Hai reader-reader, Bima kembali
Cekidot aja deh
Jangan lupa jempolnya (👍)
Selamat membaca
***
"Bunda bagaimana penampilan Hana? Cantik gak?" tanya Hana, dengan memamerkan pakaian berjas hitam, dalaman kemeja putih, celana hitam dan high heel lima sentimeter terpampang jelas di hadapan Safira yang memandangnya kagum dan mempesona. Untuk pertama kalinya Hana akan Interview kerja. Meski tidak bekerja pun Safira maupun Azata masih mampu membiayai Hana untuk melanjutkan kuliah S2. Hana memilih untuk bekerja, ingin merasakan bagaimana susah mencari uang.
Safira mengacungkan dua jempol ke arah Hana. "Anak Bunda, juaranya deh. Cantik. Pesonanya gak ada duanya. Kece badai kalau kata anak gaul jaman sekarang."
"Bunda bohong nih, jangan bikin Hana melayang tinggi deh." ujarnya.
Hana merona malu. Safira terlalu berlebihan membuat Hana salah tingkah. Hana melihat ke arah cermin, ia memang sangat berbeda dari biasanya. Tahu lah kalau di rumah paling bagus cuma pake hot pant dan kaos oblong. Itu pun kalau tidak di ceramahi Safira-Bundanya.
"Bunda, gak bohong. Dosa kalau bohong. Lagian anak Bunda mau di apain aja cantik. Gak usah pake baju begitu. Seharian kamu pake daster aja tetap cantik. Orang cantik mah mau di apain aja cantik." ungkap Safira. Hana memiliki wajah yang cantik dan tinggi semampai tidak kalah dengan model macam Gigi Hadid atau Barbara Palvin yang terkenal akan body indah yang di milikinya.
"Bunda bisa aja. Hana percaya deh."
"Gitu dong. Penilaian Bunda gak pernah salah."
"Hana, jadi gugup banget sih Bun." kata Hana memegang dadanya terasa bergetar. Mungkin ini yang dirasakan orang saat akan Interview kerja. Dulu Hana hanya melihat orang membawa berkas dan berpakaian rapi di perusahaan Azata. Dan kali ini Hana merasakan apa yang orang rasakan.
"Wajar dong. Kamu kan mau kerja di perusahaan yang kamu inginkan. Makanya sebelum berangkat minta restu Ayah dan Bunda agar di lancarkan. Jangan lupa berdoa. Insya Allah. Semua akan dipermudah."
"Iya Bun, Hana bakal inget hal itu."
"Bunda yakin kamu diterima."
"Amin… " balas Hana mengamini. Begitu pun dengan Safira.
"Yuk, kita kebawah. Ayah sama Tya udah di ruang makan. Menunggu kita." ajak Safira.
"Siap Nyonya. Ayo." anggap Hana. Kemudian ia melingkari tangannya di lengan Safira berjalan bersama ke lantai bawah untuk sarapan pagi.
Di meja makan sudah ada Azata dan Tyana sudah menyantap Nasi goreng buatan Safira yang tidak ada duanya. Melangkah mendekati keduanya.
"Good Morning, Ayah dan Tya." Sapa Hana penuh ceria, duduk di samping Tyana. Safira duduk di dekat suaminya.
"Morning, Tante Hana." balas Tyana. Melirik Hana dengan penuh pertanyaan. Ia menyadari penampilan Hana yang terbilang sangat rapi dan sopan.
"Morning too, Hana." balas Azata. "Kamu sudah siap untuk Interview, hari ini?" tambahnya sejenak menghentikan acara makannya. Safira melirik Azata, tidak lama mengalihkan ke arah Hana ingin tahu jawaban dari pertanyaan Azata yang terbilang ingin tahu.
Hana mengangguk. " Siap dong."
"Bagus kalau begitu. Kamu harus percaya diri. Tapi jangan berlebihan. Itu namanya gak tahu diri." kata Azata sambil bercanda. Membuat Safira yang tadinya serius, menjadi kesal akan ucapan suaminya.
Hana berdecak kesal.
Ayah kalau ngomong suka Bener.
"Mas, kamu tuh ya, bukannya kasih nasehat biar Hana bakal diterima, malah bicara yang tidak-tidak." tegur Safira pada Azata.
Azata malah tersenyum membuat Safira jengkel, Hana hanya menggeleng akan kedunya. Sedangkan Tyana tidak mengerti akan pembicaraan orang dewasa di hadapannya, dia memilih untuk menikmati sarapannya dan menjadi pendengar yang baik.
"Itu nasehat loh. Apanya yang tidak-tidak." jawabnya tidak mau disalahkan. Memberi nasehat apa untuk Hana, karena Azata yakin akan kemampuan anaknya.
Belum sempat Safira menjawab, Tyana lebih dulu mengajukan pertanyaan pada Hana. "Tante, mau kerja?" memandang Hana dengan wajah memelas.
"Iya, sayang. Tante mau kerja." jawabnya.
"Terus nanti Tya main sama siapa kalau Tante Hana kerja?"
"Sama, Mbak Fani. Nanti kalau Tante kerjanya libur, Tya maen sama Tante Hana. Bagaimana?"
"Iya deh."
Safira menatap Tyana. "Nanti Nenek sama Kakek juga bakal temenin Tya main."
"Asyik, bener ya Nek, Kek."
Azata dan Safira mengiyakan.
Tyana kembali tersenyum ceria, Hana merasa tidak tega. Hana bekerja karena dia tidak bisa berdiam diri saja dan ia juga ingin membiayai semuanya dengan hasil kerjanya sendiri. Tanpa meminta uang kedua orangtua angkatnya, yang sudah banyak membantu Hana maupun keluarga kandungnya. Saat Papinya meninggal dunia, Azata dan Safira membantu meringankan beban mereka. Dalam masa kesulitan. Kadang Hana merasa tidak enak akan kebaikan mereka berdua begitu mulia. Hana sangat bersyukur bisa mendapatkan orangtua angkat seperti mereka. Azata dan Safira tidak memiliki anak. Makanya saat Papinya menitipkan Hana dengan senang hati mereka berdua menyetujuinya. Apalagi saat itu Hana berumur tiga tahun dan selama itu kedua orang tua kandungnya masih menghubungi dan mengunjungi Hana di Bandung sedangkan keluarganya di Jakarta.
"Pulang Interview Hana dan Tyana mau ke rumah sakit mau melihatnya. Hana mau tahu perkembangannya saat ini. Apa boleh Ayah, Bunda?"
Hana memandang keduanya bergantian.
Azata mengangguk. "Tentu saja, kami tidak pernah melarang kamu buat menemuinya. Ayah malah senang kamu dan Tyana mau melihatnya, meski akan sulit untuknya mengingat kalian berdua." Safira tidak tahu harus berkata apalagi. Ucapan Azata sudah mewakilinya.
"Terima kasih." Hana memandang keduanya. Memang Azata dan Safira tidak pernah melarang apapun yang Hana lakukan. Ia hanya ingin menghormati keduanya sebagai orangtuanya.
Azata dan Safira mengangguk dan tersenyum. "Iya, sayang."
"Jadi kita mau ke rumah sakit?" tanya Tyana saat mendengar akan mengunjungi rumah sakit.
"Iya, sayang. Kamu mau ikut Tante mengunjungi?" Hana tahu sekitar tiga bulan lalu mereka pernah ke rumah sakit, saat itu tidak pernah Hana menduga akan ada insiden yang membuat Tyana terluka. Ada rasa marah saat melihat Tyana terluka dan rasa kasihan saat melihat wajah itu. Hana tidak bisa marah atau benci padanya. Karena dia tidak dalam keadaan sadar. Pikiran dan jiwanya bukan yang dulu.
"Mau." Jawab Tyana tersenyum. Tidak ada yang tahu akan perasaan Tyana dalam hatinya.
"Pulang Tante, kita kesana ya."
"Siap kapten."
Setelah sarapan selesai, Hana dan Azata mengobrol sebentar di belakang halaman rumah. Tidak biasanya Ayahnya mengajak Hana mengobrol berdua. Mereka duduk berdampingan dan memandang pohon palem yang menjuntai tinggi dan beberapa bunga yang di taman khusus Safira di halaman.
