NovelToon NovelToon

This Is My Girlfriend

Tamparan yang tidak di sengaja

Prankk . . .

Suara pecahan kaca terdengar begitu keras. Murid-murid yang sedang berada di dalam kelas langsung berhamburan keluar sambil melihat ada kejadian apa yang sedang terjadi. Begitu semuanya keluar, sebuah bola basket terlempar tepat mengenai jendela kelas anak kelas Ipa 1.

Beberapa murid keluar dari kelas mereka untuk melihat kejadian yang telah terjadi beberapa detik yang lalu. Namun, salah satu perempuan berambut panjang bergelombang yang baru saja keluar dari kelasnya, hampir saja terjatuh akibat desakan beberapa murid yang berlarian hingga mendorongnya.

Karena hampir terjatuh, seorang pria tinggi yang berada di dekat perempuan tersebut langsung memegang pinggang mungilnya dengan tangan kanannya. Alih - alih berusaha untuk menolongnya, pria tersebut malah mendapatkan tamparan keras dari perempuan tersebut.

“Kamu mau ngapain?” teriaknya tampak begitu syock hingga langsung menepis tangan pria itu dengan kasar dari pinggangnya, seraya menampar pria tersebut dengan sangat keras.

“Gue bukan butuh tamparan. Gue cuma minta lo untuk bilang makasih,” katanya pelan kemudian pergi hingga membuat perempuan itu hanya bisa termangu di tempatnya.

“Hanun, kamu nggak apa-apa?” tanya Gita yang langsung menghampiri perempuan berambut panjang bergelombang tersebut.

“Aku nggak apa-apa,” jawabnya pendek sambil memandangi kepergian pria yang sudah di tamparnya tadi.

Beberapa siswa mulai kasak-kusuk dengan peristiwa pecahnya jendela kelas anak Ipa 1 yang merupakan kelasnya Hanun. Beberapa anak-anak basket juga mulai datang menghampiri mereka sambil menanyakan kabar anak-anak dari kelas tersebut.

“Kalian nggak apa-apa?” tanya Rama, si pria tinggi paling populer di sekolah yang merupakan seorang kapten basket di teamnya.

“Jendela kelas kita pecah,” kata Gita menjawab.

“Tapi, nggak ada yang terluka kan, Git?” tanya Rama kembali terlihat khawatir.

“Kayanya sih nggak, Ram.”

“Jadi, jendela kelas kita pecah itu karena perbuatan anak-anak basket?” tanya Hanun membuka suara sambil memandangi wajah Rama dengan sinis yang terlihat sedang bercakap-cakap dengan Gita.

Karena tubuh Rama terlihat lebih tinggi darinya, Hanun sampai membuat dirinya sedikit menjinjit dan juga mendongak untuk menatapnya.

Rama memegang kepalanya. Kemudian, ia memijat-mijat tengkuk lehernya dan memasang ekspresi wajah yang terlihat menyesal.

“Sorry, ini salah gue sama anak-anak. Harusnya kita nggak main basket dekat kelas kalian, kita . . . .”

“Siapa yang sudah memecahkan jendela kelas anak Ipa 1?” teriak pak Wawan; guru kesiswaan yang terkenal paling killer di sekolah, memotong pembicaraan Rama.

“Kenapa bisa jendela kelas anak Ipa 1 pecah seperti ini?” tanyanya kembali dengan suaranya yang terdengar menggelegar sambil menghampiri Hanun juga Rama yang terlihat sedang bersitegang.

“Maaf, Pak. Ini salah kami,” kata Rama sambil menundukkan kepalanya menyesal.

Pak Wawan berkacak pinggang. Ia menatap tajam wajah muridnya itu. Ia juga sempat mengedarkan pandangan matanya ke arah murid-muridnya yang terlihat menunduk karena takut.

“Rama, main basket itu di lapangan, bukan di wilayah sekitaran kelas. Sekarang, kalian semua ikut saya ke kantor. Cepat!” perintahnya dengan begitu tegas hingga membuat beberapa anak basket yang lainnya menyusul dari belakang.

Rama sempat melirik ke arah Hanun. Namun, Hanun sendiri hanya bisa memalingkan wajahnya kesal dengan perbuatan Rama dan juga teman-temannya. Akibat perbuatan mereka, dengan sangat terpaksa Hanun beserta teman-teman sekelasnya yang lain membersihkan sisa pecahan kaca kelas mereka.

“Nun, kamu sama Rama ko kelihatannya kaya yang musuhan gitu, sih?” tanya Gita saat sedang menyapu.

“Musuhan gimana maksud kamu?” Hanun mengernyitkan keningnya bingung.

“Bukannya dulu itu kalian kelihatan akrab banget, yah?” katanya kembali.

Hanun tidak menjawab. Ia masih sibuk berkutat dengan pecahan kaca yang berceceran di lantai kelasnya. Bahkan, beberapa teman sekelasnya terlihat mengeluh akibat ulah anak-anak basket itu.

“Nun, laki-laki tadi yang nolongin kamu itu si Hafidz anak Ips 2, yah?” tanya Gita kembali.

“Hafidz anak Ips?” ulang Hanun bingung, “aku nggak kenal sama dia. Memangnya kamu kenal?”

Gita mengangguk hingga membuat keduanya kembali sibuk menyapu lantai kelas mereka dari serpihan kaca.

“Tapi, kenapa kamu tadi menampar Hafidz?”

Hanun kembali terdiam. Ia membuat Gita yang sedang menyapu jadi ikut berhenti dengan aktivitasnya dan menatap wajah temannya itu dengan bingung.

“Kenapa?”

Hanun menggeleng dan tersenyum tipis.

“Aku tampar dia karena reflek, Git. Soalnya, dia tiba-tiba pegang pinggang aku gitu.”

Gita manggut-manggut dan tiba-tiba saja tertawa kecil hingga membuat Hanun menatap wajah temannya itu dengan bingung.

“Tapi, baguslah. Kamu jangan terlalu akrab sama Hafidz,” katanya berbisik.

“Kenapa memangnya?” tanya Hanun mengerutkan kening.

“Hafidz itu punya masa lalu yang suram waktu jaman Smp dulu.”

Hanun menatap wajah Gita dengan bingung. Ia jadi sedikit penasaran dengan cerita temannya itu.

“Smp? Kamu sempat satu sekolah sama Hafidz waktu Smp?”

Gita mengangguk kembali hingga membuat Hanun jadi sedikit tertarik dengan perbincangan mereka tentang Hafidz. Namun, belum sempat menanyakan soal yang lainnya, bel masuk sudah berbunyi. Dan, itu membuat Hanun dengan teman-temannya yang lain mempercepat aktivitas mereka untuk membersihkan kelas.

Sementara itu, di dalam ruangan kelas IPS 2, Hafidz terlihat sedang duduk di sudut kelas dengan kaki yang sengaja ia selonjorkan. Kedua matanya tertutup, itu pertanda ia sedang tidur dengan wajah yang di tutupi oleh buku Geografi miliknya.

Melihat Hafidz tertidur dengan posisi seperti itu, seorang perempuan berambut panjang yang tampak berantakan itu duduk di kursi samping Hafidz sambil melemparkan gulungan kertas padanya berulang-ulang kali.

Merasa di lempari oleh gulungan kertas, Hafidz yang sedang tiduran pun langsung beranjak dan melempari balik gulungan kertas itu ke arah si pelempar.

“Sarah, lo kurang kerjaan banget, sih!” teriaknya kesal.

“Habisnya, dari tadi gue lihat lo malah tidur terus. Kenapa? Begadang lagi semalam?”

Yang ditanya malah sibuk menguap dan kembali tertidur. Merasa diacuhkan, perempuan bernama Sarah itu langsung menghampiri meja Hafidz dan melemparinya dengan gulungan kertas kembali.

“Heh, Kebo! Bangun, tidur mulu lo. Ini sekolah bukan rumah!” sindirnya.

“Apa sih, Rah? Ganggu gue terus, mendingan lo ke kursi lo lagi aja sana. Jangan ganggu gue tidur,” katanya sembari membalikkan badan ke arah samping kanan dengan wajah yang menempel pada meja belajarnya.

“Fidz, bangun, dong! Bentar lagi pelajaran Ekonomi, lo udah ngerjain tugas belum?”

Hafidz mengeluarkan sebuah buku tulis dari tasnya dan memberikannya kepada Sarah. Setelah memberikan buku tersebut, ia kembali tidur hingga membuat Sarah hanya bisa menghela nafas pendek.

“Fidz, lo temenin gue ngobrol kek gitu jangan tidur terus. Gue kesepian, nih.”

Hafidz membuka mata. Ia beranjak dan memegang kepala Sarah lembut dengan tangan kanannya.

“Kenapa?” tanya Hafidz dengan suara pelan sambil menatap wajah Sarah lembut.

Belum sempat Sarah menjawab pertanyaan Hafidz, teman-teman sekelasnya mulai masuk ke dalam kelas hingga membuat keduanya langsung menatap ke arah teman-temannya itu.

“Emang beneran? Jadi, yang buat jendela kelas Ipa 1 pecah itu Rama dan teman-teman basketnya?” tanya Reni kepada teman-temannya.

“Iya. Gara-gara jendela kelas Ipa 1 pecah, Rama dan teman-temannya di hukum pak Wawan lari ngelilingin lapangan sekolah sebanyak 15 putaran. Belum lagi, mereka disuruh bersihin toilet cewe sama cowo. Kejam banget gak sih pak Wawan itu? Padahal, Rama itu ganteng dan keren banget. Tapi, dia malah di hukum berat seperti itu,” sahut Tia yang membuat Hafidz dan Sarah saling beradu pandang beberapa detik.

Begitu mendengar kabar terbaru dari teman-teman sekelasnya, Sarah kembali ke tempat duduknya yang bersebelahan dengan meja Hafidz. Mereka duduk tepat di sudut kelas dengan posisi paling belakang.

Sementara Hafidz, ia duduk dekat jendela kelas yang langsung mengarah ke arah lapangan.

Ia melihat, Rama dan teman-temannya sedang berlari mengitari lapangan sekolah seperti yang dikatakan oleh teman-temannya tadi. Karena bel masuk sudah berbunyi, guru Ekonomi mereka pun mulai masuk ke dalam kelas.

“Selamat siang anak-anak,” sapa guru Ekonomi mereka yang baru saja masuk dan menghadap ke arah murid-muridnya.

“Siang, Bu Lilis!” jawab anak-anak serempak.

“Kumpulkan tugas kalian semua di depan. Sekarang, kita adakan ulangan dadakan.”

“Argghh!!”

Beberapa murid di dalam kelas Ips 2 mulai berteriak keras dan mengeluh, suasana kelas pun mulai gaduh dan tidak kondusif. Bagaimana tidak, bu Lilis seringkali mengadakan ulangan dadakan tanpa memberi tahu sebelumnya kepada anak didik mereka.

Pelajaran Ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang sangat dibenci oleh anak-anak Ips 2. Karena guru mereka seringkali memberikan tugas yang begitu banyak. Bahkan, setiap seminggu sekali selalu saja ada ulangan dadakan dan presentasi dalam kelas. Setiap kali ada nilai ulangan yang jeblok, tidak pernah ada remedial.

Bahkan, yang belum sempat mengikuti ujian saja tidak pernah diadakannya ujian susulan. Telat masuk kelas, dilarang mengikuti kelasnya pada saat itu juga. Maka dari itu, bu Lilis selalu menjadi ancaman untuk anak-anak Ips seperti mereka ini.

“Stttt!” desis Sarah setengah berbisik ke arah Hafidz.

Hafidz melirik ke arah Sarah dan menatapnya dengan malas. “Nyontek,” katanya kembali tak bersuara.

“Gue juga belum,” balas Hafidz tak bersuara.

“Apa?” katanya tak mengerti.

“Sarah, Hafidz!” teriak bu Lilis dari depan hingga membuat keduanya langsung terkejut begitu mendengar panggilan guru mereka.

“Kumpulkan hasil ulangan kalian ke depan.”

“Saya belum selesai, Bu,” jawab Sarah dan Hafidz bersamaan.

“Kumpulkan sekarang juga. Ini perintah!” katanya menegaskan.

Dengan sangat terpaksa, Sarah dan Hafidz mengumpulkan soal ujian mereka yang belum selesai ke depan. Dengan langkah perlahan, semua teman-teman sekelas mereka melirik ke arah Hafidz dan juga Sarah dengan tatapan sinis.

“Pasangan alay,” bisik Rika kepada teman sebangkunya saat melihat Hafidz dan Sarah beranjak ke luar kelas.

Sarah dan Hafidz hanya bisa mendengus kesal. Mereka berjalan ke luar kelas dengan langkah kaki yang sangat berat. Bagaimana tidak, dengan mereka ke luar dari kelas mereka, itu tandanya hasil ujian mereka mendapat nol. Dan, itu pertanda yang sangat buruk.

“Gara-gara elo, sih. Kita jadi di usir dari kelas!” seru Hafidz terdengar kesal.

“Ko, jadi nyalahin gue?” timpal Sarah yang merasa dituduh tak beralasan oleh temannya itu.

“Ya, memang salah lo. Gue itu baru ngerjain dua soal tahu. Dan, itu aja belum selesai semua,” katanya menyalahkan Sarah.

“Ya udah, sih. Nggak usah nyolot gitu, dong!” katanya terbawa emosi.

Sarah dan Hafidz terlihat sedang berjalan bersama di koridor sekolah dengan perasaan kesal akibat tidak bisa melanjutkan ujian mereka. Begitu melihat ada sosok Rama di hadapan mereka yang baru saja selesai menjalankan hukumannya, mereka bertiga tampak terlihat kaku. Suasana cukup tegang dan seperti ada aura negative yang menyelimuti mereka bertiga.

“Ram, lo mau ke mana?” teriak salah satu temannya yang berada di belakang dan terlihat baru saja selesai berlari mengitari lapangan.

“Ke toilet! Beresin hukuman kita selanjutnya,” sahut Rama setengah berteriak.

Rama sempat melirik ke arah Hafidz dan juga Sarah. Namun, Sarah hanya bisa menundukkan kepalanya, sementara Hafidz terlihat cuek dengan terus berjalan lurus ke depan tanpa melirik ke arah Rama sekalipun.

Bel pulang sudah berbunyi. Jam pelajaran pun telah usai. Hanun terlihat sedang berada di area luar sekolahnya seperti sedang menunggu angkot datang. Namun, saat sedang menunggu angkot, tiba-tiba saja terdengar suara motor Vespa dengan suaranya yang khas.

Motor Vespa 180 Rally berwarna biru tua itu tampak berhenti di samping Hanun. Begitu helm si pengemudi terbuka, Hanun langsung mengerutkan kening. Pengendara motor Vespa itu ternyata adalah Hafidz. Pria yang sudah ditamparnya saat kejadian jendela kelasnya pecah.

Hafidz berdiri di samping Hanun hingga membuat Hanun merasa risih dengan kehadirannya. Bahkan, Hafidz terkesan ingin berdekat-dekatan dengannya, sampai-sampai mereka berdiri berdampingan dengan begitu dekat.

Baru saja ingin menegurnya, Hafidz langsung pergi begitu saja ketika ada kehadiran seorang perempuan datang menghampirinya yang ternyata adalah Sarah.

“Lo lama banget, sih!” seru Hafidz mendengus kesal.

“Maaf, tadi gue di panggil ke ruang TU dulu. Pulang sekarang, yuk.”

Hafidz mengangguk hingga membuat Sarah langsung menarik jaket kulit Hafidz pertanda untuk segera bergegas pergi. Hafidz mengenakan helmnya dan sempat melirik ke arah Hanun saat ia beranjak pergi.

Hanun menatap ke arah Hafidz dan juga Sarah dengan bingung. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum kecil hingga membuat Rama yang sedang mengendarai motor Ninja hitamnya tepat di depan gerbang sekolah, menatap ke arah Hanun yang tengah seorang diri menunggu angkot.

Begitu kedua bola mata Hanun dan Rama bertemu, Hanun langsung menatap Rama dengan sinis. Saat angkot tujuannya sudah datang, ia segera bergegas pergi dan tak memandangi Rama kembali.

Elo ternyata masih marah sama gue, Nun. Batin Rama

Hanun

Hafidz

Rama

Sarah

Si Pemilik Tebakan

“Assalamualaikum!” seru Hafidz setengah berteriak, saat ia baru saja sampai di depan rumahnya .

“Waalaikumsalam, sudah pulang?” tanya seorang perempuan setengah baya yang masih memakai pakaian dinas mengajarnya, membuka pintu untuk menyambut kepulangan anaknya.

"Udah, Bu. Ibu udah pulang juga?” tanya Hafidz sambil mencium telapak tangan ibunya.

“Ibu baru saja sampai. Eh, ada Sarah?” kata ibu Hafidz saat melihat kehadiran Sarah.

“Iya, Bu. Sarah mau pinjem buku matematikanya Hafidz,” jawab Sarah yang langsung mencium telapak tangan ibunya Hafidz.

“Masuk aja ke dalam, Rah. Udah pada makan belum?” Hafidz dan Sarah menggeleng pelan secara bersamaan.

"Kalau begitu kita makan sama-sama. Tadi ibu beli masakan padang, soalnya ibu juga belum sempat masak.”

“Iya, Bu,” jawab Sarah pelan.

Setelah mengganti pakaian dan membawakan buku matematika sesuai permintaan Sarah, Hafidz langsung menuju ruang makan untuk makan bersama ibunya dan juga Sarah.

“A Haris ke mana, Bu? Belum pulang kuliah?” tanya Sarah di sela-sela mulut yang penuh dengan makanan.

“Haris katanya ada kerja kelompok di rumah temannya. Mungkin, dia pulang malam.” Ibu terlihat memberikan alas piring kepada Hafidz dan mengisinya dengan nasi sesuai porsi anaknya.

“Kalau Salma ke mana? Tumben dia jam segini belum di rumah? Biasanya, kalau ada Salma, dia pasti suka ngerecokin meja makan kalau lagi makan sama-sama kaya gini.”

“Salma sibuk. Dia sekarang udah kelas sembilan, jadi dia sibuk les untuk mempersiapkan ujian Nasionalnya,” tutur Hafidz yang kali ini menjawab.

Sarah manggut-manggut dan kembali menghabiskan sisa makanan miliknya.

“Oh iya, ibu lupa. Fidz, kamu bisa bantuin ibu?” tanya ibu seketika hingga membuat Hafidz berhenti dengan aktivitas memakannya dan menatap wajah ibunya.

“Kamu ke rumahnya tante Rahma, yah? Tante Rahma nitip minta dibelikan kain batik sama ibu kemarin lusa.”

“Tante Rahma yang rumahnya di Batununggal itu, Bu?” Ibu mengangguk dan kembali menatap wajah anaknya lembut.

“Oke, kapan Hafidz ke rumah tante Rahmanya, Bu?” tanya Hafidz yang terlihat sudah menghabiskan makanannya.

“Sore ini. Bisa?”

Hafidz kembali mengangguk dan membawa alas piringnya yang kosong ke dapur, kemudian mencucinya. Setelah selesai makan dan membantu Hafidz mencuci piring, Sarah berpamitan pulang. Karena kebetulan rumah Sarah tak begitu jauh dari rumah Hafidz, maka dari itu ia pulang dari rumah temannya itu dengan berjalan kaki.

Sementara itu, Hanun terlihat begitu sibuk menyiram tanaman yang berada di teras rumahnya. Sambil menyiram tanaman, terdengar suara motor Vespa berhenti tepat di depan rumahnya. Karena penasaran dengan suara motornya yang begitu berisik, Hanun langsung mengintip dari balik pagar rumahnya. Dan, ternyata suara motor itu adalah suara motor Vespa 180 Rally berwarna biru tua yang ia lihat tadi siang sepulang sekolah.

“Motor itu?” gumam Hanun pelan.

Begitu melihat wajah si pemilik motor Vespa, ternyata orang itu adalah laki-laki yang satu sekolah dengannya. Laki-laki yang tidak disengaja ditampar olehnya saat kejadian jendela kelasnya pecah. Laki-laki yang dikatakan oleh Gita adalah Hafidz, anak Ips 2.

Hafidz dan Hanun sempat saling beradu pandang beberapa detik. Namun, Hafidz kembali masuk ke dalam rumah begitu membuka helmnya dan menaruhnya di atas meja yang berada di teras rumah tersebut.

Hanun masih menatap ke arah rumah tepat Hafidz berada. Begitu sang pemilik rumah membuka pintu, Hafidz langsung mencium telapak tangan seorang perempuan setengah baya yang menjadi si pemilik rumah. Setelah cukup lama berpelukan, mereka kemudian masuk ke dalam.

“Ale!” teriak seseorang dari dalam rumah.

“Iya, Mah!” sahut Hanun setengah berteriak yang langsung menyimpan alat siramnya, kemudian masuk ke dalam rumah.

“Le, malam ini kita bakalan kedatangan tante Rita sama om Gusti ke rumah. Kebetulan mamah lagi masak, mamah minta tolong kamu untuk membelikan daftar belanjaan yang sudah mamah buat di kertas ini. Kamu tolong beli belanjaan ini di supermarket depan, yah?” katanya lembut seraya menyerahkan selembar kertas kepada anak perempuannya.

Hanun mengangguk dan mengambil selembar kertas itu dari tangan ibunya.

“Kalau begitu, Hanun ke supermarket dulu ya, Mah.”

Setelah diberikan uang oleh ibunya, Hanun langsung menuju garasi rumahnya untuk mengambil sepeda. Begitu mengeluarkan sepeda, ia langsung bergegas keluar menuju supermarket dan membeli belanjaan yang diminta.

30 menit berlalu begitu cepat. Begitu selesai membeli belanjaan pesanan ibunya di supermarket, saat di perjalanan, tiba-tiba saja ban sepeda milik Hanun kempes. Dan, itu membuat Hanun seketika terdiam dan memberhentikan sepedanya.

“Yah, ban sepedaku kempes!”

Hanun celingak-celinguk mencari tukang pompa di sekitaran rumahnya. Namun, ia sama sekali tidak melihat ada tukang pompa ban di daerah sini.

Ketika melihat Hanun tampak bingung dengan keadaan ban sepedanya yang kempes, Hafidz yang sedang mengendarai motor Vespanya langsung menghampiri Hanun.

“Ban sepeda lo kempes?” tanya Hafidz membuka suara saat ia masih berada di atas jock motornya.

Hanun menoleh ke arah Hafidz dan menatapnya bingung.

“Iya, ban sepedaku kempes. Tapi, aku ini lagi nyari tukang pompa ban, sih.”

“Gue tahu tempatnya di mana. Tapi, agak jauh dari sini. Nggak apa-apa?” tanya Hafidz kembali sambil membuka helmnya.

Hanun menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Beberapa saat tampak berfikir, akhirnya ia mengangguk dan mengikuti Hafidz yang sepertinya langsung turun dari motornya dan mendorong motor Vespanya.

“Ko, kamu turun dari motor?” tanya Hanun bingung.

“Nggak sopan kalau gue naik motor, sementara lo dorong sepeda. Gue temenin lo jalan aja.”

Hanun hanya manggut-manggut hingga membuat keduanya berjalan menyusuri jalan setapak sambil mendorong kendaraan mereka masing-masing. Beberapa menit dalam suasana kesunyian, akhirnya Hafidz memutuskan untuk membuka suara terlebih dahulu.

“Gimana keadaan jendela kelas lo yang pecah?” tanya Hafidz memecah kesunyian.

“Jendela kelas kami akan segera di ganti oleh pihak sekolah. Katanya sih, yang memecahkan jendela kelas kami mendapatkan hukuman dari pak Wawan.”

“Anak basket yah yang jadi biang keroknya?”

Hanun menganggukkan kepala, mereka berdua pun kembali terdiam dalam suasana keheningan.

“Gue punya tebakan, nih. Elo jawab, yah?” katanya tiba-tiba hingga membuat Hanun sepertinya terlihat terkejut dengan ucapan Hafidz barusan.

“Apa bedanya rok sama roket?” tanyanya sambil menatap wajah Hanun dan menunggu jawaban darinya dengan tak sabaran.

“Hah? Rok sama roket?” ulang Hanun bingung hingga membuat Hafidz menganggukkan kepalanya. “Aku nggak tahu, emang bedanya apa?”

“Kalau roket, semakin ke atas semakin tidak terlihat. Kalau rok, semakin ke atas semakin kelihatan,” jawab Hafidz yang membuat Hanun terkekeh dan tertawa lebar begitu mendengar jawabannya.

“Ih, kamu porno!” serunya tertawa geli.

“Ada lagi, ada lagi!” katanya bersemangat.

“Apa?” tanyanya penasaran

“Apa bedanya matahari sama bulan?”

“Sama-sama ciptaan Tuhan?”

“Salah,” jawab Hafidz cepat.

“Terus apa, dong?”

“Kalau matahari ada discount, kalau bulan nggak ada!” tawa Hafidz girang.

“Ngarang kamu. Suka ngaco, deh!” seru Hanun yang kemudian tertawa lebar.

Hafidz ikut tertawa bersama Hanun. Suasana pun mulai mencair begitu Hafidz memberikan tebak - tebakkan yang aneh kepada Hanun.

“Terus, monyet apa yang senang maju mundur?”

“Monyet aneh,” jawab Hanun cepat.

"Salah. Yang bener itu, monyet-trika baju.”

Hafidz kembali tertawa hingga membuat Hanun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan tebakan-tebakan Hafidz yang menurutnya sangat aneh itu.

Pertengkaran Sarah

Selama beberapa menit saling mengobrol dan memberikan tebak-tebakan yang aneh, Hafidz dan Hanun akhirnya terlihat akrab dan terlarut dalam obrolan mereka.

"Udah sampai, pompa dulu ban sepeda lo.”

Hanun mengangguk dan segera memberikan sepedanya kepada si tukang pompa ban. Setelah memompa ban sepedanya dan membayarnya, Hanun terlihat bersiap-siap untuk kembali pulang.

“Seneng bisa kenal kamu. Makasih untuk hari ini, yah?” katanya sambil menatap wajah Hafidz yang tengah memandanginya.

“Hafidz. Sama-sama,” jawab Hafidz yang langsung saja memperkenalkan dirinya tanpa diminta.

“Hanun. Kamu anak Ips 2, yah?”

“Ko, elo tahu?”

“Aku tahu dari Gita. Dia teman sekelas aku, dia cerita soal kamu.”

“Wah, ada stalker, nih,” katanya dengan mata menyelidik seperti seorang detective.

“Maaf, soal tadi siang yang aku nampar pipi kamu. Itu aku reflek.” Hanun terlihat sangat menyesal sampai-sampai ia menundukkan kepalanya karena malu.

Hafidz tersenyum tipis sambil memakai kembali helmnya. “Gak apa-apa. Nggak sakit, ko. Tapi, ini pertama kalinya gue di tampar sama cewe, loh.”

“Masa, sih? Duh, maaf yah, Fidz,” Hanun terlihat menyesal.

“No problem. Ya udah, gue balik dulu. Atau, lo mau gue antar balik sampai depan rumah?” katanya tiba-tiba hingga membuat Hanun terkejut begitu mendengarnya.

“Hah? Nganterin aku pulang?”

“Gue tahu rumah lo. Rumah lo itu tetanggaan sama rumah saudara gue. Tadi, gue lihat lo lagi nyiram tanaman di teras rumah lo,” katanya pelan.

“Oh, Tante Rahma tetanggaku itu saudaramu?”

Hafidz menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. “Gimana, mau gue antar nggak? Gue antar sampai selamat, deh.”

Hanun tersenyum lebar hingga membuat deretan giginya terlihat begitu rapih dan juga bersih. Hafidz pun memutuskan untuk mengantar Hanun pulang dan mengikutinya dengan mengendarai motornya secara perlahan dari belakang.

Sesampainya di depan rumah, Hanun turun dari sepedanya dan kembali menatap wajah Hafidz yang tengah memandanginya.

“Terima kasih karena sudah mengantarku pulang dengan selamat.”

“Sama-sama, Hanun. Gue balik dulu,” pamitnya.

“Hati-hati di jalan, Hafidz.”

Motor Vespa Hafidz melaju hingga membuat Hanun melambaikan tangannya saat kepergiannya.

“Aku senang kenal kamu," ucapnya pelan dan segera bergegas masuk ke dalam rumahnya.

“Mah, ini belanjaannya!” teriaknya begitu membuka pintu.

Sang ibu terlihat muncul dengan keadaan memakai celemek bermotif bunga-bunga sambil membawa adonan makanan yang sedang ia buat.

“Lama banget belanjanya? Nyalon dulu kamu, Le?” sindir sang ibu.

Hanun tertawa lebar dan memberikan belanjaannya kepada ibunya.

“Mamah ngarang. Tadi ban sepeda Ale kempes, jadi Ale pompa ban sepeda dulu.”

“Ya udah, sekarang bantuin mamah yuk di dapur,” ajak ibunya Hanun yang langsung menuju dapur.

“Aqila mana, Mah? Belum pulang sekolah?” tanya Hanun kepada ibunya, menanyakan kabar adiknya yang belum pulang sekolah sejak tadi.

“Aqila les dulu, mungkin sebentar lagi pulang.”

Tak lama dari kepulangan Hanun, Aqila; adik Hanun yang baru saja pulang les langsung berteriak keras dan memeluk mamahnya yang sedang mengocok telur di dapur.

“Mamah!!” teriak Aqila yang langsung memeluk mamahnya dari belakang.

“Aqila, mandi sana. Kamu itu bau!” ejek mamahnya sambil menarik hidung anak bungsunya itu.

“Iya, Aqila mau mandi. Oh iya, Mah, Aqila ada kabar bagus, loh!” katanya riang.

Sang ibu mengernyitkan keningnya bingung, begitu pun dengan Hanun yang sama-sama ikutan bingung juga.

“Nilai Try Out Aqila di sekolah paling gede, loh. Hebat, kan?” katanya membanggakan diri sambil memperlihatkan selembar kertas hasil Try out nya yang baru beberapa hari diselenggarakan.

“Wah, hebat sekali anak mamah ini. Kamu memang pintar, mamah bangga sama kamu,” katanya sambil memeluk anak bungsunya itu.

“Wah, selamat ya, Dek. Teteh bangga sama kamu.”

“Makasih, teh Ale,” katanya riang.

"Mandi sana. Terus, bantuin mamah sama teh Ale di dapur. Nanti malam tante Rita sama om Gusti mau ke rumah.”

“Oke, Aqila mandi dulu.”

Aqila adalah adik Hanun yang paling bawel dan juga periang. Saat ini, ia tengah disibukkan dengan berbagai les di sekolahnya karena sebentar lagi akan menghadapi ujian Nasional.

Saat ini, Aqila bersekolah di salah satu SMP negeri favorit dan ingin masuk SMA yang sama dengan kakaknya.

Sama-sama berotak cerdas, membuat kedua orang tua Ale; panggilan Hanun di rumahnya begitu bangga kepada anak-anaknya. Ayahnya yang seorang Dekan sekaligus Dosen di salah satu Universitas Negeri, membuat latar belakang keluarga Hanun ini terlihat sebagai keluarga yang berpendidikan.

Sementara sang ibu yang merupakan seorang Dosen di universitas swasta, selalu mengajarkan kepada kedua anak-anaknya untuk meraih impian mereka setinggi mungkin. Karena menurut beliau, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha, berikhtiar dan berdoa kepada Sang Maha Pencipta.

Malam harinya, seperti yang dikatakan mamahnya, tante Rita dan Om Gusti yang baru saja pulang dari Jakarta berkunjung ke rumah Hanun yang berada di daerah Batununggal; Bandung untuk melepas rindu yang sudah lama sekali tidak berjumpa.

Suasana malam ini terasa begitu hangat. Obrolan yang begitu panjang lebar, membuat mereka tak mengenal kata waktu.

“Mau lanjut kuliah di mana nanti kamu, Le?” tanya tante Rita yang merupakan adik mamahnya.

Saat ini, keluarga kecil ini sedang berkumpul bersama di ruang keluarga.

“Ale sih pengennya di Bandung aja, Tan. Tapi, papah pengen Ale kuliah di Universitas Indonesia seperti almamater papah dulu.”

“UI bagus, Le. Kamu pintar, pasti bisa sekolah di sana,” sambung om Gusti yang merupakan suaminya tante Rita.

“Iya, Om. Doakan aja.” Hanun tersenyum tipis.

“Kuliah masih lama, Alenya juga masih kelas dua Sma. Nanti aja diobrolinnya. Sekarang, mendingan makan aja dulu cemilan yang sudah disiapkan Ida,” kata ayahnya Hanun pelan.

Mereka mengangguk. Ibunda Hanun kembali datang bersama dengan Aqila. Mereka berdua tampak membawa beberapa cemilan dari dapur dan menyimpannya di atas meja.

“Aqila mau masuk Sma mana?” tanya tante Rita kepada Aqila yang duduk di samping papahnya.

“Mau masuk Sma yang sama kaya teh Ale, Tan,” jawab Aqila sambil tersenyum.

"Aqila ini lagi sibuk banget, Ta. Dia ikut banyak les di luar sekolah. Katanya, dia harus masuk Sma yang sama seperti kakaknya. Dia ingin membuktikan kalau dia mampu masuk sekolah negeri favorit kakaknya," ayahnya Hanun menjelaskan.

“A Heri jangan terlalu memaksakan anak-anak untuk belajar terlalu giat. Kasian otak mereka. Anak-anakmu juga butuh refreshing sejenak. Lagian, sekolah di mana saja juga sama. Swasta maupun negeri, favorit atau tidak. Yang penting gimana kitanya aja, otak kita mampu nggak bersaing sama otak mereka,” tutur tante Rita yang diberi anggukan sang ibu dan juga om Gusti.

“Iya, yang di swasta aja sekarang pada pintar-pintar. Aqila juga jangan terlalu tertekan dengan ujian ya, Nak?” Om Gusti memberi nasehat.

“Iya, Om.” Aqila menjawab.

“Suamiku ini memang si gila pendidikan, Gus. Makanya, rambutnya rontok dan lama-lama jadi botak karena terlalu rajin membaca. Jadi, jangan heran kalau suamiku ini menuntut anak-anaknya untuk sempurna seperti dia,” ujar Ida yang membuat semuanya tertawa.

Karena malam semakin larut, tante Rita dan om Gusti memutuskan untuk berpamitan pulang. Meski masih rindu akan kebersamaan langka mereka ini, mereka harus tetap pulang karena besoknya harus pergi bekerja.

Esok harinya, Hanun terlihat baru saja turun dari angkot dan membayar ongkos kepada supir. Begitu tiba di gerbang sekolah, tiba-tiba saja ada seseorang yang menyapanya dan membunyikan klakson motor begitu keras hingga membuat Hanun begitu terkejut mendengarnya.

“Pagi, Hanun!” sapanya.

Hanun menoleh dan melihat ada sosok Hafidz yang sedang duduk di atas jock motor Vespanya.

“Pagi, Hafidz,” katanya menjawab sambil tersenyum tipis.

“Mau ke kelas?” tanya Hafidz yang membuat Hanun menganggukkan kepalanya. “Bareng, yuk? Tapi, gue parkirin motor gue dulu, yah?”

Hanun kembali mengangguk dan menunggu Hafidz yang sedang memparkirkan motornya. Beberapa menit kemudian, Hafidz kembali menghampiri Hanun dan mereka berdua pun berjalan bersama.

“Gue ada tebakan lagi, nih,” katanya membuka percakapan.

“Tebakan lagi? Ini masih pagi loh, Fidz.”

“Nggak apa-apa. Elo jawab, yah?” katanya sambil menatap wajah Hanun.

Hanun tersenyum tipis dan kembali menganggukkan kepala yang sudah siap mendengarkan tebakan Hafidz.

“Sapi apa yang kepalanya 2, kupingnya 4, ekornya 5?”

“Hah? Sapi apaan yang kaya gitu? Aneh banget!” katanya yang terlihat tidak percaya.

“Jawab aja. Ayo, sapi apa namanya kalau yang kaya gitu?” katanya tak sabaran hingga membuat Hanun harus berfikir keras.

“Nggak tahu,” jawabnya kemudian.

“Jawabannya adalah sapi ajaib,” katanya tertawa ngakak.

“Ih, gak jelas. Garing banget kamu,” katanya sambil memukul pelan lengan Hafidz hingga hanya membuat Hafidz terkekeh.

“Ada lagi, nih. Huruf depannya K belakangnya L. Terdiri dari enam huruf, terus bentuknya panjang dan lonjong. Apa coba?” katanya sambil menunjuk wajah Hanun dengan telunjuknya.

“Ih, Hafidz kamu jorok banget, sih. Masih pagi tahu, anak Ips ternyata emang pada jorok, yah!” teriaknya sambil menggelengkan-gelengkan kepalanya.

“Lah, ko jorok, sih? Jadi, lo nggak tahu jawabannya apa? Gue jawab, nih.”

“Aku nggak mau denger jawabannya,” katanya sambil menutup kedua telinganya dan berjalan sedikit lebih cepat.

Namun, Hafidz masih terus berjalan di samping Hanun dan mengikutinya sampai depan kelasnya. “Jawabannya kapsul,” bisik Hafidz saat berada di depan kelas Hanun hingga membuat Hafidz tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Hanun hanya melongo tidak percaya dengan jawaban Hafidz barusan.

“Makanya, fikirannya jangan kotor. Pagi-pagi udah fikiran kotor, Hanun-Hanun. Udah, ah, gue ke kelas dulu. Bye, Hakor!” katanya sambil melambaikan tangannya.

“Ih, Hafidz rese, deh! Hakor apaan lagi coba?”

“Hanun kotor,” jawabnya yang kembali tertawa dan membuat Hanun ikut tertawa begitu mendengar jawaban Hafidz.

“Dasar cowo aneh,” gumam Hanun pelan yang langsung masuk ke dalam kelasnya.

Begitu masuk ke dalam kelas, Hanun langsung menyimpan tas miliknya di atas meja dan menyapa Gita yang menjadi teman sebangkunya itu.

“Pagi, Gita.”

“Pagi, Hanun. Eh, ko, aku lihat tadi kamu jalan sama Hafidz di gerbang sekolah. Kamu pergi bareng dia?” tanya Gita penasaran.

“Nggak, kita ketemu aja di depan. Terus jalan bareng deh sampai kelas. Kenapa?”

Gita mendekatkan tubuhnya ke arah Hanun dan setengah berbisik kepadanya. “Kamu kenapa bisa akrab sama Hafidz? Kalian pacaran?” tuduhnya tak beralasan.

“Lah? Ko, pacaran? Kenal juga baru. Aku nggak begitu akrab sama dia. Cuma, kemarin ketemu aja di deket rumahku. Makanya, kita sekarang kelihatan akrab.”

“Ko, bisa?” tanyanya masih tidak percaya.

Karena Gita penasaran dan masih terus

bertanya-tanya padanya, Hanun pun menceritakan kejadian kemarin kepada temannya secara mendetail.

Sementara Hafidz, begitu sampai di kelasnya ia sudah langsung di sambut oleh Sarah dengan ekspresi wajahnya yang terlihat kesal bagaikan seorang preman jalanan.

“Gila, parah banget lo. Kenapa ninggalin gue gitu aja tadi?” katanya yang langsung duduk di samping Hafidz.

“Habisnya, mandi lo lama banget. Ya udah gue tinggalin dari pada bete,” jawabnya sambil menyimpan tasnya di atas meja.

“Ih, emang dasar nyebelin lo!” serunya yang langsung mengacak-ngacak rambut Hafidz kesal.

“Ih, rese banget sih lo!” teriak Hafidz ikutan kesal.

“Sarah!” teriak seorang perempuan yang langsung masuk ke dalam kelas dan menghampiri Sarah yang masih berada di bangku Hafidz.

Begitu Sarah menoleh, tiba-tiba saja ia ditampar oleh perempuan tersebut dan membuat beberapa orang yang berada di dalam kelas begitu terkejut melihatnya, begitu pun dengan Hafidz.

“Eh, apa-apaan lo main nampar orang seenaknya?” teriak Hafidz yang langsung emosi dan beranjak berdiri, menatap perempuan yang sudah menampar Sarah dengan garang.

“Nggak usah ikut campur lo!” teriak perempuan itu.

“Lo yang jangan ikut campur. Urusan Sarah, otomatis akan menjadi urusan gue juga!” timpal Hafidz yang membuat suasana menjadi tegang.

Beberapa orang yang hilir-mudik di depan kelas Ips 2, langsung mengerubuni Hafidz dan juga Sarah. Rama yang tidak sengaja melewat ke daerah kelas Ips pun, begitu penasaran dengan apa yang telah terjadi.

“Ini ada apa, yah?” tanya Rama ke salah satu seorang siswa.

“Tadi ada Revika masuk ke dalam kelas. Terus nampar Sarah, deh,” jawab Eko yang merupakan teman sekelas Hafidz dan juga Sarah.

“Tampar Sarah? Ko, bisa?” tanya Rama yang tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Nggak tahu, sekarang situasi lagi tegang banget. Hafidz marah, terus ngebela Sarah.”

Rama yang penasaran langsung masuk menyeruak ke dalam kerumunan orang-orang untuk melihat ada kejadian apa yang sebenarnya terjadi?

“Emang bener ya, kalian itu pasangan alay yang terkenal banget macam preman,” sindir Revika yang membuat Sarah langsung naik pitam.

“Heh, salah gue sama lo apa? Kenapa lo tiba-tiba tampar gue?” teriak Sarah emosi.

“Salah lo apa? Nyadar dong lo itu di sini siapa? Elo ngapain ngegoda cowo gue, hah? Pake chattingan sama Radian mesra banget di Line. Kaya yang nggak ada cowo lain aja buat lo godain. Elo itu udah macam kaya pelacur!” teriaknya mengejek dan tersenyum sinis.

Tanpa aba-aba, Sarah langsung menjambak rambut Revika hingga membuat Revika langsung membalas menjambak rambut Sarah dengan kasar. Saling mencakar dan mendorong, membuat keduanya bergulat di lantai berkeramik kelas mereka.

Suasana kelas mulai riuh, beberapa orang berusaha untuk memisahkan dan menenangkan mereka. Tapi, pertengkaran mereka tak dapat dihindari lagi.

Hafidz berusaha untuk memisahkan mereka. Namun, yang ada ia malah ikut terjerembab dan terjambak oleh Revika maupun Sarah. Rama juga ikut membantu dan ikut memisahkan Revika juga Sarah, sampai akhirnya guru-guru datang dan memisahkan mereka berdua.

“Sarah, Revika, ikut saya ke ruang BP!” teriak pak Tatang yang merupakan guru BP mereka.

Akibat pertengkaran itu, Sarah dan Revika langsung di bawa ke ruang BP. Kelas mereka kini menjadi tontonan orang-orang. Sarah memang dikenal di sekolahnya sebagai perempuan si pembuat masalah. Maka dari itu, sudah tak aneh lagi melihatnya keluar-masuk ruang BP.

Begitu Rama dan Hafidz saling berhadap-hadapan, sorot mata keduanya tampak terlihat saling membenci dan penuh dendam. Ada aura permusuhan besar yang telah mereka rasakan selama ini. Mereka berdua juga langsung saling membalikkan badan dan saling mengacuhkan satu sama lainnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!