Membeli Istri
"Apa kau sudah mengatur semuanya?"
"Sudah, Pak. Saya sudah membebaskannya semua lahan dengan harga yang wajar. Jadi, mereka tidak akan menuntut apapun saat pembangunan."
"Baiklah. Aku akan segera mengatur jadwal untuk berkunjung."
"Baik, Pak."
Laki-laki dengan tubuh tegap dan tinggi itu mematikan ponselnya. Matanya lurus ke depan menatap hamparan gedung yang padat hingga tidak ada celah untuk tikus pun lewat.
Tok
tok
tok
"Permisi, Pak."
"Masuk."
"Ini file yang anda minta. Saya simpan di atas meja."
"Ya. Hera, tolong jadwalkan kunjungan saya ke Jawa Barat. Kalau bisa dalam Minggu ini. Biar sekalian saya menjenguk keluarga saya."
"Baik, Pak. Saya akan melihat jadwal anda Minggu ini."
"Terima kasih."
"Sama-sama. Saya permisi, Pak."
Dia mengangkat kedua jarinya. Menandakan bahwa Hera--sekertarisnya di izinkan untuk keluar ruangan.
Pintu tertutup. Muhammad Putra Aditya berjalan menuju meja kerja kerjanya. Membuka file yang sekertarisnya bawa. Ia menghela nafas panjang lalu kemudian menutup file yang belum selesai ia baca.
Dipijatnya pangkal hidung yang terasa sakit. Meninggalkan tanda kemerahan di sana. Putra menggelengkan kepala dengan keras, berusaha agar rasa sakitnya ikut hilang.
Putra melihat jam yang melingkar di perhelatan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 16.30.
Dia berdiri lalu mengambil kunci mobil. Berjalan ke luar ruangan. Pulang.
Sepanjang perjalanan dia hanya terdiam. Baginya, begitu dia keluar dari kantor, perkejaan sudah bukan lagi tanggung jawabnya. Ponsel yang dia gunakan untuk bisnis segera dia matikan dan menggantinya dengan ponsel pribadinya.
Belum memiliki istri dengan posisinya sekarang membuat dia bebas melakukan apa saja yang dia inginkan. Tidak ada orang yang akan menelponnya untuk menanyakan dimana dia saat ini? sedang apa dia saat ini? sesuatu yang membuat Putra tidak ingin menikah. 'Risih' katanya.
Putra yang sedari kecil dididik untuk melakukan hal langsung pada tujuan inti, sangat benci pada hal yang bertele-tele. Dia tidak suka pada orang yang terlalu berlebihan dalam melakukan sesuatu, apapun itu. Termasuk perhatian.
"Kenapa orang harus bertanya, 'sudah makan belum? bukankah orang akan makan jika mereka merasa lapar? apa itu tidak terlalu menggelikan?" tanyanya suatu malam pada Wiwin. Wanita gemuk yang menjadi sahabatnya selama ini. Wiwin salah satu karyawan yang berada dalam perusahaan yang sama dengannya. Mereka bersahabat meski Wiwin jauh lebih tua darinya.
"Itu sebuah bentuk perhatian kecil. Tidak semua orang bisa melakukan hal tepat waktu. Kadang, mereka sibuk dan melupakan sesuatu yang amat sepele, seperti makan. Di situlah pertanyaan 'sudah makan belum?' seperti alarm."
"Begitukah?"
"Lu gak akan tahu kalau belum pernah pacaran. Makanya—"
"Udaaah. Gosah lanjut! tau sendiri gue itu gak mau pacaran tapi—"
"Langsung nikah!" timpal Wiwin menyela ucapan Putra.
"Nahkan, tau!"
"Ya udah, cepetan nikah kalau gitu!"
"Sama siapa? kuda?"
"Ama Aina."
"Ya ampun! anak lu itu masih TK. Keburu bangkotan gue nungguin dia."
Mereka berdua tertawa terbahak-bahak di tengah derasnya hujan. Secangkir susu jahe merah menemani mereka berdua. Angin menerpa keduanya dengan membawa bukira kecil air hujan. Tenda kecil yang jadi atap, tidak cukup untuk melindungi mereka berdua.
"Gue antar lu pulang sekarang. Anak sama suami lu pasti nungguin."
"Hemm."
Putra membayar minuman lalu masuk ke dalam mobil bersama Wiwin.
"Ini buat suami lu." Putra memberikan keresek hitam berisi dua bungkus susu jahe.
"Makasih, ya."
"Sama-sama."
Mobil melaju dalam kegelapan dan derasnya hujan. Mereka membahas apa saja yang tidak pernah Putra bicarakan dengan orang lain. Bagi Putra, membicarakan segala hal bersama Wiwin itu seperti melepaskan beban yang menindih pundaknya.
Wiwin yang dewasa sering memberikan nasihat untuk Putra. Mereka sudah seperti adik dan kakak.
"Mampir dulu, hujannya besar banget." Suami Wiwin—Hasan mengajak Putra mampir saat mereka sudah sampai rumah Wiwin.
"Gak, Mas. Udah malem. Kapan-kapan saja mampirnya."
"Ya sudah. Hati-hati di jalan."
"Iya, Mas. Aku pamit dulu." Putra berteriak di antara derasnya guyuran air hujan. Putra hanya duduk dan melihat dari balik kemudi, sementara Hasan berdiri di pintu rumahnya.
Putra mengibaskan air hujan yang membasahi jasnya saat dia menurunkan kaca mobilnya.
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di rumah besar miliknya. Tinggal sendirian dengan rumah besar memang terasa sangat tidak pas. Apa mau dikata, Putra membangun rumah dua tiga lantai itu diperuntukkan untuk orang tuanya dan sodaranya. Mereka menolak. Orang tuanya tetap ingin tinggal di kampung. Begitu juga dengan adik-adiknya.
"Emak ingin tinggal di kampung saja. Mengurus sawah dan kebun. Serta ingin berada dekat dengan makan Bapak." Begitulah penolakan dari orang tua Putra yang hanya tinggal ibunya seorang. Bapaknya meninggal sudah cukup lama.
Pintu gerbang yang menjulang tinggi. Terbuat dari lempeng besi kokoh. Sangat rapat sampai orang tidak bisa melihat jelas detail yang ada di baliknya.
Setelah membunyikan klakson satu kali, pintu gerbang terbuka. Terlihat dua pria berseragam membukanya. Mobil Putra melaju melewati keduanya yang tersenyum sembari membungkukan badan.
Mobil terparkir berjejer dengan mobil-mobil yang lain. Berbagai model dari yang besar hingga yang kecil ada di garasi.
"Mas, sudah pulang? sudah makan belum? sini tas nya biar ibu yang bawakan." Seorang wanita dengan umur kisaran 45 tahun menghampiri Putra.
"Belum, Bu. Saya baru minum susu jahe merah aja sama anak gajah tadi."
"Ish! jangan begitu. Wiwin itu orangnya cantik meski tubuhnya terlalu sehat."
"Hehe. Ibu masak apa?"
"Nasi tutug oncom sama ayam goreng."
"Wah, mantap itu. Jadi gak sabar pengen makan."
Wanita yang dipanggil Ibu itu tersenyum melihat majikannya yang selalu begitu baik terhadapnya. Majikan yang sudah seperti anaknya sendiri.
Seperti biasa, Putra akan makan dengan lahap. Masakan Bi Mirah memang sangat enak. Itulah kenapa Putra jarang sekali makan malam di luar.
"Hati-hati makannya, Mas. Kamu kesedak nanti." Bi Mirah mengingatkan sambil memberikan segelas air.
"Laper banget, Bu. Ini juga enak banget."
"Itu dikunyah dulu baru ngomong."
Putra tersenyum dengan mulut masih penuh makanan.
"Alhamdulilah," ucapnya setelah melahap habis makan malamnya.
"Bu, aku ke atas dulu. Tolong tasnya simpan di ruang kerja saja."
"Iya, Mas."
Putra meninggalkan meja makan. Dia berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Segera dia ke kamar mandi begitu sampai di kamarnya. Mengguyur tubuhnya di bawah air hangat.
Setelah selesai membersihkan badan dan lengkap dengan pakaiannya. Putra keluar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Baru saja tubuhnya menempel pada kasur, ponselnya berbunyi. Segera dia mengambil ponsel itu karena nada dering itu khusus untuk nomer wanita spesialnya.
"Halo, Mak."
"Putra, sedang apa kamu, Nak? udah pulang kerja? udah makan belum?" terdengar suara sedikit cemas dan penasaran dari seberang sana.
"Udah, Mak. Baru saja putra mau tidur."
"Besok, emak mau ke rumah kamu. Ada sesuatu yang akan emak bahas."
"Tentang apa? pernikahan lagi? putra udah bilang sama Emak, jangan bahas ini lagi. Putra belum mau nikah. Pacar aja belum punya."
"Nanti emak bawakan. Udah, besok sore emak sampai ke rumah kamu. Jangan kemana-mana. Jangan meeting dan jangan keluar kota juga."
"Mak, maksudnya ap—"
Belum selesai Putra berbicara, sudah terdengar nada pemutus dari sebrang sana.
Putra duduk termenung memandang layar ponsel yang sudah hitam. Dia tidak mengerti atau mungkin tidak ingin mengerti apa maksud emaknya barusan. Meski hati kecil Putra sudah bisa mengira-ngira apa yang akan emaknya lakukan.
"Wanita mana lagi yang akan Emak bawa Ya Allah." Putra mengusap wajahnya kasar.
🌺🌺🌺🌺
Muhammad Putra Aditya, 36 tahun
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
N A
nyimak aja dulu
2022-01-28
0
Thalita Aulia
setelah dr sugar baby sama madu untuk rodiyah cusss baca yg ini☺
2021-10-12
1
wida nur
maknya ini kawin cepat dulu.
tp visualnya keren banget lo...idaman tu
2021-03-03
1