Part#3

Tiga hari lamanya Emak tinggal di rumah Putra. Pagi ini, Emak akan pulang ke kampung. Dia tidak bisa meninggalkan warungnya untuk waktu yang lama. Meski ada Abel yang menjaganya. Emak merasa kasian karena Abel memiliki anak yang masih batita.

"Mahira akan tinggal di sini. Biar dia tau apa saja kebiasaan kamu, makanan dan minuman kesukaan kamu. Supaya nanti terbiasa. Biarkan dia di sini sebelum kalian bertunangan dan menikah."

"Mak, dia belum jadi mahrom putra. Kenapa tinggal satu atap?"

"Memangnya mirah mahrom kamu?" ledek Emak.

"Itu beda, Mak."

"Anggap saja mahira pembantu kamu juga. Jadi, tidak akan ada fitnah di antara kalian. Suruh saja mahira tidur sama mirah."

Putra hanya menarik nafas dalam-dalam mendengar ucapan Emak. Mau tidak mau dia harus menurutinya. Meski hati putra menolak. Dia tidak terbiasa ada orang lain berada di dalam rumahnya. Hanya dengan Bi Mirah lah dia merasa nyaman. Ya, tapi apa mau dikata. Toh suatu saat nanti gadis itu memang harus tinggal satu rumah dengannya. Bahkan satu kamar dan satu tempat tidur. Batin Putra.

Setelah mengantar Emak sampai naik mobil dan mobil itu berlalu, Putra pun menaiki mobile untuk pergi ke kantor.

"Bu, saya pamit ya. Mungkin hari ini saya tidak akan pulang malam. Di kantor tidak terlalu sibuk," ucap Putra pamit pada Bi Mirah. Dia melirik Mahira yang kebetulan ada di dekat Bi Mirah. Putra terdiam kikuk, haruskah dia pamit juga pada wanita itu? ataukah diam dan pergi berlalu? begitulah yang putra pikirkan. Hingga dia hanya memberi sedikit senyuman lalu melajukkan mobilnya.

Sebelum mobil benar-benar menjauh, Putra sempat melihat Mahira di kaca spion. Mahira tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya begitu menyadari apa yang Putra lakukan.

*****

"Kenapa? apa yang membuat pembebasan lahan disana sangat sulit?"

"Entahlah, Pak. Kami di sini bahkan telah menawar harga dengan tinggi."

"Apa kau langsung bertemu dengan pemilik lahan di sana?"

"Tidak Pak, kami mempercayakan masalah ini pada orang sini. Kebetulan dia orang yang berpengaruh."

"Aargh! kau benar-benar di bodohi!" Putra menutup pembicaraan dengan bawahannya yang sedang menggarap proyek barunya. Proyek pariwasata yang dia ingin bangun. Sebuah objek wisata di pegunungan, kebun teh yang terletak di daerah Majalengka Jawa Barat. Di sana ada perkebunan teh yang belum tergarap dengan baik di bidang pariwisata. Para petani hanya memanfaatkan perkebunannya itu sebagai penghasil teh saja.

Putra sebagai CEO dari sebuah perusahaan ingin mengembangkannya menjadi tempat pariwasata.

Dengan nafas yang terasa berat, Putra keluar dari kantor. Tidak sengaja dia berpapasan dengan temannya yang tambun.

"Pak, mau kemana buru-buru?"

"Saya mau ngopi di luar sebentar. Kamu sibuk?"

"Lumayan. Ada beberapa berkas yang harus saya selesaikan."

"Tunda dulu. Temani saya sebentar."

"Baik, Pak. Saya ambil tas dulu sebentar."

Putra menunggu beberapa menit sebelum sahabatnya itu kembali datang. Mereka berdua berjalan menuju parkiran. Menaiki mobil dan pergi ke sebuah kafe yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja.

"Win, kepala gue berat banget." Putra membuka pembicaraan.

"Ada berapa kwintal emang?" canda Wiwin. Putra mendelik sahabatnya itu. "Iya, iya, maaf. Ada masalah apa? sampe kepala Lu jadi bengkak gitu?" tanya Wiwin sembari menyedot es moccachino.

"Gue mau nikah."

"Uhuk!" Wiwin mengelap minuman yang bercecer di pinggir mulutnya. "Sama siapa? pacar aja kagak punya, ujug-ujug mau nikah aja."

"Emak. Dia kemaren bawa calonnya. Sekarang ada di rumah gue."

"Tumben Lu mau. Biasanya nolak."

Putra menautkan jari jemarinya, menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan Wiwin. "Kali ini beda."

"Maksdunya?" tanya Wiwin makin penasaran.

Putra bergeming. Dia mengaduk-aduk kopi yang sama sekali tidak dia minum. Kopi yang kini sudah tidak mengepul lagi karena terlalu lama berada di cangkir tanpa di minum sama sekali.

"Aku tidak bisa menolak kalau air mata emak sudah ikut serta di dalamnya."

Wiwin mengangguk pelan. Dia tau bahwa sahabatnya itu tidak akan bisa menolak apapun permintaan emaknya. Terlebih Wiwin tau, jika emak sudah begitu serius sampai menitikkan air mata, artinya itu tidak bisa dibantah.

"Kalau begitu, menikahlah. Gue yakin, pilihan emak adalah yang terbaik. Tidak ada orang tua terlebih ibu yang akan menjerumuskan anaknya." Wiwin berusaha menenangkan Putra. "Cinta itu akan datang karena terbiasa. Terbiasa hidup bersama salah satunya. Yaaa paling tidak sedikit rasa belas kasih lah."

"Gue takut malah akan menyakiti gadis itu."

"Gue ngerti. Cukup jadilah suami yang baik buat istri Lu. Tak apa tidak memberi dia cinta, berikan saja hak dia, dan laksanakan tanggung jawab lu sebagai suami. Semuanya udah ada dalam agama. Lagi pula, rumah tangga yang di dasari cinta pun belum tentu bahagia jika antara hak dan kewajiban masing-masing tidak berjalan dengan baik."

"Hmm. Gue akan coba. Lu jangan lupa nasehatin gue tiap hari. Ingetin gue bagaimanapun caranya jadi suami yang baik buat istri gue nanti."

"Iya, lu tenang aja. Gue akan selalu ada buat Lu."

Wiwin menatap dalam sahabatnya yang sedari tadi menundukkan kepala. Putra bahkan lebih memikirkan wanita itu ketimbang perasaannya. Meski Wiwin tau, hati Putra pun pasti berat menerima semua ini.

"Ah! kamu itu emang laki-laki hebat!"

"Semoga bisa jadi suami hebat juga."

🌺🌺🌺🌺🌺

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!