This Is My Girlfriend
Prankk . . .
Suara pecahan kaca terdengar begitu keras. Murid-murid yang sedang berada di dalam kelas langsung berhamburan keluar sambil melihat ada kejadian apa yang sedang terjadi. Begitu semuanya keluar, sebuah bola basket terlempar tepat mengenai jendela kelas anak kelas Ipa 1.
Beberapa murid keluar dari kelas mereka untuk melihat kejadian yang telah terjadi beberapa detik yang lalu. Namun, salah satu perempuan berambut panjang bergelombang yang baru saja keluar dari kelasnya, hampir saja terjatuh akibat desakan beberapa murid yang berlarian hingga mendorongnya.
Karena hampir terjatuh, seorang pria tinggi yang berada di dekat perempuan tersebut langsung memegang pinggang mungilnya dengan tangan kanannya. Alih - alih berusaha untuk menolongnya, pria tersebut malah mendapatkan tamparan keras dari perempuan tersebut.
“Kamu mau ngapain?” teriaknya tampak begitu syock hingga langsung menepis tangan pria itu dengan kasar dari pinggangnya, seraya menampar pria tersebut dengan sangat keras.
“Gue bukan butuh tamparan. Gue cuma minta lo untuk bilang makasih,” katanya pelan kemudian pergi hingga membuat perempuan itu hanya bisa termangu di tempatnya.
“Hanun, kamu nggak apa-apa?” tanya Gita yang langsung menghampiri perempuan berambut panjang bergelombang tersebut.
“Aku nggak apa-apa,” jawabnya pendek sambil memandangi kepergian pria yang sudah di tamparnya tadi.
Beberapa siswa mulai kasak-kusuk dengan peristiwa pecahnya jendela kelas anak Ipa 1 yang merupakan kelasnya Hanun. Beberapa anak-anak basket juga mulai datang menghampiri mereka sambil menanyakan kabar anak-anak dari kelas tersebut.
“Kalian nggak apa-apa?” tanya Rama, si pria tinggi paling populer di sekolah yang merupakan seorang kapten basket di teamnya.
“Jendela kelas kita pecah,” kata Gita menjawab.
“Tapi, nggak ada yang terluka kan, Git?” tanya Rama kembali terlihat khawatir.
“Kayanya sih nggak, Ram.”
“Jadi, jendela kelas kita pecah itu karena perbuatan anak-anak basket?” tanya Hanun membuka suara sambil memandangi wajah Rama dengan sinis yang terlihat sedang bercakap-cakap dengan Gita.
Karena tubuh Rama terlihat lebih tinggi darinya, Hanun sampai membuat dirinya sedikit menjinjit dan juga mendongak untuk menatapnya.
Rama memegang kepalanya. Kemudian, ia memijat-mijat tengkuk lehernya dan memasang ekspresi wajah yang terlihat menyesal.
“Sorry, ini salah gue sama anak-anak. Harusnya kita nggak main basket dekat kelas kalian, kita . . . .”
“Siapa yang sudah memecahkan jendela kelas anak Ipa 1?” teriak pak Wawan; guru kesiswaan yang terkenal paling killer di sekolah, memotong pembicaraan Rama.
“Kenapa bisa jendela kelas anak Ipa 1 pecah seperti ini?” tanyanya kembali dengan suaranya yang terdengar menggelegar sambil menghampiri Hanun juga Rama yang terlihat sedang bersitegang.
“Maaf, Pak. Ini salah kami,” kata Rama sambil menundukkan kepalanya menyesal.
Pak Wawan berkacak pinggang. Ia menatap tajam wajah muridnya itu. Ia juga sempat mengedarkan pandangan matanya ke arah murid-muridnya yang terlihat menunduk karena takut.
“Rama, main basket itu di lapangan, bukan di wilayah sekitaran kelas. Sekarang, kalian semua ikut saya ke kantor. Cepat!” perintahnya dengan begitu tegas hingga membuat beberapa anak basket yang lainnya menyusul dari belakang.
Rama sempat melirik ke arah Hanun. Namun, Hanun sendiri hanya bisa memalingkan wajahnya kesal dengan perbuatan Rama dan juga teman-temannya. Akibat perbuatan mereka, dengan sangat terpaksa Hanun beserta teman-teman sekelasnya yang lain membersihkan sisa pecahan kaca kelas mereka.
“Nun, kamu sama Rama ko kelihatannya kaya yang musuhan gitu, sih?” tanya Gita saat sedang menyapu.
“Musuhan gimana maksud kamu?” Hanun mengernyitkan keningnya bingung.
“Bukannya dulu itu kalian kelihatan akrab banget, yah?” katanya kembali.
Hanun tidak menjawab. Ia masih sibuk berkutat dengan pecahan kaca yang berceceran di lantai kelasnya. Bahkan, beberapa teman sekelasnya terlihat mengeluh akibat ulah anak-anak basket itu.
“Nun, laki-laki tadi yang nolongin kamu itu si Hafidz anak Ips 2, yah?” tanya Gita kembali.
“Hafidz anak Ips?” ulang Hanun bingung, “aku nggak kenal sama dia. Memangnya kamu kenal?”
Gita mengangguk hingga membuat keduanya kembali sibuk menyapu lantai kelas mereka dari serpihan kaca.
“Tapi, kenapa kamu tadi menampar Hafidz?”
Hanun kembali terdiam. Ia membuat Gita yang sedang menyapu jadi ikut berhenti dengan aktivitasnya dan menatap wajah temannya itu dengan bingung.
“Kenapa?”
Hanun menggeleng dan tersenyum tipis.
“Aku tampar dia karena reflek, Git. Soalnya, dia tiba-tiba pegang pinggang aku gitu.”
Gita manggut-manggut dan tiba-tiba saja tertawa kecil hingga membuat Hanun menatap wajah temannya itu dengan bingung.
“Tapi, baguslah. Kamu jangan terlalu akrab sama Hafidz,” katanya berbisik.
“Kenapa memangnya?” tanya Hanun mengerutkan kening.
“Hafidz itu punya masa lalu yang suram waktu jaman Smp dulu.”
Hanun menatap wajah Gita dengan bingung. Ia jadi sedikit penasaran dengan cerita temannya itu.
“Smp? Kamu sempat satu sekolah sama Hafidz waktu Smp?”
Gita mengangguk kembali hingga membuat Hanun jadi sedikit tertarik dengan perbincangan mereka tentang Hafidz. Namun, belum sempat menanyakan soal yang lainnya, bel masuk sudah berbunyi. Dan, itu membuat Hanun dengan teman-temannya yang lain mempercepat aktivitas mereka untuk membersihkan kelas.
Sementara itu, di dalam ruangan kelas IPS 2, Hafidz terlihat sedang duduk di sudut kelas dengan kaki yang sengaja ia selonjorkan. Kedua matanya tertutup, itu pertanda ia sedang tidur dengan wajah yang di tutupi oleh buku Geografi miliknya.
Melihat Hafidz tertidur dengan posisi seperti itu, seorang perempuan berambut panjang yang tampak berantakan itu duduk di kursi samping Hafidz sambil melemparkan gulungan kertas padanya berulang-ulang kali.
Merasa di lempari oleh gulungan kertas, Hafidz yang sedang tiduran pun langsung beranjak dan melempari balik gulungan kertas itu ke arah si pelempar.
“Sarah, lo kurang kerjaan banget, sih!” teriaknya kesal.
“Habisnya, dari tadi gue lihat lo malah tidur terus. Kenapa? Begadang lagi semalam?”
Yang ditanya malah sibuk menguap dan kembali tertidur. Merasa diacuhkan, perempuan bernama Sarah itu langsung menghampiri meja Hafidz dan melemparinya dengan gulungan kertas kembali.
“Heh, Kebo! Bangun, tidur mulu lo. Ini sekolah bukan rumah!” sindirnya.
“Apa sih, Rah? Ganggu gue terus, mendingan lo ke kursi lo lagi aja sana. Jangan ganggu gue tidur,” katanya sembari membalikkan badan ke arah samping kanan dengan wajah yang menempel pada meja belajarnya.
“Fidz, bangun, dong! Bentar lagi pelajaran Ekonomi, lo udah ngerjain tugas belum?”
Hafidz mengeluarkan sebuah buku tulis dari tasnya dan memberikannya kepada Sarah. Setelah memberikan buku tersebut, ia kembali tidur hingga membuat Sarah hanya bisa menghela nafas pendek.
“Fidz, lo temenin gue ngobrol kek gitu jangan tidur terus. Gue kesepian, nih.”
Hafidz membuka mata. Ia beranjak dan memegang kepala Sarah lembut dengan tangan kanannya.
“Kenapa?” tanya Hafidz dengan suara pelan sambil menatap wajah Sarah lembut.
Belum sempat Sarah menjawab pertanyaan Hafidz, teman-teman sekelasnya mulai masuk ke dalam kelas hingga membuat keduanya langsung menatap ke arah teman-temannya itu.
“Emang beneran? Jadi, yang buat jendela kelas Ipa 1 pecah itu Rama dan teman-teman basketnya?” tanya Reni kepada teman-temannya.
“Iya. Gara-gara jendela kelas Ipa 1 pecah, Rama dan teman-temannya di hukum pak Wawan lari ngelilingin lapangan sekolah sebanyak 15 putaran. Belum lagi, mereka disuruh bersihin toilet cewe sama cowo. Kejam banget gak sih pak Wawan itu? Padahal, Rama itu ganteng dan keren banget. Tapi, dia malah di hukum berat seperti itu,” sahut Tia yang membuat Hafidz dan Sarah saling beradu pandang beberapa detik.
Begitu mendengar kabar terbaru dari teman-teman sekelasnya, Sarah kembali ke tempat duduknya yang bersebelahan dengan meja Hafidz. Mereka duduk tepat di sudut kelas dengan posisi paling belakang.
Sementara Hafidz, ia duduk dekat jendela kelas yang langsung mengarah ke arah lapangan.
Ia melihat, Rama dan teman-temannya sedang berlari mengitari lapangan sekolah seperti yang dikatakan oleh teman-temannya tadi. Karena bel masuk sudah berbunyi, guru Ekonomi mereka pun mulai masuk ke dalam kelas.
“Selamat siang anak-anak,” sapa guru Ekonomi mereka yang baru saja masuk dan menghadap ke arah murid-muridnya.
“Siang, Bu Lilis!” jawab anak-anak serempak.
“Kumpulkan tugas kalian semua di depan. Sekarang, kita adakan ulangan dadakan.”
“Argghh!!”
Beberapa murid di dalam kelas Ips 2 mulai berteriak keras dan mengeluh, suasana kelas pun mulai gaduh dan tidak kondusif. Bagaimana tidak, bu Lilis seringkali mengadakan ulangan dadakan tanpa memberi tahu sebelumnya kepada anak didik mereka.
Pelajaran Ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang sangat dibenci oleh anak-anak Ips 2. Karena guru mereka seringkali memberikan tugas yang begitu banyak. Bahkan, setiap seminggu sekali selalu saja ada ulangan dadakan dan presentasi dalam kelas. Setiap kali ada nilai ulangan yang jeblok, tidak pernah ada remedial.
Bahkan, yang belum sempat mengikuti ujian saja tidak pernah diadakannya ujian susulan. Telat masuk kelas, dilarang mengikuti kelasnya pada saat itu juga. Maka dari itu, bu Lilis selalu menjadi ancaman untuk anak-anak Ips seperti mereka ini.
“Stttt!” desis Sarah setengah berbisik ke arah Hafidz.
Hafidz melirik ke arah Sarah dan menatapnya dengan malas. “Nyontek,” katanya kembali tak bersuara.
“Gue juga belum,” balas Hafidz tak bersuara.
“Apa?” katanya tak mengerti.
“Sarah, Hafidz!” teriak bu Lilis dari depan hingga membuat keduanya langsung terkejut begitu mendengar panggilan guru mereka.
“Kumpulkan hasil ulangan kalian ke depan.”
“Saya belum selesai, Bu,” jawab Sarah dan Hafidz bersamaan.
“Kumpulkan sekarang juga. Ini perintah!” katanya menegaskan.
Dengan sangat terpaksa, Sarah dan Hafidz mengumpulkan soal ujian mereka yang belum selesai ke depan. Dengan langkah perlahan, semua teman-teman sekelas mereka melirik ke arah Hafidz dan juga Sarah dengan tatapan sinis.
“Pasangan alay,” bisik Rika kepada teman sebangkunya saat melihat Hafidz dan Sarah beranjak ke luar kelas.
Sarah dan Hafidz hanya bisa mendengus kesal. Mereka berjalan ke luar kelas dengan langkah kaki yang sangat berat. Bagaimana tidak, dengan mereka ke luar dari kelas mereka, itu tandanya hasil ujian mereka mendapat nol. Dan, itu pertanda yang sangat buruk.
“Gara-gara elo, sih. Kita jadi di usir dari kelas!” seru Hafidz terdengar kesal.
“Ko, jadi nyalahin gue?” timpal Sarah yang merasa dituduh tak beralasan oleh temannya itu.
“Ya, memang salah lo. Gue itu baru ngerjain dua soal tahu. Dan, itu aja belum selesai semua,” katanya menyalahkan Sarah.
“Ya udah, sih. Nggak usah nyolot gitu, dong!” katanya terbawa emosi.
Sarah dan Hafidz terlihat sedang berjalan bersama di koridor sekolah dengan perasaan kesal akibat tidak bisa melanjutkan ujian mereka. Begitu melihat ada sosok Rama di hadapan mereka yang baru saja selesai menjalankan hukumannya, mereka bertiga tampak terlihat kaku. Suasana cukup tegang dan seperti ada aura negative yang menyelimuti mereka bertiga.
“Ram, lo mau ke mana?” teriak salah satu temannya yang berada di belakang dan terlihat baru saja selesai berlari mengitari lapangan.
“Ke toilet! Beresin hukuman kita selanjutnya,” sahut Rama setengah berteriak.
Rama sempat melirik ke arah Hafidz dan juga Sarah. Namun, Sarah hanya bisa menundukkan kepalanya, sementara Hafidz terlihat cuek dengan terus berjalan lurus ke depan tanpa melirik ke arah Rama sekalipun.
Bel pulang sudah berbunyi. Jam pelajaran pun telah usai. Hanun terlihat sedang berada di area luar sekolahnya seperti sedang menunggu angkot datang. Namun, saat sedang menunggu angkot, tiba-tiba saja terdengar suara motor Vespa dengan suaranya yang khas.
Motor Vespa 180 Rally berwarna biru tua itu tampak berhenti di samping Hanun. Begitu helm si pengemudi terbuka, Hanun langsung mengerutkan kening. Pengendara motor Vespa itu ternyata adalah Hafidz. Pria yang sudah ditamparnya saat kejadian jendela kelasnya pecah.
Hafidz berdiri di samping Hanun hingga membuat Hanun merasa risih dengan kehadirannya. Bahkan, Hafidz terkesan ingin berdekat-dekatan dengannya, sampai-sampai mereka berdiri berdampingan dengan begitu dekat.
Baru saja ingin menegurnya, Hafidz langsung pergi begitu saja ketika ada kehadiran seorang perempuan datang menghampirinya yang ternyata adalah Sarah.
“Lo lama banget, sih!” seru Hafidz mendengus kesal.
“Maaf, tadi gue di panggil ke ruang TU dulu. Pulang sekarang, yuk.”
Hafidz mengangguk hingga membuat Sarah langsung menarik jaket kulit Hafidz pertanda untuk segera bergegas pergi. Hafidz mengenakan helmnya dan sempat melirik ke arah Hanun saat ia beranjak pergi.
Hanun menatap ke arah Hafidz dan juga Sarah dengan bingung. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum kecil hingga membuat Rama yang sedang mengendarai motor Ninja hitamnya tepat di depan gerbang sekolah, menatap ke arah Hanun yang tengah seorang diri menunggu angkot.
Begitu kedua bola mata Hanun dan Rama bertemu, Hanun langsung menatap Rama dengan sinis. Saat angkot tujuannya sudah datang, ia segera bergegas pergi dan tak memandangi Rama kembali.
Elo ternyata masih marah sama gue, Nun. Batin Rama
Hanun
Hafidz
Rama
Sarah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments