SURAT Untuk TUHAN

SURAT Untuk TUHAN

SURAT ke SATU

Apa anakku masih bernyawa?

Atau jangan jangan telah tiada? Tapi mereka tidak berani mengatakannya padaku. Atau apa?

Mengapa tidak ada seorang pun yang bicara? Aku sungguh tidak mengerti. Terlebih setelah kulihat Kak Sita menangis dan mengusap kepalaku.

🌿🌿🌿

Semua anggota keluarga tengah berada di rumah sakit. Menemani aku yang sudah mulai kontraksi.

Mama paling heboh diantara mereka. Mama mondar-mandir, memijat punggungku. Menawarkan banyak hal padaku. Minum lah, makan lah.

"Kamu harus makan. Dari kemarin perutmu belum diisi, loh. Nanti nggak kuat ngeden. Malah diomelin bidan." Mama berucap sambil memijit punggungku dengan tangan kiri. Sedang tangan lainnya membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk.

Bertanya bagian mana yang sakit?

Hemm, berasa seperti sedang diperhatikan oleh ibu sendiri. Aku tidak kehilangan kasih sayang ibu, meski raganya sudah tidak bersamaku lagi.

Jelas saja, ini cucu pertamanya yg selama 11 tahun dinantikan. Mama sebentar sebentar memarahi Mas Fathan yg cuek melihat aku meringis kesakitan.

Kak Sita dan Kak Ali pun ikut serta menemaniku, menantikan kehadiran bayi mungil yang masih berada dalam perut.

Saat rasa sakit kembali datang, aku coba menuruti saran dokter. Menarik nafas, dan membuangnya dengan teratur. Dan harus sering jalan jalan kecil katanya. Supaya jalan lahirnya cepat terbuka.

Sudah dua jam kami berada di rumah sakit. Aku sangat tidak suka aroma di ruangan ini. Bau khas rumah sakit membuat indra penciumanku tidak nyaman.

Seiring berjalannya waktu, semakin pendek jarak kontraksi yang aku rasakan. Dan semakin hebat pula rasanya.

Aku tetap tenang, berjalan jalan kecil di dalam kamar rumah sakit yg cukup luas. Karena Mama sengaja memilih kamar VVIP.

Mas Fathan sama sekali tidak menghiraukan aku yang hilir mudik menikmati kesakitan. Omelan dan ocehan Mama pun tak ia hiraukan. Pria itu tetap saja memainkan ponsel. 'Ada pekerjaan penting' begitu katanya beralasan.

Mbak Nuri, istrinya pun tak berhenti mengomel. Tapi tetap saja tak di dengar.

"Istrimu sedang kesakitan! Berjuang untuk melahirkan anakmu!," Begitu Mama mengomel. Sembari mencubiti lengannya.

"Aawww! Sakit Ma," pekiknya kesakitan.

"Ya kamu. Seharusnya kamu mesuport istri kamu Than! Mijitin dia, tenangin, ini malah main HP aja!."

"Kan aku sudah bilang ada kerjaan Ma. Ada Mama ini yg jagain."

"Iiih! Kamu ya," Mama kembali mencubiti lengannya dengan geram. Dan lagi lagi pria itu meringis.

Seberapa parah pun omelan Mama tak pernah dihiraukannya. Aku tidak peduli itu, sudah biasa dengan sikap dinginnya.

Sudah 1 tahun lebih usia pernikahan kami. Dan sikap dinginnya sudah dari dulu, aku sudah biasa setiap hari harus berhadapan dengan suami yang bak es balok. Sangat dingin. Tak peduli.

Kata orang, aku beruntung. Memiliki suami tampan, kaya, dan baik. Karena mereka tidak tau, makanya bicara begitu. Baik, katanya. Tapi memang lelaki itu baik, tapi tidak padaku. Aku bagaikan musuh bebuyutan baginya. Yang mungkin tujuh turunan tidak akan pernah akur.

Untuk apa membanggakan ketampanan dan hartanya? Kalau tidak ada ikatan suami istri yang semestinya.

Tidak kupungkiri. Mas Fathan memang tampan, kulitnya yg putih mulus, tubuh tinggi kekar, siapa yang tidak akan jatuh cinta melihatnya? Rasanya, lelaki pun akan jatuh cinta melihat wajah tampan nan manis dengan lesung pipi itu. Mungkin orang lain begitu. Tapi selama satu tahun aku hidup dengannya, aku tidak pernah mencintainya. Hanya rasa hormat kepada seorang suami. Tidak melewati dari batas itu.

Rasa nikmat itu semakin kuat, dan semakin sering. Aku duduk di atas ranjang yg berada di ruangan itu. Mencari pegangan, mencengkram ujung ranjang dengan kuat, ketika rasa sakit itu kembali mendera. Walau sebenarnya, itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit.

Aku sudah tidak kuat untuk berjalan jalan lagi. Rasa sakitnya sudah tak tertahankan.

Kak Sita memanggil beberapa perawat untuk membawaku ke ruang bersalin. Kemudian mereka membawa ke sebuah ruangan, yg hanya ada aku, dan beberapa dokter dan perawat.

Mama meminta Mas Fathan menemaniku. Sudah tentu dia tidak akan mau. Biarlah, lagipula aku juga tidak ingin ditemani olehnya.

Awalnya Kak Sita mengekori dokter masuk untuk menemaniku. Namun, Mbak Nurui melarangnya.

"Ijinkan saya menemani Aisha," begitu pintanya pada Kak Sita. Lalu dijawab anggukkan kepala oleh Kak Sita.

Aku berjuang dengan ditemani Mbak Nuri. Maduku. Atau, aku yg menjadi madunya? Ah, entahlah. Apapun itu, saat ini akan menjadi sejarah dalam hidup. Memperjuangkan seorang manusia, yang selama sembilan bulan membawanya kemanapun pergi.

Mbak Nuri memberi semangat. Mengelap keringat yg bercucuran di kening dan leherku. Aku bersikeras untuk melahirkan secara normal. Mama selalu membujuk untuk caesar saja, tapi aku selalu menolak.

Pernah mendengar dari orang yg pernah melakukan operasi caesar, katanya itu lebih sakit dari melahirkan normal. Resikonya pun lebih tinggi, belum lagi pemulihannya yg memakan waktu yang cukup lama.

Dengan telaten Mbak Nuri mengelap keringatku, memberikan semangat, membacakan sholawat dan ayat ayat Al Qur'an di sampingku. Lantunan yang sangat indah, sungguh.

Mata yg memiliki bulu lentik itu meneteskan air mata. Seiring dengan lantunan sholawat yang dibacanya. Buliran bening membasahi pipi mulus nyaris tanpa noda, bahkan tanpa memakai bedak sedikitpun wanita itu tetap menawan.

Seluruh tenaga kukerahkan. Rasanya sudah sangat lemas tubuh ini, seluruh tenaga sudah habis. Tapi aku harus terus berjuang, bukankah saat ini sudah aku nantikan, selama sembilan bulan lamanya?.

"Dorong lagi Bu, ayo!."

Mendorongnya lagi, dan lagi. Subhanallah, luar biasa sekali rasanya perjuangan menjadi seorang ibu. Seketika aku jadi mengingat alm. Ibu. 'Ibu, maafkan Aisha'

"Terus dorong Bu. Sekali lagi Bu, lebih kuat!."

"Ooeee... Ooeee... Ooeee...!"

'Alhamdulillah'

Anak pertama kami telah lahir. Suaranya sangat lantang, memecah keheningan di ruangan itu. Mbak Nuri menangis, memelukku erat.

Samar-samar kulihat dokter menggendong makhluk kecil tengah menangis tanpa busana.

Semakin lama kulihat, pandanganku semakin kabur. Daan... Semua gelap. Aku tidak mengingat apapun setelah itu.

Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Mungkin karena sangat lemas, menghabiskan seluruh tenaga yang kumiliki.

Untuk pertama kalinya mata ini terbuka. Aku berada di ruangan yang sebelumnya. Sebelum dipindahkan ke ruang bersalin. Saat membuka mata, hanya Kak Sita yg pertama kali terlihat. Ia menatapku dengan sedih, mengapa terlihat sedih? Bukankah seharusnya mereka bahagia, karena telah memiliki anggota keluarga baru?

Aku mencari keberadaan anggota keluarga lainnya. Mereka tengah duduk di sofa, yang berada dekat pintu keluar. Wajah mereka mengekspresikan hal serupa dengan Kak Sita. Menatapku dengan tatapan tak bisa ditebak.

Ada apa ini?

Apa anakku baik baik saja?

Mengapa semua orang bersikap aneh?

Sebenarnya apa yang terjadi?

Bersambung...

...Sebenarnya saya udah pamit waktu itu 😄...

...tapi hati ini ingin kembali, membawa cerita baru....

...Gak jadi pamit deh😆😂😂...

Terpopuler

Comments

Danny Tussy

Danny Tussy

q datang kak nia... cerita ini jg kereeen... bikin kepo... hehehe... trus ssmangat y kak...

2021-01-08

1

Akak Mei

Akak Mei

Tulisannya rapi banget kak, jalan ceritanya juga bagus. Semangat ya kak👍😁

2021-01-06

1

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

salam kenal kak

asisten dadakan hadir😘

mampir yuk

semangat selalu💪

2020-12-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!