CAPTER 5
H-2 MENJELANG AKAD NIKAH, GADIS ITU MENGUJI KESABARANKU
Menjelang hari H yang tinggal dua hari lagi, pikiran dan hati Hasan semakin bercampur aduk. Terlebih dia tidak diperkenankan terlibat langsung untuk mengurus semuanya, dia hanya menunggu hari itu. Bahkan baju yang akan dia kenakan dihari bersejarah itu pun
sudah disiapkan oleh calon mertunya.
Malam ini setibanya dirumah dia langsung masuk kamar, melewatkan tiga kunyuk yang sedang asyik main karambol. Andik yang melihat kedatangan Hasan menyadari ada perubahan sikap dan mood pada seniornya itu.
“Kenapa sama mas Hasan?.” tanya Andik pada kedua temannya.
Ilham yang sudah ambil ancang
– ancang untuk menyodok terdiam mendengar perkataan Andik.
“Iya akhir – akhir ini sikapnya aneh...kayak
orang bingung." Guman Ilham.
“Apa lagi patah hati ya?!.” seru Ilyas.
“Ham cepat cari tahu...kamu kan pintar urusan berita -berita.” Pinta Ilyas.
“Tenang...secepatnya bakal aku selidiki." Seru
Ilham dan bangkit.
Dia berjalan menuju kamar Hasan yang tertutup, tangannya mencoba mengetuk pelan daun pintu itu.
“Mas...kita mau beli nasi goreng...apa mau
nitip mie ayam?."
“Masih kenyang....” Jawab Hasan dari balik
pintu.
“Ohh...Mas-nya sudah makan ya?!.”
Tapi tidak ada respon dari dalam kamar, Ilham kembali memutar otaknya. Dan tiba-tiba pintu kamar terbuka, Hasan kaget mendapati Ilham yang masih berdiri didepan pintu kamarnya. Dia pikir Ilham sudah pergi sedari tadi.
“Ngapain?.”
“Mas....”
“Hmmm...” Sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Ilham terus membuntutinya dari belakang, Hasan yang menyadari segera menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Ngapain ngikutin?."
“Tahu nggak...Mas-nya beneran kayak zombi.”
“Kayak zombi?.” tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
“Iya 60% uda mirip sama zombi...sadar nggak
Mas dari kemarin diperhatiin pikirannya terbang terus pandangannya juga, kenapa
sih Mas?.”
“Itu pikiran kalian aja.”
“Mas-nya nggak lagi patah hati kan...atau
jangan – jangan Mas-nya dipaksa nikah sama janda ya sama Bapak yang kapan hari itu?.” tebak Ilham.
“Kalau nggak mau tolak aja Mas dari pada
tersiksa, kalau urusan patah hati jangan dibuat serius...mati satu tumbuh seribu.” Lanjut Ilham.
“Kamu ini benar-benar...yang patah hati siapa...yang mau nikah sama janda juga siapa?!.” tegas Hasan.
“Lantas kenapa kayak cacing kepanasan?!.”
“Tadi katanya mirip zombi...la sekarang kok
ganti cacing kepanasan!.”
“Mirip dua – duanya...kenapa sih Mas?!.” tidak
mau menyerah.
Hasan tidak berniat menanggapinya lebih lanjut, dia berjalan menuju dapur dan mengambil gelas lalu menuangkan air. Hendak meneguk minumnya, cacing – cacing diperutnya berdendang. Mendengar bunyi perut Hasan, Ilham tertawa dan berjalan mendekati Hasan.
“Katanya masih kenyang!.”
“Tadi masih kenyang...sekarang uda lapar.”
“Mas...Mas...nggak pinter bikin alasan,
tungguin ya!.”
Ilham pergi meninggalkan Hasan didapur, berjalan keteras rumah dimana Ilyas dan Andik lagi main karambol.
“Woyyy...melu aku youk!.” Ajak Ilham dalam
bahasa Jawa.
“Nang endi Le?.” tanya Andik dalam bahasa Jawa juga.
“Beli nasi goreng sekalian beli mie ayam buat
Mas bujang yang di dalam itu!.” Ilham menjelaskan.
“Ya apa Ham wes dapet?.” tanya Ilyas yang
penasaran.
“Belum...nyantai aja, ayo buruan selak nutup
mie ayamnya."
Setelah beberapa menit lamanya mereka keluar rumah, mereka datang dengan menenteng makanan yang dibungkus kresek. Andik menaruh nasi goreng yang dibelinya diatas papan karambol dan meminta Ilyas untuk mengambil piring dan sendok. Sementara Ilham mengantarkan mie ayam yang dipesan ke kamar Hasan, ketika hendak mengetuk pintu dia mendengar suara Hasan dibalik pintu sedang bicara dengan seseorang ditelfon. Dia menghentikan niatnya untuk mengetuk pintu, sebaliknya dia menempelkan
telinganya ke daun pintu alias menguping dari luar.
“Gimana Mba yang kemarin itu?." tanya Hasan.
“Soal apa ya?.” Naura balik nanya.
“Itu yang katanya sek mau dipikir." Mencoba
mengingatkan.
“Oh...soal mahar itu!.”
“Iya itu maksudnya."
“Udah.”
“Kalau boleh tahu Mba-nya minta mahar
apa...biar saya bisa nyiapain.”
Diluar pintu kamar Ilham terkaget mendengar kata mahar, senyum tengil tersungging di bibirnya.
“Uhh...berita besar." Batinnya.
“Seperangkat alat sholat aja tapi...," Tidak
meneruskan.
“Bisa nggak seperangkat alat sholat aja nggak
pakek tapi?.” protes Hasan.
“Harus ada tapinya biar berkesan.”
“Tapinya itu yang bikin nggak enak.”
“Ya udah kalau gitu...nggak ada mahar nggak ada pernikahan, katanya itu kan wes sepaket.” Ancam Naura.
“Pintar ya ngancamnya.” Seru Hasan sambil tersenyum.
“Yang ngajarin siapa?.”
“Ok teruskan tapinya itu.” Pinta Hasan.
“Tapi aku mau mukenahnya dari kain sutera dan warnanya gold .”
“Mmm...apa harus warna gold?!.” Guman Hasan bertanya.
“Tentu wajib itu...terus sajadahnya dari
Maroko.”
“Emmm!." Nada suara mulai naik.
“Dengerin dulu belum selesai ini.”
“Iya lanjut!." Hasan memerintah.
“Al-qur’annya...tulisannya dari tinta emas
terus sampulnya dari kain beludru warna merah, tasybihnya dari batu mulia kayak
batu emerald .” Naura menjelaskan dengan detail.
“Ada lagi?!.” tanya Hasan kesal.
“Mmmm...ada tinggal satu.”
“Ya udah sebutin semuanya!."
“Sama segelas air putih yang airnya diambil
dari sumber mata air di pegunungan.” Ucap Naura sambil menahan tawa.
"Maksudnya AQUA?!."
"Serius nih!."
Mendengar mahar yang terakhir
disebutin oleh Naura, ingin rasanya Hasan menjitak kepala si Kucing Betina itu
supaya otaknya tidak bengkong. Dari mana ide itu muncul tidak penting bagi Hasan, bagaimana pun itu ide gila dan dia benar-benar kesal mendengar semua
permintaan itu.
“Apa ngambilnya harus tengah malam pas bulan purnama?!.” ejek Hasan.
“Aku serius lho ya...nggak bercanda!.” Jawab
Naura dengan suara dingin.
“Lho aku juga serius...kalau nggak serius
ngapain aku nanya!.” Tidak mau kalah.
“Pokoknya maharnya itu harus sesuai yang aku sebutin tadi! ”
“Mba Naura yang cantik...maaf aku ini bukan
pangeran arab jadi nggak bisa nyiapin semuanya dalam waktu 2 hari...PAHAM!.”
Mendengar Hasan protes dan emosi terdengar disuaranya hati Naura merasa puas, dia berusaha menahan tawanya agar tidak terdengar oleh Hasan. Sementara Hasan berguman sendiri diujung telfon.
“Sampai ketemu hari H ok!.” Ucap Naura dan
menutup sambungan telpon.
Hasan yang masih kesal dengan semua kekonyolan Naura terus berfikir bagaiman caranya bisa menyiapkan semua itu dalam 2 hari. Jari – jari tangannya mulai sibuk mengetik dilayar handphonenya, berselancar didunia maya untuk mengecek toko – toko online alias onlineshop melalui aplikasi yang ada. Dia juga sibuk menelfon teman – temannya untuk sekedar mencari info, list pertama yang dia cari adalah mukenah sutra
warna gold.
Puas menguping, Ilham mengetuk pintu kamar Hasan. Mendengar pintunya diketuk Hasan beranjak turun dari kasur dan membuka pintu. Ilham sudah berdiri didepan pintu dengan senyum lebar.
“Mie ayamnya Mas...cepetan dimakan entar
keburu dingin.” Sambil menyerahkan kresek yang sedari tadi dia tenteng.
“Mmmm...makasih ya.” Sambil berjalan keluar dan melewati Ilham.
Namun langkah kakinya dihentikan dan Hasan menoleh ke Ilham yang berdiri dibelakangnya.
“Ham kamu tahu nggak tempat wisata yang ada sumber mata airnya di daerah sini?.” tanya Hasan
“Mmmm...dimana ya...emang buat apa Mas?.” tanya Ilham pura -pura tidak tahu.
“Ohhh...temanku butuh air dari sumber mata air buat obat katanya.” Jawab Hasan ringan.
“Pintar juga ini Mas ngebohongnya.” Batin Ilham.
“Aku tanya-tanya dulu Mas sama teman." Jawab Ilham dan pergi dari hadapan Hasan.
Setibanya di teras, Ilham diserang pertanyaan oleh Andik dan Ilyas yang sudah menunggunya sedari tadi, bahkan nasi goreng mereka berdua belum tersentuh.
“Kok lama?.” semprot Andik.
“Lama apanya...baru cuma semenit.” Kilah Ilham.
“Semenit...katanya, orang kita yang
nungguinnya sampek digigit nyamuk.”
“Yee...gimana nggak digigit lawong nyamuknya demen sama kamu!."
“Ayo wes cepetan makan.” Sambung Ilyas sambil menyodorkan nasi goreng milik Ilham.
Sambil mengobrol dan lanjut main karambol mereka bertiga menghabiskan nasi gorengnya. Merasa tidak berselera buat makan sendirian, Hasan pun bergabung dengan tiga kunyuk di teras rumah.
------
Hari ini pagi – pagi Hasan sudah duduk diteras sambil terlibat obrolan yang serius dengan seseorang ditelepon. Orang itu adalah teman lamanya dipondok yang sekarang buka toko, menjual perlengkapan haji dan umroh. Dia meminta bantuan temannya untuk mendapatkan barang yang diminta Naura. Dia juga membuat janji untuk datang ke toko temannya itu pagi ini. Untuk menyiapkan semuanya dia terpaksa mengajukan ijin cuti
selama beberapa hari dari kampus tempatnya mengajar.
Ilham yang sudah bangun sedikit dibuat kaget, dia datang menghampiri Hasan yang hendak bangkit dari duduknya.
“Mas aku uda dapat info.”
“Dimana itu?!.” tanya Hasan tidak sabar.
Ilham memberi tahu tempat yang dimaksud dan juga menawarkan bantuan.
“Kalau Mas sibuk aku bisa kesana buat ngambilin airnya.”
“Nggak lah...aku ngambil sendiri tapi kalau
kamu mau ikut boleh, sekalian ajak Andik sama Ilyas.”
“Beneran Mas?!." tanya Ilham meyakinkan.
“Iya!.” Jawab Hasan dan beranjak pergi.
Matahari mulai meninggi dan jam sudah menunjukkan angka 08.30WIB, selesai berganti pakaian Hasan langsung tancap gas menuju toko milik temannya yang berada dikawasan plaza. Setibanya di toko dia bertanya pada karyawan.
“Maaf Mas mau nanya...pak Didik-nya udah
datang?.”
"Ohh...iya Mas barusan tapi masih
dibelakang, Mas-nya tunggu aja disana.” Jawab karyawan itu sambil menunjuk ke
ruangan kecil diujung.
“Makasih Mas.” Ucap Hasan dan berjalan
keruangan itu.
Tepat sebelum dia melangkah masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk oleh karyawan toko tadi, Didik temannya muncul dari pintu disebelah ruangan itu.
“Woy...kapan datangnya?!.” sapa Didik sambil
bersalaman dan menepuk bahu Hasan.
“Baru aja nyampek, gimana pesanannya aku?.” tanya Hasan.
Didik mengajak Hasan mengobrol didalam dan meminta salah satu karyawan toko untuk membeli minuman botol dan makanan.
“Ayo duduk sini." Mempersilahkan Hasan duduk.
“Kok dadakan gitu pesennya?.” kembali bersuara.
“Iya Mas...jodohnya juga dadakan.” Jawab Hasan sedikit lesu.
Didik tersenyum mendengar ucapan Hasan.
“Jangan lesu gitu...dibuat nyantai aja.”
“Ya nggak bisalah Mas kalau dibuat nyantai....”
“Persiapan lainnya uda beres?." tanya Didik lagi
“Kalau yang lainnya aku nggak ikutan Mas, uda ada yang nyiapin semuanya.”
“Lah kan enak!.” Didik memotong pembicaraan Hasan
“Enak apanya...gimana Mas dapat nggak?.”
“Barangnya ada cuma tinggal tasybihnya
aja...tapi barangnya nggak bisa datang dalam 2 hari.”
“Mmmm...emang pesennya dimana Mas?.”
“kebetulan temanku lagi nganterin jamaah umroh yang ambil paket umroh+mampir ke Turki sama Maroko, baliknya 8 hari lagi."
ungkap Didik
“Berarti pas akad barangnya belum ada ya
Mas...” Suaranya tambah lesu.
“Ya kan tinggal bilang sama penghulunya kalau maharnya dibayar nyicil.” Ucap Didik sambil tertawa.
Mendengar ucapan temannya, baru dia menyadari maksud dan tujuan Naura minta mahar yang demikian. Sambil tersenyum sinis dia berkata dalam hatinya,
“Benar-benar bengkok otaknya ini cewek...lihat aja entar aku pastikan rencanamu gagal."
“Kalau cincinya gimana, uda siap?.” tanya Didik menyadarkan Hasan dari kebisuannya.
“Apa Mas?.” tanya Hasan.
“Cincin buat calonmu itu!.” Didik menjelaskan.
“Ya Allah Mas...beneran aku lupa sama yang
itu!."
“Gimana kamu ini San...wes ndang ke toko
perhiasan!.”
“Iya Mas...makasih uda ngingetin aku."
“Ini gunanya teman!.”
Setelah keluar dari toko, Hasan langsung tancap gas menuju salah satu mall untuk membeli cincin. Didalam Mall matanya terus bergelirya mencari toko perhiasan, sampai akhirnya dia menemukan toko perhiasan yang lumayan besar. Dengan cepat dia melangkahkan kakinya memasuki toko tersebut. Seorang wanita muda menyambutnya dengan hangat. Dia juga membantu Hasan memilih cincin yang bagus dan juga memberikan pandangan seputar cincin yang bagus dan sesuai dengan jari pemakainya.
“Ukuran cincinnya Mas?."
“Emang ada ukurannya Mba?." tidak pernah tahu sebelumnya.
“Ada Mas...kenapa nggak dibawa aja istrinya
Mas?.” tanya karyawan toko itu.
“Ini hadiah Mba....” Hasan menjelaskan.
“Ohh...kayak gimana istrinya?.”
“Mmmm....” Sambil memutar kepalanya mencari gambaran.
Lalu sambil menunjuk wanita bermata sipit yang memakai kaos kuning dan celana jeans pendek.
“Kayak cece itu Mba." Sambil menunjuk wanita yang dimaksud.
“Ohhh!.”
Beberapa detik berikutnya wanita itu menunjukkan beberapa model cincin dengan ukuran yang sama. Sambil menjelaskan satu persatu cincin yang ia keluarkan tadi.
“Mba saya maunya yang simpel tapi kelihatannya itu bagus.” Hasan menjelaskan.
“Mmmm...” Sambil menyeleksi cincin mana yang sesuai dengan minat customernya.
“Sebelah sini mas!.” Sambil menunjuk.
“Iya Mba....” Hasan langsung bergeser dan
memperhatikan beberapa model cincin
Matanya tertuju pada cincin dibaris nomor 3, modelnya yang simpel dengan aksen dibagian tengah terlihat manis. Setelah membandingkan dengan beberapa model lainnya, pilihannya tetap pada cincin tadi.
“Jadi yang ini ya Mas?!."
“Iya Mba....”
“Saya siapkan notanya dulu ya.” Ucap karyawan wanita itu.
Lalu menyerahkan nota itu pada Hasan dan memintanya untuk melakukan pembayaran dikasir. Namun sebelum melangkah ke kasir, ada sesuatu yang terlintas di benak Hasan.
“Maaf Mba...bisa nggak dikasih tulisan dibagian dalamnya itu.” Pinta Hasan.
“Bisa Mas tapi ada biaya tambahannya.”
“Nggak apa-apa Mba.”
“Kalau gitu mau dikasih tulisan apa?.”
“Mmmm...HASAN 04-04-14.”
“Notanya Mas saya pinjam dulu.”
“Ini Mba.” Sambil menyerahkan nota.
Setelah melakukan pembayaran dikasir, Hasan kembali pada karyawan toko yang melayani pembeliannya tadi. Setelah menunjukkan nota, karyawan wanita itu menyerahkannya pada Hasan.
"Terimakasih sudah melakukan pembelian di toko kami.”
Hasan tersenyum ramah dan segera keluar dari toko, sambil melihat – lihat sekeliling dia berjalan menuju eskalator. Tak sengaja matanya menoleh ke sebuah toko jam tangan, teringat Naura yang menghiasi pergelangan tangannya dengan arloji, timbul keinginannya
untuk membelikan Naura jam tangan.
Dengan berjalan santai dia memasuki toko dan mulai melihat beberapa model jam tangan. Matanya jatuh cinta pada
jam tangan kulit berwarna kuning, berdiamater kecil dengan model simpel,
disertai kalender datei dibagian bawah lurus dengan angka romawi 12, jam tangan
itu akan terlihat cantik ketika Naura memakainya. Meski harganya lumayan bagi Hasan tapi dia sudah memutuskan untuk membelinya.
Setibanya dirumah Hasan meletakkan belanjaannya diatas meja kerjan dan dia langsung merebahkan badannya
diatas kasur. Rasa capek dan kantuk menghampirinya, tak butuh lama dia pun
terlelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Bidadarinya Sajum Esbelfik
emng dr awal Hasan yg berjuang... 💪💪💪
2021-04-08
0
Sumarni
hasan pusing
2021-03-16
0
Eka Sulistiyowati
lnjut
2020-11-12
1