Selamat Membaca para Reader-reader tercinta
Jangan lupa jempolnya (👍)
***
Sepulang Interview, Hana dan Tyana bersiap-siap untuk ke rumah sakit. Sudah tiga bulan lamanya tidak mengunjungi membuat keduanya rindu. Hana mendelik ke arah Tyana sudah bersiap dengan pakaian casualnya. Dia mengunakan kaos polos berwarna putih dan celana jeans panjang, gaya Tyana sangat mirip dengannya tidak neko-neko. Dengan kemiripan semuanya, kadang banyak orang beranggapan Tyana dan Hana itu adalah anak dan Ibu, tapi Hana tidak mengelak nya sama sekali. Ia memang sudah menganggap Tyana sebagai anaknya sendiri. Tyana M. Pratama, nama lengkap yang diberikan Ibu kandungnya.
"Tya sudah siap?" tanya Hana, tanpa bertanya pun Hana tahu hanya ingin memastikan kembali bagaimana perasaan Tyana sekarang. Ternyata Tyana tampak sangat senang dan gembira.
"Siap dong, Tante." balasnya semangat.
Hana mengangguk. Tyana pun antusias. Rumah pada jam siang seperti ini memang sepi, Ayahnya masih bekerja dan Bundanya berada di toko kue-nya sekedar memantau saja. Safira mempunyai orang kepercayaan untuk mengelola toko kue-nya hingga ia tidak capek dan terlalu banyak berpikir cukup orangnya yang membereskan semuanya. Kemudian berpamitan pada Mbak Fani dan Bik Sumi.
Dalam perjalana Hana dan Tyana saling mengobrol dan membicarakan apa yang akan mereka lakukan di sana saat sampai nanti. Memang setiap kali ke sana mereka selalu bingung akan berbuat apa karena keadaannya tidak begitu memungkinkan untuk sekedar mengobrol.
"Tante." seru Tyana.
"Ada apa?" Hana melirik ke arah Tyana kemudian fokus ke depan kembali.
"Tya takut kalau nanti一" Hana cepat memotong ucapan Tyana.
"Tante janji, kejadian itu tidak akan terulang kembali. percaya sama Tante. Kalau memang kamu gak mau bertemu, Tya bisa menunggu di ruang tunggu biar Tante yang melihatnya sendiri."
Ia tahu kalau Tyana masih takut dan ragu untuk menjenguk. Tapi bagaimanapun juga, Hana maupun Tyana tidak boleh melepas tanggung jawab mereka. Karena dia adalah keluarga kandung yang ada setelah mereka berdua meninggal. Hana sangat menyayanginya meski dulu dirinya selalu di nomor duakan. Tapi sekarang keadaanya sangat berbeda. Dia membutuhkan Hana dan Tyana yang selalu ada untuknya.
"Tya juga ingin melihatnya."
"Terserah kamu, nanti kamu deketan sama Tante aja."
"Iya."
Sesampainya di rumah sakit Hana maupun Tyana berjalan melewati tiap kamar, setiap kali ke tempat ini ada rasa yang gugup menderanya. Ini bukan kali pertama.
Hana dan keluarga sering berkunjung kemari tiap sebulan tiga kali, tapi sejak insiden Tyana terluka olehnya, dan sudah lama mereka tidak mengunjungi untuk kebaikan psikis Tyana saat itu.
Sebelum memasuki kamar tersebut seorang Dokter datang menghampiri keduanya dan tersenyum.
"Hana. Tya." Sapa Dokter berjas snelli tersebut ramah, pria paruh baya yang sudah membantu dan menjaga wanita di dalam.
"Dokter Saka." balasnya. Kemudian mencium tangan pria paruh baya itu begitu pun Tyana.
Dokter Saka membenarkan kacamatanya. Memandang kedua wanita di hadapannya.
"Mau menjenguk?"
Keduanya mengangguk. "Iya, Dok."
"Tapi sayang sekali, dia sedang tidur. Tadi pagi dia mengamuk dan menangis histeris memanggil nama mereka terus. Tadi saya sudah kasih obat penenang." Jelas Dokter Saka, beliau adalah Dokter ahli jiwa sudah puluhan tahun Dokter Saka bekerja sama di RSJ.
"Terima kasih Dok. Kalau tidak ada Dokter, saya tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin peninggalan keduanya sangat membuatnya frustasi. Hana jadi pesimis. Apa bisa sembuh, kembali normal kembali." kata Hana, memegang erat lengan Tyana di sampingnya terlihat sedih.
Dokter Saka mengelus bahu Hana. "Yakinlah, pasti bisa kembali seperti dulu. Dia hanya butuh waktu. Dia masih bertarung dengan dirinya sendiri. Tapi dia mengingat kalian berdua. Dia memanggil nama kalian. Sepertinya dia merindukan kamu dan Tya. Cobalah untuk bicara lain waktu." ucap Dokter Saka mengingatkan. Selama Hana tidak menjenguk. Dokter Saka lah yang memberitahu keadaan wanita itu setiap harinya.
"Terima kasih, Dok. Hana akan coba bicara dengannya. Kami juga sangat merindukannya." anggapnya sekilas melirik pada Tyana masih diam. Hana tadinya ingin melihat wanita itu tapi Dokter Saka bilang, sekarang tidak bisa. Karena masih dalam pengaruh obat penenang.
"Kalau begitu kami pulang, kalau ada apa-apa Dokter hubungi Hana."
"Tentu saja."
"Terima kasih Dok."
"Iya, hati-hati."
Hana dan Tyana pergi setelah bersalaman. Rasanya sedikit kecewa tidak bisa melihatnya langsung. Tapi Hana yakin dia pasti baik-baik saja.
Hana membuka pintu mobil untuk Tyana, gadis itu tampak muram dan duduk masuk. Hana pun melenggang masuk ke dalam mobil duduk namun sebelum melanjutkan perjalan Hana mencoba bertanya kepada Tyana.
"Kamu pasti kecewa."
Tyana mengangguk.
"Maaf ya, jadi gak bisa jenguk. Kita sia-sia datang ke sini."
Tyana tidak merespon. Membuat Hana khawatir.
"Tapi besok-besok kita jenguk lagi, mau?"
Tyana melihat ke arah Hana. "Mau."
"Kalau begitu Tya jangan cemberut begitu dong, mukanya jadi jelek kayak Patrick."
Tyana kembali dalam wajah normalnya, tersenyum manis agar Hana tidak kembali khawatir.
"Karena Tya sudah kembali happy lagi, bagaimana kalau kita nongkrong aja di Cafe?" ajak Hana. Ia tidak mau cepat pulang ke rumah karena akan bosan pada jam-jam seperti saat ini.
"Boleh Tante, Tya juga pengen nongkrong kayak anak gaul."
"Kamu masih kecil kalau nongkrong kayak anak gaul yang sudah lepas tangan dari orang dewasa. Kalau kamu nongkrong masih dalam pengawasan Tante."
"Gak apa-apa, yang penting bisa nongkrong."
"Sip, kita kuy lah."
"Kuy… " teriak Tyana semangat. Hana senang saat Tyana sudah senang semangat seperti itu. Merasakan bebannya berkurang. Dia sudah berjanji akan menjaga dan membuat Tyana tersenyum. Tidak bersedih kembali. Karena itu adalah pesannya.
Mengingat kembali hal itu, membuat Hana sedih, dia masih mempunyai hutang yang harus Hana lakukan. Sesuatu yang sulit Hana tepati. Masih butuh waktu untuknya untuk menepati janji lainnya.
Hana melajukan mobilnya ke Cafe tempat biasanya Hana, Audy, dan Felix nongkrong kalau malam mingguan untuk para jomblo macam Hana dan Felix berbeda dengan Audy yang sudah mempunyai kekasih hatinya.
***
"Come on, Mom. Ini sudah ke dua puluh kali aku ganti baju. Menurut Bima semuanya bagus jadi gak usah Bima ganti baju lagi, cukup bilang size-nya saja." keluhnya, sudah hampir satu jam lebih, Bima berada di toko milik teman Mommy-nya dan selama itu pula dia harus berganti baju sesuai permintaan dari wanita yang sangat Bima sayangi. "Penampilan juga bukan segalanya, yang penting kinerjanya."