"Kalau kamu tidak lolos Interview, kamu harus mau kerja di kantor Ayah. Tidak ada kata penolakan. Ayah sudah tentukan jabatan kamu di sana. Jadi Ayah harap kamu mengerti. Bukan Ayah mendoakan kamu tidak lolos hanya saja, peruntungan seseorang kita tidak tahu. Tapi Ayah akan mendoakan segala sesuatunya yang terbaik untuk kamu, Hana." Jelas Azata, pria itu begitu menyayanginya begitu ingin yang terbaik untuknya.
"Iya, Hana paham. Hana akan melakukan apapun yang Ayah minta. Tapi kalau Hana lolos. Ayah harus merelakan Hana untuk bekerja di sana."
"Asal kamu senang, Ayah akan mendukung kamu." Hana memeluk Azata penuh kasih sayang. Pria paruh baya yang memiliki sifat kesederhanaan dan kedermawanan yang buat Hana berdecak kagum. Tidak semua orang kaya berduit memiliki sifat seperti Ayahnya. Tanpa ada embel-embel Pencitraan.
Azata mengurai pelukan Hana. "Memangnya kamu. Melamar kerja di perusahaan mana, kalau boleh Ayah tahu?"
"Nanti Hana kasih tahu, kalau Hana benar-benar lolos kerja di perusahaan itu."
"Segitu rahasianya, sampai Ayah tidak boleh tahu?"
"Ayah bakal bangga sama Hana."
"Benarkah?"
Hana mengangguk.
***
Sedangkan di sisi lain, Bima duduk santai di gazebo. Melihat ke arah pohon besar yang memiliki kenangan yang begitu sangat indah pada saat itu. Pikiran Bima melayang pada masa-masa di mana Bima bersama Clara. Awal bertemu dengan wanita yang sampai saat ini tidak tahu keberadaannya.
"Kamu ada di mana, Ara?" gumamnya. Bima memejamkan wajahnya dengan menyandarkan tubuhnya di tumpuan kayu penyangga.
Rasanya percuma Bima kembali. Tidak ada yang membuat Bima bersemangat padahal besok dia sudah mau bekerja di perusahaan. Tapi entah kenapa dia merasa akan ada sesuatu yang akan membuatnya berdebar. Bima memegang dadanya terasa tidak enak tapi tidak sesak.
Kamu harus bisa melupakannya, Bimantara.
Dalam pikirannya, ada sosok positif yang menyuruhnya untuk tetap semangat menjalani hidup dan membuka lembaran baru. Dan sosok negatif menyuruhnya jangan menyerah untuk Bima menemukan dan memperjuangkan hatinya.
Bima bingung.
Semuanya sama-sama agar Bima tidak menyerah.
Saat Bima hanyut dalam pikirannya. Sosok pria paruh baya mendekati. Yap, Reza. Ia duduk di samping anaknya dan menghembus nafas.
"Ngapain kamu di sini? Gak keluar main sama Gengkor kamu itu?" kata Reza memecahkan keheningan.
"Gak, mereka sibuk. Minggu ini mereka berencana ke rumah." jawabnya membenarkan posisinya duduk tegak bersila tetap pandangannya ke depan.
Reza ber-oh ria.
"Kamu mau curhat gak sama Daddy?"
Bima mengerut alis. "Curhat, maksudnya? Bima?"
"Iyalah siapa lagi si rumah ini, yang namanya Bima, yang masih galau, belum bisa move on." kata Reza dengan nada sedikit mengejek.
Bima memang sudah mendapat julukan yang dicetuskan si bungsu Kaivano yang selalu ada bahan jahilannya termasuk Pria Galon (Galon: Gagal move on). Bima tidak peduli akan ucapan mereka yang meledek dan membuat bahan lelucon tentangnya. Ia kesal itu pasti, Marah juga pasti, Benci pastinya tidak karena Bima berpikir positif, mereka melakukan hal itu untuk menyadarkannya dari sesuatu yang tidak ada kepastian.
Helaan nafas terdengar gusar.
Bima menompang dagunya di telapak tangan. "Bima harus gimana dong, Dad. Bima susah untuk menghilangkan Clara dalam pikiran Bima. Apa yang harus Bima lakukan?" Reza merasa iba melihat anaknya. Begitu sulitkah Bima melupakan cintanya pada Clara padahal mereka berhubungan saat masih SMP meski mereka berdua sudah sejak kecil bermain dan juga mengenal. Apa ini Karmanya? Karma telah meninggalkan Lisa dulu? Makanya Bima menderita akan sikapnya dan menerima semua dengan masalah percintaannya dengan seorang wanita yang tidak pernah mulus. Harusnya saat itu Reza bisa berpisah baik-baik tanpa membuat wanita itu terluka.
Reza menepuk bahu Bima agar tegar dan semuanya akan baik kedepannya. "Cobalah menjalin hubungan dengan seseorang meski akan sangat sulit. Mungkin kesulitan itu akan berkurang saat kamu mengenal wanita itu dengan baik. Daddy yakin ada wanita yang akan membuat kamu melupakannya perlahan dan membuat kamu nyaman. Asal ada keinginan untuk move on."
Ucapan Reza dan Luna sama saja, intinya harus melupakan wanita itu. Melupakan semua yang pernah mereka lalui saat bersama. Terlalu banyak kenangan yang tidak bisa mungkin bisa Bima lupakan. Tapi Bima dengan keyakinan yang ada akan berusaha melupakan semua itu. Ia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir.
"Bima akan coba."
"Daddy yakin kamu bisa." Bima merasa lega, setidaknya dia bisa mencurahkan segala isinya. Tidak terlalu memendam.
Reza mencoba mengalihkan pembicaraan tentang curhatan Bima. Menurutnya Bima butuh waktu untuk memikirkan kemungkinan yang ada.
"Oh iya Daddy hampir lupa. Hari ini akan ada Interview untuk sekretaris baru untuk kamu. Semua Daddy serahkan pada Soni. Tidak apa-apa kan kalau Soni yang mengurus semuanya?" lanjutnya, kemudian memandang Bima. Ingin tahu reaksinya.
"Bima percaya sama Om Soni. Dia tahu yang Bima mau." jawabnya.
"Bagus kalau begitu. Kamu sudah siap untuk besok? Karena Daddy gak mau kalau kamu melakukannya setengah-setengah. Daddy mau kamu melakukan dengan niat yang penuh. Daddy tidak akan memaksa kamu kalau memang belum ada kesiapan dalam diri kamu." ucap Reza mengulang pembicaraan tentang posisi akan Bima jabat. Bukan tidak percaya hanya saja Reza ingin kembali memastikan semuanya.
"Bima sudah siap kok, selama ini Bima belajar jauh-jauh untuk bisa memenuhi keinginan Daddy dan juga Bima sendiri karena aku sudah menjalankan semuanya dengan sabar selama di sana. So, tidak ada kata setengah-setengah. Semuanya sudah dengan tekad yang bulat."
"Pemikiran kamu sudah dewasa. Daddy gak nyangka kamu sudah menjadi seorang pria sejati. Padahal dulu kamu masih ngompol di celana."
"Bima kan tumbuh tiap tahunnya, masa isi pikirannya gak tumbuh. Gak sinkron dong."
"Untung tubuh dan pikiran kamu tumbuh sejalan kalau gak mungkin kamu masih bocah kecil terus."
"Ya, begitulah…"
"Nanti siang kamu ikut Mommy ke toko buat fitting baju kerja kamu. Kamu harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik dan termasuk penampilan."
Ya Allah, segala fitting. Kayak mau nikahan aja. Heran.
"Oke." ucapnya singkat. Terus? Lanjutnya dalam hati. Pasti ada lagi yang Daddynya lakukan untuknya.
"Daddy juga sudah siapkan mobil buat kamu, Sore mobil baru kamu datang plus supir pribadi kamu. Daddy gak mau kamu mengendarai mobil sendiri."
Apalagi ini? Pakaian, Mobil? Nanti apalagi. Bisa-bisa Daddy dan Mommy menyiapkan jodoh untuknya.
Big no !
Kalau itu, Bima ingin mencarinya sendiri. Tanpa campur tangan mereka berdua.
"Ya, Daddy. Terserah. Aku ikut aja apa kata Daddy." balasnya agak malas. Percuma Bima tidak bisa menolak. Dan keinginan Daddy-nya harus selalu dituruti. Bima hanya memasang muka gusar tidak semangat. Padahal dia ingin melakukannya sendiri dari segala sesuatunya yang memang Bima bisa urusinya tapi ini malah kedua orangtuanya yang repot. Jadi tidak ada guna Bima kalau gini jadinya.
"Nah gitu dong. Tapi itu muka jangan di tekuk begitu. Gak enak lihatnya.
Bima tersenyum terpaksa. "Nih, Bima senyum."
"Aneh kalau kamu senyum terpaksa begitu."
Macam-macam aja orang tua.
Bima mencoba tersenyum senatural mungkin agar tidak lagi berdebat dengan Daddy-nya tentang hal yang membuat Bima jengkel bukan main.
"Nah, itu baru senyum. Ganteng kamu kalau senyum. Tapi masih kalah jauh sama Daddy. Kamu masih nomor urut kedua, pertama Daddy."
Gak mau kalah sama anak sendiri.
"Iyain aja biar Daddy happy."
"Anak Sholehah."
Daddy durhaka.
***
Hana berdiri tegak di sebuah gedung pencakar langit begitu menjulang tinggi. Dia berkesempatan untuk Interview kerja di perusahaan terbesar di negara ini termasuk Asia. Wow, itu kata pertama saat dia melihat bangunan perusahaan itu. Ia kagum akan interior dan desainnya. Perusahaan Ayahnya kalah saing dengan perusahaan yang Hana lihat. Akan sangat bangga bila Hana bisa masuk dan menjadi bagian dari perusahaan ini.
Ya Allah, doakan Hana agar lolos Interview. Amin.
Dengan detak jantungnya berpacu bagaikan goelan sepeda. Hana terus memanjatkan doa. Agar kegugupannya menjadi keberanian. Hana tidak mau kalah mengecewakan orang tua karena dia sudah bertekad.
Hana pasti bisa. Semangat.
Genggaman tangannya terkepal kuat. Memberi semangat untuk dirinya sendiri. Hana memasuki gedung dengan rasa percaya diri. Meski masih ada rasa gugup. Melewati setiap orang yang lewat sekilas memandangnya penasaran. Mungkin mereka beranggapan kalau dia masih baru. Terlihat masih asing akan wajahnya.
Hana mendekati meja resepsionis. Seorang wanita berambut rapi di gelung dengan pakaian sopan dan formal tersenyum ramah kepadanya.
"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu dengan name tag - Indah Raysana. Hana pun membalas senyumnya dengan senyum manis.
"Pagi, Mbak. Saya mau melakukan Interview hari ini, saya mendapatkan email kemarin." kata Hana mencoba untuk menjelaskan.
"Nama anda?"
"Nama saya, Ciara Hanaria Azata."
"Baik ditunggu sebentar, saya cek nama anda terlebih dahulu."
Setelah beberapa detik kemudian namanya terindikasi, Indah memberi selembar kertas untuk di isinya. Sudah mengisinya lembaran tersebut, Hana diantar masuk ke sebuah ruangan tidak jauh dari lobby dan ada dua orang wanita dengan baju sama dengannya namun bedanya mereka memakai rok span di atas lutut. Dengan riasan cukup tebal.
Kalah saing ieu mah, kumaha atuh gusti.
Hana melihat penampilannya cukup sederhana. Indah pun mempersilahkan duduk.
"Silahkan anda duduk di sini." suruhnya. Hana mengiyakan. "Kalau begitu saya permisi." pamit Indah ke Hana lalu keluar dari ruangan.
Ruangan hanya ada Hana dan dua wanita lainnya. Tapi tidak tahu apa salahnya kedua terlihat jutek terhadapnya. Apa Hana ada salah. Keduanya mendelik tidak suka.
Apaan sih mereka berdua. Aku memang cantik. Iri aja.
Kesalnya dalam hati. Belum apa-apa suasana sudah panas. Rasanya ingin mandi air es, kalau tidak masuk kulkas biar adem.
Tidak beberapa lama kemudian seorang pria paruh baya, dan seorang wanita yang Hana kenal memasuki ruangan. Rasanya lega saat seseorang masuk. Karena kalau tidak dia mungkin akan berbuat aneh-aneh pada kedua wanita itu. Mereka bertiga duduk berhadapan dengan pria dan wanita yang masuk tadi.
"Selamat pagi, terima kasih sudah memenuhi panggilan kami. Perkenalkan saya Audy bagian divisi HRD dan disebelah saya Bapak Soni sekretaris dari CEO." ucapnya wanita bernama Audy memperkenalkan dan pria di sampingnya hanya senyum.
Hana mendelik tidak percaya yang melakukan Interview langsung adalah Sekretaris CEO. Tutup sudah Hana, ia pastikan tidak akan lolos.
Yang Hana tahu, dia melamar kerja untuk menjadi sekretaris, tapi tidak tahu kalau ia akan menjadi sekretaris CEO, dan sahabatnya tidak pernah mengatakan sesuatu tentang hal itu.
Damn it!
Audya Prasetya Ardy merupakan sahabatnya saat kuliah di Bandung, dia lulus kuliah lebih awal, bekerja di perusahaan sejak masih magang dulu. Dan dia masih dipercayakan akan posisinya. Tidak heran kalau Audy dipanggil kembali karena dia memang sangat cerdas.
Saat Audy menjelaskan sesuatu sebelum Interview. Membuat Hana merasa tidak nyaman mendapat tatapan dari pria yang bernama Soni itu. Pria paruh baya itu terlihat memandangnya entah mengenalnya ataupun dia mirip seseorang. Tapi setahu dirinya Hana dia belum pernah mengenal pria itu. Hana pun menenangkan dirinya. Tapi pikiran negatif muncul, semakin membuatnya gusar. Ia mendengarkan arahan Audy, fokusnya ke depan tanpa melirik ke arah pria itu.
Jangan-jangan om mesum, ingat istri om di rumah. Anak juga. gumamnya dalam hati.
Mencoba tersenyum manis semanis gula aren, gula jawa, gula cianjur dan gula-gulaan. Matanya tak sengaja bertemu pria itu. Dengan kecepatan kilat Hana dengan tenang memandang ke arah Audy.
Astagfirullah. Om mesum bikin ngeri.
Mereka bertiga akan mendapatkan sesi wawancaranya secara bergantian. Untuk Hana yang mendapatkan urutan terakhir. Setidaknya ia bisa menenangkan dirinya. Sesi Interview cukup lama, ada beberapa tes sebelum sesi wawancara dan itu cukup menguras otaknya.
Setelah selesai wawancara kedua wanita itu, giliran Hana yang di wawancara. Gugup itu sok pasti. Takut bukan main. Begitu Audy dan Soni melihat berkas lembaran, Hana bisa melihat akan ekspresi Soni, yang mengerik alis seperti ada sesuatu akan dirinya yang pria itu kenali. Hana tidak tahu itu.
"Namamu benar, Ciara Hanaria Azata? tanya Soni. Nah loh, pria itu pikir dirinya memakai nama palsu. Soni memandang Hana ingin mengetahui jawabanya.
Iya lah benar. Om pikir saya, memakai identitas orang lain. Edan.
"Benar pak. Biasanya saya dipanggil Hana."
Pria itu masih terlihat bertanya-tanya. Seakan ingin jawaban lain. Soni manggut-manggut. Seseorang di samping hanya mengurut keningnya.
pria itu memberikan tanya jawab, sedangkan Audy hanya menulis di atas kertas, entah apa yang dia tulis.
Banyak pertanyaan yang diajukan pria itu, untung Hana bisa jawab sesuai kemampuannya. Ada rasa keyakinan Hana akan bisa lolos dan bekerja di perusahaan SJC.
"Baiklah sesi wawancara sudah selesai, kami akan segera menghubungi bagi yang lolos. Terima kasih kalian sudah memenuhi undangan kami."
"Sama-sama pak."
Interview pun selesai dalam waktu tiga jam lamanya, tepat jam makan siang. Hana mengorder taksi online nya ingin cepat pulang. Dan menepati janjinya pada Tyana untuk pergi ke rumah sakit.
***
Banyak banget readers yang main tebak-tebakan soal dan pertanyaan tentang tiga cewek ini, Tyana itu siapa? Hana siapa? Clara kemana?
Bikin penasaran kan?
Tunggu aja kelanjutanya.
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Anonymous
Visual siapa thor?
2022-01-23
0
Nova Zariah Putri
penasaran Thor pa mungkin Ciara n Clara saudaraan n tyana anakx Clara ya...trus bpakx cp donk...💪💪baca lanjuuut
2020-10-22
1
DewiéNURS@LIM
Apa kabar orang2 terbaek Reza....????
Seharusnya masalah kecik bwt Reza tuk mencari keberadàan kel Clara....😌😌😌
yaaahh...trrserah Author deh.....
2020-07-03
1