Sebuah Rasa Yang Salah
Malam tampak lebih gelap dari biasanya. Wajah langit terlihat berkantung berat menahan mendung yang mendesak untuk meneteskan titik-titik air. Cuaca dingin dan rintik yang mulai turun sebiji jagung tak menghentikan aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya. Beberapa pejalan kaki yang menyesal karena tidak sedia payung sebelum hujan tampak mulai berlari-lari kecil mencari tempat berteduh ke emperan toko-toko di sepanjang jalan. Hujan turun semakin deras hingga rintiknya membasahi kaca jendela tempatku mematung sedari tadi. Aku tak perlu khawatir dengan hujan dan lari mencari tempat berteduh karena saat ini aku sedang berada di salah satu coffe shop. Satu-satunya hal yang aku perlukan saat ini adalah lari dari tatapan seseorang yang menagih sebuah jawaban.
Dia, orang yang bersamaku saat ini masih setia memandangi secara bergantian antara aku yang mematung di depan kaca dan asap kopi yang mengepul di mejanya. Aku diam-diam meliriknya sesekali. Terkadang tatapan matanya tampak menyelam pada cairan hitam itu dan berharap menemukan jawaban yang ia harapkan. Padahal jauh sebelum hari ini terjadi, dia sudah lebih dulu menenggelamkanku pada hitamnya kesedihan yang mendalam.
"Nadira, maukah kamu mengulang kembali semuanya denganku?" ucapnya beberapa menit yang lalu dan sukses membuatku bungkam saat itu.
Aku masih ingat dengan jelas siapa orang yang bersamaku sekalipun kisahnya sudah kuputuskan sekedar menjadi masa lalu. Aku masih ingat bagaimana hujan yang sama terasa seperti sembilu menghujani seluruh tubuhku malam itu. Cerita dengan orang yang sama pada suatu malam hujan tiga tahun yang lalu. Saat itu dia membuatku merasakan bagaimana sakitnya menjadi orang yang tidak diperjuangkan. Merasakan bagaimana kecewanya menjadi bagian dari pilihan yang tidak menjadi pilihan. Akulah perempuan yang malam itu tangisnya dikalahkan oleh deru air hujan. Aku menanggung luka yang tak siapapun dapat membayangkannya. Hatiku bertuliskan kata-kata kecewa yang tak siapapun dapat membacanya. Saat itu aku hanya menjadi seorang diri yang alpa. Iqbal Adi Prasetya adalah laki-laki yang sejak saat itu tidak pernah ingin aku temui lagi. Laki-laki yang hari ini juga datang menawarkan untuk mengulang kisah setelah tiga tahun dia pergi. Kisah yang sebenarnya tak pernah dimulai ataupun diakhiri.
Meskipun seseorang yang pernah menyakiti telah menyesali, namun tidak berarti kedatangannya bisa kembali disambut dengan tangan terbuka seperti sedia kala. Meski luka yang tercipta sudah sembuh dengan sendirinya, tapi untuk membuka pintu di kesempatan kedua tidak hanya dengan mengetuknya saja. Bukankah seseorang tidak akan begitu bodoh mempersilahkan seseorang masuk dalam kehidupannya untuk menyakiti berkali-kali? Begitu pula yang aku rasakan dengan kedatangan Iqbal hari ini. Perkataannya mengajakku untuk kembali pada kisah yang sudah lama aku tinggalkan. Entah perkataan itu adalah permintaan atau penawaran. Apapun bentuknya, bagiku kata-kata itu sudah seperti petir yang terdengar sebelum hujan turun dengan lebatnya. Pertemuan dengannya kali ini memaksaku kembali pada cerita yang sudah lama aku akhiri dengan paksa.
Aku hanya diam tak menanggapi apa-apa. Entah sudah berapa menit berlalu dan Iqbal masih menunggu jawabanku. Aku tahu bahwa dia pasti tahu semuanya tidak akan mudah bagiku. Saat rasa yang pernah dimiliki sudah tidak berarti, maka kembali pun tidak dapat menjadi jalan untuk memperbaiki.
"Aku minta maaf, Nad. Aku tahu aku salah. Aku sudah sangat menyakiti kamu. Tapi saat itu aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan kedua orang tuaku," ucapnya lagi setelah aku kembali duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"Kamu tidak perlu minta maaf berulang kali, Iqbal. Aku sudah memaafkan kamu dan melupakan semuanya," balasku.
"Aku sungguh menyesal. Semenjak kamu pergi, aku tidak pernah merasakan lagi kebahagiaan seperti saat kita masih bersama," kata Iqbal.
"Bukan aku yang pergi. Tapi kamu yang meninggalkan aku. Apa kamu lupa itu?," jawabku masih menyiratkan kekecewaan atas perlakuannya waktu itu.
"Nad, kamu juga tahu itu semua bukan kemauanku. Aku tidak pernah mencintai Savira. Aku hanya dipaksa oleh keadaan. Dan asal kamu tahu, selama ini aku tidak pernah menganggap kisah kita telah berakhir. Setiap hari aku memimpikan perjodohan itu berakhir dan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Setelah hari ini aku mendapatkan kebebasanku, aku harap mendapat kabar baik dengan kesediaanmu mengulang semuanya kembali bersamaku, Nadira. Aku mohon," pinta Iqbal.
Aku juga menyadari bahwa perpisahan kami bukan sepenuhnya salah Iqbal. Dia dipaksa keluarganya untuk dijodohkan dengan Savira karena suatu permasalahan. Aku tahu dia juga dipaksa oleh keadaan. Tapi tetap saja aku merasa terluka karena tidak diperjuangkan. Aku merasa seperti sampah yang dibuang dan hari ini ingin ia pungut kembali. Waktu itu Iqbal memang pernah berjanji untuk mencari cara agar perjodohannya dengan Savira bisa dibatalkan dan kembali padaku. Tapi dianggap sebagai pengganggu tunangan orang sudah membuatku merasa kehilangan harga diri yang tidak bisa diobati sekedar dengan janji yang tak pasti. Kita berpisah meski masih ada rasa yang sama di hati. Iqbal adalah cinta pertama dalam hidupku sekaligus orang yang membuatku paling terluka untuk pertama kalinya.
Hari ini dia mengajakku bertemu di salah satu coffe shop tak jauh dari tempatku bekerja. Sebelumnya dia juga meminta maaf lewat pesan whats app dan mengabarkan jika perjodohannya dengan Savira sudah dibatalkan. Aku menyempatkan diri menemuinya sepulang kerja. Namun kedatanganku hanyalah untuk menghargai dia sebagai seseorang yang pernah menjadi sahabat terdekatku. Bukan untuk membuka hati kembali atas kisah yang sudah lama diakhiri.
"Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku mengenalmu dengan baik dan aku tahu tidak akan mudah bagimu menerimaku seperti dulu lagi. Tapi aku mohon pikirkan lagi ya, Nad. Aku masih sangat mengharapkanmu," pinta Iqbal yang tak bisa kujawab apa-apa.
Dia menyesap kopi yang asapnya sudah tak mengepul lagi. Hujan juga mulai berhenti. Pengunjung mulai meninggalkan tempat ini. Beberapa orang yang berjejal di teras-teras toko juga mulai berani keluar dari teduhannya. Sementara aku di sini semakin terjebak dengan permintaan Iqbal. Aku yakin tidurku tidak akan nyenyak malam ini. Aku bingung harus bagaimana.
***
Sekitar pukul sembilan malam aku pulang ke rumah. Awalnya Iqbal menawarkan untuk mengantarku pulang tapi aku menolak. Aku tidak mau mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menginterogasi dari orang tuaku jika mereka sampai tahu tiba-tiba aku pulang bersama Iqbal. Orang tuaku memang sudah tahu tentang Iqbal. Mereka juga tahu semua kejadian yang membuatku terluka karena laki-laki itu. Saat itu mereka hanya mengingatkan bahwa aku berbeda dan tidak semua orang bisa menerima untuk menjalin hubungan denganku.
Sesampainya di rumah, ibu langsung menyambutku dengan teh jahe hangat dan senyuman yang selalu membuatku merasa lebih baik.
"Ini teh jahenya diminum dulu selagi masih hangat," kata ibu sambil meletakkan minuman itu di atas meja ruang tamu.
"Terima kasih ya, Bu. Oh ya, ayah ke mana?," tanyaku karena tak melihat keberadaan ayah di rumah.
"Ayah sedang ke luar karena ada urusan," jawab ibu.
"Hujan sangat lebat tadi. Ibu khawatir kamu kehujanan saat perjalanan pulang," tutur ibu sembari mengelus puncak kepalaku penuh kasih sayang, mungkin memastikan apakah aku sempat kehujanan atau tidak.
"Tadi aku berteduh dulu, Bu. Tenanglah, Nadira bukan anak kecil lagi kok," jawabku menenangkan ibu. Dia memang menjadi lebih khawatir padaku semenjak aku pernah depresi karena berpisah dengan Iqbal. Entah bagaimana jadinya jika ibu tahu hari ini aku bertemu lagi dengan laki-laki itu. Terlebih dengan permintaan Iqbal agar aku kembali padanya, entah ibu akan setuju atau tidak.
Setelah menghabiskan teh jahe buatan ibu, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Lebih tepatnya aku menghindar dari ibu. Dia sangat memahamiku. Dia akan segera tahu jika aku sedang gelisah memikirkan atau menyembunyikan sesuatu dari perubahan sikapku. Meski biasanya aku bercerita apapun dengan ibu, tapi kali ini aku tidak siap untuk bercerita tentang pertemuanku dengan Iqbal padanya. Aku tidak tahu pasti butuh waktu berapa lama untuk memikirkan dan memutuskan, yang aku tahu adalah bahwa Iqbal menanti jawabanku dan berharap mendapatkan kabar baik. Tentang rasa, aku mencoba mencari-cari perasaanku sendiri. Mungkinkah aku temukan rasa yang masih sama pada Iqbal? Aku tidak tahu. Semenjak kejadian itu, aku menutup hati untuk siapapun. Menghindar dari perasaan-perasaan yang bisa menjatuhkan ku untuk yang ke sekian kali. Jika rasa itu sudah hilang, mungkinkah dengan mudah bisa ditumbuhkan kembali di atas tanah hatiku yang sudah gersang karena bekas luka? Atau jika pun rasa itu masih ada, mungkinkah di kesempatan kedua Iqbal dan keluarganya bisa menerima perbedaan yang masih sama?. Sudah menjadi sebuah kenyataan bahwa aku berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Tri Widayanti
Like
2021-03-18
0