PENTAS SENI

Kesempatan, aku rasa aku masih bisa memilikinya. Setelah sekian lama yang kutunggu, akhirnya datang. Dengan adanya kejadian kemarin sore, ia seolah memberiku harapan untuk bisa memperjuangkannya kembali.

Aku mengingat-ingat kembali kejadian kemarin sore. Tak percaya dengan tekatku memasuki kelasnya kini membuat perubahan besar. Kemajuan pesat untuk tetap bisa bersamanya.

Aku tersenyum dengan sendirinya. Kembali menggoreskan grafit di atas kertas. Seorang pria dan wanita di bawah payung merah, di bawah hujan. Tengah berpelukan, lebih tepatnya, sang wanitalah yang memeluk. Tak lupa pula, aku menuliskan kata yang diucapkan olehnya.

Singkat, namun sukses membuat debaran kebahagiaan muncul. Sukses mengirimkan beribu-ribu bunga beterbangan dalam hatiku. Sebuah kata terindah setelah lima tahun yang lalu.

“Mer, makasih,”

Aku tak bisa menahan senyumku yang mengembang. Bahkan saat pelajaran berlangsung pun, bisa-bisanya aku malah menggambar dengan tersenyum sendiri.

Pelajarannya siapa lagi hingga membuatku berani melakukan hal semacam itu, pak Yoyon. Wali kelasku sendiri yang amat sangat penyabar.

“Kau dengar Mer?”

Pertanyaan, tapi terdengar seperti memberikan perintah untuk jangan melamun.

“Ah, iya pak?”

Pak Yoyon menggelengkan kepalanya. Meski begitu, beliau tak marah. Sungguh guru idaman.

“Sekolah kita akan mengadakan pentas seni untuk menyemangati kakak kelas 12 yang akan menghadapi Ujian Nasional. Kelas 10 diminta tampil. Masing-masing kelas menampilkan satu penampilan,”

“Hah, kelas sepuluh doang pak?”

“Masa iya kelas dua belas juga disuruh tampil?”

Seluruh murid di kelas tertawa. Bukan lucu, melainkan menertawakanku.

“Maksud saya, kelas sebelas gimana? Mereka nggak tampil?”

“Enggak Merika, kelas sebelas yang akan jadi panitia untuk mempersiapkan segalanya,”

Itu bukan suara dari pak Yoyon, bukan suara yang terdengar dari arah depan, namun dari arah samping.

“Lagian, ngapain sih lo ngarep kelas sebelas tampil juga?”

Aku menggeleng cepat, meski kenyataannya iya. Akan tetapi, saat ini bukanlah kondisi yang tepat untuk menceritakannya kepada Via karena seluruh sorotan mata satu kelas tertuju padaku.

“Jadi maksud bapak, tolong kamu bimbing kelasmu untuk ikut acara pensi itu. Terserah kelas ini mau nampilin apa. Bapak kasi waktu satu jam pelajaran terakhir ini untuk berdiskusi,”

Terlihat senang dari wajah mereka orang-orang yang sudah bosan memperhatikan pelajaran. Aku pun sama. Setidaknya, aku tak perlu lagi merasa kasihan pada pak Yoyon yang selalu menerangkan dengan sabarnya walau hampir tak ada yang fokus memperhatikan, saking lembutnya suaranya.

Pak Yoyon pamit lantas berjalan keluar kelas. Saat inilah tugasku. Aku menyenggol bahu Via agar memberikanku jalan, seperti biasa. Berjalan menuju ke depan kelas seperti perintah pak Yoyon untun memimpin jalannya diskusi.

“Teman-teman, kelas kita mau nampilin apa nih?”

“Musikalisasi puisi aja,”

“Jangan, garing. Gimana kalo dance, kan seru!”

“Yang gabisa nge-dance gimana? Mending paduan suara aja, nyanyi bareng-bareng sekelas,”

“Garing ah, masak iya nyanyi, suara gue jelek. Mending gue jadi di belakang panggung aja kalo nyanyi,”

“Woy Mer, nasib kita yang cowok gimana? Suara gue udah berat, ogah kalo ada hubungannya sama nyanyi,”

Aku bingung sendiri harus bagaimana. Baru awal bertanya, sudah disambut oleh ribuan celotehan sekelas. Terutama para ciwi-ciwi yang ingin menyuarakan isi hati mereka agar tampak menonjol dirinya.

“Gimana kalau teater, hampir semua kelas ini bisa kan?”

Itulah usulan dariku. Aku berharap tak ada satu pun orang dari kelas ini yang tak tampil. Meski akting bukan keahlianku sih, aku lebih suka gambar daripada melakukan hal-hal untuk dipertontonkan. Akan tetapi, akting lebih gampang untuk dikuasai semua orang. Tak seperti dance atau yang lain.

“Tapi Mer, gue, demam panggung,”

Aku memandang Putri yang tertunduk, aku mengerti. Putri termasuk orang yang pendiam dan rajin. Masalah penampilan-penampilan atau hal-hal yang menjadi tontonan ia sungguh gugup untuk melakukannya.

Seperti diriku kala itu. Diriku yang masih tertutup. Ketika pertamakali mencoba membuka diri, aku terpilih sebagai perwakilan kelas untuk menyampaikan pidato di muka umum. Sungguh dapat dibayangkan bagaimana geroginya saat pertamakali menginjakkan kaki di atas panggung. Rasanya ingin pingsan saat itu juga.

“Gapapa Put, lo harus ikut juga, setidaknya biar lo punya pengalaman di atas panggung,”

Aku tersenyum untuk menyemangatinya. Untuk meyakinkannya bahwa ia dapat melakukan dengan baik.

“Emang kita mau nampilin apa Mer?”

“Hmm, Ramayana aja gimana?” usulku.

Semua terdiam.

“Gimana nih, setuju?”

Masih terdiam. Seandainya waktu dapat kuulang kembali, aku akan menolak menjadi ketua kelas. Ribet juga harus memimpin satu kelas dalam suatu diskusi. Akan tetapi, baiklah, ini amanah yang teman-temanku berikan padaku.

Satu-persatu orang mulai menyetujuinya. Diikuti oleh yang lain hingga satu kelas setuju pada pendapatku. Aku masih bersyukur, ternyata mereka tak begitu sulit untuk diatur.

“Langsung aja pemilihan, siapa yang berkenan mencalonkan diri sebagai Rama?”

Krik krik. Semua cowok-cowok terdiam. Aku melekatkan punggung tanganku pada dahi.

Menghela napas berat. Tidak adakah yang cepat tanggap agar diskusi ini dapat berakhir dengan segera?

“Mending yang jadi Shinta sama Rama, ketua dan wakil ketuanya aja deh,”

Aku melotot pada Via. Ingin menerkamnya andaikala telah kembali ke bangku. Akan segera kubalas semburan asal darinya.

“Gak gak, gue gak nyalonin diri. Males gue ah,”

“Iya bener tuh kata Via, lo yang usul masak lo gak jadi pemeran utama. Lagian kayaknya si Rasyid setuju tuh,”

Aku reflek memandang ke arah Rasyid. Dapat kulihat rona merah pada pipinya. Bukannya kegeeran, tapi memang begitulah yang terjadi.

Rasyid memang tampan dan pintar, dapat kuakui itu. Tampangnya mungkin yang membuat hampir satu kelas memilihnya menjadi wakil ketua kelas. Meski masih banyak yang lebih memilih diriku sih.

Ia pernah menyatakan perasaannya terhadapku. Disaat aku lebih memilih menggambar diatas buku, disaat Via telah pergi untuk mengisi perut kosongnya, dan disaat kelas sepi karena waktu istirahat, ia mendekatiku. Ia memberikanku sebuah pudding karena ia tahu aku menyukainya.

Aku jelas saja menolak perasaannya, bukan karena ia tak kece atau sebagainya. Justru ialah cowok terkeren seangkatan, katanya sih. Bahkan Via teriak histeris saat tahu aku menolak perasaannya. Mau bagaimana lagi, Cuma Vallen satu-satunya cowok yang telah lama bersinggah pada hatiku. Cuma dia yang dapat merubah kepribadian kelamku.  Jika bukan karena dirinya, mungkin aku masih menjadi gadis pendiam yang dikucilkan. Jangankan cowok tampan yang menembakku, cowok biasa saja mungkin tak ada yang mau mempedulikan gadis pendiam yang terpojokkan.

Aku biasa saja memandangnya, tak segerogi dirinya saat menatapku di depan. Dulunya ia aktif, bersamaku memimpin di depan. Semenjak kutolak, ia jadi jarang memimpin bersamaku. Lebih sering menyerahkan segala tugas kepadaku.

“Gimana, lo mau nggak jadi Rama?”

“Udah, Rasyid mau kok,”

Justru Vialah yang menjawabnya. Aku merutukinya dalam hati, jadi serba salah. Kenapa juga Via harus beri Rasyid harapan.  

“udah ah, kelamaan, langsung aja tetapin pemeran selanjutnya. Gue pengen jadi dayang lo aja,”

“Gak, lo jadi keranya aja!”

Via mengerucutkan bibirnya setelah mendengarkanku yang asal menetapkannya menjadi manusia kera. Habisnya, ia sungguh menyebalkan sekali tiba-tiba menunjukku menjadi Shinta seenaknya.

“Gue mau kok jadi Rama asalkan lo Shintanya,”

“Cieeee, tu kan bener apa gue bilang Mer, Rasyid aja mau, masak lo enggak,”

Aku ingin sekali meninju mulut Via yang asal ceplos. Bagaimana jika Rasyid kembali mengharapkanku. Aku sungguh tak tega apabila harus menolaknya sekali lagi. Akan tetapi, aku percaya ini hanyalah sebuah drama. Jadi, bukan masalah kan apabila dalam aktingnya Rama dan Shinta saling mencintai. Ah, lagi-lagi aku berharap ini hanyalah sebatas peran.

“Oke-oke terserah lo lo pada aja, tapi untuk selanjutnya peran gue yang atur. Setuju enggak?”

Semua mengangguk. Aku kini dapat bernapas dengan lega. Akhirnya, masa pacok-pacokan telah berakhir. Jika Rasyidnya saja telah setuju, yah, mau bagaimana lagi?

“Oke, gue urus itu di rumah. Besoknya, gue kasih tau peran kalian. Gak boleh ada yang protes, kalau enggak, gue gamau meranin Shinta,”

Aku kembali ke tempat dudukku. Mencubit pipi Via keras, sangat keras hingga wajahnya memerah. Biarkan saja ia mengaduh kesakitan.

Aku merapikan barang-barangku. Satu jam pelajaran telah berakhir untuk diskusi. Aku berjalan ke luar kelas, sekedar mencari angin untuk menghilangkan kepenatan. Sebelum benar-benar keluar kelas, aku tetap harus izin terlebih dahulu agar guru yang mengajar selanjutnya tak mencariku.

“Syid, gue izin ke belakang,”

Rasyid mengangguk. Tau maksud dari kata belakang ialah toilet. Meski sebenarnya bukan toilet tempat tujuanku.

Aku menuruni tangga, mengintip kelas yang berada di sampingnya. Lebih tepatnya, mengintip Vallen. Menyunggingkan senyum tipis tanpa kusadari. Sungguh, hanya dengan melihat wajahnya saja aku dapat tersenyum dengan sendirinya.

Masih mengintip dari jendela, rasanya, aku ingin sekali memprotes orang yang memasang jendela 11 IPA 2, terlalu tinggi untuk kuintip. Bukan berarti aku pendek, hanya saja kurang tinggi.

“Mer, lo ngapain ngintipin kelas orang, nyari siapa?”

Aku tersentak kaget dan langsung melihat ke arah Rakha. Lidahku kelu untuk mencari sebuah alasan yang tepat. Bagaimana ini?

Seperti Rakha ingin menginterogasiku, ia mengangkat sebelah alisnya untuk membaca ekspresi wajahku.

“Hmm, itu, gu, gue nyari lo tadi. Tapi lo nya nggak ada,”

“Aduh, ga ada alasan yang lebih masuk akal apa,”

Saking paniknya, alasan itulah yang kukeluarkan. Tak apalah, daripada harus tertangkap basah mengamati wajah Vallen dari luar sini.

“Oh, maaf, gue habis dari kamar mandi. Ada apaan?”

Nah, ini dia yang belum kupikirkan saat Rakha bertanya balik.

“Hmm, anu, gue Cuma mau minta maaf karena kemarin nolak tawaran lo. Yah, gue ngerasa nggak enak aja,”

Rakha mengangguk paham. Tersenyum. Untunglah ia tak curiga sama sekali.

“Gapapa, sebagai gantinya, nanti pulang sekolah ikut gue ya!”

Deg. Inilah yang kutakutkan. Bola mataku melirik ke arah samping kiri, mencari alasan kebohongan yang tepat. Aku menggenggam erat jemariku. Alasan apa yang perlu kubuat untuk menolaknya lagi? Rasanya aku ingin bersujud pada Tuhan karena mengirimkan pak Bambang keluar kelas hingga bertemu kami, menghilangkan kecanggungan. Akan tetapi juga bernasib buruk karena aku juga terkena semburnya.

“Bagus, saat jam pelajaran ada dua orang yang keasyikan pacaran. Didepan kelas saya mengajar lagi,”

Mata pak Bambang melotot tajam. Seperti silet tak kasatmata yang hendak menusuk kamu berdua. Aku bergidik ngeri melihat pak Bambang yang begitu. Aku seperti mendapat keberuntungan karena mendapatkan pak Yoyon sebagai wali kelasku.

“Rakha, izin ke toilet, tau-taunya berduaan disini. Masuk!”

Rakha menyengir sekilas lantas memasuki kelasnya. Teganya dirinya meninggalkanku sendirian bersama guru killer disini. Aku dapat merasakan, dibalik tubuh gagah seorang guru killer, sorotan mata satu kelas menuju ke arahku. Sungguh betapa malunya.

“Ini lagi. Kamu anak kelas berapa? Jam pelajaran bukannya masuk malah kelayapan!”

“Kelas 10 IPA 4 pak,”

“Sudah sana kembali ke kelas!”

Langkahku ingin segera meninggalkan guru killer dihadapanku. Akan tetapi sebelum aku melakukannya, kepala kumiringkan ke kiri untuk meliriknya sekilas. Entah aku kurang waras atau bagaimana, aku tersenyum yang kuyakin ia dapat melihatnya. Meski melihatku masih dengan tatapan malas darinya.

Tanpa menunggu lagi, aku langsung pergi meninggalkan kelas 11 IPA 2. Menghindar dari sorotan mata tajam milik pak Bambang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!