Aku masuk ke dalam rumah setelah bayangan Fandi tidak terlihat lagi. Baru saja membuka pintu, aku langsung dikagetkan dengan ibu yang sudah menunggu di kursi ruang tamu. Aku yakin barusan ibu pasti melihat aku bersama Fandi.
"Pulang jam berapa dari sana?" tanya ibu menyambutku.
"Sekitar jam 4, Bu. Selesai kuliah aku langsung pulang ke sini," jelasku sembari menghampiri ibu dan menjabat tangannya. Aku pun duduk di samping ibu.
"Tadi siapa yang mengantarmu?" tanya ibu. Sudah kuduga ibu akan bertanya seperti itu.
"Anggap saja teman baru, Bu. Tapi ibu jangan salah paham dulu. Sebenarnya ada sedikit kejadian yang tidak mengenakkan," tuturku.
"Kejadian tidak mengenakkan bagaimana?" tanya ibu tampak cemas.
"Jadi ceritanya tadi aku memesan taksi online tapi ternyata aku salah masuk mobil orang. Aku pikir itu adalah taksi online yang aku pesan. Aku langsung saja masuk ke mobilnya saat dia berhenti di depan halte kampus dan memintanya mengantarku. Ternyata sampai di tengah jalan, drivernya menghubungiku dan mengatakan menunggu di kampus. Barulah saat itu aku menyadari kalau aku salah mobil," jelasku pada ibu.
"Tapi orang itu tidak berniat jahat padamu kan?" tanya ibu dengan kecemasan yang belum surut.
"Tidak, Bu. Dia baik. Bahkan dia tetap mau mengantarku sampai rumah."
"Lagian kenapa kamu sampai salah mobil?" tanya ibu keheranan.
"Entahlah. Mungkin aku kurang fokus dan tidak cek plat nomor mobilnya dulu."
"Kamu ini kenapa? Untung saja masih ketemu orang baik. Coba kalau sebaliknya dan terjadi hal buruk padamu? Ibu tidak tahu lagi harus bagaimana," ucap ibu.
"Yang terpenting sekarang aku tidak apa-apa kan, Bu. Ibu tidak perlu khawatir lagi," ujarku menenangkan ibu.
"Tapi lain kali kamu harus lebih berhati-hati," pintanya.
"Iya. Dira janji lain kali akan lebih hati-hati."
"Oh iya, beberapa hari sewaktu kamu menangis di telepon sebenarnya ada apa?" tanya ibu kali ini mulai lebih serius.
"Tidak ada apa-apa, Ibu. Aku hanya merindukan ibu. Sudah ya, aku masuk dulu ingin bersih-bersih diri. Nanti kita cerita-cerita lagi," ucapku setengah menghindar karena aku memang belum siap menceritakan semuanya pada ibu.
Aku bisa memaklumi jika ibu selalu khawatir padaku. Aku adalah anak satu-satunya dan selama ini aku tidak pernah tinggal jauh dari rumah. Sejak awal memilih kampus, ibu dan ayah memang tidak mengizinkan aku memilih kampus tujuan di luar kota. Bahkan saat aku mengutarakan keinginanku untuk tinggal di kos, ibu dan ayah tidak langsung setuju. Setelah melewati berbagai pertimbangan bahwa itu untuk kemudahan perkuliahanku, barulah mereka mulai memberikan izin. Tentu saja aku juga harus meyakinkan mereka bahwa aku bisa menjaga diri.
***
Hari sudah petang saat aku selesai membersihkan diri. Tak lama kemudian, ibu memanggilku untuk makan malam. Ayah rupanya sudah pulang menunggu di meja makan. Kami makan malam bersama sambil sesekali mengobrol seputar perkuliahanku. Sampai makan malam selesai, aku masih bisa menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya dengan rapi. Seusai makan malam, aku pun kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur yang memang kurindukan. Sudah satu bulan aku tidak pulang ke rumah. Biasanya aku menyempatkan pulang satu kali dua minggu. Tapi karena beberapa waktu belakangan ini weekendku disibukkan dengan kegiatan organisasi jadi aku tidak sempat pulang. Aku merebahkan diri menatap langit-langit kamar. Jujur saja rumah memang lebih nyaman daripada tempat kos yang aku tinggali.
Beberapa saat kemudian, aku mulai teringat kembali kenangan-kenanganku bersama Iqbal. Biasanya saat aku di rumah, aku harus menghubungi Iqbal dengan sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan ayah. Teringat kenangan itu kembali mengaduk-aduk perasaanku. Entah aku merasa kenangan bersama Iqbal ada di semua tempat yang aku kunjungi. Semakin aku berusaha melupakannya justru aku merasa semakin sakit. Mungkin karena aku belum bisa benar-benar merelakan Iqbal. Apalagi dia pergi untuk bersama dengan orang lain.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Rumah tampak sepi. Mungkin ayah sudah berangkat sehabis makan malam. Ayah mengatakan ada pertemuan di balai desa. Sementara ibu, aku tidak tahu apa yang dia kerjakan. Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari. Aku mencari buku diary dan beberapa surat yang pernah diberikan Iqbal. Aku pun mengambil korek dari dapur. Aku berniat untuk membakarnya dan berharap dengan itu bisa sedikit menghapus kenanganku bersamanya.
Sebelum membakarnya, aku sempat membaca kembali beberapa lembar buku diary dan surat itu. Aku tidak pernah menyangka impian yang aku bangun bersama Iqbal akan berakhir seperti ini.
Sesaat setelahnya, aku memulai aksiku membakar kertas-kertas itu setelah menutup pintu. Tanpa terasa air mataku turut menetes seiring satu persatu kertas berubah menjadi abu. Isak tangisku mulai tak tertahankan saat dengan tiba-tiba ibu datang dan membuatku terlambat menghapus air mata. Aku ketahuan menangis. Ibu mengambil posisi di sampingku yang memang sedang terduduk di lantai. Percuma saja menghapus air mata sebab tak ada lagi yang bisa kusembunyikan darinya. Tanpa berbicara sepatah kata, ibu langsung memelukku dengan erat. Saat itulah tangisku semakin pecah. Aku sudah terlalu rapuh untuk menahannya sendirian. Ibu memberiku ruang untuk menumpahkan segala kesedihanku. Barulah saat aku sudah lebih tenang, ibu pun bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Dira, ibu sangat mengenalmu. Saat tak seperti biasanya kamu mulai menangis di telepon, ibu sudah merasa ada sesuatu yang terjadi dan kamu sembunyikan dari ibu. Ibu ini bukan orang lain bagimu. Kamu bisa berbagi apapun dengan ibu tanpa ragu. Sekarang, ceritakanlah semua yang menjadi bebanmu saat ini," pinta ibu dengan halus.
Selama ini ibu memang tidak hanya menjadi seorang ibu. Dia juga sudah menjadi seorang sahabat untukku. Mungkin hal itu ibu lakukan karena watak ayah yang keras dan sangat protektif dalam pergaulanku sehingga aku tidak punya banyak teman. Ibu menggantikan posisi itu agar aku tidak merasa tidak memiliki seorang teman. Selama ini ibu juga sedikit tahu tentang kedekatanku dengan Iqbal. Ibu juga tidak pernah membocorkannya pada ayah. Ibu tahu aku tidak akan berbuat macam-macam yang dapat mengecewakan mereka.
"Sebenarnya, aku menangis karena ... Iqbal," ucapku gugup.
"Ada apa dengan Iqbal?" tanya ibu tampak sedikit terkejut.
"Aku ... aku sudah berpisah dengan Iqbal. Dia difitnah dan dijodohkan dengan perempuan lain," tuturku disertai sebulir air mata menetes lagi. Aku pun menceritakan semua kronologi seperti yang disampaikan Iqbal di telepon malam itu.
"Aku tahu semua itu bukan sepenuhnya salah Iqbal. Aku tahu dia juga dipaksa oleh keadaan. Tapi tetap saja aku merasa sakit seperti tidak diperjuangkan," ungkapku sambil menangis di pangkuan ibu.
"Ibu mengerti apa yang kamu rasakan. Semua ini bukan salah kalian berdua. Mungkin memang sudah jalan takdir seperti ini. Ingat nak, kita hanya bisa berencana, tapi jauh sebelum itu sudah ada kuasa lain yang lebih dulu merencanakan apa-apa yang akan terjadi dalam hidup kita. Kita tidak akan pernah bisa melawan takdir. Bahkan jika mencobanya sekalipun justru akan membuat kita semakin merasakan sakit. Hanya ada satu cara untuk membuat keadaan menjadi lebih baik-baik saja," tutur ibu dengan bijaknya.
"Cara apa yang bisa kulakukan agar semua ini kembali baik-baik saja?" tanyaku. Aku tidak tahan berada dalam keadaan seperti ini terus. Setiap hari merasa semakin bodoh karena menangisi orang yang sudah pergi.
"Ikhlaskan dia," ucap ibu. "Kita tidak bisa mengulang sesuatu yang sudah terjadi dan merubahnya agar tidak terjadi. Kita pun tidak bisa terus bertahan dengan keadaan buruk yang terjadi. Kita hanya bisa berusaha untuk memperbaiki. Setiap takdir memiliki rahasianya sendiri. Dan setiap kisah memiliki jalannya sendiri. Ikhlaskan dia agar hatimu bisa berdamai dengan keadaan ini."
Nasihat ibu benar-benar menyentuh hatiku. Memang tidak salah apa yang dikatakan ibu. Aku tidak bisa merubah sesuatu yang sudah terjadi. Aku juga tidak bisa memaksa Iqbal untuk kembali. Satu-satunya cara untuk mengobati luka ini adalah dengan mengikhlaskan dia pergi.
Aku memeluk ibu dengan erat. Aku bahagia memiliki ibu yang pengertian seperti dirinya. Dia selalu ada untukku. Aku juga percaya ibu tidak akan memberitahukan ceritaku ini pada ayah. Sampai di titik ini, aku justru semakin merasa bersalah pada ayah dan ibu. Aku tahu ayah sudah melarangku untuk berhubungan dengan seorang laki-laki tapi aku masih menjalaninya diam-diam. Mungkin inilah akibatnya, aku harus menanggung sakit hati sebagai akhirnya. Rasa bersalahku membuatku berjanji pada diri sendiri untuk mulai bangkit lagi. Meski Iqbal sudah pergi, tapi aku harus tetap semangat untuk diriku sendiri dan orang tua yang aku sayangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments