Pandanganku telah tertuju pada sebuah kertas di atas meja belajar. Sesuai perkataanku tadi di dalam kelas, aku harus mengurus peran satu kelas. Ah, makmur sekali hidup mereka.
Aku mengira-ngira siapakah yang menurutku pantas. Jika dipikir-pikir, justru akulah yang tak pantas mendapatkan peran utama. Bukan tak pantas sih, hanya saja kurang pantas. Masih ada orang lain yang seharusnya lebih cocok berada di posisiku. Semua ini karena kejailan Via yang hanya iseng memacokiku dengan Rasyid, menjengkelkan.
Peran teater Ramayana:
Rama : Rasyid
Shinta : Merika
Dayang 1 : Silvia
Dayang 2 : Putri
Raja kosala : Faqih
Ibu tiri : Licia
Barata : Daffa
Laksmana : Rey
Raja Rahwana : Akshay
Jelmaan Raksasa : Elios
Baruna : Maven
Hanoman : Fikri
Bangsa wanara : Chalida, Zahra, Ali, Ulya, Fatih, Huda
Raksasa kerajaan alengka : Nuha, Mila, Tsaqif, Najwa, Faraz
Aku meletakkan penaku asal di atas meja. Menyenderkan punggung yang lelah akibat berlama-lama membungkuk untuk membagikan peran.
Kakiku melangkah lesu ke arah ranjang tidurku. Membaringkannya di atas kasur empuk. Melihat atap langit-langit, menikmati nyamannya terbaring di atas kasur. Pandanganku berlayapan ke dinding-dinding atas, hingga terpusatkan pada sebuah kotak di atas lemari milikku. Mataku melotot, melirik kardus berdebu. Berdiri lantas mengambilnya. Sebuah kotak merah indah dibungkus dengan pita cantik. Di dalamnya terdapat cangkir imut bergambar hello kitty merah, juga foto kami berdua yang tersenyum di sebuah taman. Itulah hadiah pemberian Vallen ketika ulang tahunku yang ke-11. Ketika aku masih menginjak kelas lima SD dan Vallen kelas enam. Kami masih bersama. Barulah saat aku ingin menaiki kelas enam, Vallen tiba-tiba marah terhadapku untuk alasan yang tak kuketahui. Ia mengurung diri karena tak ingin bertemu denganku. Sampai-sampai aku pun melakukan hal yang sama agar Vallen tak semakin marah kepadaku. Kami terpisah.
Aku mengelap cangkir berdebu untuk membersihkannya. Setelah bertahun-tahun, aku sungguh lupa mengenai hadiah ini. Terbiarkan mengenas di atas lemari hingga debu berhasil membalutnya karena tak pernah dibuka.
“Selamat ulang tahun Mer, simpan baik-baik kado dariku ini. Setelah itu aku akan menunggu kado darimu di ulang tahunku berikutnya,”
Aku ingat sekali ucapannya kala itu. Karena hari itu adalah hari ulang tahunku yang terindah bersamanya. Cara memberikan kadonya juga unik, kami bermain bersama seolah-olah ia lupa akan hari ulang tahunku. Aku sempat jengkel karena itu, bisa-bisanya ia lupa akan hari istimewa bagiku. Padahal dalam benakku, tertempel jelas hari ulang tahunnya.
Ia berpamitan padaku sorenya saat kami hendak pulang ke rumah masing-masing. Aku mengamati punggungnya yang lebih dahulu pergi. Berusaha terlihat seceria mungkin tapi nyatanya aku menangis. Hatiku rasanya dicabik-cabik melihat ekspresi wajahnya yang sungguh tak mengingat hari ulang tahunku.
Hingga malam, kukira ia akan datang pada malam hari. Akan tetapi, nyatanya tidak. Bahkan saat aku sudah terbaring di atas ranjangku, tidak ada tanda-tanda ia akan datang.
Aku lagi-lagi menangis. Meringkuk di atas ranjang tidurku. Membiarkan air mata membasahi kasurku. Beginilah jadinya jika realita tidak sesuai dengan ekspetasi.
Saat aku benar-benar terlelap, tiba-tiba saja jam bekerku berbunyi dengan nyaringnya. Aku langsung terbangun karena kaget. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul dua belas kurang lima menit. Aku terheran-heran, dalam hati kubertanya,
“Bukankah alarmnya selalu kusetel jam empat?”
Mau tak mau, aku berjalan ke arah meja belajar untuk mematikan alarm.
