"Bu, masak banyak? sepertinya enak banget. bisa tercium dari baunya," ujar Putra. Setelah tasnya diambil Bi Mirah, dan jas nya di lepas lalu Putra segera duduk. Menggulung lengan kemejanya lalu mengambil centong nasi.
"Biar saya ambilkan, Pak," ucap Mahira sembari mengambil centong dari tangan Putra. Laki-laki itu menatap sejenak kemudian menarik tangannya. Terlihat jelas bahwa Putra begitu canggung.
"Apa ini cukup?"
Pertanyaan Mahira tidak Putra gubris. Rupanya dia masih tidak fokus karena rasa canggungnya.
"Pak? apa nasinya sudah cukup?" suara Mahira sedikit meninggi. Barulah Putra sadar dan memberikan jawaban dengan sebuah anggukan.
"Mau pakai lauk apa?"
"Semuanya juga boleh."
"Dicampur begitu saja dalam satu piring?" tanya Mahira heran. Putra menatap Mahira lalu kemudian dia sadar saat melihat banyaknya lauk yang ada di meja makan.
"Cah kangkung sama ikan saja. Ya, itu saja dulu." Putra terbata.
Mahira mengambil dua sendok kangkung dan ikan mas yang dia masak pakai bumbu kuning. Setelah selesai melayani Putra, Mahira berjalan hendak pergi ke dapur.
"Mau kemana?" tanya Putra.
"Saya mau ke dapur, Pak."
"Ngapain?"
"Saya mau makan bareng yang lain. Kalau ada yang bisa saya bantu, panggil saja."
"Kamu makan saja di sini. Duduklah."
Mahira nampak ragu. Dia terdiam sejenak hingga Putra memanggilnya. Mahira segera duduk di kursi yang ditunjuk Putra.
"Berapa umur kamu sekarang?"
"Saya, Pak?"
"Hemm." Tatapan Putra masih tertuju pada piring.
"23 tahun, Pak."
"Kamu tau umur saya berapa?" tanya Putra sambil menyuapkan nasi.
"Iya, Pak. Emak sudah memberi tahu saya semuanya. Termasuk resep masakan ini."
"Ini masakan kamu?"
"Iya, Pak."
"Kenapa kamu mau menikah dengan saya? padahal umur kita terpaut sangat jauh. Saya sudah tua."
"Sama saja, Pak."
"Maksudnya?" Putra menghentikan makannya.
"Bapak dengan laki-laki yang akan menikahi saya di kampung. Sama-sama sudah tua, tapi bapak masih bujang sementara dia sudah memiliki empat istri."
Putra hampir tersedak mendengar penjelasan gadis yang ada di hadapannya.
"Emak menyelamatkan saya dengan cara melunasi semua hutang bapak saya. Laki-laki tua itu sengaja meminjamkan uang pada bapak dan mengajak bapak main judi. Dia sudah mengincar saya. Dia tau bapak saya tidak akan bisa bayar hutang."
"Ibumu? kemana dia?"
"Ada. Ibu tinggal di Majalengka bersama keluarga besarnya. Bapak dan ibu saya cerai sewaktu saya masih SMP. Ibu tidak pernah menghubungi atau menjenguk saya karena takut sama bapak. Ternyata orang tua itu banyak takut ya? saya sedari kecil tinggal sama bapak terpaksa berani. Kenapa ibu tidak?" gadis itu mulai tampak sedih. Matanya berkaca-kaca.
"Saya sudah selesai makan. Permisi."
Putra beranjak dari kursinya. Sementara Mahira masih sibuk dengan kenangan pahitnya. Dia yang setiap hari menerima hardikan dan siksaan dari bapaknya, gadis kecil yang terpaksa menjalankan peran ibu rumah tangga. Saat wanita seumurannya memakai baju yang hits, dia memakai baju pemberian dari para tetangga. Terkadang baju yang dia terima bukanlah baju untuk anak seusianya. Baju bekas itu layak dipakai makan dia akan memakainya meski modelnya yang biasa ibu-ibu pakai.
Tak terasa air matanya menetes. Dia mengusap buliran itu perlahan dan kembali melanjutkan makan yang belum dia habiskan. Tanpa dia sadari ada sesosok laki-laki yang memperhatikan dari tangga. Dia yang tidak pernah benar-benar pergi sejak tadi. Putra.
*****
Ini adalah hari Sabtu. Hari libur bagi Putra yang bekerja lima hari dalam sepekan. Sengaja dia bermalas-malasan setelah melaksanakan dua rakaat di pagi hari.
