Malam tampak lebih gelap dari biasanya. Wajah langit terlihat berkantung berat menahan mendung yang mendesak untuk meneteskan titik-titik air. Cuaca dingin dan rintik yang mulai turun sebiji jagung tak menghentikan aktivitas orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya. Beberapa pejalan kaki yang menyesal karena tidak sedia payung sebelum hujan tampak mulai berlari-lari kecil mencari tempat berteduh ke emperan toko-toko di sepanjang jalan. Hujan turun semakin deras hingga rintiknya membasahi kaca jendela tempatku mematung sedari tadi. Aku tak perlu khawatir dengan hujan dan lari mencari tempat berteduh karena saat ini aku sedang berada di salah satu coffe shop. Satu-satunya hal yang aku perlukan saat ini adalah lari dari tatapan seseorang yang menagih sebuah jawaban.
Dia, orang yang bersamaku saat ini masih setia memandangi secara bergantian antara aku yang mematung di depan kaca dan asap kopi yang mengepul di mejanya. Aku diam-diam meliriknya sesekali. Terkadang tatapan matanya tampak menyelam pada cairan hitam itu dan berharap menemukan jawaban yang ia harapkan. Padahal jauh sebelum hari ini terjadi, dia sudah lebih dulu menenggelamkanku pada hitamnya kesedihan yang mendalam.
"Nadira, maukah kamu mengulang kembali semuanya denganku?" ucapnya beberapa menit yang lalu dan sukses membuatku bungkam saat itu.
Aku masih ingat dengan jelas siapa orang yang bersamaku sekalipun kisahnya sudah kuputuskan sekedar menjadi masa lalu. Aku masih ingat bagaimana hujan yang sama terasa seperti sembilu menghujani seluruh tubuhku malam itu. Cerita dengan orang yang sama pada suatu malam hujan tiga tahun yang lalu. Saat itu dia membuatku merasakan bagaimana sakitnya menjadi orang yang tidak diperjuangkan. Merasakan bagaimana kecewanya menjadi bagian dari pilihan yang tidak menjadi pilihan. Akulah perempuan yang malam itu tangisnya dikalahkan oleh deru air hujan. Aku menanggung luka yang tak siapapun dapat membayangkannya. Hatiku bertuliskan kata-kata kecewa yang tak siapapun dapat membacanya. Saat itu aku hanya menjadi seorang diri yang alpa. Iqbal Adi Prasetya adalah laki-laki yang sejak saat itu tidak pernah ingin aku temui lagi. Laki-laki yang hari ini juga datang menawarkan untuk mengulang kisah setelah tiga tahun dia pergi. Kisah yang sebenarnya tak pernah dimulai ataupun diakhiri.
Meskipun seseorang yang pernah menyakiti telah menyesali, namun tidak berarti kedatangannya bisa kembali disambut dengan tangan terbuka seperti sedia kala. Meski luka yang tercipta sudah sembuh dengan sendirinya, tapi untuk membuka pintu di kesempatan kedua tidak hanya dengan mengetuknya saja. Bukankah seseorang tidak akan begitu bodoh mempersilahkan seseorang masuk dalam kehidupannya untuk menyakiti berkali-kali? Begitu pula yang aku rasakan dengan kedatangan Iqbal hari ini. Perkataannya mengajakku untuk kembali pada kisah yang sudah lama aku tinggalkan. Entah perkataan itu adalah permintaan atau penawaran. Apapun bentuknya, bagiku kata-kata itu sudah seperti petir yang terdengar sebelum hujan turun dengan lebatnya. Pertemuan dengannya kali ini memaksaku kembali pada cerita yang sudah lama aku akhiri dengan paksa.
Aku hanya diam tak menanggapi apa-apa. Entah sudah berapa menit berlalu dan Iqbal masih menunggu jawabanku. Aku tahu bahwa dia pasti tahu semuanya tidak akan mudah bagiku. Saat rasa yang pernah dimiliki sudah tidak berarti, maka kembali pun tidak dapat menjadi jalan untuk memperbaiki.
"Aku minta maaf, Nad. Aku tahu aku salah. Aku sudah sangat menyakiti kamu. Tapi saat itu aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan kedua orang tuaku," ucapnya lagi setelah aku kembali duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"Kamu tidak perlu minta maaf berulang kali, Iqbal. Aku sudah memaafkan kamu dan melupakan semuanya," balasku.
"Aku sungguh menyesal. Semenjak kamu pergi, aku tidak pernah merasakan lagi kebahagiaan seperti saat kita masih bersama," kata Iqbal.
"Bukan aku yang pergi. Tapi kamu yang meninggalkan aku. Apa kamu lupa itu?," jawabku masih menyiratkan kekecewaan atas perlakuannya waktu itu.
"Nad, kamu juga tahu itu semua bukan kemauanku. Aku tidak pernah mencintai Savira. Aku hanya dipaksa oleh keadaan. Dan asal kamu tahu, selama ini aku tidak pernah menganggap kisah kita telah berakhir. Setiap hari aku memimpikan perjodohan itu berakhir dan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Setelah hari ini aku mendapatkan kebebasanku, aku harap mendapat kabar baik dengan kesediaanmu mengulang semuanya kembali bersamaku, Nadira. Aku mohon," pinta Iqbal.
Aku juga menyadari bahwa perpisahan kami bukan sepenuhnya salah Iqbal. Dia dipaksa keluarganya untuk dijodohkan dengan Savira karena suatu permasalahan. Aku tahu dia juga dipaksa oleh keadaan. Tapi tetap saja aku merasa terluka karena tidak diperjuangkan. Aku merasa seperti sampah yang dibuang dan hari ini ingin ia pungut kembali. Waktu itu Iqbal memang pernah berjanji untuk mencari cara agar perjodohannya dengan Savira bisa dibatalkan dan kembali padaku. Tapi dianggap sebagai pengganggu tunangan orang sudah membuatku merasa kehilangan harga diri yang tidak bisa diobati sekedar dengan janji yang tak pasti. Kita berpisah meski masih ada rasa yang sama di hati. Iqbal adalah cinta pertama dalam hidupku sekaligus orang yang membuatku paling terluka untuk pertama kalinya.
Hari ini dia mengajakku bertemu di salah satu coffe shop tak jauh dari tempatku bekerja. Sebelumnya dia juga meminta maaf lewat pesan whats app dan mengabarkan jika perjodohannya dengan Savira sudah dibatalkan. Aku menyempatkan diri menemuinya sepulang kerja. Namun kedatanganku hanyalah untuk menghargai dia sebagai seseorang yang pernah menjadi sahabat terdekatku. Bukan untuk membuka hati kembali atas kisah yang sudah lama diakhiri.
"Aku tahu kamu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku mengenalmu dengan baik dan aku tahu tidak akan mudah bagimu menerimaku seperti dulu lagi. Tapi aku mohon pikirkan lagi ya, Nad. Aku masih sangat mengharapkanmu," pinta Iqbal yang tak bisa kujawab apa-apa.
Dia menyesap kopi yang asapnya sudah tak mengepul lagi. Hujan juga mulai berhenti. Pengunjung mulai meninggalkan tempat ini. Beberapa orang yang berjejal di teras-teras toko juga mulai berani keluar dari teduhannya. Sementara aku di sini semakin terjebak dengan permintaan Iqbal. Aku yakin tidurku tidak akan nyenyak malam ini. Aku bingung harus bagaimana.
***
Sekitar pukul sembilan malam aku pulang ke rumah. Awalnya Iqbal menawarkan untuk mengantarku pulang tapi aku menolak. Aku tidak mau mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menginterogasi dari orang tuaku jika mereka sampai tahu tiba-tiba aku pulang bersama Iqbal. Orang tuaku memang sudah tahu tentang Iqbal. Mereka juga tahu semua kejadian yang membuatku terluka karena laki-laki itu. Saat itu mereka hanya mengingatkan bahwa aku berbeda dan tidak semua orang bisa menerima untuk menjalin hubungan denganku.
Sesampainya di rumah, ibu langsung menyambutku dengan teh jahe hangat dan senyuman yang selalu membuatku merasa lebih baik.
"Ini teh jahenya diminum dulu selagi masih hangat," kata ibu sambil meletakkan minuman itu di atas meja ruang tamu.
"Terima kasih ya, Bu. Oh ya, ayah ke mana?," tanyaku karena tak melihat keberadaan ayah di rumah.
"Ayah sedang ke luar karena ada urusan," jawab ibu.
"Hujan sangat lebat tadi. Ibu khawatir kamu kehujanan saat perjalanan pulang," tutur ibu sembari mengelus puncak kepalaku penuh kasih sayang, mungkin memastikan apakah aku sempat kehujanan atau tidak.
"Tadi aku berteduh dulu, Bu. Tenanglah, Nadira bukan anak kecil lagi kok," jawabku menenangkan ibu. Dia memang menjadi lebih khawatir padaku semenjak aku pernah depresi karena berpisah dengan Iqbal. Entah bagaimana jadinya jika ibu tahu hari ini aku bertemu lagi dengan laki-laki itu. Terlebih dengan permintaan Iqbal agar aku kembali padanya, entah ibu akan setuju atau tidak.
Setelah menghabiskan teh jahe buatan ibu, aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Lebih tepatnya aku menghindar dari ibu. Dia sangat memahamiku. Dia akan segera tahu jika aku sedang gelisah memikirkan atau menyembunyikan sesuatu dari perubahan sikapku. Meski biasanya aku bercerita apapun dengan ibu, tapi kali ini aku tidak siap untuk bercerita tentang pertemuanku dengan Iqbal padanya. Aku tidak tahu pasti butuh waktu berapa lama untuk memikirkan dan memutuskan, yang aku tahu adalah bahwa Iqbal menanti jawabanku dan berharap mendapatkan kabar baik. Tentang rasa, aku mencoba mencari-cari perasaanku sendiri. Mungkinkah aku temukan rasa yang masih sama pada Iqbal? Aku tidak tahu. Semenjak kejadian itu, aku menutup hati untuk siapapun. Menghindar dari perasaan-perasaan yang bisa menjatuhkan ku untuk yang ke sekian kali. Jika rasa itu sudah hilang, mungkinkah dengan mudah bisa ditumbuhkan kembali di atas tanah hatiku yang sudah gersang karena bekas luka? Atau jika pun rasa itu masih ada, mungkinkah di kesempatan kedua Iqbal dan keluarganya bisa menerima perbedaan yang masih sama?. Sudah menjadi sebuah kenyataan bahwa aku berbeda.
Surabaya, tiga tahun yang lalu.
Suasana malam tidak lantas menghentikan aktivitas para mahasiswa. Mereka berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran kecil dan besar di halaman atau emperan gedung kampus. Sebagian di antara mereka ada yang sedang bergulat dengan kajian intelektual, mengikuti rapat organisasi atau bahkan ada yang sekedar berkumpul untuk silaturrahmi dengan teman-teman organisasi daerah. Malam ini juga cukup ramai karena anak-anak yang mengikuti UKM bela diri sedang latihan di halaman depan kampus.
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Aku dan beberapa orang teman masih belum pulang karena menunggu rapat organisasi di wisma. Rapat baru saja akan dimulai saat ponsel dalam tasku berdering. Layarnya menampilkan panggilan masuk dari sebuah nama yang tidak asing bagiku. Aku meminta izin keluar sebentar untuk menjawab panggilan itu.
"Halo, Iqbal. Ada apa?," tanyaku langsung mengawali pembicaraan karena aku tidak memiliki banyak waktu.
"Halo, Nad. Gimana kabar kamu dan ada di mana sekarang?," tanyanya.
"Aku baik-baik saja dan masih di kampus karena sebentar lagi masih ada rapat. Ini aja aku minta izin keluar sebentar," tuturku.
"Oh ya sudah kalau kamu masih sibuk. Dilanjut saja dulu."
"Tunggu sebentar, sebenarnya kamu ada perlu apa menghubungi aku?," tanyaku merasa sedikit aneh.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu. Ini tentang hubungan kita," jawab Iqbal dengan lemah.
"Ada apa?" tanyaku mulai ikut tegang.
"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku sedang dalam masalah besar saat ini. Bahkan masalah ini juga berimbas pada hubungan kita," jawab Iqbal dengan nada frustasi. Penuturan Iqbal semakin membuatku gelisah.
"Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Kamu ada masalah apa?," tanyaku.
"Aku tidak bisa cerita sekarang, Nad. Lebih baik kamu lanjutkan rapatnya dulu. Aku tidak bisa langsung memberitahumu karena aku yakin ini akan mengganggu pikiran kamu. Nanti kita bicara lagi ya. Hubungi aku setelah rapatmu selesai dan kamu sudah sampai di tempat kos," pintanya.
Rasa penasaranku masih memuncak tapi aku pun tidak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui untuk membicarakannya nanti. Tidak enak jika aku meninggalkan rapat terlalu lama. Meski begitu sebenarnya konsentrasiku mulai terpecah dan perasaanku tidak enak sepanjang mengikuti jalannya rapat. Aku harap rapat bisa segera selesai dan aku akan segera menghubungi Iqbal setelah sampai di tempat kos.
