“Assalamualaikum!” seru Hafidz setengah berteriak, saat ia baru saja sampai di depan rumahnya .
“Waalaikumsalam, sudah pulang?” tanya seorang perempuan setengah baya yang masih memakai pakaian dinas mengajarnya, membuka pintu untuk menyambut kepulangan anaknya.
"Udah, Bu. Ibu udah pulang juga?” tanya Hafidz sambil mencium telapak tangan ibunya.
“Ibu baru saja sampai. Eh, ada Sarah?” kata ibu Hafidz saat melihat kehadiran Sarah.
“Iya, Bu. Sarah mau pinjem buku matematikanya Hafidz,” jawab Sarah yang langsung mencium telapak tangan ibunya Hafidz.
“Masuk aja ke dalam, Rah. Udah pada makan belum?” Hafidz dan Sarah menggeleng pelan secara bersamaan.
"Kalau begitu kita makan sama-sama. Tadi ibu beli masakan padang, soalnya ibu juga belum sempat masak.”
“Iya, Bu,” jawab Sarah pelan.
Setelah mengganti pakaian dan membawakan buku matematika sesuai permintaan Sarah, Hafidz langsung menuju ruang makan untuk makan bersama ibunya dan juga Sarah.
“A Haris ke mana, Bu? Belum pulang kuliah?” tanya Sarah di sela-sela mulut yang penuh dengan makanan.
“Haris katanya ada kerja kelompok di rumah temannya. Mungkin, dia pulang malam.” Ibu terlihat memberikan alas piring kepada Hafidz dan mengisinya dengan nasi sesuai porsi anaknya.
“Kalau Salma ke mana? Tumben dia jam segini belum di rumah? Biasanya, kalau ada Salma, dia pasti suka ngerecokin meja makan kalau lagi makan sama-sama kaya gini.”
“Salma sibuk. Dia sekarang udah kelas sembilan, jadi dia sibuk les untuk mempersiapkan ujian Nasionalnya,” tutur Hafidz yang kali ini menjawab.
Sarah manggut-manggut dan kembali menghabiskan sisa makanan miliknya.
“Oh iya, ibu lupa. Fidz, kamu bisa bantuin ibu?” tanya ibu seketika hingga membuat Hafidz berhenti dengan aktivitas memakannya dan menatap wajah ibunya.
“Kamu ke rumahnya tante Rahma, yah? Tante Rahma nitip minta dibelikan kain batik sama ibu kemarin lusa.”
“Tante Rahma yang rumahnya di Batununggal itu, Bu?” Ibu mengangguk dan kembali menatap wajah anaknya lembut.
“Oke, kapan Hafidz ke rumah tante Rahmanya, Bu?” tanya Hafidz yang terlihat sudah menghabiskan makanannya.
“Sore ini. Bisa?”
Hafidz kembali mengangguk dan membawa alas piringnya yang kosong ke dapur, kemudian mencucinya. Setelah selesai makan dan membantu Hafidz mencuci piring, Sarah berpamitan pulang. Karena kebetulan rumah Sarah tak begitu jauh dari rumah Hafidz, maka dari itu ia pulang dari rumah temannya itu dengan berjalan kaki.
Sementara itu, Hanun terlihat begitu sibuk menyiram tanaman yang berada di teras rumahnya. Sambil menyiram tanaman, terdengar suara motor Vespa berhenti tepat di depan rumahnya. Karena penasaran dengan suara motornya yang begitu berisik, Hanun langsung mengintip dari balik pagar rumahnya. Dan, ternyata suara motor itu adalah suara motor Vespa 180 Rally berwarna biru tua yang ia lihat tadi siang sepulang sekolah.
“Motor itu?” gumam Hanun pelan.
Begitu melihat wajah si pemilik motor Vespa, ternyata orang itu adalah laki-laki yang satu sekolah dengannya. Laki-laki yang tidak disengaja ditampar olehnya saat kejadian jendela kelasnya pecah. Laki-laki yang dikatakan oleh Gita adalah Hafidz, anak Ips 2.
Hafidz dan Hanun sempat saling beradu pandang beberapa detik. Namun, Hafidz kembali masuk ke dalam rumah begitu membuka helmnya dan menaruhnya di atas meja yang berada di teras rumah tersebut.
Hanun masih menatap ke arah rumah tepat Hafidz berada. Begitu sang pemilik rumah membuka pintu, Hafidz langsung mencium telapak tangan seorang perempuan setengah baya yang menjadi si pemilik rumah. Setelah cukup lama berpelukan, mereka kemudian masuk ke dalam.
“Ale!” teriak seseorang dari dalam rumah.
“Iya, Mah!” sahut Hanun setengah berteriak yang langsung menyimpan alat siramnya, kemudian masuk ke dalam rumah.
“Le, malam ini kita bakalan kedatangan tante Rita sama om Gusti ke rumah. Kebetulan mamah lagi masak, mamah minta tolong kamu untuk membelikan daftar belanjaan yang sudah mamah buat di kertas ini. Kamu tolong beli belanjaan ini di supermarket depan, yah?” katanya lembut seraya menyerahkan selembar kertas kepada anak perempuannya.
Hanun mengangguk dan mengambil selembar kertas itu dari tangan ibunya.
“Kalau begitu, Hanun ke supermarket dulu ya, Mah.”
Setelah diberikan uang oleh ibunya, Hanun langsung menuju garasi rumahnya untuk mengambil sepeda. Begitu mengeluarkan sepeda, ia langsung bergegas keluar menuju supermarket dan membeli belanjaan yang diminta.
30 menit berlalu begitu cepat. Begitu selesai membeli belanjaan pesanan ibunya di supermarket, saat di perjalanan, tiba-tiba saja ban sepeda milik Hanun kempes. Dan, itu membuat Hanun seketika terdiam dan memberhentikan sepedanya.
“Yah, ban sepedaku kempes!”
Hanun celingak-celinguk mencari tukang pompa di sekitaran rumahnya. Namun, ia sama sekali tidak melihat ada tukang pompa ban di daerah sini.
Ketika melihat Hanun tampak bingung dengan keadaan ban sepedanya yang kempes, Hafidz yang sedang mengendarai motor Vespanya langsung menghampiri Hanun.
“Ban sepeda lo kempes?” tanya Hafidz membuka suara saat ia masih berada di atas jock motornya.
Hanun menoleh ke arah Hafidz dan menatapnya bingung.
“Iya, ban sepedaku kempes. Tapi, aku ini lagi nyari tukang pompa ban, sih.”
“Gue tahu tempatnya di mana. Tapi, agak jauh dari sini. Nggak apa-apa?” tanya Hafidz kembali sambil membuka helmnya.
Hanun menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Beberapa saat tampak berfikir, akhirnya ia mengangguk dan mengikuti Hafidz yang sepertinya langsung turun dari motornya dan mendorong motor Vespanya.
“Ko, kamu turun dari motor?” tanya Hanun bingung.
“Nggak sopan kalau gue naik motor, sementara lo dorong sepeda. Gue temenin lo jalan aja.”
Hanun hanya manggut-manggut hingga membuat keduanya berjalan menyusuri jalan setapak sambil mendorong kendaraan mereka masing-masing. Beberapa menit dalam suasana kesunyian, akhirnya Hafidz memutuskan untuk membuka suara terlebih dahulu.
“Gimana keadaan jendela kelas lo yang pecah?” tanya Hafidz memecah kesunyian.
“Jendela kelas kami akan segera di ganti oleh pihak sekolah. Katanya sih, yang memecahkan jendela kelas kami mendapatkan hukuman dari pak Wawan.”
“Anak basket yah yang jadi biang keroknya?”
Hanun menganggukkan kepala, mereka berdua pun kembali terdiam dalam suasana keheningan.
“Gue punya tebakan, nih. Elo jawab, yah?” katanya tiba-tiba hingga membuat Hanun sepertinya terlihat terkejut dengan ucapan Hafidz barusan.
“Apa bedanya rok sama roket?” tanyanya sambil menatap wajah Hanun dan menunggu jawaban darinya dengan tak sabaran.
“Hah? Rok sama roket?” ulang Hanun bingung hingga membuat Hafidz menganggukkan kepalanya. “Aku nggak tahu, emang bedanya apa?”
“Kalau roket, semakin ke atas semakin tidak terlihat. Kalau rok, semakin ke atas semakin kelihatan,” jawab Hafidz yang membuat Hanun terkekeh dan tertawa lebar begitu mendengar jawabannya.
“Ih, kamu porno!” serunya tertawa geli.
“Ada lagi, ada lagi!” katanya bersemangat.
“Apa?” tanyanya penasaran
“Apa bedanya matahari sama bulan?”
“Sama-sama ciptaan Tuhan?”
“Salah,” jawab Hafidz cepat.
“Terus apa, dong?”
“Kalau matahari ada discount, kalau bulan nggak ada!” tawa Hafidz girang.
“Ngarang kamu. Suka ngaco, deh!” seru Hanun yang kemudian tertawa lebar.
Hafidz ikut tertawa bersama Hanun. Suasana pun mulai mencair begitu Hafidz memberikan tebak - tebakkan yang aneh kepada Hanun.
“Terus, monyet apa yang senang maju mundur?”
“Monyet aneh,” jawab Hanun cepat.
"Salah. Yang bener itu, monyet-trika baju.”
Hafidz kembali tertawa hingga membuat Hanun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan tebakan-tebakan Hafidz yang menurutnya sangat aneh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments