...*****...
Makhluk kecil mungil, tengah terlelap. Sesekali tubuhnya bergerak, terganggu dan seperti ingin menangis. Ku tatap dengan derai air mata.
Apakah dia merasakan kesakitan ini? Hingga dia merasakan ketidak nyamanan. Tubuh suci tanpa noda. Tertidur lelap menikmati mimpi indahnya. Yang selamanya hanya berada dalam mimpi. Berada dalam kegelapan.
Tuhan. Tolong ajari aku untuk bisa menjaga karunia darimu ini. Tentang bagaimana mencintainya, memberi penjelasan ketika banyak pertanyaan yang dia pertanyakan, ketika suatu saat dia mulai mengerti.
Ajari aku menggantikan cinta ayahnya yang mungkin tidak akan pernah dia dapatkan. Ajari agar diri ini tetap kuat untuk masa masa sulit dan panjang di masa yang akan datang. Karena aku tahu, engkau memiliki rencana yang jauh lebih indah dari mimpi mimpi indahku.
Tiba tiba suara tangisan menyadarkanku. "Ooeee... Ooeee..."
Seketika kutersadar. Dia pasti lapar. Lekas ku susui si kecil. Dengan lahap dia menyusu. Benar benar lapar rupanya.
Ku tatap lekat wajahnya. Menyusuri dari kepala hingga kaki. Dia sama. Sama sperti yang lain. Hanya satu yang tidak bisa dia miliki. Sepasang bola yang dapat melihat keindahan dunia ini. Dia tidak memiliki itu.
Secara keseluruhan dia normal. Itu sebabnya aku tidak berpikir buruk ketika melihatnya pertama kali. Hanya saja, dia tidak membuka mata untuk melihat ibunya yang tengah berbahagia.
Kukecup tangan mungil itu. Sungguh. Hati ini bagai tersayat sembilu. Lebih menyakitkan dari sakit ketika ditinggalkan Ayah dan Ibu 3 tahun lalu.
Mengapa harus kami Nak? Mengapa harus kamu satu bayi dari seperempat juta itu? Mengapa Nak?. Entah bisa atau tidak aku menyatukan kembali hati yang telah remuk. Ini sungguh sungguh menyakitkan.
Aku menangis sesenggukkan. Tubuh si kecil ikut bergetar karena tangisanku. Rasanya aku tidak memiliki pijakan. Kalau saja tidak ada yang menguatkan, aku tidak akan bisa melewati ini.
"Kuatlah Sha. Demi dia," Mbak Nuri berjongkok, mengusap pipi mulus yang tengah semangat menyusu.
Mbak Nuri tidak pernah jauh dariku. Selalu berada disisku. Dia benar benar berbeda dengan anggota keluarganya. Mengapa orang sebaik dia bisa menjadi bagian dari manusia manusia itu? Aku sama sekali tidak mengerti.
Terdengar suara langkah kaki dari belakang. Semakin lama semakin terdengar mendekat.
"Ayo pulang. Ini sudah malam."
Suara Mas Fathan. Aku tidak mempedulikan itu. Berpura pura tidak mendengar.
"Aku ingin tidur disini ya mas. Aku ingin menemani Aisha," jawab maduku halus.
"Tidak perlu. Ada keluarganya yang menjaga," balasnya tak peduli. Kejam! Sangat kejam! Tidakkah dia memiliki hati? Ini anaknya sendiri. Mengapa seolah aku yang bersalah dalam hal ini. Aku juga tidak menginginkan ini semua. Egois!
Aku juga tidak ingin ditemani siapapun. Kalau mau pulang, pulanglah sana. Semakin lama kalian disini, semakin menyakitkan bagiku. Ingin sekali aku berkata begitu. Tapi apalah daya, bibir ini kelu. Hanya kuucapkan dalam hati.
Ini memang sudah malam. Mereka masih belum pulang karena menunggu Mbak Nuri. Tapi wanita itu selalu mengulur waktu untuk pulang.
"Ayo pulang! Mama sudah nunggu dari tadi."
Semakin mendengar suaranya, aku semakin tidak suka. Sangat muak. Tidak ingin kulihat wajah lelaki itu. Tubuhku masih tetap membelakanginya. Sangat muak melihat wajah lelaki itu. Manusia kejam! Egois!.
Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Kalau saja bisa memilih, aku tidak ingin berada ditempat yang sama dengan lelaki kejam itu. Manusia yang lebih kejam dari binatang. Membuang anaknya sendiri. Bukankah itu lebih kejam dari binatang?
Ku letakkan kembali si kecil yang sudah kembali pulas. Sudah sangat malas berada di tempat ini. Aku memutar kursi roda yg kududuki, untuk segera pergi.
"Mau kemana Sha?," Mbak Nuri menghentikanku.
"Aku mau istirahat Mbak. Sudah malam, lebih baik Mbak segera pulang," kataku terus memutar kursi roda. Tanpa menghiraukan mereka.
Sebenarnya hanya alasan saja. Aku tidak ingin lama lama dekat dengan mereka. Sangat membenci kehadiran keluarga mereka kecuali perempuan berhati malaikat itu.
...****...
Dokter sudah membolehkan aku untuk pulang. Bersama si kecil juga. Kemana aku akan pulang?.
Ah. Mengapa harus bertanya. Tentu saja ke rumah kakakku. Tidak mungkin kembali ke rumah itu. Aku tidak mungkin kembali menjadi 'Ratu' di istana mereka yang kini sudah menjadi neraka bagiku.
Kak Sita sudah selesai membereskan semua barang dan beberapa bajuku. Tinggal menunggu obat untuk pemulihanku dan mengurus administrasi.
Entah tahu dari mana. Mbak Nuri tiba tiba datang tergopoh. Sedikit berlari ke arahku. Di wajahnya ada kecemasan.
"Syukurlah. Aku tidak terlambat."
Terlambat? Terlambat apa maksudnya?
"Kenapa mbak?," Tanyaku menyeryitkan dahi.
"Apa semuanya sudah selesai?."
"Kak Ali masih mengurus administrasi dan menebus obat mbak."
"Pakaianmu sudah semua?."
"Sudah. Kenapa Mbak panik begitu?."
"Tidak papa Aisha. Aku pikir kamu sudah pulang ke rumah kakakmu."
"Ya, memangnya kenapa? Memang aku mau pulang ke sana."
"Kamu harus kembali ke rumah kami Sha."
"Apa?!."
Ada apa dengan Mbak Nuri? Menyuruhku kembali pulang ke rumah itu? Yang kini pasti sudah jadi neraka bagiku. Tidak! Aku tidak mau kembali ke sana.
Aku menoleh pada Kak Sita yang balas menatapku, sama terkejutnya.
"Kamu masih istrinya mas Fathan. Masih tanggung jawabnya. Kamu tidak bisa meninggalkannya tanpa izin," jelasnya.
Aku tersenyum miring mendengar perkataannya. "Kenapa mbak jahat sama aku? Membiarkan aku masuk ke kandang buaya? Menjadikan aku santapan mereka setiap waktu?."
"Apa maksudmu?."
"Mbak. Aku sudah tidak diterima di keluarga kalian. Mereka tidak menginginkan kehadiranku apalagi putriku."
"Sha. Tolong percaya padaku. Semua akan baik baik saja. Aku mohon Syah. Pulanglah ke rumahku. Kamu tidak akan tinggal bersama Papa dan Mama kalau kamu tidak mau. Kita tinggal berempat. Mas Fathan, aku, kamu, dan si kecil."
Untuk apa wanita ini membawaku kembali ke sana? Aku tidak mau. Sudah cukup hancur hatiku dengan perkataan menyakitkan yang wanita tua itu ucapkan. Sekarang malah dia mengajakku kembali untuk menambah luka ini.
Mengapa Mbak Nuri begitu terobsesi memberi suaminya anak?. Karena obsesinya, hingga tidak mempedulikan perasaanku yang telah hancur berkeping keping. Hingga aku tidak tau harus bagaimana menatanya kembali.
Mengapa tidak mencari orang lain saja. Yang memberinya anak sempurna seperti yang mereka harapkan.
Orang orang itu memang semuanya egois. Hanya mementingkan keinginannya sendiri. Tidak mempedulikan perasaan orang lain.
"Sha.." suara Mbak Nuri menyadarkanku.
"Kamu mau kan?." Tangannya menggenggam erat. Dari dulu, wanita ini sangat baik padaku. Jika sebagian orang tidak akur dengan istri kedua, tapi lain dengan dia. Terlebih saat mengetahui kehamilanku. Wanita ini sangat hati-hati memilihkan asupan makanan untukku. Nyaris tidak membiarkanku mengerjakan pekerjaan apapun.
Ya, memang karena keinginannya memberikan anak untuk suaminya. Sepuluh tahun menjadi istri Mas Farhan, wanita ini tidak bisa memberi suaminya anak. Segala usaha dilakukan untuk bisa mendapatkan keturunan keluarga mereka, termasuk mengorbankan perasaanku, demi memenuhi keinginannya. Egois bukan?
Sekarang wanita ini mengajakku kembali.
Aku tidak ingin melihat wanita tua itu. Entahlah. Aku menjadi sangat membencinya.
Tapi, anakku butuh seorang ayah. Meskipun tidak akan memberinya cinta. Tapi aku tidak ingin menambah nilai minus putriku dimata orang orang, karena tidak di dampingi seorang ayah.
Bersambung...
Lanjut gak nih? Coba saya mau tahu berapa orang yang minta lanjut? Sebelum saya jauh melangkah.🤭🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
ida
ada ya, laki laki sekejam itu pada istri terlebih sama anaknya yang baru lahir
2021-01-22
1
Siti Junaeni
lanjut trs mba
2020-12-26
1
Dwi Nurhayati
lanjuutt..
2020-12-25
1