Sementara di dapur, Mahira dan Bi Mirah sedang sibuk memasak setelah mereka membersihkan rumah.
"Neng, calon suami kamu itu orangnya cuek. Setahu saya dia belum pernah pacaran. Jadi, Neng akan sedikit kesulitan setelah menikah sama dia."
"Tak apa, Bi. Saya sudah bersyukur selamat dari lintah darat itu. Saya tidak mengharapkan lebih dari pak putra. Saya hanya akan menjalankan keinginan emak untuk menjaga anaknya."
"Emak itu tidak akan sembarangan menikahkan anaknya dengan wanita. Saya yakin, Neng bukan wanita biasa."
"Ah! Bi Mirah bisa saja. Saya itu perempuan kampung, tidak ada bagus-bagusnya. Saya hanya beruntung. Itu saja."
"Ya, kamu memang sangat beruntung. Orang baik memang akan selalu beruntung."
"Mungkin, ini doa saya yang terijabah, Bi. Saya selalu berdoa agar hidup saya jauh lebih baik dari apa yang saya alami selama ini. Tubuh saya sudah tidak sanggup menahan pukulan dari bapak," lirihnya.
"Semoga selalu bahagia ya, Neng."
"Aamiin. Doakan saya juga biar bisa menjadi istri yang baik untuk pak putra. Saya tidak bisa bayangkan menjalani pernikahan tanpa perasaan. Apa seperti film-film ya Bi? nanti berubah cinta setelah lama menikah? apa mungkin suami saya nanti menikah lagi dengan pacarnya? atau ...."
Perkataan Mahira yang nyaris tanpa jeda terhenti seketika saat Putra berdehem. Memberikan isyarat bahwa dia ada diantara mereka. Bi Mirah hanya tersenyum simpul.
"Eh, Pak. Sudah bangun? mau saya buatkan apa?" tanya Mahira kikuk.
"Tidak perlu. Saya hanya kebetulan lewat."
"Oh, baiklah."
"Mas, ibu mau bicara sebentar. Boleh?" tanya Bi Mirah.
"Katakan." Putra menjawab.
"Saya mau izin pulang kampung. Selama ini saya ingin izin tapi selalu bingung siapa yang akan menjaga dan melayani Mas di sini. Kalau sekarang kan ...." Bi Mirah melirik Mahira.
"Baiklah. Berapa hari?"
"Semingguan, Mas."
"Ok. Nanti biar supir yang antar." Putra berlalu meninggalkan dapur. Mahira segera mendekat ke arah Bi Mirah.
"Bi, apa dia seperti itu? maksudnya kalau bicara singkat banget. Gak nanya alasan kenapa Bibi pulang? atau apalah. Lalu bagaimana nanti jika saya hidup sama dia? rasanya aneh berbicara dengan orang yang kalau bicara singkat dan irit begitu."
"Hatinya baik. Itu yang paling penting."
"Ya, itu benar. Kenapa memangnya dengan orang yang bicaranya sedikit kalau hatinya baik. Ketimbang laki-laki yang banyak bicara cenderung tukang bohong."
"Nah, itu benar sekali. Oh, iya Neng. Sore ini Bibi pulang. Jaga pak putra baik-baik ya. Jangan biarkan dia terlambat makan, dia punya penyakit maag."
"Iya, Bi. Akan saya pastikan dia selalu makan tepat waktu. Jangan kaget aja pas Bibi balik lagi kesini dia akan terlihat gemuk."
"Jangan. Nanti dia tidak tampan lagi."
"Memangnya dia tampan ya Bi? saya belum sempat menatap wajahnya lama. Belum melihat dengan pasti kalau dia itu tampan atau tidak? kira-kira bagaimana caranya ya biar saya bisa menatap wajahnya? di rumah ini tidak ada foto sama sekali? haruskah saya mencuri pandang saat kami sedang makan? ataukah saya hanya akan memiliki kesempatan itu setelah kami menikah. Saat dia tidur baru saya akan menatapnya lama sekali. Tapi, Bi. Bagaimanapun kalau nanti dia bangun saat saya sedang menatapnya?"
Bi Mirah hanya tertawa mendengar celotehan Mahira yang ternyata sangat cerewet itu. Sementara itu, Putra hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya.
🌺🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Nurliana Saragih
Beb,masak si CEO manggilnya Emak diganti dong???
2021-12-06
0
Siti Hajar Nst
emangnya umur putra berapa sih thor??
2021-09-07
1