Hellikopter telah mendarat sempurna, ajudan Higa mempersilahkan Ara dan ibunya naik ke atas heli dengan sopan. Kaki Deisy seperti terlilit batu berat, langkahnya sangat berat. Memikirkan harus melihat lagi suaminya setelah sekian lama membuatnya cukup cemas.
Ara menangkap wajah cemas ibunya hanya bisa duduk merangkul membawa ibunya dalam pelukanya. Deisy hanya tersenyum.
3 jam berlalu, Ara dan ibunya bahkan sempat tertidur, mereka terbangun saat sebuah tangan membangunkan mereka dengan lembut. Mata mereka pun terbuka. Mereka menuruni helikopter dengan tatapan terkesan.
Sebuah kastil luar biasa mewahnya, mata Ara tak berkedip sama sekali, “Bagaimana bisa mereka hidup hampir di bawah garis kemiskinan sedangkan ayahnya hidup di sebuah kastil mewah dengan segala fasilitasnya?”Batinnya heran.
Ara pernah bertanya sebelumnya kenapa ayahnya tak pernah datang menjenguk mereka. Ibunya tidak pernah menjawabnya dengan jawaban memuaskan, lama kelamaan Ara bahkan meyakini ayahnya mungkin telah meninggal. Sampai akhirnya ia tahu, ayahnya bergelimang kekayaan dan sengaja menelantarkan mereka. Saat ini ia belum tahu alasan yang sebenarnya, tapi lama kelamaan ia akan tahu.
“Nyonya Deisy, selama datang kembali. Saya sudah meminta pelayan membereskan kamar Nyonya dan Nona, hari sudah larut baiknya beristirahat dulu, nyonya"
Seru asisten pribadi Higa, Anton. Ia berbicara dengan sangat lembut dengan senyuman bak bunga musim semi, begitu lembut. Sapaan Pak Anton hanya di jawab anggukan oleh Deisy. Sekarang tatapan mata Deisy menjelajah, seperti sedang mengais kenangan-kenangan yang tertinggal.
15 tahun lalu, kastil ini pernah begitu hangat memeluknya. Higa pernah begitu lembut mendekapnya, seketika berubah dingin sedingin es, kali ini pula Higa tak memperlihatkan batang hidungnya. Ia pasti sedang di bawah selimut hangat memeluk salah satu dari Nyonya besar di kastil ini, senyum Deisy berubah kecut. Ia melangkahkan kakinya memasuki kastil dan menuju kamarnya, berpisah dengan Ara.
“Silahkan nona Ara, ini kamar nona”Seorang pelayan membuka pintu besar di hadapannya, ruangan elegan segera menyambut mata Ara. Begitu elegan seperti kamar di dalam dongeng-dongeng yang selalu ibunya bacakan ketika kecil.
“Ini mungkin yang seharusnya aku miliki sejak 15 tahun lalu."
Tangannya menyentuh lembut setiap seprai di atas tempat tidurnya, ranjang itu begitu terlihat empuk dan lembut, cahaya bulan menari masuk ke dalam kamar, Ara menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur nyamannya. Seperti mimpi indah yang menjadi kenyataan. Beberapa saat ia terasa seperti seorang putri kerajaan yang terbuang. Tapi pikiran itu tak bertahan lama, matanya begitu berat dan akhirnya tertidur hingga pagi.
Keesokan harinya, matahari menyingsing dengan garangnya, sinar-sinar panasnya mengenai wajah Ara membuatnya terbangun. Ia memandangi sekitar, ternyata bukan mimpi, ia benar-benar berada di kamar mewah itu.Ia bergegas menuju kamar mandi untuk mandi, setelah itu ia membuka lemari pakaian, matanya sekali lagi tercengang. Lemari besar itu terisi penuh dengan baju-baju indah, ia memilih satu.
Tak berapa lama, deisy masuk ke dalam kamar Ara, melihat anak gadisnya begitu cantik, ia tersenyum.
“Anak ibu memang sangat cantik, di tambah baju yang indah kau semakin cantik."
Perkataan ibunya terdengar seperti sebuah alunan musik lembut menghangatkan, ia tersenyum dan memeluk ibunya.
“Harusnya kita hidup seperti ini sejak lama bu"
Deasy mendesah, tanpa sebuah keluhan ia menarik tangan Ara untuk keluar kamar
“Jangan buat mereka menunggu di meja makan."
Ara dan ibunya menuruni tangga dan memasuki ruang makan, semua orang telah menunggunya, pandangan mata 6 orang di hadapannya seperti harimau yang akan memangsa seekor ayam, kecuali Higa. Ara menatap mereka sama tajamnya.
“Kenapa melihat kami seperti itu? ingin aku cungkil saja mata kalian”Batin Ara kesal.
Ara dan Deasy duduk di sebelah kanan Arin yang merupakan anak Dayu.
Wulan adalah istri pertama Higa. Mereka memiliki 2 anak, clara dan Mona. Clara 27 tahun dan mona 23 tahun. Sedangkan Dayu adalah istri kedua Higa. Mereka memiliki 2 anak perempuan, meisye 26 tahun dan Arin 24 tahun. Di antara mereka tidak ada yang bersahabat, semua mata mereka seolah-olah ingin menerkam mangsa di depannya.
Ara bukan pribadi yang lemah, dia tahu cara membela harga dirinya. Mungkin karena tidak pernah mengenal sosok ayahnya, hingga perlahan-lahan mentalnya terbangun.
Setelah mereka berdua duduk, pelayan mulai menaruh piring-piring di atas meja, semua orang mendapatkan piring masing-masing, kecuali Deasy dan Ara. Ara memandang wajah ibunya di sampingnya seakan bertanya apa yang terjadi, ibunya juga menatapnya dengan wajah heran. Mata Ara tertuju pada Clara dan mona yang menatap Ara dengan senyuman licik. Ara seketika tahu apa yang terjadi.
“Semua orang mendapatkan piring masing-masing, kenapa kami tidak?"
Suara Ara memecahkan kesunyian di meja makan, Anton segera menatap kepala pelayan Dela. Wajah Dela begitu pucat.
“Maaf, karena kalian datang mendadak, kami kekurangan piring, yang tersisa hanya piring teh di samping kalian, kalian bisa pakai itu untuk makan"
Dengan wajah tak bersahabat Wulan membuka mulutnya, Ara mendengar itu berusaha tenang dan menyunggingkan senyuman tak kalah sinis.
“Wah, aku lihat kalian hidup mewah, tak ku sangka piring pun sampai tak punya, ini benar-benar memalukan, harusnya kepala pelayan di rumah ini mengemasi pakaiannya dan cepat keluar dari sini, aku yakin keluarga ini tak bisa lagi menggajinya"
Mata Ara merujuk pada Dela, wajahnya yang pucat, semakin lama semakin putih, terlihat keringat dingin menetes di antara helai rambutnya. Deasy meremas tangan Ara, mengisyaratkan ia untuk diam. Ara melirik ibunya dan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tak percaya ibunya justru memintanya untuk diam.
Perdebatan itu berhenti ketika Higa setengah membanting sendoknya di atas meja. Semua mata langsung tertuju pada kepala keluarga itu, termasuk Ara. Ini pertama kalinya ia menatap wajah Ayahnya. Kontur wajah yang begitu tegas, tubuh tegap, ia terlihat gagah meskipun sudah memiliki 5 anak dari 3 istri. Higa dengan tegas memandang Ara dan Wulan bergantian, Ara tak bergeming. Pandangan mata itu benar-benar seperti pisau es menusuk menembus tulang belakangnya.
“Hentikan pembahasan konyol ini, della segera ambilkan piring untuk mereka, jangan buatku hilang muka dan kau Wulan, kau jaga ucapanmu terutama di meja makan!"
Suara berat Higa membuat penyihir di sampingnya terdiam seribu bahasa, tak seperti beberapa saat lalu yang begitu sombong.
Akhirnya setelah perdebatan sengit, Higa meminta Ara dan Deasy menemuinya di ruang kerjanya. Inilah saat paling mendebarkan untuk ibu dan anak itu. Seperti sedang menunggu eksekuti mati yang segera di layangkan pada mereka, bahkan tangan Deasy membeku seperti es. Ara tampak tenang, ia tak tahu apa yang akan ayahnya katakan akan mengubah hidupnya selamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 146 Episodes
Comments
Alyssa Kevin
hahahh..pedas
2020-08-04
0
Margarita Elisabet Tamedia
semangat thor
2020-02-15
0
Margarita Elisabet Tamedia
semangat thor
2020-02-15
0