Selama dua hari di rumah kerjaanku lebih banyak hanya rebahan di kasur. Aku merasa tidak punya energi untuk melakukan banyak hal. Mungkin karena masih dalam fase pemulihan pasca sakit hati. Aku benar-benar ingin menikmati dua hari liburku kali ini. Biasanya aku harus kembali ke Surabaya pada Minggu sore karena Senin pagi sudah harus masuk kuliah. Tapi karena Senin depan hanya ada satu mata kuliah dan dosennya sedang izin karena mengikuti international conference di luar negeri, maka aku bisa cukup santai menghabiskan waktu di rumah. Aku bisa kembali ke Surabaya pada hari Senin sore.
Minggu malam nanti aku sudah membuat rencana untuk bertemu dengan Deswita. Dia adalah teman dekatku sewaktu SMA dulu. Sudah lama kami tidak bertemu sejak dia melanjutkan pendidikannya ke luar kota dan jarang pulang kampung. Kali ini kebetulan dia pulang karena ada acara perjodohan abangnya. Dia mengajakku untuk bertemu karena rindu. Aku pun tidak keberatan untuk itu. Aku juga sangat merindukannya. Aku ingin mendengar ceritanya tentang pengalaman kuliah di luar kota yang tidak bisa aku rasakan. Dulunya kami memang berencana akan bersama-sama kuliah ke luar kota. Tapi rencana itu tidak terlaksana karena aku tidak mendapat izin orang tua. Kami membuat janji akan bertemu jam delapan malam di kafe yang tak jauh dari SMA kami dulu. Jaraknya dari rumah tidak begitu jauh. Izin juga dengan mudah kukantongi dari ayah dan ibu karena perginya bersama teman perempuan dan orangnya adalah Deswita. Ayah dan ibuku juga sudah sangat mengenal temanku yang satu itu. Meski begitu tetap saja ayah memberiku batas waktu harus pulang ke rumah paling lambat jam setengah sepuluh malam. Aku pun menyanggupinya meskipun rasanya tidak cukup melepas rindu hanya satu jam setengah. Sepertinya akan banyak hal yang bisa kami ceritakan bersama.
Aku berangkat lima belas sebelumnya. Tapi sampai di sana, tampak Deswita sudah datang lebih dulu.
"Hai, Des. Maaf ya kamu jadi harus nunggu. Jalanan macet. Maklum weekend," sapaku sembari memberitahu alasan keterlambatanku.
"Tidak apa-apa, Nad. Aku juga baru sampai kok. Jalanan memang macet. Makanya tadi aku diantar abang pakai motor," kata Deswita.
"Oh begitu. Lalu abangmu sekarang di mana?" tanyaku. Aku penasaran karena belum pernah bertemu dengan kakak laki-laki temanku itu. Saat kami masih SMA, abangnya sedang kuliah di luar kota.
"Abangku baru saja pulang. Katanya masih ada beberapa pekerjaan. Dia harus menyiapkan materi untuk mengajarnya besok," jelas Deswita.
"Oh, abangmu mengajar?" tanyaku lagi.
"Iya. Besok abangku diminta mulai mengajar. Tapi hal itu tidak begitu penting. Bagian yang lucu adalah abangku itu dipaksa untuk dijodohkan dengan anak teman ayah jika ingin diizinkan melanjutkan studi magisternya. Dia kelihatan frustasi karena tidak setuju dengan perjodohan itu," cerita Deswita mengenai abangnya.
"Tapi kenapa sampai dipaksa untuk dijodohkan segala? Abangmu kan laki-laki, jadi lebih bebas untuk mengejar pendidikan atau karir dulu. Tidak seperti anak perempuan yang didesak sana sini," tuturku sedikit mengeluhkan keadaan di tengah masyarakat.
"Iya sih. Tapi kan tetap saja kekhawatiran orang tua tidak memandang anak laki-laki atau perempuan. Orang tuaku bilang, mereka tidak ingin abangku sampai telat menikah karena terlalu fokus dengan pendidikan dan karirnya. Apalagi sampai sekarang abangku bahkan tidak punya pacar. Makanya orang tuaku menjodohkannya saja sebagai syarat jika dia tetap ingin melanjutkan studi magister. Dengan begitu setidaknya dia sudah punya calon," jelas Deswita.
"Iya juga sih," jawabku mengiyakan.
"Eh by the way, maaf ya jadi cerita panjang lebar soal abangku. Kita pindah topik aja ya," kata Deswita menyadari sudah bercerita banyak tentang abangnya. Aku hanya mendengar tentang abangnya tapi tidak tahu namanya.
Kami pun memesan minuman dan camilan sambil terus melanjutkan cerita. Deswita banyak bercerita tentang kuliahnya di sana. Tentang kampusnya, teman-temannya, dosennya, organisasinya bahkan kesehariannya sebagai anak rantau. Saat tengah asik mengobrol, aku tak menggubris banyak notifikasi chat yang masuk di aplikasi whats appku. Sekilas aku hanya melihat banyak chat menumpuk di grup kelas besok. Aku berpikir mungkin itu hanya teman-teman yang sedang ramai membicarakan liburnya perkuliahan besok. Aku berniat membacanya nanti saja sepulang dari pertemuanku dengan Deswita. Sambil terus mendengarkan cerita Deswita, aku dikejutkan dengan panggilan masuk dari Laras, teman kelasku. Aku pun meminta izin pada Deswita untuk menjawab panggilan itu dulu.
"Halo, Ras. Ada apa menghubungiku malam-malam begini?" tanyaku pada Laras.
"Nad, udah cek grup kelas belum," suaranya tampak panik.
"Belum sih. Aku lagi ada acara. Jadi aku pikir akan melihatnya nanti saja."
"Gawat, Nad, gawat. Emergency ini," kata Laras.
"Apanya yang gawat sih, Ras? Yang jelas dong bicaranya," ujarku karena merasa Laras hanya panik sendiri sementara aku belum mengerti ada apa sebenarnya.
"Makalah buat presentasi besok kamu udah nyicil belum?" tanyanya lagi.
"Ya belum lah. Lagian santai aja sih, kita kan masih punya waktu satu minggu lagi buat ngerjain. Besok Pak Hermawan kan gak masuk, jadi presentasi kita juga ditunda," jelasku mengingatkan barangkali teman satu kelompokku itu sudah lupa.
"Pak Hermawan emang gak masuk Nadira sayang, tapi asistennya akan menggantikan dan kita tetap presentasi." Pemberitahuan dari Laras benar-benar membuatku jadi kalang kabut.
"Serius? Jangan bercanda deh," ungkapku tak percaya.
"Kalau kamu nggak percaya, liat aja sendiri chat anak-anak di grup. Besok nggak jadi libur karena selama satu semester ini mata kuliah Pak Hermawan akan digantikan oleh asistennya. Pak Hermawan gak jadi cuma seminggu di luar negerinya makanya digantikan. Gak tahu deh alasannya lebih jelasnya gimana. Intinya besok kita tetap masuk dan presentasi," kata Laras menekankan pada kata presentasi.
"Loh apaan sih kok gitu?" ucapku seolah tak terima.
"Ya mau gimana lagi, Nad. Anak-anak juga gk ada yang suka dengan perubahan ini. Aku pun juga gak siap sebenarnya untuk presentasi besok," tutur Laras.
"Nyebelin banget sih. Kenapa kasih infonya gak lebih awal gitu. Mana posisiku masih belum balik Surabaya sekarang. Tugas juga belum jadi," keluhku.
"Terus kita harus gimana dong, Nad?" Laras malah balik bertanya.
"Gini aja deh, kita langsung bagi tugas. Kita satu kelompok tiga orang kan. Aku sama kamu ngebut bikin makalahnya malam ini juga. Nanti Andrean suruh bikin power pointnya. Gimana?" usulku.
"Boleh sih gitu. Tapi kamu gimana kalau masih ada di rumah sekarang?" tanya Laras.
"Ya terpaksa aku harus balik Surabaya sekarang juga. Nanti aku sambil ngerjain bagianku di mobil bisa lah," jawabku.
"Oke deh kalau gitu. Ya udah aku mulai ngerjain bagianku sekarang ya. Take care baliknya, Nad," kata Laras.
"Oke. Jangan lupa kamu kabari Andrean ya soal pembagian tugasnya," pintaku.
"Oke," jawab Laras mengiyakan. Panggilan pun ditutup.
Aku menatap tidak enak pada Deswita. Aku tidak perlu menjelaskan karena dia pun sudah mendengar pembicaraan kami sedari tadi.
"Nggak apa-apa kamu pulang aja," kata Deswita mendahului karena sudah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Maaf banget ya, Des. Aku juga baru tahu kalau ada perubahan untuk mata kuliahku besok. Seharusnya besok libur karena dosenku ke luar negeri," ucapku padanya.
"Santai aja, Nad. Hal seperti itu sudah sering terjadi. Lebih baik sekarang kamu pulang dan bersiap untuk balik ke Surabaya. Kamu juga masih harus mengerjakan tugas kan," kata Deswita.
"Baiklah. Aku pulang. Tapi bagaimana denganmu?" tanyaku tidak enak meninggalkan Deswita sendirian.
"Sebentar lagi aku akan menghubungi abangku untuk menjemput."
"Baiklah kalau begitu. Aku duluan ya," pamitku sembari menyilangkan tas di pundak dan beranjak meninggalkan tempat itu.
"Iya hati-hati. Sampai ketemu lagi kapan-kapan," serunya.
Aku langsung mencari ojek untuk mengantarku pulang. Pertemuanku dengan Deswita hancur berantakan gara-gara info mengejutkan itu. Aku benar-benar panik saat ini. Rasanya aku ingin bisa terbang agar cepat sampai di rumah bahkan langsung ke Surabaya. Sesampainya di rumah, aku langsung mengemasi barang-barangku dengan terburu-buru. Ayah dan ibu keheranan melihat tingkahku seperti itu.
"Ada apa, Nduk?" tanya ayah yang sudah berdiri di pintu kamarku sembari memperhatikanku yang membereskan barang-barang ke sana kemari.
"Nadira harus balik ke Surabaya sekarang, Yah. Besok nggak jadi libur karena dosenku digantikan asistennya," jawabku memberitahu.
"Lho kok mau balik Surabaya malam-malam begini? Kenapa nggak besok saja pagi-pagi?" kata ayah.
"Ya mau gimana lagi, Yah. Kalau pulang besok gak keburu. Kuliahnya jam pagi. Belum lagi aku juga ada tugas presentasi. Makalahnya belum selesai dan harus pakai referensi buku wajib. Nah bukuku itu ada di tempat kos. Mau gak mau aku harus balik sekarang," jelasku agar ayah mengerti bahwa ini bukan saatnya menghalangiku dengan alasan khawatir.
"Tapi sudah malam. Ibu khawatir kalau kamu pergi sendirian," ibu menimpali.
"Ibu sama ayah percaya aja. Nadira bisa jaga diri dan doain supaya baik-baik saja sampai Surabaya dengan aman. Nadira nggak ada pilihan lain, Bu," ucapku.
Akhirnya dengan berat ayah dan ibu melepaskanku untuk kembali ke Surabaya malam itu juga. Selama ini memang mereka tidak pernah mengizinkan aku menempuh perjalanan jauh ke Surabaya pada waktu malam. Biasanya aku harus pulang siang atau sore agar tidak kemalaman sampainya di Surabaya. Tapi kali ini keadaan memaksa. Aku harus tetap pergi melanjutkan kewajibanku sebagai seorang pelajar.
Aku tidak sempat cek ponsel termasuk melihat chat grup karena terburu-buru. Pikiranku terfokus pada tugasku yang belum selesai sama sekali. Sebab tidak cek grup, aku tidak tahu ada anggota baru masuk di situ. Aku langsung menyimpan ponselku di dalam tas setelah taksi online yang aku pesan sampai dan cek plat nomornya sudah sesuai. Selama perjalanan aku hanya membuka laptop dan mulai mencicil bagian yang bisa aku kerjakan terlebih dahulu. Aku yakin dikebut tugas akan membuat malam ini terasa lebih singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments