MENGINGAT MASA KECIL

Suara berbunyi nyaring. Ditambah dengan hentakkan kaki berhamburan keluar kelas menuju tempat langganan murid-murid ketika jam istirahat.

Aku membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejaku. Merapikannya lantas memasukkan ke dalam loker mejaku.

“Mer, ke kantin yuk!”

“Gak ah, males gue,”

Aku mengeluarkan buku serbagunaku. Menaruhnya di atas meja. Tanganku dengan lincah menggesekkan grafit di atas lembaran kertas putih. Membentuk dan mulai mengarsirnya. Menggambarkan seorang pria di dalam kelas. Berdiri sangat dekat dengan wajah sang wanita. Tak lupa memberikan garis-garis blush di pipinya.

Aku tersenyum simpul melihat gambaranku sendiri. Meski sedikit kecewa karena pria itu hanya menaruh tinta di atas meja, tapi aku tetap senang bisa melihatnya dari dekat. Aku menggambar fakta tentang diriku dan dia. Termasuk pria itu yang menggenggam sebuah tinta. Juga sang perempuan yang berjinjit, memejamkan mata, dan juga tulisan deg deg deg pada bagian dadanya.

“Ah, kebiasaan lo gambar muluk!”

Via mencondongkan badan mungilnya ke atas meja. Menekuk lengannya sebagai tumpu untuk memperhatikan gambaranku.

“Tumben lo gambar cowok ceweknya pas udah remaja. Biasanya yang gue liat masih bocah,”

“Suka-suka gue lah,” jawabku acuh tak acuh

“Terserah lo aja, daripada gue mati kebosanan karena nungguin lo, mending gue isi perut ke kantin,”

Via tak lagi memedulikanku yang asyik dengan gambaran. Memang sahabat yang kejam. Sebelum ia benar-benar pergi, aku menarik pergelangan tangannya untuk mencegah.

“Ikut,” cengirku.

“Katanya males?”

“Gak jadi, gue mau cari suasana luar daripada ngurung diri di kelas,”

Aku ikut berdiri menjajarinya begitu diperkenankan. Kutarik tangannya untuk mengikutiku ke arah kantin. Aku yang memimpin.

“ Kok posisinya kebalik sih, gue yang ngajak tapi malah lo yang nyeret gue,”

Tak memedulikannya yang bergumam, tangan kananku masih meremas jemarinya. Sedangkan yang kiri lagi membawa buku serbagunaku. Berwarna coklat keemasan dengan lambang jari kelingking. Buku yang selalu kurawat sejak masa kanak-kanak bersamanya.

Aku terdiam begitu sampai di pinggiran kantin. Bola mataku jelalatan mencari kursi kosong, nihil. Semua terisi oleh murid-murid yang kelaparan.

“Penuh Mer, gimana dong?”

Berpikir sejenak, kutarik lagi tubuh mungil sahabatku menuju ke sebuah meja dengan satu orang berpenghuni. Aku tak mengenal siapa laki-laki yang tengah terduduk sendirian menatap layar ponsel. Tak terlalu penting siapa, yang jelas kami bisa duduk.

“Permisi kak, boleh ikutan?”

Lelaki itu mendongak, menatap kami berdua yang masih menunggu jawaban. Ia mengangguk tersenyum, mempersilahkan. Bergeser untuk memberikan ruang pada kami.

“Makasih, gue Merika,”

Aku menjulurkan tangan untuk berkenalan. Tersenyum memamerkan lesung pipit yang kupunya.

“Rakha,” balasnya.

Duduk di sebelahnya, mataku memberikan kode agar Via mengikuti apa yang kulakukan.

“Silvia,” angguknya ramah dan langsung melesat duduk di hadapanku.

Aku mengangkat tangan untuk memanggil pelayan kantin. Dengan begitu, wanita tua penjaga warung kantin menyuruh asistennya untuk mendekati kami.

“Btw, lo kelas berapa kak?”

“Gausah pake kak, langsung aja Rakha. Kita Cuma beda satu tingkat,”

“Oh, berarti lo kelas 11?”

“11 IPA 2 lebih tepatnya,”

Kami berbincang-bincang sambil menunggu pelayan datang. Rupanya seru juga dapat berbincang dengan Rakha. Murah senyum, lucu, bahkan saat pertama kali berkenalan tak ada canggung-canggungnya sama sekali. Meski aku hanya bertanya basa-basi, Rakha sama sekali tak keberatan untuk menjawab. Bahkan saat kutanya topik ini, ia menjawab dengan bertele-tele hingga menuju topik selanjutnya. Sesekali Via ikut bergabung dalam perbincangan tak penting ini, tapi ia tak secerewet diriku. Hingga tanpa sadar, topik itu mengarah tentang kelasnya dan dia yang disebutnya sebagai batu es.

“Sejak kapan dia jadi dingin kayak gitu?”

“Sejak pertama kali masuk, gak tau lah, dia memang orang yang paling misterius di kelas,”

Mengangguk, aku teringat akan masa kecil kami. Saat itu, kami berpisah setelah bermain. Ia masih tersenyum ramah kepadaku di bawah hujan. Saat aku menyelonong masuk ke rumah, aku mengambil beberapa pudding dari lemari es. Kami berdua menyukainya.

Matahari telah cerah kala itu, terdapat sebuah lengkungan indah di atas langit. Berwarna-warni, seperti suasana hatiku.

Aku tak lagi basah kuyup. Kuganti bajuku dengan warna merah, warna kesukaanku dan dia. Rambut kukucir dua kesamping membuatku tampak imut pada masa kanak-kanak.

Aku keluar, ke rumahnya yang terletak di sebelah rumahku. Membawakan pudding untuk kami makan berdua. Aku menyelinap masuk ke rumahnya diam-diam. Pertama, karena aku ingin mengejutkannya. Kedua, karna ayahnya tak menyukaiku. Begitu pula dengan begitu ibuku yang tak menyukainya, entah mengapa.

Pelangi masih menghiasi langit. Sungguh indah pada sore hari. Saat aku berada tepat di depan kamarnya, aku ingin membuka pintu dan langsung mengagetinya. Akan tetapi semua tak berjalan sesuai keinginanku. Pintu itu terkunci. Aku mengetuk pintu berkali-kali tapi ia tak kunjung membukanya. Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Kutempelkan telingaku ke pintu kamarnya. Sebuah suara mengagetkanku, suara tangisan dari dalam sana. Ia menangis.

“Vallen!”

Semakin kencang jemari kecilku mengetuk pintunya. Aku khawatir padanya, ia menangis dan tak mau membukakan pintu untukku. Baru beberapa jam yang lalu, aku masih melihat senyumnya. Akan tetapi, sekarang ia justru menangis untuk alasan yang tidak kuketahui.

“Vallen, kamu kenapa menangis?”

“Pergi!”

Hatiku terasa seperti tersambar kilatan begitu mendengar ucapannya. Mataku melotot, pudding dalam genggamanku kujatuhkan begitu saja.

“Kau kenapa Len?”

Aku masih tak percaya. Apa salahku hingga tiba-tiba ia mengusirku. Setahuku, kami masih baik-baik saja hingga saat ini.

“Aku bilang pergi! Kamu gak pantes lagi buat aku. Jangan pernah temui aku lagi dari sekarang. Aku gak mau liat wajahmu, pergi!”

Suara itu seperti mencekikku. Apakah aku berbuat kesalahan? Apa kesalahanku begitu besar sehingga saat ini ia benar-benar membenciku? Apa yang sebenarnya terjadi aku sungguh tak mengetahuinya.

Hari ini, dalam satu hari yang sama ia memperlakukanku berbeda. Sebelumnya ia masih hangat terhadapku, tapi kali ini ia justru mengusirku.

Aku mengeluarkan linangan air mata, masih tak percaya terhadapnya yang begini. Ia seolah bukan lagi menjadi pria yang kusayangi, bukan lagi menjadi pria yang kubanggakan. Apa aku seburuk itu hingga ia bilang aku tak pantas untuknya?

Selama ini aku tak memiliki teman selain dirinya. Selama ini aku tak peduli dengan yang lain. Aku tak membutuhkan teman , Vallen terus berada disisiku saja itu sudah lebih dari cukup. Tak terbayang bagaimana jadinya apabila ia pergi.

Aku sama sekali tak memiliki teman. Aku susah bersosialisasi dengan teman. Waktu itu saja, Vallenlah yang pertamakali menawarkan diri untuk menjadi temanku. Awalnya terasa canggung, tapi lambat laun aku suka berada di dekatnya. Saking bahagianya, aku justru tak memikirkan kemungkinan buruk terjadi. Aku sendirian lagi. Apakah ini rencana Tuhan agar aku tak bergantung padanya? Apakah Tuhan menyuruhku supaya mencari teman? Jika memang begitu aku akan melakukannya. Aku akan lebih terbuka dengan yang lain. Akan memiliki banyak sekali teman seperti dirinya. Jika aku sudah bisa menyamainya, jika aku sudah menjadi orang yang pantas untuknya, aku akan menggapainya kembali. Sesusah apapun.

Aku pulang dengan hati kecewa. Mengutuk pelangi di atas kepalaku. Pelangi itu seperti mengejekku. Pelangi sungguh berbohong padaku. Kukira dengan melihat pelangi, suatu hal yang baik akan terjadi di sana. Akan tetapi, justru sesuatu yang buruklah yang terjadi.

Semenjak saat itu aku tak menemuinya lagi. Begitu pun sebaliknya. Vallen masih bertetangga padaku hingga saat ini, tapi rasanya ia begitu jauh untuk kukunjungi. Aku memutuskan untuk sekolah di SMP yang berbeda dengannya. Akan kutunjukkan padanya, kelak aku telah berbeda dari sebelumnya. Aku akan menjadi Merika yang aktif, memiliki banyak teman, dan tak lagi susah bersosialisasi.

Aku mulai terbuka sejak SMP. Mulai banyak bicara, ceria seperti dirinya. Jika telah begitu, jika telah pantas, aku akan menemuinya lagi. Untuk saat ini belum saatnya. Setiap pulang sekolah, aku langsung memasuki rumah, begitu pula dengannya. Raga kami berdekatan, tapi hati kami terasa sangat jauh. Aku tak lagi bertemu dengannya, tak lagi mengetahui kondisinya. Hingga saat aku merasa pantas, aku memasuki SMA yang sama dengannya. Akan tetapi semua berubah, ia menjadi sesosok orang yang dingin dan pendiam. Ia seperti tak mengingatku, tak mengingat kenangan manis kita ketika kanak-kanak. Vallen berubah.

 

“MERIKA!”

Seseorang berteriak membuyarkan lamunanku. Aku tersentak mencari arah sumber suara, Via. Ah, sungguh menyebalkan.

“Kebiasaan lo, dikit-dikit melamun,” dumelnya

Rakha memperhatikanku lantas menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Berarti sejak tadi lo gak dengerin cerita gue?” protes Rakha.

Aku cengengesan mendengar komentar dari dua orang ini. Menatap bingung, mereka bertanya-tanya apa yang sedang kulamunkan sedari tadi. Aku menggeleng seolah itu tak penting. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengangkat tanganku lagi hendak memesan.

“Pelayannya lama banget, males gue,”

“Lo harus sabarlah, liat tuh pengunjungnya banyak,”

“Yee, kan gue kesel dari tadi manggil pelayan tapi gak dateng-dateng,”

“Pelayannya ngelayanin yang lain dulu. Kita datengnya akhir-akhir. Lo sih, pake acara gambar dulu tadi,”

Aku memanyunkan bibir. Sahabat tak setia. Seharusnya sebagai sahabat itu mendukung, ini malah suka ngajak debat,”

“Bener Mer, lo sabar aja nunggu,”

Dua lawan satu, ah, menyebalkan. Jangan-jangan mereka bersekongkol lagi untuk melawanku. Jika tahu kantin seramai ini, lebih baik aku makan pudding saja tadi. Aku tak perlu makan berat untuk mengenyangkan isi perutku. Cukup dengan pudding, aku sudah kenyang. Toh, tadi pagi juga sudah makan nasi.

Aku mengeluh pada pelayan yang tak kunjung datang. Bukan karena lapar, melainkan agar aku bisa mengintip Vallen dari jendela walau hanya sebentar. Aku meraih buku serbagunaku yang kutaruh di atas meja, bosan.

12 Agustus 2018

Saat aku terbangun, pikiranku kembali ke hari lalu. Saat dimana aku merasakan kehilangan. Kehilangan dia yang selalu melindungi. Dia yang selalu menjagaku dari goresan luka menyayat. Dia penolong hidupku. Tanpanya, nyeri selalu menjalari seluruh tubuhku. Tanpanya, aku selalu menjalani pahitnya dunia sendirian. Kehadiranmu adalah anugerah terbesar hidupku. Tak bisa dibeli dengan harga. Karena aku tahu, kamulah satu-satunya yang berharga dibanding yang lain. Kamu lebih spesial. Aku tak dapat menahan air mata yang merembes begitu kamu pergi. Meninggalkanku sendirian di atas permukaan bumi. Jika aku diperbolehkan berharap, aku berharap dapat menemukanmu kembali. Menemaniku lagi agar aku tak kesakitan saat menginjak tanah kasar wahai sandalku yang hilang

“Bwahaha, lo lagi stres Mer? Sandal ilang aja sampai disesali,”

Via terbahak memegangi perutnya. Tak terima, aku menyikut lengannya agar ia diam. Apa salahnya aku menangis jika sendal itu berharga bagiku. Sendal pemberian Vallen karena saat itu, sandalku sempat hanyut di kali saat kami mencari ikan kecil-kecil.

“Biarin, kalo emang kenyataannya sendal itu berharga, mau gimana lagi?”

Aku mendengus. Hampir setengah jam waktu kami terbuang sia-sia. Berarti, tinggal setengah jam lagi waktu istirahat akan berakhir.

“Ah, tu pelayan lama bener. Awas aja sampai dateng, kuomelin abis-abisan!”cerocosku karena kesal.

Aku kembali terfokuskan pada buku serbaguna ku. Kembali menggoreskan pensil di atasnya. Kali ini, goresan itu kubuat sebuah gambaran. Gambaran sandal persis seperti yang dahulu Vallen beri. Berwarna merah kecil dengan gambar kucing berbulu tebal,  Imut sekali.

Seseorang berdehem dari samping tubuh Rakha. Ini dia, aku sudah menyiapkan kata-kata yang akan ku semburkan nanti apabila pelayan itu datang.

“Gimana sih pak, lamban banget! kita udah nungguin da-“

 Ucapanku terjeda saat aku memandang pelayan itu. Suaraku tersekat dalam kerongkongan. Aku diam seribu bahasa. Tubuhku mematung, yang semula pipiku berwarna merah akibat marah, kini semakin bertambah merah akibat malu.

“Kenapa Mer, lo tadi mau marah-marah kan, kok sekarang diam?”

  Tolong  Jangan sekarang. Aku mengutuk Rakha dalam hati karena membuatku semakin malu saja. Sangat tak tepat kondisinya jika mereka ingin menertawakanku.

“ Vallen, lo?”

 “Satu mie ayam ceker, satu bakso versi jumbo, dan dua gelas es jeruk. Ada lagi?”

  Kondisi ku makin mematung saat ini. Aku menoleh ke arah mereka berdua, tak paham.

“Kapan lo berdua pada pesan?”

“Sejak lo bilang mau mengancam pelayan karena lama banget, dia dah datang duluan. Lo si, sibuk sama diary lo itu, sandalku yang hilang,”

Entah bagaimana nasib pipiku yang memerah padam saking malunya, Via justru terbahak, diikuti oleh Rakha. Aku sungguh tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus disembunyikan di mana wajah merah ku. Sesekali, aku melirik kearah Vallen, sungguh tak menikmati obrolan kami. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tak terlukis kan senyum walau hanya setipis apapun.

“Gu, gue puding rasa coklat aja,” pesanku gugup karena rasa malu itu.

“Yaelah Mer, lo kira ni kantin apaan bisa melayani setiap kemauan lo?”

“Emang gak jual puding?”

Via menempelkan punggung tangannya pada dahi. Menggelengkan kepala, tak kuat menatap wajahku yang terlihat polos itu. Sementara, aku dapat melihat Rakha tertawa kecil di sampingku.

Ya, Tuhan. Sudah beberapa kali pipiku memanas. Termasuk saat kepergok akan kata-kataku. Mungkinkah Vallen mendengarnya?

Aku menutup mukaku menggunakan kedua telapak tangan. Berharap Vallen tak melihat rona merah di pipiku. Sungguh memalukan.

“Oiya Mer, kenapa nggak sekalian aja lo pesen baru untuk mengganti sendal lo yang ilang itu di kantin ini?”

Via melirik buku serbagunaku yang terbuka di atas meja makan.

“Gambarnya kucing ya?”

Cerobohnya diriku. Aku cepat-cepat menutup buku itu agar tak dilihat oleh Vallen. Kutendang kaki sahabat di depanku itu.

Kuberanikan diri memandangi wajahnya. Ia mendengus kesal seolah tak dianggap. Wajahnya diam tanpa ekspresi. Matanya menatap malas ke arah Via yang terpingkal, Rakha yang tertawa kecil, dan diriku yang dengan separuh nyawa menahan malu.

“Jika hanya itu, permisi,”

Ia pergi. Aku mengamati punggungnya yang menjauh. Untuk sebuah alasan yang tidak kumengerti, ia sungguh berubah. Berubah seratus delapan puluh derajat menjadi orang asing yang tak kukenal. Sesosok orang yang sama sekali berbeda dari masa lalu. Ia sudah tak menganggap kehadiranku lagi, wajah dingin itu yang menjelaskan semuanya.

 

 

 

Terpopuler

Comments

Arifata

Arifata

hai cilamici👋🏻 terima kasih sudah mau membaca karya saya😀 dukunganmu sangat berarti untuk semangatku😚😇

2021-06-05

0

Cila Mici

Cila Mici

karakter via membuat cerita menjadi berwarna. aku suka cara menulisnya, enak dibaca.

aku akan lanjutin nanti... 🥰

salam cilamici

2021-06-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!