Surabaya, tiga tahun yang lalu.
Suasana malam tidak lantas menghentikan aktivitas para mahasiswa. Mereka berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran kecil dan besar di halaman atau emperan gedung kampus. Sebagian di antara mereka ada yang sedang bergulat dengan kajian intelektual, mengikuti rapat organisasi atau bahkan ada yang sekedar berkumpul untuk silaturrahmi dengan teman-teman organisasi daerah. Malam ini juga cukup ramai karena anak-anak yang mengikuti UKM bela diri sedang latihan di halaman depan kampus.
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Aku dan beberapa orang teman masih belum pulang karena menunggu rapat organisasi di wisma. Rapat baru saja akan dimulai saat ponsel dalam tasku berdering. Layarnya menampilkan panggilan masuk dari sebuah nama yang tidak asing bagiku. Aku meminta izin keluar sebentar untuk menjawab panggilan itu.
"Halo, Iqbal. Ada apa?," tanyaku langsung mengawali pembicaraan karena aku tidak memiliki banyak waktu.
"Halo, Nad. Gimana kabar kamu dan ada di mana sekarang?," tanyanya.
"Aku baik-baik saja dan masih di kampus karena sebentar lagi masih ada rapat. Ini aja aku minta izin keluar sebentar," tuturku.
"Oh ya sudah kalau kamu masih sibuk. Dilanjut saja dulu."
"Tunggu sebentar, sebenarnya kamu ada perlu apa menghubungi aku?," tanyaku merasa sedikit aneh.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Ini tentang hubungan kita," jawab Iqbal dengan lemah.
"Ada apa?" tanyaku mulai ikut tegang.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku sedang dalam masalah besar saat ini. Bahkan masalah ini juga berimbas pada hubungan kita," jawab Iqbal dengan nada frustasi. Penuturan Iqbal semakin membuatku gelisah.
"Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kamu ada masalah apa?," tanyaku.
"Aku tidak bisa cerita sekarang, Nad. Lebih baik kamu lanjutkan rapatnya dulu. Aku tidak bisa langsung memberitahumu karena aku yakin ini akan mengganggu pikiran kamu. Nanti kita bicara lagi ya. Hubungi aku setelah rapatmu selesai dan kamu sudah sampai di tempat kos," pintanya.
Rasa penasaranku masih memuncak tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui untuk membicarakannya nanti. Tidak enak jika aku meninggalkan rapat terlalu lama. Meski begitu sebenarnya konsentrasiku mulai terpecah dan perasaanku tidak enak sepanjang mengikuti jalannya rapat. Aku harap rapat bisa segera selesai dan aku akan segera menghubungi Iqbal setelah sampai di tempat kos.
Pukul 21.40 aku pulang dengan diantar oleh teman satu organisasiku. Aku segera masuk ke kamar, membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelah semuanya selesai, aku segera menghubungi Iqbal meskipun aku ragu karena sudah cukup larut malam. Bisa saja Iqbal sudah tidur dan aku tidak mau mengganggunya. Namun rasa penasaran dan perasaanku yang tidak tenang mendominasi sehingga aku pun memutuskan untuk tetap menghubungi Iqbal. Setelah tiga menit akhirnya panggilanku mendapat jawaban dari Iqbal.
"Halo, Nad. Kamu sudah pulang?" tanyanya langsung.
"Iya. Aku sudah di kos. Sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu," pintaku langsung to the point. Aku sudah tidak dapat menahan diri.
"Tidak terjadi apa-apa padaku. Sudahlah. Kamu pasti lelah. Lebih baik istirahat saja ya," tuturnya yang sangat kupahami bahwa dia sedang menghindar dan ingin menutupi sesuatu.
"Aku serius, Iqbal. Aku tidak akan tenang sebelum tahu semua yang terjadi. Perasaanku tidak enak sejak kamu meneleponku tadi. Lebih baik kamu ceritakan saja sejujurnya padaku tentang apa yang terjadi."
"Sudahlah, Nad. Ini masalahku. Aku tidak mau kamu ikut kepikiran," ujarnya masih berusaha agar aku tidak perlu mengetahui apa-apa.
"Tapi jika kamu mengatakan itu ada kaitannya dengan hubungan kita, maka itu juga menjadi urusanku, Iqbal. Lebih baik kamu cerita sekarang juga tentang masalah yang sebenarnya," pintaku mulai terbawa emosi.
"Baiklah. Aku akan ceritakan semuanya. Tapi kamu tenang ya."
"Iya. Aku akan mendengarkan semuanya," ucapku setuju. Iqbal pun memulai ceritanya. Membuka pintu awal perpisahan kita.
"Aku sedang menghadapi masalah besar dalam hidupku. Aku difitnah telah merusak masa depan seorang perempuan dan aku diminta bertanggung jawab dengan cara bertunangan dengannya," penuturan Iqbal membuatku terkejut.
"Kamu tidak sedang bercanda kan?" tanyaku tak percaya. Aku tahu Iqbal tidak mungkin melakukan hal serendah itu.
"Aku minta maaf, Nad. Ini akan membuatmu bersedih. Tapi aku juga tidak berdaya," tuturnya lemah.
"Apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan dengan perempuan itu?" tanyaku dengan titik air mata yang mulai menuruni wajah.
"Aku tidak melakukan apa-apa, Nadira. Ini hanya fitnah. Sebenarnya yang mendapat fitnah ini pertama kali adalah kakak sepupuku , Mas Farhat. Dia adalah anak dari paman Syam, saudara tertua ayahku. Dia difitnah sudah melakukan perbuatan terlarang dengan Savira, teman sekelasku di kampus sekaligus tetangga kami. Padahal semua itu tidak benar."
"Lalu apa hubungannya semua ini dengan kamu?" tanyaku semakin tak mengerti.
"Kamu tahu kan kalau hubungan ayahku dengan paman Syam sangat dekat. Bahkan keluargaku berhutang budi atas semua kebaikan keluarga paman di masa-masa sulit kami. Paman Syam adalah seorang tokoh yang dituakan di desa kami. Fitnah pada Mas Farhat otomatis akan mencoreng nama baik pamanku dan seluruh keluarganya. Tidak hanya nama baik keluarga, fitnah ini juga bisa merusak hubungan Mas Farhat dengan Mbak Elis. Padahal mereka belum satu tahun menikah dan saat ini Mbak Elis sedang mengandung anak Mas Farhat. Demi menjaga nama baik paman dan keutuhan keluarga Mas Farhat, aku diminta untuk mengakui bahwa akulah yang melakukan perbuatan itu dengan Savira dan bukan Mas Farhat," penjelasan Iqbal benar-benar membuatku tidak habis pikir.
"Tapi fitnah itu pasti bisa dibuktikan tidak benar kan, Iqbal. Bagaimana mungkin kamu menerima sepasrah itu? Ini tidak hanya menyangkut aku dan kamu tapi juga nama baik keluarga kamu sendiri. Kamu bisa mencari bukti kalau kamu tidak bersalah."
"Mencari bukti itu tidak mudah, Nadira. Dan sekarang semuanya sudah terlambat untuk dicegah."
"Terlambat? Apa maksud kamu?" tanyaku.
"Aku sudah dijodohkan dengan Savira."
Penuturan itu benar-benar menampar hatiku. Aku tidak pernah bermimpi akan terjadi seperti ini. Seperti seseorang yang bangun dari tidur panjang namun mendapati dunianya telah hancur. Aku belum sepenuhnya mengerti apalagi untuk menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Rasanya begitu sakit. Hanya saja masih ada hal yang mengganjal pikiranku. Jika Iqbal baru memberitahu masalah ini padaku sekarang, lalu mengapa dia mengatakan sudah dijodohkan dengan Savira. Apakah perjodohan bisa diputuskan secepat itu?
"Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan sama kamu, Iqbal. Sebenarnya sudah sejauh apa hubungan kamu sekarang dengan Savira?" tanyaku bergetar.
"Maafkan aku, Nad. Selama ini aku tidak memiliki kekuatan untuk jujur padamu. Sebenarnya masalah fitnah itu sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Begitu pun perjodohanku dengan Savira sudah disepakati. Orang tua kami sudah sama-sama mengetahui tentang hubungan ini," tutur Iqbal membuatku merasa seperti orang paling bodoh di dunia ini.
"Lalu kenapa kamu merahasiakan semua ini dariku? Kenapa kamu menyembunyikan semuanya? Atau kamu memang sengaja ingin mempermainkan aku?" tuduhku mulai emosi.
"Nad, aku sama sekali tidak berniat untuk membohongi kamu. Aku berada dalam situasi sulit. Aku tidak bisa menolak permintaan orang tuaku tapi aku juga tidak bisa melepaskan kamu. Aku berpikir aku merahasiakannya dan menyelesaikan semuanya sendiri tanpa harus melibatkan kamu dan hubungan kita baik-baik saja. Tapi kenyataannya hari ini mereka malah menuduh kamu sebagai penyebab aku tidak kunjung menerima hubunganku dengan Savira. Aku tidak mau kamu dilibatkan dalam masalahku dan keluargaku. Oleh karena itu, Om Adi, kakak dari Mas Farhat memintaku untuk melepaskanmu dan mengakhiri hubungan kita."
"Jadi, keputusan kamu?" tanyaku yang lebih berupa kepastian bahwa semuanya memang sudah berakhir.
"Maaf aku tidak punya pilihan lain, Nad. Sekarang kamu bebas. Bebas dariku dan bebas untuk menjalin hubungan dengan siapapun."
Perkataan Iqbal yang menyatakan kebebasan juga membuat air mataku meluncur dengan bebasnya. Isak tangis aku tahan sekuat mungkin. Sebab aku tahu menunjukkan tangis dalam kondisi ini tidak akan merubah apapun.
"Aku sebenarnya tidak ikhlas melepasmu seperti ini, Nad. Aku akan terus berusaha mencari cara agar perjodohan ini bisa batal dan aku akan kembali kepadamu. Aku janji, Nadira. Dalam setahun aku akan memperbaiki semuanya. Om Adi juga bersedia membantuku asalkan aku melepaskan kamu dulu," kata-kata terakhir Iqbal hanya umpama penghibur yang tidak berarti apa-apa.
"Sudah cukup, Iqbal. Aku tidak ingin mengharapkan apapun lagi dari kamu. Kebohongan kamu sudah cukup membuatku seperti orang bodoh yang selama ini masih mengharapkan apa yang sudah menjadi milik orang lain. Jangan berjanji apapun lagi jika kamu juga belum tahu apakah hal itu bisa kamu tepati. Kamu mengatakan sebuah prinsip bahwa lebih baik disakiti dengan kejujuran daripada dibahagiakan dengan kebohongan. Terima kasih sudah mengingkari prinsip yang kamu buat sendiri. Semoga kamu bahagia dengan pilihan orang tuamu," ucapku sebelum akhirnya menutup telepon dan mengakhiri pembicaraan kami.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ada seorang pun yang tahu karena malam ini teman kosku juga tidak pulang dan menginap di tempat temannya. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apalagi. Hanya menikmati kehilangan seorang diri. Merasakan sakitnya ketiadaan sesuatu yang sebelumnya sangat berarti. Sayangnya Tuhan tidak pernah memberitahuku sebelumnya bahwa aku akan disakiti seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments