NovelToon NovelToon

Membeli Istri

Part#1

"Apa kau sudah mengatur semuanya?"

"Sudah, Pak. Saya sudah membebaskannya semua lahan dengan harga yang wajar. Jadi, mereka tidak akan menuntut apapun saat pembangunan."

"Baiklah. Aku akan segera mengatur jadwal untuk berkunjung."

"Baik, Pak."

Laki-laki dengan tubuh tegap dan tinggi itu mematikan ponselnya. Matanya lurus ke depan menatap hamparan gedung yang padat hingga tidak ada celah untuk tikus pun lewat.

Tok

tok

tok

"Permisi, Pak."

"Masuk."

"Ini file yang anda minta. Saya simpan di atas meja."

"Ya. Hera, tolong jadwalkan kunjungan saya ke Jawa Barat. Kalau bisa dalam Minggu ini. Biar sekalian saya menjenguk keluarga saya."

"Baik, Pak. Saya akan melihat jadwal anda Minggu ini."

"Terima kasih."

"Sama-sama. Saya permisi, Pak."

Dia mengangkat kedua jarinya. Menandakan bahwa Hera--sekertarisnya di izinkan untuk keluar ruangan.

Pintu tertutup. Muhammad Putra Aditya berjalan menuju meja kerja kerjanya. Membuka file yang sekertarisnya bawa. Ia menghela nafas panjang lalu kemudian menutup file yang belum selesai ia baca.

Dipijatnya pangkal hidung yang terasa sakit. Meninggalkan tanda kemerahan di sana. Putra menggelengkan kepala dengan keras, berusaha agar rasa sakitnya ikut hilang.

Putra melihat jam yang melingkar di perhelatan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 16.30.

Dia berdiri lalu mengambil kunci mobil. Berjalan ke luar ruangan. Pulang.

Sepanjang perjalanan dia hanya terdiam. Baginya, begitu dia keluar dari kantor, perkejaan sudah bukan lagi tanggung jawabnya. Ponsel yang dia gunakan untuk bisnis segera dia matikan dan menggantinya dengan ponsel pribadinya.

Belum memiliki istri dengan posisinya sekarang membuat dia bebas melakukan apa saja yang dia inginkan. Tidak ada orang yang akan menelponnya untuk menanyakan dimana dia saat ini? sedang apa dia saat ini? sesuatu yang membuat Putra tidak ingin menikah. 'Risih' katanya.

Putra yang sedari kecil dididik untuk melakukan hal langsung pada tujuan inti, sangat benci pada hal yang bertele-tele. Dia tidak suka pada orang yang terlalu berlebihan dalam melakukan sesuatu, apapun itu. Termasuk perhatian.

"Kenapa orang harus bertanya, 'sudah makan belum? bukankah orang akan makan jika mereka merasa lapar? apa itu tidak terlalu menggelikan?" tanyanya suatu malam pada Wiwin. Wanita gemuk yang menjadi sahabatnya selama ini. Wiwin salah satu karyawan yang berada dalam perusahaan yang sama dengannya. Mereka bersahabat meski Wiwin jauh lebih tua darinya.

"Itu sebuah bentuk perhatian kecil. Tidak semua orang bisa melakukan hal tepat waktu. Kadang, mereka sibuk dan melupakan sesuatu yang amat sepele, seperti makan. Di situlah pertanyaan 'sudah makan belum?' seperti alarm."

"Begitukah?"

"Lu gak akan tahu kalau belum pernah pacaran. Makanya—"

"Udaaah. Gosah lanjut! tau sendiri gue itu gak mau pacaran tapi—"

"Langsung nikah!" timpal Wiwin menyela ucapan Putra.

"Nahkan, tau!"

"Ya udah, cepetan nikah kalau gitu!"

"Sama siapa? kuda?"

"Ama Aina."

"Ya ampun! anak lu itu masih TK. Keburu bangkotan gue nungguin dia."

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak di tengah derasnya hujan. Secangkir susu jahe merah menemani mereka berdua. Angin menerpa keduanya dengan membawa bukira kecil air hujan. Tenda kecil yang jadi atap, tidak cukup untuk melindungi mereka berdua.

"Gue antar lu pulang sekarang. Anak sama suami lu pasti nungguin."

"Hemm."

Putra membayar minuman lalu masuk ke dalam mobil bersama Wiwin.

"Ini buat suami lu." Putra memberikan keresek hitam berisi dua bungkus susu jahe.

"Makasih, ya."

"Sama-sama."

Mobil melaju dalam kegelapan dan derasnya hujan. Mereka membahas apa saja yang tidak pernah Putra bicarakan dengan orang lain. Bagi Putra, membicarakan segala hal bersama Wiwin itu seperti melepaskan beban yang menindih pundaknya.

Wiwin yang dewasa sering memberikan nasihat untuk Putra. Mereka sudah seperti adik dan kakak.

"Mampir dulu, hujannya besar banget." Suami Wiwin—Hasan mengajak Putra mampir saat mereka sudah sampai rumah Wiwin.

"Gak, Mas. Udah malem. Kapan-kapan saja mampirnya."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan."

"Iya, Mas. Aku pamit dulu." Putra berteriak di antara derasnya guyuran air hujan. Putra hanya duduk dan melihat dari balik kemudi, sementara Hasan berdiri di pintu rumahnya.

Putra mengibaskan air hujan yang membasahi jasnya saat dia menurunkan kaca mobilnya.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di rumah besar miliknya. Tinggal sendirian dengan rumah besar memang terasa sangat tidak pas. Apa mau dikata, Putra membangun rumah dua tiga lantai itu diperuntukkan untuk orang tuanya dan sodaranya. Mereka menolak. Orang tuanya tetap ingin tinggal di kampung. Begitu juga dengan adik-adiknya.

"Emak ingin tinggal di kampung saja. Mengurus sawah dan kebun. Serta ingin berada dekat dengan makan Bapak." Begitulah penolakan dari orang tua Putra yang hanya tinggal ibunya seorang. Bapaknya meninggal sudah cukup lama.

Pintu gerbang yang menjulang tinggi. Terbuat dari lempeng besi kokoh. Sangat rapat sampai orang tidak bisa melihat jelas detail yang ada di baliknya.

Setelah membunyikan klakson satu kali, pintu gerbang terbuka. Terlihat dua pria berseragam membukanya. Mobil Putra melaju melewati keduanya yang tersenyum sembari membungkukan badan.

Mobil terparkir berjejer dengan mobil-mobil yang lain. Berbagai model dari yang besar hingga yang kecil ada di garasi.

"Mas, sudah pulang? sudah makan belum? sini tas nya biar ibu yang bawakan." Seorang wanita dengan umur kisaran 45 tahun menghampiri Putra.

"Belum, Bu. Saya baru minum susu jahe merah aja sama anak gajah tadi."

"Ish! jangan begitu. Wiwin itu orangnya cantik meski tubuhnya terlalu sehat."

"Hehe. Ibu masak apa?"

"Nasi tutug oncom sama ayam goreng."

"Wah, mantap itu. Jadi gak sabar pengen makan."

Wanita yang dipanggil Ibu itu tersenyum melihat majikannya yang selalu begitu baik terhadapnya. Majikan yang sudah seperti anaknya sendiri.

Seperti biasa, Putra akan makan dengan lahap. Masakan Bi Mirah memang sangat enak. Itulah kenapa Putra jarang sekali makan malam di luar.

"Hati-hati makannya, Mas. Kamu kesedak nanti." Bi Mirah mengingatkan sambil memberikan segelas air.

"Laper banget, Bu. Ini juga enak banget."

"Itu dikunyah dulu baru ngomong."

Putra tersenyum dengan mulut masih penuh makanan.

"Alhamdulilah," ucapnya setelah melahap habis makan malamnya.

"Bu, aku ke atas dulu. Tolong tasnya simpan di ruang kerja saja."

"Iya, Mas."

Putra meninggalkan meja makan. Dia berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Segera dia ke kamar mandi begitu sampai di kamarnya. Mengguyur tubuhnya di bawah air hangat.

Setelah selesai membersihkan badan dan lengkap dengan pakaiannya. Putra keluar lalu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Baru saja tubuhnya menempel pada kasur, ponselnya berbunyi. Segera dia mengambil ponsel itu karena nada dering itu khusus untuk nomer wanita spesialnya.

"Halo, Mak."

"Putra, sedang apa kamu, Nak? udah pulang kerja? udah makan belum?" terdengar suara sedikit cemas dan penasaran dari seberang sana.

"Udah, Mak. Baru saja putra mau tidur."

"Besok, emak mau ke rumah kamu. Ada sesuatu yang akan emak bahas."

"Tentang apa? pernikahan lagi? putra udah bilang sama Emak, jangan bahas ini lagi. Putra belum mau nikah. Pacar aja belum punya."

"Nanti emak bawakan. Udah, besok sore emak sampai ke rumah kamu. Jangan kemana-mana. Jangan meeting dan jangan keluar kota juga."

"Mak, maksudnya ap—"

Belum selesai Putra berbicara, sudah terdengar nada pemutus dari sebrang sana.

Putra duduk termenung memandang layar ponsel yang sudah hitam. Dia tidak mengerti atau mungkin tidak ingin mengerti apa maksud emaknya barusan. Meski hati kecil Putra sudah bisa mengira-ngira apa yang akan emaknya lakukan.

"Wanita mana lagi yang akan Emak bawa Ya Allah." Putra mengusap wajahnya kasar.

🌺🌺🌺🌺

Muhammad Putra Aditya, 36 tahun

Part#2

Menuruti Emak adalah hal utama yang harus Putra lakukan. Apapun akan dia tinggalkan demi wanita yang satu ini. Banyak pertemuan dengan klien yang dia batalkan karena tidak ingin mengecewakan Emak.

Putra menunggu di kantor sembari mengerjakan pekerjaan yang masih bisa dia lakukan. Begitulah Putra, saat dia sudah bersama dengan perkejaan, maka dunia seperti berhenti berputar.

Waktu berjalan semakin petang. Dia tidak menyadari sampai matanya tertuju pada layar atas bagian laptopnya. Matanya seketika terbuka lebar saat melihat angka yang ada di sana.

Tanpa memperdulikan apapun lagi, Putra segera bangkit meraih kunci mobil dan jas yang dia letakkan di sandaran kursi kerjanya.

Begitu sampai parkiran, Putra membuka pintu mobil, menyalakan mesin kemudian memakai sabuk pengaman. Ponsel berbunyi saat dia akan menginjak pedal gas. Tertulis nama wanita solehah di layar ponselnya. Segera dia angkat tanpa menunggu lagi.

"Emak udah di rumah kamu. Kalau pulang bawakan buah-buahan ya."

"Lah, kok udah di rumah?"

"Iya, emak di anterin sama adik ipar kamu. Emak males kalau naik kereta, harus di test dulu," jelas Emak.

"Ya sudah, Putra juga udah mau pulang kok. Ini udah di mobil."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut."

"Iya, Mak. Putra tutup dulu teleponnya ya."

"Iya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Putra memasukkan ponselnya ke saku jas. Kemudian dia melakukan mobilnya. Mampir ke toko buah untuk membeli beberapa jenis buah-buahan seperti yang Emak pesan kemudian dia bergegas pulang.

Sesampainya depan rumah, Putra turun dengan kondisi mobil masih menyala karena mobil akan di parkiran oleh satpam menuju garasi yang gedungnya ada di sebelah rumah.

"Assalamualaikum ...," ucap Putra begitu pelayan membukakan pintu yang di sambut sahutan Emak dari dalam. Perempuan bertubuh subur itu menghampiri anaknya. Setelah punggung tangannya di cium Putra, mereka saling berpelukan.

"Ayo, makan dulu. Emak sudah masak makanan kesukaan kamu." Emak menggandeng anaknya, menyeretnya ke ruang makan. Putra sedikit melambatkan langkahnya begitu melihat seorang gadis tengah menyiapkan piring dan sendok.

Gadis cantik dengan perawakan kurus itu menunduk malu saat matanya bertemu dengan mata Putra. Tangannya terlihat menyisipkan rambut ke telinga. Lalu melanjutkan pekerjaannya.

"Sini, duduk." Emak menyiapkan kursi untuk anaknya.

"Ra, tolong ambilkan air minum buat putra." Emak meminta pada Mahira, gadis yang hendak di jodohkan dengan Putra. Mahira mengangguk. Tangannya yang putih kemerah-merahan mengambil gelas yang kemudian dia isi dengan air. Lalu menyodorkannya ke hadapan putra diiringi senyum manis yang sedikit kaku.

"Terima kasih," ucap Putra.

"Ayo, kita makan. Ini, ibu masakin kamu sambal godog, sama tempe goreng, sama cumi asin." Emak mengambilkan makan untuk Putra. "Ayo, Ra. Kamu juga makan. Biar badan kamu agak gendutan. Masa pengantin kurus banget, tar kebayanya gak cocok," seloroh Emak.

Putra batuk. Dia segera mengambil gelas yang berisi air.

"Kenapa toh? Ini namanya Mahira, dia wanita yang akan jadi istri kamu, Putra."

"Mak ...."

"Kali ini kamu tidak boleh menolak. Emak udah mengeluarkan uang tabungan emak buat dapetin dia."

"Maksdunya?" Putra menyimpan sendok dan fokus menatap Emak.

"Dia itu anaknya sudin. Sudin itu preman di kampung kita. Humaira ini mau di jual ke tempat pelacuran sama bapaknya. Ya udah emak aja yang beli. Mahal." Emak bersemangat. Lalu kembali mengunyah makanannya.

Mahira bergeming. Dia fokus pada nasi dan lauk-pauk yang ada di piringnya. Dia mendengarkan tanpa ikut campur pembicaraan Emak dan Putra. Putra melirik gadis itu.

"Ya sudah, kita bicarakan saja nanti setelah selesai makan. Tidak baik makan sambil bicara."

Emak hanya tersenyum mendengar Putra berbicara. Putra memang hidup dengan didikan Bapak yang keras. Bagaimana etika harus selalu digunakan di setiap langkah kehidupan. Ya, Bapak memang tidak mendidik Putra dengan ilmu agama yang dalam, tapi Putra tumbuh cukup baik. Dia menjalankan hidup dengan aturan yang memang seharusnya orang lakukan. Jujur dan menghormati orang lain adalah prinsip yang tidak bisa diubah oleh apapun juga. Terutama pada orang tua.

"Dunia dan seisinya pun tidak akan cukup membalas jasa orang tua. Hanya saja, orang tua di dunia ini tidak menginginkan itu semua. Kami--para orang tua hanya ingin dihormati dan dihargai anak-anaknya. Itu saja."

Begitulah pepatah yang sampai saat ini Putra pegang sebagai acuan hidup untuk berbakti pada orang tua yang kini hanya tinggal satu, Emak. Putra akan melakukan apapun sesuai permintaan Emak, selama itu tidak melanggar hukum negara dan agama.

Begitu mereka selesai makan. Putra dan Emak menuju kamar Putra yang ada di lantai atas. Sementara itu, Mahira pergi menuju kamar tamu di lantai bawah.

"Kenapa Emak malah menjodohkan putra dengan anak seorang preman?" tanya Putra mengawali pembicaraan. Dia duduk di sofa sambil melepas dasi dan jasnya.

"Hemm. Ayahnya memang preman, tapi dia bagai bidadari. Anaknya baik dan sopan. Selain itu dia juga cantik." Emak berusaha menggoda Putra. Putra hanya membalas dengan tatapan datar saat melihat Emak senyum-senyum tidak jelas.

"Berapa usianya?" tanya putra lagi dengan tangan kanan kanan diangkat setengah. Membuka kancing lengan.

"Mungkin sekitar 20-an. Masih muda bukan?"

"Putra seperti momong nantinya."

"Ish! jangan salah. Hidup dia itu keras, jadi dia lebih dewasa dari umurnya sendiri. Emak yakin hidup kamu akan bahagia."

"Bagaimana putra bisa bahagia menikah dengan wanita yang tidak putra cintai, Mak?" kali ini dia berdiri di depan cermin. Membuka jam tangan mahalnya.

"Insting seorang ibu untuk anaknya itu kuat. Emak akan selalu berusaha dan berdoa untuk kebahagiaan kamu dan juga adik-adik kamu." Suara Emak terdengar sedih. Putra langsung memutar badan dan bersimpuh di kaki Emak. Meraih tangan yang mulai keriput. Dan menatap wajah wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Putra percaya. Putra akan melakukan apapun yang emak inginkan." Putra menaruh kepala di pangkuan Emak. Dengan lembut wanita itu mengelus rambut anaknya.

"Emak tidak ingin, saat emak pergi, kamu masih sendiri. Emak ingin memastikan bahwa kamu diurus wanita yang tepat. Mahira gadis baik, Nak. Dia akan menjaga kamu selayaknya Emak. Dia akan merawat kamu dan itu membuat hati emak tenang jika Gusti Allah memanggil saat ini juga." Emak mulai meneteskan air mata. Ya, tidak ada seorang Ibu di dunia yang tidak memikirkan anaknya, meski anak mereka sudah begitu dewasa bahkan bisa dibilang tua. Saat memikirkan Putra, Emak memang selalu bersedih. Putra terlalu sibuk memikirkan keluarganya setelah kepergian Bapak. Itulah kenapa sampai saat ini Putra belum juga menikah.

"Putra akan menikah dengan gadis itu, Mak. Emak jangan menangis lagi," lirih putra di pangkuan Emak.

Putra merasa berbeda kali ini. Emak begitu ingin dia menikah dengan gadis yang kini tengah melaksanakan salat magrib di kamar. Emak tidak seperti biasanya, yang akan mengenalkan seorang wanita dan saat putra menolak, Emak tidak akan protes apa lagi sampai menangis seperti sekarang.

Baiklah, mungkin untuk kali ini aku benar-benar harus mau menikahi gadis pilihan Emak. Begitulah ujar Putra dalam hati.

🌺🌺🌺🌺

Part#3

Tiga hari lamanya Emak tinggal di rumah Putra. Pagi ini, Emak akan pulang ke kampung. Dia tidak bisa meninggalkan warungnya untuk waktu yang lama. Meski ada Abel yang menjaganya. Emak merasa kasian karena Abel memiliki anak yang masih batita.

"Mahira akan tinggal di sini. Biar dia tau apa saja kebiasaan kamu, makanan dan minuman kesukaan kamu. Supaya nanti terbiasa. Biarkan dia di sini sebelum kalian bertunangan dan menikah."

"Mak, dia belum jadi mahrom putra. Kenapa tinggal satu atap?"

"Memangnya mirah mahrom kamu?" ledek Emak.

"Itu beda, Mak."

"Anggap saja mahira pembantu kamu juga. Jadi, tidak akan ada fitnah di antara kalian. Suruh saja mahira tidur sama mirah."

Putra hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar ucapan Emak. Mau tidak mau dia harus menurutinya. Meski hati putra menolak. Dia tidak terbiasa ada orang lain berada di dalam rumahnya. Hanya dengan Bi Mirah lah dia merasa nyaman. Ya, tapi apa mau dikata. Toh suatu saat nanti gadis itu memang harus tinggal satu rumah dengannya. Bahkan satu kamar dan satu tempat tidur. Batin Putra.

Setelah mengantar Emak sampai naik mobil dan mobil itu berlalu, Putra pun menaiki mobile untuk pergi ke kantor.

"Bu, saya pamit ya. Mungkin hari ini saya tidak akan pulang malam. Di kantor tidak terlalu sibuk," ucap Putra pamit pada Bi Mirah. Dia melirik Mahira yang kebetulan ada di dekat Bi Mirah. Putra terdiam kikuk, haruskah dia pamit juga pada wanita itu? ataukah diam dan pergi berlalu? begitulah yang putra pikirkan. Hingga dia hanya memberi sedikit senyuman lalu melajukkan mobilnya.

Sebelum mobil benar-benar menjauh, Putra sempat melihat Mahira di kaca spion. Mahira tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya begitu menyadari apa yang Putra lakukan.

*****

"Kenapa? apa yang membuat pembebasan lahan disana sangat sulit?"

"Entahlah, Pak. Kami di sini bahkan telah menawar harga dengan tinggi."

"Apa kau langsung bertemu dengan pemilik lahan di sana?"

"Tidak Pak, kami mempercayakan masalah ini pada orang sini. Kebetulan dia orang yang berpengaruh."

"Aargh! kau benar-benar di bodohi!" Putra menutup pembicaraan dengan bawahannya yang sedang menggarap proyek barunya. Proyek pariwasata yang dia ingin bangun. Sebuah objek wisata di pegunungan, kebun teh yang terletak di daerah Majalengka Jawa Barat. Di sana ada perkebunan teh yang belum tergarap dengan baik di bidang pariwisata. Para petani hanya memanfaatkan perkebunannya itu sebagai penghasil teh saja.

Putra sebagai CEO dari sebuah perusahaan ingin mengembangkannya menjadi tempat pariwasata.

Dengan nafas yang terasa berat, Putra keluar dari kantor. Tidak sengaja dia berpapasan dengan temannya yang tambun.

"Pak, mau kemana buru-buru?"

"Saya mau ngopi di luar sebentar. Kamu sibuk?"

"Lumayan. Ada beberapa berkas yang harus saya selesaikan."

"Tunda dulu. Temani saya sebentar."

"Baik, Pak. Saya ambil tas dulu sebentar."

Putra menunggu beberapa menit sebelum sahabatnya itu kembali datang. Mereka berdua berjalan menuju parkiran. Menaiki mobil dan pergi ke sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja.

"Win, kepala gue berat banget." Putra membuka pembicaraan.

"Ada berapa kwintal emang?" canda Wiwin. Putra mendelik sahabatnya itu. "Iya, iya, maaf. Ada masalah apa? sampe kepala Lu jadi bengkak gitu?" tanya Wiwin sembari menyedot es moccachino.

"Gue mau nikah."

"Uhuk!" Wiwin mengelap minuman yang bercecer di pinggir mulutnya. "Sama siapa? pacar aja kagak punya, ujug-ujug mau nikah aja."

"Emak. Dia kemaren bawa calonnya. Sekarang ada di rumah gue."

"Tumben Lu mau. Biasanya nolak."

Putra menautkan jari jemarinya, menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Wiwin. "Kali ini beda."

"Maksdunya?" tanya Wiwin makin penasaran.

Putra bergeming. Dia mengaduk-aduk kopi yang sama sekali tidak dia minum. Kopi yang kini sudah tidak mengepul lagi karena terlalu lama berada di cangkir tanpa di minum sama sekali.

"Aku tidak bisa menolak kalau air mata emak sudah ikut serta di dalamnya."

Wiwin mengangguk pelan. Dia tau bahwa sahabatnya itu tidak akan bisa menolak apapun permintaan emaknya. Terlebih Wiwin tau, jika emak sudah begitu serius sampai menitikkan air mata, artinya itu tidak bisa dibantah.

"Kalau begitu, menikahlah. Gue yakin, pilihan emak adalah yang terbaik. Tidak ada orang tua terlebih ibu yang akan menjerumuskan anaknya." Wiwin berusaha menenangkan Putra. "Cinta itu akan datang karena terbiasa. Terbiasa hidup bersama salah satunya. Yaaa paling tidak sedikit rasa belas kasih lah."

"Gue takut malah akan menyakiti gadis itu."

"Gue ngerti. Cukup jadilah suami yang baik buat istri Lu. Tak apa tidak memberi dia cinta, berikan saja hak dia, dan laksanakan tanggung jawab lu sebagai suami. Semuanya udah ada dalam agama. Lagi pula, rumah tangga yang di dasari cinta pun belum tentu bahagia jika antara hak dan kewajiban masing-masing tidak berjalan dengan baik."

"Hmm. Gue akan coba. Lu jangan lupa nasehatin gue tiap hari. Ingetin gue bagaimanapun caranya jadi suami yang baik buat istri gue nanti."

"Iya, lu tenang aja. Gue akan selalu ada buat Lu."

Wiwin menatap dalam sahabatnya yang sedari tadi menundukkan kepala. Putra bahkan lebih memikirkan wanita itu ketimbang perasaannya. Meski Wiwin tau, hati Putra pun pasti berat menerima semua ini.

"Ah! kamu itu emang laki-laki hebat!"

"Semoga bisa jadi suami hebat juga."

🌺🌺🌺🌺🌺

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!