Bima tidak bisa menolak permintaannya, karena bisa tidak mau mengecewakan beliau.
"Biboy, Mommy mau yang terbaik buat kamu loh, di hari pertama kamu masuk kerja dan menjabat sebagai CEO di perusahaan, kamu harus memberikan kesan pertama yang sangat baik dan perpect. Kamu gak lihat bagaimana style Daddy kamu kalau kerja. Dia itu gagah berwibawa dan membuat orang sekitar mengaguminya. Bukannya tebar pesona tapi, dia ingin menampilkan kalau dia adalah sosok pimpinan yang baik. Karena penampilan adalah hal pertama yang mereka lihat. Meskipun bukan penampilan yang harus dipandang, tentu kinerja juga. Tapi mereka yang menilai bukan kita. Semua punya caranya sendiri menilai seseorang."
Luna berkata panjang lebar membuat Bima termenung yang mendengarkan. Dan pegawai yang melihat hanya mendengar tanpa ikut campur. Luna bukan ingin mengatur Bima hanya ingin membantu segalanya yang terbaik. Meski Bima tidak suka sekalipun.
"Tapi kan ini berlebihan, Bima bisa kok cari sendiri."
"Jadi kamu gak mau Mommy pilihin nih?"
"Bukan begitu, maksud aku―" Bima belum selesai bicara, Luna langsung menyambarnya membuat Bima melotot lebar akan Mommy-nya.
"Jadi Mommy bikin kamu repot, karena melakukan segala sesuatunya buat kamu." ucap Luna membuat Bima bersalah, sekarang Mommy-nya tampak sedih. Bima menghela nafas gusarnya.
"Mommy please bukan itu maksud Bima, aku gak mau buat Mommy repot karena Bima. Nanti Mommy kecapean dan lelah. Bima gak mau bikin Mommy sakit."
"Mommy merasa tidak direpotkan, kalau itu kamu."
"Tapi Bima, gak enak."
Luna mencubit pipi kiri Bima.
"Gak enak, gak enak, kayak sama siapa aja. Mommy ingin yang terbaik untuk kamu, Bima."
Bima mendekati Mommy-nya memeluk wanita itu tampak sedikit resah akan dirinya.
"Iya, Bima mengerti kok. Terima kasih untuk semuanya." Luna membalas pelukkan Bima. Rasanya begitu hangat. Luna dan Bima memang sangat dekat, sampai-sampai saat Bima sakit sewaktu di Jerman, Luna bela-bela terbang ke sana untuk merawat Bima, padahal hanya sakit pilek saja karena saat itu sedang musim dingin.
"Kalau begitu kita lanjutkan kembali fittingnya... " Luna mengurai pelukkan Bima.
Bima berdecak. "Mommy… "
Tidak peduli akan Bima, Luna melanjutkan kembali memilih pakaian untuk Bima.
Untung sayang, batin Bima.
Mau tidak mau Bima harus menuruti Mommy-nya. Selama dalam toko Bima hanya duduk santai dengan ponselnya sekali ia meminum dan memakan yang disediakan di toko tersebut. Ia dan Mommy-nya adalah pelanggan VVIP, semua pegawai amat hormat akan kedatangannya tadi. Sebenarnya Bima sedikit risih bila harus datang langsung ke toko. Paling biasanya Bima hanya perlu memilih lewat aplikasi khusus yang dibuat toko tersebut dan membelinya secara online. Malah Mommy-nya meminta langsung ke toko.
Setelah tiga jam lamanya, akhirnya berakhir penderitaan Bima. Mommy-nya menyelesaikan semua transaksi pembelian baju miliknya.
Entah berapa uang yang dikeluarkan Mommy-nya untuk membeli puluhan sepasang baju. Membayangkan saja sudah melonjak kaget apalagi tahu akan totalnya bisa-bisa orang yang tahu akan kena serangan jantung.
"Tolong secepatnya di antarkan ke rumah saya." seru Luna, kemudian memeriksa ponselnya mendapatkan pesan dari anak buahnya kalau ada beberapa berkas pengolahan bahan yang harus ditandatangani.
"Baik, Ny. Winajaya." balas Pria berstatus manager tersebut tersenyum. Kemudian pria itu mengatur para pegawainya untuk mengirim semua pesanan milik Luna.
Luna melenggang ke arah Bima. "Kita ke Cafe sebentar ya, Biboy."
"Siap, Ny. Winajaya." Goda Bima.
"Kamu tuh, ya."
***
Suasana Cafe cukup ramai, Hana dan Tyana mendapatkan duduk di ujung sebelah kaca besar. Pemandangannya langsung mengarah ke jalan.
"Kamu mau pesan apa, Tya?" tanya Hana pada Tyana yang sembari tadi tidak lepas dari ponselnya. Tyana pun menoleh pada sumber suara.
"French vanilla sama cupcake coklat." balasnya tanpa melihat daftar menu. Hana maupun Tyana sudah sering kemari tanpa melihat menu keduanya sudah tahu apa kesukaan keduanya, tapi kali ini berbeda Hana menanyakan kembali karena ingin Tyana agar tidak terlalu larut dengan ponselnya. Tyana agak sedikit keras kepala sama dengannya, tidak suka ditegur kalau sedang asyik-asyiknya bermain ponsel.
"Oke, Tante pesankan dulu."
Hana memanggil pelayan yang tidak jauh dari meja, kemudian memberitahu pesanannya. Pelayan itu menulis pesanannya. Pelayan pergi meninggalkannya mejanya, sebenarnya Cafe ini bisa kita yang langsung memesan ke kasir, hanya saja Hana sangat malas mengantri hingga lebih memilih memesan lewat pelayan.
Sambil menunggu pesanan datang, Tyana menceritakan teman barunya dekat rumah, tetangga baru dua hari pindah di sana. Hana tidak tahu menahu, kalau Tyana tidak cerita karena dia lebih suka mengurung dirinya di rumah bila tidak ada sahabat Hana yang ngajak main keluar.
"Tante, harus datang ke acara pengajian tetangga kita yang baru, soalnya kita diundang loh." ungkap Tyana memberi tahu. Hana malas kalau mengikuti acara tersebut paling kebanyakan yang datang Ibu-ibu dan Bapak-bapak tidak ada anak mudanya.
"Tante gak janji deh, soalnya Tante pasti sibuk kalau udah kerja." balasnya, agar tidak menyinggung Tyana. Boro-boro sibuk kerja, dapet telpon saja belum. Hana berharap dirinya akan dapat panggilan kerja maksudnya lolos keterima menjadi sekretaris.
"Yah, padahal Tyana, Nenek sama Kakek mau datang loh ke sana. Masa Tante gak ikut." Tyana mendelik kecewa. "Benar kata Nenek sama Kakek, Tante Hana itu KUPER." kata Tyana penuh penekanan.
Dasar anak kecil sok dewasa.
"Tante bukan kurang pergaulan, Tante MAGER."
"Sama aja Tante."
"Serahlah."
Hana berdecak kesal. Bisa-bisa ia di ceramahi oleh anak kecil. Memang Tyana anak yang cerdas pikiran dan otaknya tumbuh dengan baik. Hana saja kalah dewasa dengan Tyana. Dia amat mirip Ibunya.
Menunggu lima menit lamanya, pesanan pun datang, Tyana meletakkan ponselnya di atas meja. Pelayan itu meletakkan pesanannya dan kembali meninggalkan meja.
"Enak banget Tante." Tyana mencicipi cupcake coklatnya. Kemudian menyedotkan minumannya ke dalam mulut dan merasa segar saat minumannya masuk ke dalam tenggorokan Tyana.
"Pastinya, selain tempatnya bagus, menu makanannya pun enak-enak."
Tyana setuju.
"Tya, Tante ke toilet dulu ya, kamu tunggu sebentar."
"Iya, Tante."
Hana melenggang meninggalkan Tyana ke toilet, sebenarnya ia ragu meninggalkannya sendiri. Tapi karena perutnya tidak bisa kompromi.