Pukul 21.40 aku pulang dengan diantar oleh teman satu organisasiku. Aku segera masuk ke kamar, membersihkan diri dan mengganti pakaian. Setelah semuanya selesai, aku segera menghubungi Iqbal meskipun aku ragu karena sudah cukup larut malam. Bisa saja Iqbal sudah tidur dan aku tidak mau mengganggunya. Namun rasa penasaran dan perasaanku yang tidak tenang mendominasi sehingga aku pun memutuskan untuk tetap menghubungi Iqbal. Setelah tiga menit akhirnya panggilanku mendapat jawaban dari Iqbal.
"Halo, Nad. Kamu sudah pulang?" tanyanya langsung.
"Iya. Aku sudah di kos. Sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu," pintaku langsung to the point. Aku sudah tidak dapat menahan diri.
"Tidak terjadi apa-apa padaku. Sudahlah. Kamu pasti lelah. Lebih baik istirahat saja ya," tuturnya yang sangat kupahami bahwa dia sedang menghindar dan ingin menutupi sesuatu.
"Aku serius, Iqbal. Aku tidak akan tenang sebelum tahu semua yang terjadi. Perasaanku tidak enak sejak kamu meneleponku tadi. Lebih baik kamu ceritakan saja sejujurnya padaku tentang apa yang terjadi."
"Sudahlah, Nad. Ini masalahku. Aku tidak mau kamu ikut kepikiran," ujarnya masih berusaha agar aku tidak perlu mengetahui apa-apa.
"Tapi jika kamu mengatakan itu ada kaitannya dengan hubungan kita, maka itu juga menjadi urusanku, Iqbal. Lebih baik kamu cerita sekarang juga tentang masalah yang sebenarnya," pintaku mulai terbawa emosi.
"Baiklah. Aku akan ceritakan semuanya. Tapi kamu tenang ya."
"Iya. Aku akan mendengarkan semuanya," ucapku setuju. Iqbal pun memulai ceritanya. Membuka pintu awal perpisahan kita.
"Aku sedang menghadapi masalah besar dalam hidupku. Aku difitnah telah merusak masa depan seorang perempuan dan aku diminta bertanggung jawab dengan cara bertunangan dengannya," penuturan Iqbal membuatku terkejut.
"Kamu tidak sedang bercanda kan?" tanyaku tak percaya. Aku tahu Iqbal tidak mungkin melakukan hal serendah itu.
"Aku minta maaf, Nad. Ini akan membuatmu bersedih. Tapi aku juga tidak berdaya," tuturnya lemah.
"Apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan dengan perempuan itu?" tanyaku dengan titik air mata yang mulai menuruni wajah.
"Aku tidak melakukan apa-apa, Nadira. Ini hanya fitnah. Sebenarnya yang mendapat fitnah ini pertama kali adalah kakak sepupuku , Mas Farhat. Dia adalah anak dari paman Syam, saudara tertua ayahku. Dia difitnah sudah melakukan perbuatan terlarang dengan Savira, teman sekelasku di kampus sekaligus tetangga kami. Padahal semua itu tidak benar."
"Lalu apa hubungannya semua ini dengan kamu?" tanyaku semakin tak mengerti.
"Kamu tahu kan kalau hubungan ayahku dengan paman Syam sangat dekat. Bahkan keluargaku berhutang budi atas semua kebaikan keluarga paman di masa-masa sulit kami. Paman Syam adalah seorang tokoh yang dituakan di desa kami. Fitnah pada Mas Farhat otomatis akan mencoreng nama baik pamanku dan seluruh keluarganya. Tidak hanya nama baik keluarga, fitnah ini juga bisa merusak hubungan Mas Farhat dengan Mbak Elis. Padahal mereka belum satu tahun menikah dan saat ini Mbak Elis sedang mengandung anak Mas Farhat. Demi menjaga nama baik paman dan keutuhan keluarga Mas Farhat, aku diminta untuk mengakui bahwa akulah yang melakukan perbuatan itu dengan Savira dan bukan Mas Farhat," penjelasan Iqbal benar-benar membuatku tidak habis pikir.
"Tapi fitnah itu pasti bisa dibuktikan tidak benar kan, Iqbal. Bagaimana mungkin kamu menerima sepasrah itu? Ini tidak hanya menyangkut aku dan kamu tapi juga nama baik keluarga kamu sendiri. Kamu bisa mencari bukti kalau kamu tidak bersalah."
"Mencari bukti itu tidak mudah, Nadira. Dan sekarang semuanya sudah terlambat untuk dicegah."
"Terlambat? Apa maksud kamu?" tanyaku.
"Aku sudah dijodohkan dengan Savira."
Penuturan itu benar-benar menampar hatiku. Aku tidak pernah bermimpi akan terjadi seperti ini. Seperti seseorang yang bangun dari tidur panjang namun mendapati dunianya telah hancur. Aku belum sepenuhnya mengerti apalagi untuk menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Rasanya begitu sakit. Hanya saja masih ada hal yang mengganjal pikiranku. Jika Iqbal baru memberitahu masalah ini padaku sekarang, lalu mengapa dia mengatakan sudah dijodohkan dengan Savira. Apakah perjodohan bisa diputuskan secepat itu?
"Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan sama kamu, Iqbal. Sebenarnya sudah sejauh apa hubungan kamu sekarang dengan Savira?" tanyaku bergetar.
"Maafkan aku, Nad. Selama ini aku tidak memiliki kekuatan untuk jujur padamu. Sebenarnya masalah fitnah itu sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Begitu pun perjodohanku dengan Savira sudah disepakati. Orang tua kami sudah sama-sama mengetahui tentang hubungan ini," tutur Iqbal membuatku merasa seperti orang paling bodoh di dunia ini.
"Lalu kenapa kamu merahasiakan semua ini dariku? Kenapa kamu menyembunyikan semuanya? Atau kamu memang sengaja ingin mempermainkan aku?" tuduhku mulai emosi.
"Nad, aku sama sekali tidak berniat untuk membohongi kamu. Aku berada dalam situasi sulit. Aku tidak bisa menolak permintaan orang tuaku tapi aku juga tidak bisa melepaskan kamu. Aku berpikir aku merahasiakannya dan menyelesaikan semuanya sendiri tanpa harus melibatkan kamu dan hubungan kita baik-baik saja. Tapi kenyataannya hari ini mereka malah menuduh kamu sebagai penyebab aku tidak kunjung menerima hubunganku dengan Savira. Aku tidak mau kamu dilibatkan dalam masalahku dan keluargaku. Oleh karena itu, Om Adi, kakak dari Mas Farhat memintaku untuk melepaskanmu dan mengakhiri hubungan kita."
"Jadi, keputusan kamu?" tanyaku yang lebih berupa kepastian bahwa semuanya memang sudah berakhir.
"Maaf aku tidak punya pilihan lain, Nad. Sekarang kamu bebas. Bebas dariku dan bebas untuk menjalin hubungan dengan siapapun."
Perkataan Iqbal yang menyatakan kebebasan juga membuat air mataku meluncur dengan bebasnya. Isak tangis aku tahan sekuat mungkin. Sebab aku tahu menunjukkan tangis dalam kondisi ini tidak akan merubah apapun.
"Aku sebenarnya tidak ikhlas melepasmu seperti ini, Nad. Aku akan terus berusaha mencari cara agar perjodohan ini bisa batal dan aku akan kembali kepadamu. Aku janji, Nadira. Dalam setahun aku akan memperbaiki semuanya. Om Adi juga bersedia membantuku asalkan aku melepaskan kamu dulu," kata-kata terakhir Iqbal hanya umpama penghibur yang tidak berarti apa-apa.
"Sudah cukup, Iqbal. Aku tidak ingin mengharapkan apapun lagi dari kamu. Kebohongan kamu sudah cukup membuatku seperti orang bodoh yang selama ini masih mengharapkan apa yang sudah menjadi milik orang lain. Jangan berjanji apapun lagi jika kamu juga belum tahu apakah hal itu bisa kamu tepati. Kamu mengatakan sebuah prinsip bahwa lebih baik disakiti dengan kejujuran daripada dibahagiakan dengan kebohongan. Terima kasih sudah mengingkari prinsip yang kamu buat sendiri. Semoga kamu bahagia dengan pilihan orang tuamu," ucapku sebelum akhirnya menutup telepon dan mengakhiri pembicaraan kami.
Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ada seorang pun yang tahu karena malam ini teman kosku juga tidak pulang dan menginap di tempat temannya. Saat itu aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apalagi. Hanya menikmati kehilangan seorang diri. Merasakan sakitnya ketiadaan sesuatu yang sebelumnya sangat berarti. Sayangnya Tuhan tidak pernah memberitahuku sebelumnya bahwa aku akan disakiti seperti ini.
Berpisah dengan Iqbal, laki-laki yang sangat aku cintai telah menorehkan luka yang teramat sakit dalam hatiku. Laki-laki pertama yang benar-benar membuatku jatuh dalam cinta. Aku tidak pernah menyangka bahwa luka akibat jatuh cinta akan sesakit ini. Mungkinkah karena itu selama ini ayah menjaga pergaulanku dan melarangku menjalin hubungan dengan sembarang orang. Aku tahu Iqbal memang bukan orang yang buruk tapi tetap saja ayah tidak menyetujui bahkan saat mengetahui aku berhubungan dengannya. Selama ini aku memang merahasiakan hubungan kami. Bahkan saat orang tuaku tahu, ayah sudah memperingatkanku. Tapi peringatan ayah saat itu tidak bisa menghentikan perasaanku pada Iqbal. Kami tetap menjalaninya dengan keyakinan suatu saat dapat memenangkan hati ayah. Berbeda dengan ibu yang lebih bisa menerima segala sesuatunya asalkan aku bahagia.
Berakhirnya hubunganku dengan Iqbal membuatku terjebak dalam depresi. Selama tiga hari aku menangis tak henti-henti. Tentu saja aku harus bersembunyi setiap kali air mataku tidak bisa diajak berkompromi. Aku menangis mengingat semua kenangan ku bersama Iqbal. Bagiku tidak mudah untuk melupakan semuanya begitu saja. Seseorang tidak akan pernah bisa melupakan apa yang sudah pernah terjadinya dalam hidupnya seberapapun dia sangat ingin untuk menghapus ingatan itu. Begitu pula yang aku rasakan meskipun hubungan yang sudah terjalin selama empat tahun sepuluh bulan kenyataannya sudah berakhir.
Aku tidak tahu apakah Iqbal bahagia dengan keputusannya atau tidak. Hanya saja aku merasa semua orang begitu jahat membuatku merasakan luka sebegitu dalamnya. Setiap kali melihat wajahku di cermin, setiap itu pula aku merasa melihat bayangan Iqbal dan kembali merasa bodoh sudah pernah sangat mencintainya. Aku merasa hidupku tiada lagi berarti. Aku benci merasa tidak diperjuangkan. Sampai suatu hari aku sudah benar-benar lelah menahan rasa sakit sendirian. Aku pun menelepon ibu dan menangis sejadi-jadinya meskipun tidak bisa mengatakan alasan di balik tangisan itu.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu dengan cemas saat aku meneleponnya dalam keadaan menangis. Beberapa waktu lamanya aku tidak bisa mengatakan apapun.
"Aku merindukan ibu." Hanya itulah jawaban yang bisa kuberikan pada ibu. Seberapa sesak aku menanggung sakit itu sendirian, tetap saja aku tidak bisa memberitahukan apa yang aku alami pada ibu.
Telepon beraroma kesedihan itu membuat ibu memintaku untuk pulang ke rumah. Selama ini aku memang memilih tinggal di tempat kos karena lebih dekat dengan kampus daripada harus pulang pergi dari rumah meskipun masih dalam satu kota. Setelah berbicara dengan ibu, aku pun merencanakan untuk pulang pada hari libur pekan depan. Kepulanganku memang tidak akan merubah semuanya. Kepulanganku juga bukan untuk mengadu. Hanya saja dengan melihat wajah orang-orang yang aku sayang mungkin bisa membuatku sedikit lebih baik.
***
Hari Jum'at sore sehabis kuliah aku langsung bersiap untuk pulang ke rumah. Aku menunggu taksi online yang aku pesan di halte depan kampus. Tempat itu kembali mengingatkanku pada Iqbal. Aku teringat saat kita berpisah di halte ini sewaktu dia mengunjungiku ke kampus sebelum peristiwa fitnah itu terjadi. Sekejap beberapa kenangan kebersamaan terlintas seperti film yang diputar secara otomatis. Tak ayal semua itu kembali membuat kesedihanku mencuat ke permukaan.
Lamunanku tersadar saat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan halte. Aku pun segera masuk dan memerintahkan sopir untuk berangkat. Aku ingin segera meninggalkan tempat itu dan kenangannya.
"Ayo, Pak. Jalan sekarang," pintaku karena mobil kami tak kunjung berangkat.
"Maaf, Mbak. Tapi ... ," ucap driver itu yang langsung kupotong dengan ucapanku.
"Tapi apa, Pak? Ayolah saya sedang terburu-buru," ucapku.
"Saya harus mengantarmu ke mana?" tanya driver itu lagi.
"Bapak gimana sih? Bukannya alamat tujuan sudah saya cantumkan saat order. Ya sudah antarian saya ke Griya Residance blok M-25," jawabku dengan kesal tanpa melihat ke arah driver karena aku duduk di kursi belakang. Moodku memang sedang buruk.
"Baik, Mbak. Sebentar saya setel GPS dulu ya," jawabnya.
"Terserah bapak saja lah," ucapku ketus.
Tak berapa lama kemudian, mobil yang aku tumpangi melaju membawaku ke tempat tujuan. Selama perjalanan aku hanya diam memikirkan nasib hidupku selanjutnya. Meskipun sangat berat tapi aku harus melaluinya. Aku tidak bisa terus seperti ini memikirkan orang yang jelas-jelas sudah meninggalkanku.
"Mbak sedang ada masalah ya?" tanya driver itu tampak sedikit ragu-ragu. Mungkin dia melihat ekspresi sedihku lewat kaca mobil. Beberapa saat aku tak menggubrisnya. "Masalah dalam hidup itu memang sudah biasa mbak. Itu ujian yang bisa mendewasakan jika kita bisa menjadikannya pelajaran," ucap driver itu lagi.
"Pelajaran apa yang bisa didapat dari sebuah pengkhianatan?" balasku dengan nada sedikit emosi.
"Oh ternyata habis dikhianati seseorang. Ya itu bagus," ucapnya lagi.
"Bagus apanya?" tanyaku. Ucapan orang ini cukup menyulut emosi. Apa bagusnya keadaan yang membuatku depresi seperti ini? Atau bahkan haruskah aku mensyukuri pengkhianatan ini? Masalah ini sudah membuatku tidak baik-baik saja.
"Ya bagus karena dengan begitu ke depannya mbak akan lebih hati-hati untuk membuka hati untuk orang lain," jawab driver itu lagi.
"Tidak perlu membicarakan hal seperti itu. Aku tidak akan membuka hati untuk siapapun. Semua laki-laki sama saja," ucapku.
"Terkadang memaafkan itu membuat hati kita jauh lebih tenang lho mbak," kata driver itu seperti sebuah saran. Sebenarnya saran itu tidak buruk hanya saja aku belum bisa melakukannya semudah itu. Kebohongan Iqbal masih sulit untuk aku terima.
Ponselku tiba-tiba berdering saat aku masih larut memikirkan ucapan terakhir pak sopir. Aku melihat panggilan masuk dari nomor baru. Aku pun menjawabnya takut ada hal penting.
"Halo. Benar ini dengan Mbak Nadira?" terdengar suara laki-laki di telepon.
"Iya benar ini dengan Nadira. Ini siapa ya?" aku balik bertanya karena tidak mengenali penelpon.
"Saya driver taksi online yang mbak pesan. Posisi mbak di mana ya? Ini saya sudah cukup lama menunggu di depan kampus mbak," kata seseorang yang mengaku driver taksi online itu. Sesaat aku pun merasa heran.
"Lho ini saya sudah dalam perjalanan, Pak," ucapku.
"Mbak double order ya? Lain kali jangan seperti itu mbak. Kalau mau order lagi lebih baik dicancel dulu. Kasian drivernya. Ini saya sudah muter-muter untuk jemput, sudah nunggu lama juga ternyata mbaknya sudah pakai yang lain," terdengar driver itu merasa kesal dan marah-marah padaku.
"Tapi saya beneran nggak double order kok, Pak. Saya kira ini memang taksi online yang saya pesan. Tunggu dulu, kalau bukan jasa dari bapak yang mengantar saya, lalu ini saya ikut siapa?" ucapku yang lebih serupa pertanyaan pada diri sendiri.
"Ya mana saya tahu. Ya sudahlah dicancel saja. Buang-buang waktu saya saja ini" jawab driver itu dengan ketus dan segera mengakhiri pembicaraan secara sepihak. Aku yang masih kebingungan segera cek aplikasi dan benar saja pesananku masih menunggu di lokasi penjemputan. Aku pun segera cancel pesanan itu. Tapi jika yang aku tumpangi ini bukan dari jasa taksi online, lalu siapa yang sedang mengantarku ini?.
"Pak, jawab yang jujur ya. Bapak ini siapa? Kenapa bapak yang mengantarkan saya?" tanyaku menyelidik pada pengemudi yang ternyata bukan driver taksi online itu. Pikiran-pikiran aneh seperti penculikan sudah terbayang. Aku tidak mau masuk berita kampus dengan tagline Mahasiswa Patah Hati Menjadi Korban Penculikan Karena Salah Naik Taksi.
"Yang seharusnya nanya itu saya. Mbak ini siapa? Kenapa meminta saya mengantarkan ke alamat ini?," ucap driver itu balik bertanya.
"Ya saya kira ini taksi online yang sedang saya tunggu. Duh bapak gimana sih?" keluhku mulai kebingungan.
"Pertama, saya bukan bapak-bapak ya. Kedua, siapa yang salah langsung masuk mobil saya tanpa cek plat nomor mobil. Ketiga, di awal saya sudah coba memberitahu tapi kamu udah nyerocos dan minta dianterin ke alamat itu," ucap driver itu sembari menoleh langsung ke arahku. Saat itulah aku baru melihat wajah sang driver. Memang tergolong masih cukup muda.
"Ya maaf. Terus ini saya gimana?" tanyaku barangkali kita akan berhenti di suatu tempat dan aku akan memesan taksi online lainnya untuk mengantarku sampai ke rumah.
"Kamu diam saja. Saya akan mengantarmu sampai alamat ini," jawabnya yang sudah kembali fokus mengemudi.
"Terima kasih. Tapi kalau mas keberatan, saya bisa turun di sini dan memesan taksi online lagi untuk sampai di alamat itu," ujarku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa. Ini sudah setengah perjalanan. Lagi pula kalau kamu memesan taksi online lagi dan salah naik mobil lagi gimana? Untung lho masih ketemu orang baik kayak saya. Coba pikirkan kalau ketemu orang jahat dan kamu digangguin," kata driver itu membuatku cukup merinding.
"Sudah tidak usah menakut-nakuti saya," pintaku padanya. Dia tidak menjawab lagi perkataanku dan justru terdengar menghubungi seseorang.
"Sita, maaf ya sepertinya mas tidak bisa menjemputmu sekarang karena sedang ada urusan mendadak. Iya sekali lagi mas minta maaf ya. Terima kasih pengertiannya", ujarnya berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa. Dari pembicaraan itu aku hanya tahu bahwa dia sudah memiliki janji dengan seseorang sebelumnya yang terpaksa harus dibatalkan karena aku.
"Mas, saya minta maaf ya kalau mengganggu agendamu," ucapku merasa tidak enak padanya. Panggilanku juga langsung berupa menggunakan embel-embel mas.
"Tidak apa-apa," jawabnya santai. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan sampai mobil yang kami tumpangi mulai memasuki area Griya Residance. Dia mengantarku sampai depan rumah.
"Sekali lagi terima kasih banyak ya mas karena sudah mengantarku sampai rumah. Oh ya, perkenalkan nama saya Nadira," kataku sembari mengulurkan tangan.
"Saya Fandi," jawabnya membalas uluran tanganku.
"Bukannya saya tidak mau mengajak Mas Fandi mampir dulu. Tapi kalau saya menawarkan, saya takut Mas Fandi beneran mampir. Ayah saya galak mas. Belum pernah ada laki-laki yang berani main ke sini. Nanti saya bisa diinterogasi panjang kalau pulang bawa laki-laki," ucapku sedikit menjelaskan tentang ayahku yang protektif. Aku tidak mau disangka tidak tahu berterima kasih karena sudah diantar tapi bahkan tidak menawarkan untuk sekedar mampir sebentar.
"Iya tidak apa-apa. Saya langsung pamit saja. Salam untuk orang tuamu."
"Baik, Mas. Terima kasih. Hati-hati di jalan," ucapku sembari melambaikan tangan. Dia pun masuk kembali ke mobilnya dan mulai melaju meninggalkan rumahku.
Ini hari yang benar-benar memalukan. Bagaimana mungkin aku bisa salah naik taksi. Aku sangat malu dan berharap tidak bertemu dengan orang itu lagi atau aku harus menyembunyikan wajahku jika masih ingat kejadian hari ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!