“Ini lagi, kenapa aku menaruh jam beker sejauh itu, biasanya hanya kuletakkan di meja rias disamping kasur,”
Aku manut saja berjalan ke arah meja belajar. Jam beker yang tak punya perasaan. Lagi sedih-sedihnya, masih untung bisa tidur, tapi malah dibangunkan tengah malam begini.
Aku sungguhan mematikan jam bekerku. Akan tetapi itu bukan lagi hal yang penting. Yang lebih penasaran adalah sebuah kotak merah berukuran sedang yang terpampang di belakang jam beker.
“Dari siapa ini, apakah mama memberikanku kado, lagi?”
Aku mengambilnya, membuka kotak dengan pita cantik itu. Pertamakali yang kulihat adalah secarik kertas saat tutup kotak itu telah kubuka.
Selamat ulang tahun, Mer. Maaf kasih kadonya telat. Aku ingin jadi orang terakhir yang mengucapkannya. Karena kalo jadi orang pertama yang ngucapin, itu sudah biasa. Aku mau yang berbeda dari yang biasanya, salam manis ~Vallen.
Aku terlalu fokus membaca surat tersebut, terlalu senang hingga tanpa sadar seseorang menyelinap masuk. Mematikan lampu kamarku hingga aku menjerit karena kaget.
Disaat itulah muncul setitik cahaya, cahaya api di atas sebuah lilin yang sukses membuat mataku berbinar-binar. Aku menangis, bukan lagi sedih, melainkan terharu.
Cahaya kembali terang berkat lampu kamarku yang kembali dinyalakan oleh Vallen. Ia mendekatiku, menyuruhku agar dengan segera meniup apinya.
“Selamat ulang tahun Mer, simpan baik-baik kado dariku ini. Setelah itu, aku akan menunggu kado darimu di ulang tahunku berikutnya,”
Aku tersenyum senang. Sulit untukku menjelaskan betapa senangnya diriku saat ini. Tak menunggu izin darinya, aku langsung memeluk tubuhnya erat. Kutumpahkan seluruh air mataku ke dadanya. Air mata kebahagiaan.
“Mer, lepasin dong. Ini nanti kuemu jatuh loh,”
Aku mengikuti perintahnya. Namun setelah itu, kutonjok bahunya pelan.
“Jahat,”
Wajahnya cengengesan melihat pipi gembulku yang berisikan angin.
“Iya, maaf. Jangan nangis lagi ya, tuh liat kasurmu jadi basah,”
Pipiku saat ini memerah dibuatnya. Bagaimana tidak, Vallen ternyata mengetahui bahwa diriku sejak tadi malam menangis sejak tadi malam hanya karena hal sepele. Pasti ia sedang tertawa dalam hatinya karena tahu aku terlalu berharap untuk dia mengingatnya.
Vallen tak membiarkan pipiku merona terus-terusan, baguslah. Ia mencolek krim yang seharusnya bisa dimakan bersama kuenya. Melekatkannya ke pipiku yang merah. Kali ini bukanlah merah merona, melainkan merah karena kesal. Aku ingin membalasnya tapi kalah cepat. Ia lebih dulu menjauhkan kue ulang tahunku agar aku tak bisa membalasnya. Hingga pada akhirnya kami saling balas membalas, serang menyerang . Berlarian, kejar-kejaran, sampai kami kelelahan dan menyantap kuenya bersama.
Itulah kisah masa kecilku bersama Vallen ketika hari ulang tahunku. Akan tetapi, aku benar-benar tak dapat menyanggupi permintaannya. Pada saat ia mengusirku sore hari kala itu, esoknya, Vallen berulang tahun. Sulit bagiku hanya dengan melihat wajahnya. Ia benar-benar tak ingin bertemu denganku. Bahkan di hari ulang tahunnya sendiri yang sangat ingin kurayakan.
Aku masih mencari-cari sesuatu di dalam kotak pemberiannya. Nah, ini dia yang kubutuhkan.
12 Juni 2013
Selamat ulang tahun Mer, wah, usiamu semakin bertambah saja. Rasanya, aku ingin cepat-cepat melihatmu remaja, pasti cantik. Pokoknya, secantik apapun kamu saat remaja, sebanyak apapun pria di luar sana yang nantinya akan menyukaimu, kamu harus menolaknya. Karena kamu punya aku. Jangan lupa, jika nanti takdir memisahkan kita, entah apa yang terjadi, kirimin aku foto remajamu ya. Yah, walau aku sangat yakin kita tak akan terpisahkan sampai kakek nenek, hehe. Nih, nomor teleponku, 081234567890, aku pastikan nomor teleponku nggak akan berubah sampai kita mati sekalipun. Salam manis ~Vallen.
Segera kumasukkan nomor telepon nya ke dalam ponselku. Aku tersenyum, lagi-lagi aku seperti orang gila yang baru diberi harapan.
Kuusap surat pemberian Vallen itu. Sangat imut apabila melihat tulisannya yang berusaha serapi mungkin tapi tetap saja seperti ceker ayam karena usia nya dahulu yang masih menginjak sekolah dasar. Aku yakin saat ini tulisannya jauh lebih rapi.
Aku menatap layar ponselku. Rasanya, aku ingin mengajaknya bicara saat ini juga. Bingung, memikirkan kata apa yang cocok sebagai pembuka.
Hai, Vallen kan?
Aku berharap cemas menunggu balasan WhatsApp darinya. Tubuhku memanas, kira-kira jawaban apa yang akan dikirimnya. Satu detik, satu menit, tiga jam, tak kunjung ada balasan. Aku mendengus kesal, rasanya ingin kubanting ponselku saat ini juga.
“Gak jadi deng, sayang kalau dibanting,”
Daripada menunggu lebih lama lagi, aku membuka game pou. Tampak mengenaskan hidup pou ku yang jarang kubuka. Energi nol persen, keceriaan nol persen, makan nol persen, dan kebersihan pun nol persen. Tai dimana-mana, kotor karena tak pernah kumandikan. Matanya berkaca-kaca karena kelaparan. Tak masalah, itu membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Biar saja ia tak kuberi makan, toh juga tak akan mati karena cuma game.
Setelah sekian lama bermain dengan pou ku, aku kembali melihat notifikasi, dibalas. Hampir saja aku melompat saking girangnya. Cepat-cepat kubuka pesan darinya
Siapa?
Gue, Mer
Mer? Siapa Mer?
Jleb.
Aku sedikit ragu jika orang yang kuajak bicara itu benar-benar Vallen. Masa iya dia melupakanku setelah ia pernah menyebut namaku di bawah hujan.
Merika
Oh.
Hanya satu kata, sungguh menyakitkan. Aku sungguh tak mengerti lagi harus mencari topik apa agar percakapan kami terus berlanjut. Dapat berbicara melalui pesan saja sudah membuatku bahagia.
Btw, lo ikutan jadi panitia pensi?
Hm
Jadi apa?
Kepo.
Haha, nyesek gue.
Bodo.
Aku tak memedulikan apa topik pembicaraan kami. Dengan dibalas saja, itu sudah kemajuan besar. Meski pesan darinya seolah tak peduli, sudah kuanggap itu kata-kata indah.
Aku kehabisan kata-kata lagi. Sebenarnya, ingin sekali kubuat percakapan ini tetap berlanjut, tapi aku masih memiliki otak untuk mengetahui kapan kondisi yang tepat membagi waktu. Aku takut mengganggunya. Aku takut mengganggu waktu istirahatnya. Walau masih jam delapan malam sih.
Aku teringat sesuatu, lupa akan amanah Vallen kala itu. Baiklah, ini terakhir kali sebelum aku menutup ponselku. Segera kucari foto-foto remajaku dalam gallery. Disana, diantara ribuan foto, aku memilih yang satu ini. Foto wajahku yang tersenyum di depan gang SMA.
Memamerkan lesung pipitku yang dahulu disukai olehnya. Yang dahulu dibilang imut olehnya. Oh, astaga. Semua kenangan itu, aku sungguh merindukannya.
Tak lupa, aku meletakkan secara rapi tulisan tangan Vallen di atas kasur. Kufoto lantas kukirim kepadanya agar ia tak lebih dahulu bertanya mengapa tiba-tiba diriku ini mengirimkan sebuah foto yang berisikan wajahku ketika remaja.
Aku menutup ponsel dan membiarkannya tergeletak di atas kasur. Sesuai tabiat awal, aku berusaha agar tak mengganggunya dan berusaha juga untukku agar juga tertidur. Akan tetapi, Vallen selalu dapat mengusik pikiranku. Membuatku tak bisa tidur walau telah kupaksakan. Angan-angan tentang dirinya selalu saja melintas dalam benak. Menyulitkanku agar tak meraih ponsel yang tergeletak di atas kasur hanya untuk melihat percakapan kami. Bagus, aku tak dapat mengendalikan nafsuku untuk melihatnya.
Sekarang aku puas. Centang dua biru, ia sungguh tak membalas pesan dariku. Oke, aku bisa tidur sekarang.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments