Berpisah dengan Iqbal, laki-laki yang sangat aku cintai telah menorehkan luka yang teramat sakit dalam hatiku. Laki-laki pertama yang benar-benar membuatku jatuh dalam cinta. Aku tidak pernah menyangka bahwa luka akibat jatuh cinta akan sesakit ini. Mungkinkah karena itu selama ini ayah menjaga pergaulanku dan melarangku menjalin hubungan dengan sembarang orang. Aku tahu Iqbal memang bukan orang yang buruk tapi tetap saja ayah tidak menyetujui bahkan saat mengetahui aku berhubungan dengannya. Selama ini aku memang merahasiakan hubungan kami. Bahkan saat orang tuaku tahu, ayah sudah memperingatkanku. Tapi peringatan ayah saat itu tidak bisa menghentikan perasaanku pada Iqbal. Kami tetap menjalaninya dengan keyakinan suatu saat dapat memenangkan hati ayah. Berbeda dengan ibu yang lebih bisa menerima segala sesuatunya asalkan aku bahagia.
Berakhirnya hubunganku dengan Iqbal membuatku terjebak dalam depresi. Selama tiga hari aku menangis tak henti-henti. Tentu saja aku harus bersembunyi setiap kali air mataku tidak bisa diajak berkompromi. Aku menangis mengingat semua kenangan ku bersama Iqbal. Bagiku tidak mudah untuk melupakan semuanya begitu saja. Seseorang tidak akan pernah bisa melupakan apa yang sudah pernah terjadinya dalam hidupnya seberapapun dia sangat ingin untuk menghapus ingatan itu. Begitu pula yang aku rasakan meskipun hubungan yang sudah terjalin selama empat tahun sepuluh bulan kenyataannya sudah berakhir.
Aku tidak tahu apakah Iqbal bahagia dengan keputusannya atau tidak. Hanya saja aku merasa semua orang begitu jahat membuatku merasakan luka sebegitu dalamnya. Setiap kali melihat wajahku di cermin, setiap itu pula aku merasa melihat bayangan Iqbal dan kembali merasa bodoh sudah pernah sangat mencintainya. Aku merasa hidupku tiada lagi berarti. Aku benci merasa tidak diperjuangkan. Sampai suatu hari aku sudah benar-benar lelah menahan rasa sakit sendirian. Aku pun menelepon ibu dan menangis sejadi-jadinya meskipun tidak bisa mengatakan alasan di balik tangisan itu.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu dengan cemas saat aku meneleponnya dalam keadaan menangis. Beberapa waktu lamanya aku tidak bisa mengatakan apapun.
"Aku merindukan ibu." Hanya itulah jawaban yang bisa kuberikan pada ibu. Seberapa sesak aku menanggung sakit itu sendirian, tetap saja aku tidak bisa memberitahukan apa yang aku alami pada ibu.
Telepon beraroma kesedihan itu membuat ibu memintaku untuk pulang ke rumah. Selama ini aku memang memilih tinggal di tempat kos karena lebih dekat dengan kampus daripada harus pulang pergi dari rumah meskipun masih dalam satu kota. Setelah berbicara dengan ibu, aku pun merencanakan untuk pulang pada hari libur pekan depan. Kepulanganku memang tidak akan merubah semuanya. Kepulanganku juga bukan untuk mengadu. Hanya saja dengan melihat wajah orang-orang yang aku sayang mungkin bisa membuatku sedikit lebih baik.
***
Hari Jum'at sore sehabis kuliah aku langsung bersiap untuk pulang ke rumah. Aku menunggu taksi online yang aku pesan di halte depan kampus. Tempat itu kembali mengingatkanku pada Iqbal. Aku teringat saat kita berpisah di halte ini sewaktu dia mengunjungiku ke kampus sebelum peristiwa fitnah itu terjadi. Sekejap beberapa kenangan kebersamaan terlintas seperti film yang diputar secara otomatis. Tak ayal semua itu kembali membuat kesedihanku mencuat ke permukaan.
Lamunanku tersadar saat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan halte. Aku pun segera masuk dan memerintahkan sopir untuk berangkat. Aku ingin segera meninggalkan tempat itu dan kenangannya.
"Ayo, Pak. Jalan sekarang," pintaku karena mobil kami tak kunjung berangkat.
"Maaf, Mbak. Tapi ... ," ucap driver itu yang langsung kupotong dengan ucapanku.
"Tapi apa, Pak? Ayolah saya sedang terburu-buru," ucapku.
"Saya harus mengantarmu ke mana?" tanya driver itu lagi.
"Bapak gimana sih? Bukannya alamat tujuan sudah saya cantumkan saat order. Ya sudah antarian saya ke Griya Residance blok M-25," jawabku dengan kesal tanpa melihat ke arah driver karena aku duduk di kursi belakang. Moodku memang sedang buruk.
"Baik, Mbak. Sebentar saya setel GPS dulu ya," jawabnya.
"Terserah bapak saja lah," ucapku ketus.
Tak berapa lama kemudian, mobil yang aku tumpangi melaju membawaku ke tempat tujuan. Selama perjalanan aku hanya diam memikirkan nasib hidupku selanjutnya. Meskipun sangat berat tapi aku harus melaluinya. Aku tidak bisa terus seperti ini memikirkan orang yang jelas-jelas sudah meninggalkanku.
"Mbak sedang ada masalah ya?" tanya driver itu tampak sedikit ragu-ragu. Mungkin dia melihat ekspresi sedihku lewat kaca mobil. Beberapa saat aku tak menggubrisnya. "Masalah dalam hidup itu memang sudah biasa mbak. Itu ujian yang bisa mendewasakan jika kita bisa menjadikannya pelajaran," ucap driver itu lagi.
"Pelajaran apa yang bisa didapat dari sebuah pengkhianatan?" balasku dengan nada sedikit emosi.
"Oh ternyata habis dikhianati seseorang. Ya itu bagus," ucapnya lagi.
"Bagus apanya?" tanyaku. Ucapan orang ini cukup menyulut emosi. Apa bagusnya keadaan yang membuatku depresi seperti ini? Atau bahkan haruskah aku mensyukuri pengkhianatan ini? Masalah ini sudah membuatku tidak baik-baik saja.
"Ya bagus karena dengan begitu ke depannya mbak akan lebih hati-hati untuk membuka hati untuk orang lain," jawab driver itu lagi.
"Tidak perlu membicarakan hal seperti itu. Aku tidak akan membuka hati untuk siapapun. Semua laki-laki sama saja," ucapku.
"Terkadang memaafkan itu membuat hati kita jauh lebih tenang lho mbak," kata driver itu seperti sebuah saran. Sebenarnya saran itu tidak buruk hanya saja aku belum bisa melakukannya semudah itu. Kebohongan Iqbal masih sulit untuk aku terima.
Ponselku tiba-tiba berdering saat aku masih larut memikirkan ucapan terakhir pak sopir. Aku melihat panggilan masuk dari nomor baru. Aku pun menjawabnya takut ada hal penting.
"Halo. Benar ini dengan Mbak Nadira?" terdengar suara laki-laki di telepon.
"Iya benar ini dengan Nadira. Ini siapa ya?" aku balik bertanya karena tidak mengenali penelpon.
"Saya driver taksi online yang mbak pesan. Posisi mbak di mana ya? Ini saya sudah cukup lama menunggu di depan kampus mbak," kata seseorang yang mengaku driver taksi online itu. Sesaat aku pun merasa heran.
"Lho ini saya sudah dalam perjalanan, Pak," ucapku.
"Mbak double order ya? Lain kali jangan seperti itu mbak. Kalau mau order lagi lebih baik dicancel dulu. Kasian drivernya. Ini saya sudah muter-muter untuk jemput, sudah nunggu lama juga ternyata mbaknya sudah pakai yang lain," terdengar driver itu merasa kesal dan marah-marah padaku.
"Tapi saya beneran nggak double order kok, Pak. Saya kira ini memang taksi online yang saya pesan. Tunggu dulu, kalau bukan jasa dari bapak yang mengantar saya, lalu ini saya ikut siapa?" ucapku yang lebih serupa pertanyaan pada diri sendiri.
"Ya mana saya tahu. Ya sudahlah dicancel saja. Buang-buang waktu saya saja ini" jawab driver itu dengan ketus dan segera mengakhiri pembicaraan secara sepihak. Aku yang masih kebingungan segera cek aplikasi dan benar saja pesananku masih menunggu di lokasi penjemputan. Aku pun segera cancel pesanan itu. Tapi jika yang aku tumpangi ini bukan dari jasa taksi online, lalu siapa yang sedang mengantarku ini?.
"Pak, jawab yang jujur ya. Bapak ini siapa? Kenapa bapak yang mengantarkan saya?" tanyaku menyelidik pada pengemudi yang ternyata bukan driver taksi online itu. Pikiran-pikiran aneh seperti penculikan sudah terbayang. Aku tidak mau masuk berita kampus dengan tagline Mahasiswa Patah Hati Menjadi Korban Penculikan Karena Salah Naik Taksi.
"Yang seharusnya nanya itu saya. Mbak ini siapa? Kenapa meminta saya mengantarkan ke alamat ini?," ucap driver itu balik bertanya.
"Ya saya kira ini taksi online yang sedang saya tunggu. Duh bapak gimana sih?" keluhku mulai kebingungan.
"Pertama, saya bukan bapak-bapak ya. Kedua, siapa yang salah langsung masuk mobil saya tanpa cek plat nomor mobil. Ketiga, di awal saya sudah coba memberitahu tapi kamu udah nyerocos dan minta dianterin ke alamat itu," ucap driver itu sembari menoleh langsung ke arahku. Saat itulah aku baru melihat wajah sang driver. Memang tergolong masih cukup muda.
"Ya maaf. Terus ini saya gimana?" tanyaku barangkali kita akan berhenti di suatu tempat dan aku akan memesan taksi online lainnya untuk mengantarku sampai ke rumah.
"Kamu diam saja. Saya akan mengantarmu sampai alamat ini," jawabnya yang sudah kembali fokus mengemudi.
"Terima kasih. Tapi kalau mas keberatan, saya bisa turun di sini dan memesan taksi online lagi untuk sampai di alamat itu," ujarku merasa tidak enak.
"Tidak apa-apa. Ini sudah setengah perjalanan. Lagi pula kalau kamu memesan taksi online lagi dan salah naik mobil lagi gimana? Untung lho masih ketemu orang baik kayak saya. Coba pikirkan kalau ketemu orang jahat dan kamu digangguin," kata driver itu membuatku cukup merinding.
"Sudah tidak usah menakut-nakuti saya," pintaku padanya. Dia tidak menjawab lagi perkataanku dan justru terdengar menghubungi seseorang.
"Sita, maaf ya sepertinya mas tidak bisa menjemputmu sekarang karena sedang ada urusan mendadak. Iya sekali lagi mas minta maaf ya. Terima kasih pengertiannya", ujarnya berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu siapa. Dari pembicaraan itu aku hanya tahu bahwa dia sudah memiliki janji dengan seseorang sebelumnya yang terpaksa harus dibatalkan karena aku.
"Mas, saya minta maaf ya kalau mengganggu agendamu," ucapku merasa tidak enak padanya. Panggilanku juga langsung berupa menggunakan embel-embel mas.
"Tidak apa-apa," jawabnya santai. Setelah itu tak ada lagi pembicaraan sampai mobil yang kami tumpangi mulai memasuki area Griya Residance. Dia mengantarku sampai depan rumah.
"Sekali lagi terima kasih banyak ya mas karena sudah mengantarku sampai rumah. Oh ya, perkenalkan nama saya Nadira," kataku sembari mengulurkan tangan.
"Saya Fandi," jawabnya membalas uluran tanganku.
"Bukannya saya tidak mau mengajak Mas Fandi mampir dulu. Tapi kalau saya menawarkan, saya takut Mas Fandi beneran mampir. Ayah saya galak mas. Belum pernah ada laki-laki yang berani main ke sini. Nanti saya bisa diinterogasi panjang kalau pulang bawa laki-laki," ucapku sedikit menjelaskan tentang ayahku yang protektif. Aku tidak mau disangka tidak tahu berterima kasih karena sudah diantar tapi bahkan tidak menawarkan untuk sekedar mampir sebentar.
"Iya tidak apa-apa. Saya langsung pamit saja. Salam untuk orang tuamu."
"Baik, Mas. Terima kasih. Hati-hati di jalan," ucapku sembari melambaikan tangan. Dia pun masuk kembali ke mobilnya dan mulai melaju meninggalkan rumahku.
Ini hari yang benar-benar memalukan. Bagaimana mungkin aku bisa salah naik taksi. Aku sangat malu dan berharap tidak bertemu dengan orang itu lagi atau aku harus menyembunyikan wajahku jika masih ingat kejadian hari ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Anonymous
Semangat thor
2021-03-13
0