Sepeninggalan Hana. Tyana memainkan cupcake coklatnya yang hampir habis. Namun Tyana melihat ke sekeliling arah ruangan ia melihat sosok pria yang ia kenal.
Itu kan Om Bima.
Tyana tadinya ingin menghampiri Bima, namun ia mengingat ucapan Hana yang menyuruhnya untuk tidak kemanapun. Ia menuruti. Tyana hanya memandang Bima dari kejauhan.
Sementara Bima berdiri dekat kasir menunggu Mommy-nya turun. Ia tadinya ingin menunggu di parkiran, namun Bima merasa butuh kafein, Ia memesan Americano coffee. Bima melihat sosok gadis kecil duduk sendiri memandang ke arahnya dan melambaikan tangannya. Ia pun menghampiri gadis kecil tu.
Bima dan Tyana bertemu. untuk kedua kalinya. Entah kenapa saat melihat Tyana, ia seperti melihat Clara masa kecil. Bukan Bima pria baperan tapi memang yang namanya cinta itu bisa membuat seseorang rapuh. Apalagi orang yang di sakiti hatinya. Pasti akan berbekas jua.
"Hai, Tya. Masih ingat sama Om?" tanya Bima memastikan daya ingat gadis itu. Bima kemudian duduk di sampingnya.
"Inget dong, Om. Tadinya Tya mau sapa Om duluan kesana. Tapi Tya ingat kata Tante Hana gak boleh kemana-mana." Jelasnya, Tyana sangat pintar dalam hal menjelaskan sesuatu sampai sedatail ini. Membuat Bima kagum akan kecerdasaan gadis kecil itu.
Lagi-lagi Tante Hana? kemana Mamah nya?
"Kamu kesini sama Tante kamu?"
"Iya, Om."
"Sekarang Tante kamu kemana?"
"Pergi ke toilet, Om."
"Oh. Om pikir kamu di tinggalin sama Tante kamu itu."
"Gak dong. Tante Hana baik. Tya sayang sama Tante Hana."
Bima manggut-manggut, ia hanya bercanda mengenai Tante gadis itu, eh malah di anggap serius. Bima memaklumi kalau Tyana masih kecil belum bisa membedakan mana yang serius dan mana yang bercanda.
Beberapa menit mereka mengobrol. Bima ingin tahu sosok Tante Hana yang sering Tyana ceritakan. Saking penasaran Bima menunggu wanita itu sampai sekarang namun tidak kunjung jua batang hidungnya.
Bima mendapatkan chat kalau Mommynya sudah berada di parkiran. Sampai lupa kalau sedang menunggu Mommynya.
"Om harus pergi, Tya." kata Bima berdiri membenarkan letak bajunya agak kusut.
"Kok buru-buru. Tya mau kenalin Om sama Tante Hana." Desis Tyana agak kecewa.
"Lain kali ya."
"Oke deh, Om. Gak apa-apa."
"Kalau begitu Om pergi ya."
"Bye bye."
Kepergian Bima membuat Tyana sedikit murung, padahal Tyana masih ingin mengobrol. Dari kejauhan Hana diam memperhatikan Tyana dan sosok pria yang berbicara dengan Tyana. Tapi wajahnya tidak terlihat hanya bagian punggung lebar yang dilihat Hana. Pria itu pergi membuat Hana lega.
Hana menghampiri Tyana.
"Tadi itu siapa?" Hana mencoba mencari tahu dengan bertanya pada Tyana.
"Om ganteng." balasnya asal.
"Om ganteng?" mengulang ucapan Tyana.
"Eh, maksud aku Om Bima."
"Bima?"
Siapa pria itu, kenapa dekat sekali dengan Tyana.
***
Hai bagaimana? Masih penasaran kan?
Jangan lupa pantengin terus Bima ya
**Jangan sampai lepas
Maaf kalau banyak typo bertebaran**
Terima kasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
yonahaku
semangat Thor !
2021-04-06
0
Nova Zariah Putri
yg da diRSJ tu Clara ya Thor...emang dah takdir jodoh n maut kamu yg ngatur thor
2020-10-22
1
Dini Atikawati
makin penasaran 🤔
2020-09-29
1