Bi Mirah telah pulang kampung. Di rumah megah ini, pembantu memang hanya ada satu yaitu Bi Mirah. Jangan heran, rumah ini hanya dibersihkan sekali dalam seminggu oleh jasa pembersih rumah. Bi Mirah hanya membersihkan yang sering di injak oleh Putra. Memasak dan mencuci pakaian saja. Itu pun untuk jenis pakaian tertentu di cuci di laundry.
Mahira bangun sebelum azan subuh berkumandang. Dia membereskan rumah sambil menyalakan mesin cuci. Istirahat untuk salat subuh lalu kemudian melanjutkannya pekerjaannya.
"Saya ingin sarapan roti saja pagi ini."
Suara Putra yang tiba-tiba membuat Mahira terlonjak kaget. Dia menjatuhkan piring yang sedang dia cuci. Tanpa menoleh sedikitpun, Mahira langsung memunguti pecahan piring.
"Maaf, saya membuat kamu kaget," ujar putra sambil membantu Mahira memunguti beling.
"Tidak apa-apa, Pak. Justru saya yang minta maaf telah menjatuhkan piring ini. Pasti piring ini mahal. Kalau saya bekerja sebagai pembantu di rumah ini, rasanya gaji saya akan terpotong setengah untuk mengganti piring ini. Padahal ini piring yang bagus, seumur hidup saya baru melihat piring bagus dan seberat ini, Pak. Saya—"
"Berhenti bicara. Lihat jari kamu." Putra menunjuk jari Mahira yang meneteskan darah karena tergores pecahan piring itu.
"Kenapa memangnya? cuma luka kecil. Ini sih bukan apa-apa. Gak berasa sama sekali. Biarkan saja, nanti juga sembuh sendiri."
Putra mengambil pecahan piring dari tangan Mahira. Membuangnya ke tempat sampah lalu menarik tangan Mahira. Mereka berjalan menuju ruang keluarga.
"Duduk."
Putra berlalu setelah memastikan Mahira duduk di sofa. Dia kembali dengan kotak obat di tangannya. Dengan telaten, Putra membersihkan luka Mahira lalu membalutnya dengan plester.
"Bapak laki-laki pertama yang mengobati luka saya. Laki-laki yang seharusnya melindungi saya malah dia yang membuat luka dan meninggalkan begitu banyak noda dalam tubuh saya. Bukti bahwa tubuh ini pernah menerima rasa sakit bertubi-tubi."
Hening.
Putra menghela nafas. Dia beringsut duduk di samping Mahira setelah meletakkan kotak obat di atas meja.
"Kapan kita menikah? apa kamu tau?"
Mahira menggeleng. Wajahnya menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya yang kini telah berurai air mata.
"Saya tidak tau, apakah saya bisa menjadi suami yang baik atau tidak untuk kamu. Hanya saja, saya akan berusaha."
"Dengan Bapak tidak memukul saya pun, itu sudah cukup. Saya tidak ingin di pukul oleh suami saya. Cukup bapak saya aja yang pernah menganggap tubuh ini adalah bagian-bagian dari tubuh binatang."
"Baiklah. Saya ke atas dulu."
Mahira menyeka air matanya setelah Putra pergi. Wanita itu kembali ke dapur untuk membersihkan sisa pecahan piring. Dia juga menyiapkan sarapan untuk Putra.
Roti dan teh hangat sudah tersaji di meja makan saat Putra datang. Segera Mahira pergi ke dapur.
"Kamu kenapa selalu pergi ke sini sat saya makan?" tanya Putra saat dia di dapur dan melihat Mahira sedang sarapan di sana. Mahira tersedak.
"Ma-maaf, Pak," ucapnya lalu minum teh untuk melancarkan tenggorokannya.
"Temani saya sarapan. Kamu itu bukan pembantu di sini." Putra segera berlalu dengan diikuti langkah Mahira yang masih takut-takut.
Dengan sedikit ragu, Mahira duduk di kursi persisi di samping Putra. Mereka sarapan dengan damai.
"Setelah ini kita pergi. Kamu siap-siap."
"Ba-baik ... Pak ...." ucapan Mahira terputus-putus karena lawan bicara selalu pergi sebelum dia selesai bicara.
Belum jadi suami, jadi tidak perlu terlalu baik. Begitu pikir Putra.
Setengah jam kemudian, Putra turun dari kamarnya menuju ruang keluarga. Dengan kemeja kotak-kotak dan kancing yang terbuka full, memperlihatkan tubuhnya yang sixpack dibalik kaus berwarna putih. Celana jeans dan sepatu kets. Putra menunggu Mahira sambil merapikan lengan kemeja yang dia gulung.
"Saya sudah siap, Pak."
Putra menghentikan aktifitasnya dan menengok ke arah sumber suara. Betapa terkejut dia saat melihat Mahira. Gadis lugu itu terlihat tua dengan pakaiannya yang dia kenakan. Ditambah gaya rambut yang dia ikan cempol begitu saja. Klimis sepeti emak-emak jaman dulu.
Mahira merasa tidak enak hati melihat ekspresi calon suaminya itu. Dia melihat tubuhnya sendiri. Berputar kiri dan kanan.
"Saya, jelek ya. Padahal baju ini adalah baju yang paling bagus yang saya punya. Ini baju pemberian dari Ceu Tinah di kampung. Dia bilang baju ini baju lebaran waktu dia masih gadis."
"Berapa usia Ceu Tinah sekarang?"
"Saya tidak tau, tapi anaknya yang terakhir udah punya tiga anak. Dan dari ketiga anaknya itu udah di sunat Minggu lalu. Dia yang bungsu."
Putra ingin tertawa tapi dia juga kesal. Bagaimana bisa Mahira memakai baju dari seseorang yang kini sudah menjadi nenek-nenek. Putra mendengkus kesal.
"Baiklah. Ayo kita pergi."
Putra segera melangkah keluar meninggal lahir yang masih berpikiran keras tentang penampilannya.
Putra sudah duduk di depan kemudi lengkap dengan sabuk pengaman yang melingkupi di tubuhnya. Sementara itu, Mahira masih mondar-mandir, sesekali mengintip dari jendela. Dia bingung karena tidak tau bagaimana cara membuka pintu mobil.
Putra menatap gadis itu dari dalam sambil menggelengkan kepala. Kali ini Putra tidak bisa lagi menahan tawa.
Putra hendak turun dari mobil dan sudah melepaskan sabuk pengamannya. Namun, security sudah terlebih dahulu membantu Mahira membuka pintu mobil.
"Terima kasih, Pak," ucap Mahira sambil membungkukkan badan pada security itu. Mahira pun memasuki mobil dan duduk. Putra melirik gadis itu dengan menahan tawa.
"Pakai sabuk pengaman."
"Apa itu?"
"Seperti yang saya pakai."
Mahira menelisik Putra. Menatapnya dengan seksama. Putra merasa risih dan canggung.
"Ini."
Putra membantu Mahira menarik sabuk pengaman dan memakaikannya. Mahira sempat menahan nafas saat wajah Putra tepat ada di hadapannya. Hanya berjarak dua ruas jari saja. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang begitu Putra kembali pada posisinya.
Mobil yang hanya memiliki dua pintu itu melaju cepat. Mahira terkesiap saat tubuhnya terasa terpental kebelakang. Tangannya memegang erat sabuk yang ada di bagian dadanya. Putra tersenyum geli melihat Mahira.
Sesampainya di parkiran sebuah mall ternama di ibu kota. Putra melepaskan sabuk pengaman yang melilit Mahira. Sementara gadis itu masih terlihat syok. Wajahnya pucat dan tangannya terasa dingin.
"Ayo." Putra membukakan pintu untuk Mahira yang masih bengong. "Mahira!"
Mahira sadar setelah mendengar suara Putra yang sedikit keras. Gadis itu turun dengan tubuh sempoyongan. Putra menarik tangannya saat dia hampir terjatuh.
ck!
"Ayo jalan. Kita akan terlambat." Putra masih menggenggam tangan Mahira. Berjalan menuju mall dan masuk ke dalam sebuah lift. Putra mendesah. Dia yakin akan ada hal ajaib yang akan terjadi pada Mahira di dalam lift nanti.
🌺🌺🌺🌺🌺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Thalita Aulia
dr kampung jg jng terlalu norak atuh thor...
2021-10-12
1