SURAT ke DUA

Tidak seorangpun yang mengerti, tatapan penuh tanya dari mata ini. Aku merasa ada yg tidak beres. Perasaan ini mulai tak karuan.

"Kak, kakak kenapa?," Tanyaku dengan takut. Akan lebih menakutkan jika tidak bertanya. Mungkin beberapa saat lagi, kenyataan pahit yg harus kudengar.

Kak Sita mengusap pipinya yg basah. Tersenyum, namun senyum yg dipaksakan. Aku bisa tahu itu, bukan waktu sebentar mengenal Kakak iparku ini.

"Tidak papa Dek. Syukurlah kamu sudah sadar. Cukup lama matamu terpejam. Kakak takut kamu kenapa napa, meski dokter mengatakan kamu baik baik saja. Hanya kelelahan."

Oh, Kak Sita hanya khawatir padaku rupanya. Mengapa sampai menangis juga sih? Kak Sita kok jadi lebay begitu ya.

Tapi, wajah-wajah yang lain masih membuat aku bertanya. Sebenarnya, mereka tengah sedih? Marah? Atau senang sih sebenarnya?

Yang lebih membuatku terheran adalah Mama. Orang yang paling heboh ketika aku kontraksi, mengapa sekarang membisu? Tidak menghampiriku, memberi selamat, atau menanyakan keadaanku. Apa yg sedang terjadi saat ini?

Ah, memikirkannya membuat kepala kembali pusing.

"Dimana bayiku Kak?," Tanyaku menoleh pada Kak Sita.

Kak Sita tampak terkejut. Mengapa harus terkejut? Aku hanya menanyakan bayiku.

"Di-di ruangan khusus bayi Dek," jawabnya dengan tergagap. Mengapa Kak Sita jadi aneh?

"Aku ingin bertemu Kak. Tadi belum sempat menggendongnya. Hanya mendengar tangisannya saja. Bahkan aku belum menyusuinya, pasti dia sangat lapar."

Kak Sita gelagapan. Seperti mencari cari alasan untuk mencegahku.

"Kak, aku ingin ketemu dia."

"Ah, iya. Mari Kakak antar."

...***...

Kak Sifa mendorong kursi roda yg kududuki. Sementara aku memegang kantung infus di tangan.

Tidak seorangpun diantara Mama, Papa, Mbak Nuri, yang memberi selamat atas kelahiran anggota keluarga kami yg baru. Mas Fathan? Ah. Tentu saja lelaki itu tidak akan peduli. Rasanya, mau aku hidup atau mati, bayi itu hidup atau mati. Lelaki itu tidak akan peduli.

Lho, kok jadi ngelantur ya.

Tidak terlihat kehadiran Kak Ali, apakah kakakku itu sudah pulang? Oh ya, mungkin sudah pulang. Ameera kan tidak ikut dibawa. Rumah sakit tidak baik untuk anak kecil. Jadi Ameera di titipkan pada tetangga.

Ameera adalah anak tunggal Kak Ali dan Kak Sita. Dia masih berusia 5 tahun. Tidak terlalu kecil memang, jadi tidak begitu merepotkan mengasuhnya. Dia sudah bisa makan sendiri, kadang mandi pun ingin sendiri. Ah, aku jadi rindu dengan  Ameera.

Kami sampai di ruangan yg dipenuhi bayi bayi yg masih merah dengan ditemani seorang suster. Sangat lucu lucu sekali. Aku mengedarkan pandangan seraya berputarnya roda kursi yg didorong Kak Sita.

Suster itu menunjukkan bayiku. Bayi yg sangat lucu. Berjenis kelamin perempuan, ia sangat cantik. Wajah Mas Fathan lebih dominan daripada aku. Coba saja kalau aku yg dominan, pasti dia tak secantik ini.

Aku menatapnya lekat lekat. Sungguh indah ciptaan Allah yg satu ini. Sembilan bulan Allah menghidupkan dia di dalam perutku. Kini aku bisa melihat dan memeluknya. Subhanallah.

Bayiku tengah tertidur. Sepertinya sangat pulas. Jadi tidak tega membangunkannya. Tapi dia pasti sangat lapar, aku belum menyusuinya.

Ada benda melingkar di tangan si bayi. Bertuliskan namaku dan namanya, sama dengan yang melingkar di tanganku. 'Arumi Nasha Razeta' begitu, nama yg tertulis kubaca.

Nama yg sungguh indah. Tapi, bukannya Mama mengatakan akan memberi nama belakang keluarganya?.

Ah, sudahlah. Itu tidak penting.

"Saya ingin menggendongnya Sus," pintaku.

Suster itu menggendong bayiku yg masih saja terlelap, lalu memberikannya padaku.

Mashaallah, sungguh indah ciptaanMu ini Tuhan.

Terima kasih ku ucapkan padamu.

Si kecil mulai menangis. Pasti sangat kepalaran. Dengan segera aku menyusuinya. Dan dengan lahap sekali dia menyusu. Kak Sita mengusap bahuku, mungkin memberi selamat karena aku sudah menjadi seorang ibu. Aku tidak menghiraukannya.

Tiba tiba Kak Sita yg memegangi kantung infus di sampingku, berubah posisi menjadi membelakangi. Sedikit terdengar, seperti suara isakan. Ah, mungkin aku salah dengar.

Dia masih saja memejamkan mata. Bukannya, tadi dia menangis. Tapi mengapa matanya masih saja terpejam? Padahal dia tengah menyusu dengan lahapnya.

"Kak," aku memanggil Kak Sita.

"Iya."

"Apa bayi memang seperti ini ya? Tidur terus? Tapi seingatku, dulu Ameera tidak seperti ini."

"Kan setiap bayi beda-beda Dek," begitu jawabnya.

Oh, benar juga. Mungkin bayiku ini memang calon tukang tidur. Hem, lucu sekali.

Perlahan isapannya melemah, dia kembali terlelap. Sudah kenyang rupanya.

Kak Sita kembali mengajak ke ruanganku. Meski sangat masih betah berada dekat bayi mungil ini. Tapi kami memang harus kembali.

...***...

Lorong demi lorong dilalui. Semakin dekat dengan ruanganku.

Belum juga terjawab pertanyaan tentang sikap orang-orang yg aneh. Timbul kembali pertanyaan baru yg lebih membuatku tak mengerti.

Aku mendengar kegaduhan. Sepertinya aku tau darimana asal suara kegaduhan itu. Dari arah kamarku!

"Bukankah kalian yg memohon? Sampai aku memaksa adikku untuk menikah dengan anakmu yg tidak pernah menganggapnya sebagai istri!"

"Dia bukan anak dari putraku. Siapa yg tau, adikmu itu memiliki hubungan dengan lelaki lain selain anakku. Dari sikap anakku yg dingin, apa bisa dia meniduri adikmu itu?"

Seperti suara Kak Ali dan Mama. Bukannya Kak Ali sudah pulang? Dan hal apa yg mereka perdebatkan? Mengapa aku disebut sebut dalam perdebatan mereka?

Arah menuju kamar semakin dekat. Tiba tiba Kak Sita memutar balik kursi roda yg tengah ia dorong.

"Mau kemana Kak?," Dia tidak menjawab.

Aku semakin tidak mengerti apa sebenarnya yg terjadi?

Sepertinya suatu hal yang sangat besar, tengah mereka sembunyikan dariku. Lalu apa?

"Kak! Tolong berhenti!," Aku berteriak, tapi tak direspons. Malah terdengar seperti Kak Sita tengah menangis.

"Kak!," Teriakku lebih kencang.

Kursi roda yg kududuki tetap tidak berhenti. Aku memberanikan diri untuk turun. Tidak peduli dengan rasa sakit. Aku tidak bisa terus berdiam diri begini. Ini pasti ada yg tidak beres.

GDEBUK!

Aku menjatuhkan diri ke lantai.

"Aisha!," Kak Sita berteriak kaget. Lalu membantuku untuk berdiri. Aku menepis tangannya. Entahlah, rasanya aku sangat marah.

"Dia bukan cucukku! Ini aib bagi keluargaku!" lagi-lagi suara Mama meninggi. Sampai terdengar keluar.

Aib? Aib katanya? Apa maksudnya?.

Aku merangkak, dan sebisa mungkin mencoba untuk berjalan dengan normal. Berkali kali Kak Sita meraih tubuhku, berkali-kali pula aku menepisnya.

Mencari pegangan ke tembok. Sampai tidak mengingatnya, jarum infus ditanganku telah terlepas. Entah kapan aku melepasnya.

"Kalian pikir adikku apa hah?! Bisa kalian perlakukan seenaknya? Ini bukan keinginan! Ini takdir!"

Ini rumah sakit, mengapa Kak Ali teriak-teriak seperti itu? Aku sudah tidak bisa mengontrol diri. Air mata mulai bercucuran. Kak Sita membuntuti dari belakang. Mungkin sudah bosan hendak menolongku, dan ia juga ikut menangis.

Bersambung....

barangkali ada yang lupa meninggalkan jejak 🤭

Terpopuler

Comments

Akak Mei

Akak Mei

bagus banget kak, aku sampai terhanyut bayangin Aisyah🤧🤧

2021-01-06

1

Siti Junaeni

Siti Junaeni

seru jg jangan lupa semangat thor!!

2020-12-21

1

Dwi Nurhayati

Dwi Nurhayati

lanjuutt author,di tunggu part selanjutnya 💞💞💞

2020-12-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!