anywhere, whenever
Apart, but still together
I know I'm not alone
I know I'm not alone
Aku menatapnya yang mulai melihatku. Bahkan, hanya dengan tatapannya, bisa membuatku meleleh saking senangnya. Aku berusaha tersenyum meski jantungku terasa ingin copot. Degupan kencang itu memberiku pertanda bahwa hanya pria di depanku seorang yang berhasil mencuri hatiku dan membawanya pergi. Bisa membuatku terus-terusan mengejar agar mendapatkannya lagi. Ia begitu berharga untuk dilepaskan. Orang yang telah membuatku menjadi lebih baik.
“Ayo pulang,”
Aku menariknya perlahan, ia mengikuti. Berjalan beriringan di bawah payung saat hujan ingin menerkam kami. Aku merindukan kejadian itu. Kejadian lima tahun yang lalu.
Selama perjalanan ke rumahnya, kami saling terdiam. Sibuk mengatur napasku yang sedari tadi kutahan. Aku harap ia tak sadar. Aku harap ia tak terganggu karenaku.
Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Ia hanya diam menatap lurus jalanan. Wajahnya masih putih pucat tapi melihatnya sudah tak bergetar ketakutan, merupakan sebuah kemajuan.
Saking rindunya dengan kejadian seperti ini, saking berharapnya aku agar kejadian seperti ini dapat terus kulakukan bersamanya, sampai-sampai aku ingin bertanya dimanakah letak kesalahanku hingga kami tak dapat lagi melakukan apa yang sering kami lakukan dahulu.
Aku ingin tanya begitu andaikan bisa, tapi aku tak sebodoh itu bertanya ketika ia sedang melawan ketakutannya. Akan tetapi, justru pertanyaan lain lah yang pada akhirnya keluar dari bibirku untuk mengisi keheningan.
“Kenapa lo takut banget sama suara petir?”
Ia menoleh sekilas ke arahku dan kembali memandang lurus. Sama sekali tak mengacuhkanku yang sedang bertanya. Baiklah, aku mengerti, sangat tidak tepat mengajaknya bicara disaat-saat seperti ini.
“Bokap meninggal pas mau pulang dari kerja. Suara petir mengagetkannya hingga mobilnya menabrak sebuah pohon. Nyawanya hilang disaat hujan masih berjatuhan,”
Astaga, apakah dulu aku segitu ingin menghindarinya sampai-sampai aku tak sadar bahwa bokapnya telah tiada.
“Tapi, kapan?”
“Saat lo dan nyokap pergi beberapa minggu ke jogja untuk silaturahmi ke rumah nenek lo, saat itu juga bokap gue meninggal,”
Ia menghentikan langkahnya. Secara otomatis, langkahku pun ikut terhenti. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Sungguh menyesal diriku bertanya hingga membuatnya kembali mengingat masa suramnya.
Aku mengerti jelas bagaimana perasaannya. Aku juga merasakan kehilangan seorang ayah bahkan belum lama setelah aku menghirup udara dunia. Rupa ayahku bagaimana saja, aku tak mengetahuinya. Setiap kali aku meminta foto ayah pada ibu, ibu selalu bilang bahwa ibu telah menghapus seluruh kenangan bersama ayah. Membakar semua foto-fotonya dan juga barang-barangnya karena ibu tak ingin bersedih ketika melihat kembali bukti kenangan masa-masa bersama ayah. Untuk itu, ibu benar-benar menghapus segalanya. Menghapus semua tentang ayah hingga aku sama sekali tak mengetahui bagaimana wajah ayah kandungku.
Aku anak yatim, tapi aku masih bersyukur masih memiliki seorang ibu. Sedangkan Vallen, ia yatim piatu. Kekayaan almarhum ayahnyalah yang membuatnya masih bertahan.
“Untuk itu gue nyambi kerja jadi pelayan kantin. Biar gak terus-terusan ngabisin uang bokap,”
Tak sanggup melihat air matanya, aku memeluknya. Bukan apa-apa, hanya bermaksud memberikan ketenangan agar ia tetap bertahan. Ia tak membalas pelukanku, tak apa. Meski aku mengharapkannya, tapi ialah yang kali ini lebih membutuhkan. Bukan aku.
“Mer, makasih,” ucapnya pelan. Sangat pelan namun terdengar ke telingaku.
Mataku melotot seketika. Untuk pertamakalinya setelah lima tahun yang lalu, ia memanggil namaku. Kupikir ia enggan mengingatnya, bahkan untuk menyebut namaku, pikiranku mengatakan ia tak akan sudi melakukannya.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Fina.zher
manisnya mereka😍
2021-05-25
3