NovelToon NovelToon

SURAT Untuk TUHAN

SURAT ke SATU

Apa anakku masih bernyawa?

Atau jangan jangan telah tiada? Tapi mereka tidak berani mengatakannya padaku. Atau apa?

Mengapa tidak ada seorang pun yang bicara? Aku sungguh tidak mengerti. Terlebih setelah kulihat Kak Sita menangis dan mengusap kepalaku.

🌿🌿🌿

Semua anggota keluarga tengah berada di rumah sakit. Menemani aku yang sudah mulai kontraksi.

Mama paling heboh diantara mereka. Mama mondar-mandir, memijat punggungku. Menawarkan banyak hal padaku. Minum lah, makan lah.

"Kamu harus makan. Dari kemarin perutmu belum diisi, loh. Nanti nggak kuat ngeden. Malah diomelin bidan." Mama berucap sambil memijit punggungku dengan tangan kiri. Sedang tangan lainnya membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk.

Bertanya bagian mana yang sakit?

Hemm, berasa seperti sedang diperhatikan oleh ibu sendiri. Aku tidak kehilangan kasih sayang ibu, meski raganya sudah tidak bersamaku lagi.

Jelas saja, ini cucu pertamanya yg selama 11 tahun dinantikan. Mama sebentar sebentar memarahi Mas Fathan yg cuek melihat aku meringis kesakitan.

Kak Sita dan Kak Ali pun ikut serta menemaniku, menantikan kehadiran bayi mungil yang masih berada dalam perut.

Saat rasa sakit kembali datang, aku coba menuruti saran dokter. Menarik nafas, dan membuangnya dengan teratur. Dan harus sering jalan jalan kecil katanya. Supaya jalan lahirnya cepat terbuka.

Sudah dua jam kami berada di rumah sakit. Aku sangat tidak suka aroma di ruangan ini. Bau khas rumah sakit membuat indra penciumanku tidak nyaman.

Seiring berjalannya waktu, semakin pendek jarak kontraksi yang aku rasakan. Dan semakin hebat pula rasanya.

Aku tetap tenang, berjalan jalan kecil di dalam kamar rumah sakit yg cukup luas. Karena Mama sengaja memilih kamar VVIP.

Mas Fathan sama sekali tidak menghiraukan aku yang hilir mudik menikmati kesakitan. Omelan dan ocehan Mama pun tak ia hiraukan. Pria itu tetap saja memainkan ponsel. 'Ada pekerjaan penting' begitu katanya beralasan.

Mbak Nuri, istrinya pun tak berhenti mengomel. Tapi tetap saja tak di dengar.

"Istrimu sedang kesakitan! Berjuang untuk melahirkan anakmu!," Begitu Mama mengomel. Sembari mencubiti lengannya.

"Aawww! Sakit Ma," pekiknya kesakitan.

"Ya kamu. Seharusnya kamu mesuport istri kamu Than! Mijitin dia, tenangin, ini malah main HP aja!."

"Kan aku sudah bilang ada kerjaan Ma. Ada Mama ini yg jagain."

"Iiih! Kamu ya," Mama kembali mencubiti lengannya dengan geram. Dan lagi lagi pria itu meringis.

Seberapa parah pun omelan Mama tak pernah dihiraukannya. Aku tidak peduli itu, sudah biasa dengan sikap dinginnya.

Sudah 1 tahun lebih usia pernikahan kami. Dan sikap dinginnya sudah dari dulu, aku sudah biasa setiap hari harus berhadapan dengan suami yang bak es balok. Sangat dingin. Tak peduli.

Kata orang, aku beruntung. Memiliki suami tampan, kaya, dan baik. Karena mereka tidak tau, makanya bicara begitu. Baik, katanya. Tapi memang lelaki itu baik, tapi tidak padaku. Aku bagaikan musuh bebuyutan baginya. Yang mungkin tujuh turunan tidak akan pernah akur.

Untuk apa membanggakan ketampanan dan hartanya? Kalau tidak ada ikatan suami istri yang semestinya.

Tidak kupungkiri. Mas Fathan memang tampan, kulitnya yg putih mulus, tubuh tinggi kekar, siapa yang tidak akan jatuh cinta melihatnya? Rasanya, lelaki pun akan jatuh cinta melihat wajah tampan nan manis dengan lesung pipi itu. Mungkin orang lain begitu. Tapi selama satu tahun aku hidup dengannya, aku tidak pernah mencintainya. Hanya rasa hormat kepada seorang suami. Tidak melewati dari batas itu.

Rasa nikmat itu semakin kuat, dan semakin sering. Aku duduk di atas ranjang yg berada di ruangan itu. Mencari pegangan, mencengkram ujung ranjang dengan kuat, ketika rasa sakit itu kembali mendera. Walau sebenarnya, itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit.

Aku sudah tidak kuat untuk berjalan jalan lagi. Rasa sakitnya sudah tak tertahankan.

Kak Sita memanggil beberapa perawat untuk membawaku ke ruang bersalin. Kemudian mereka membawa ke sebuah ruangan, yg hanya ada aku, dan beberapa dokter dan perawat.

Mama meminta Mas Fathan menemaniku. Sudah tentu dia tidak akan mau. Biarlah, lagipula aku juga tidak ingin ditemani olehnya.

Awalnya Kak Sita mengekori dokter masuk untuk menemaniku. Namun, Mbak Nurui melarangnya.

"Ijinkan saya menemani Aisha," begitu pintanya pada Kak Sita. Lalu dijawab anggukkan kepala oleh Kak Sita.

Aku berjuang dengan ditemani Mbak Nuri. Maduku. Atau, aku yg menjadi madunya? Ah, entahlah. Apapun itu, saat ini akan menjadi sejarah dalam hidup. Memperjuangkan seorang manusia, yang selama sembilan bulan membawanya kemanapun pergi.

Mbak Nuri memberi semangat. Mengelap keringat yg bercucuran di kening dan leherku. Aku bersikeras untuk melahirkan secara normal. Mama selalu membujuk untuk caesar saja, tapi aku selalu menolak.

Pernah mendengar dari orang yg pernah melakukan operasi caesar, katanya itu lebih sakit dari melahirkan normal. Resikonya pun lebih tinggi, belum lagi pemulihannya yg memakan waktu yang cukup lama.

Dengan telaten Mbak Nuri mengelap keringatku, memberikan semangat, membacakan sholawat dan ayat ayat Al Qur'an di sampingku. Lantunan yang sangat indah, sungguh.

Mata yg memiliki bulu lentik itu meneteskan air mata. Seiring dengan lantunan sholawat yang dibacanya. Buliran bening membasahi pipi mulus nyaris tanpa noda, bahkan tanpa memakai bedak sedikitpun wanita itu tetap menawan.

Seluruh tenaga kukerahkan. Rasanya sudah sangat lemas tubuh ini, seluruh tenaga sudah habis. Tapi aku harus terus berjuang, bukankah saat ini sudah aku nantikan, selama sembilan bulan lamanya?.

"Dorong lagi Bu, ayo!."

Mendorongnya lagi, dan lagi. Subhanallah, luar biasa sekali rasanya perjuangan menjadi seorang ibu. Seketika aku jadi mengingat alm. Ibu. 'Ibu, maafkan Aisha'

"Terus dorong Bu. Sekali lagi Bu, lebih kuat!."

"Ooeee... Ooeee... Ooeee...!"

'Alhamdulillah'

Anak pertama kami telah lahir. Suaranya sangat lantang, memecah keheningan di ruangan itu. Mbak Nuri menangis, memelukku erat.

Samar-samar kulihat dokter menggendong makhluk kecil tengah menangis tanpa busana.

Semakin lama kulihat, pandanganku semakin kabur. Daan... Semua gelap. Aku tidak mengingat apapun setelah itu.

Entah berapa lama aku kehilangan kesadaran. Mungkin karena sangat lemas, menghabiskan seluruh tenaga yang kumiliki.

Untuk pertama kalinya mata ini terbuka. Aku berada di ruangan yang sebelumnya. Sebelum dipindahkan ke ruang bersalin. Saat membuka mata, hanya Kak Sita yg pertama kali terlihat. Ia menatapku dengan sedih, mengapa terlihat sedih? Bukankah seharusnya mereka bahagia, karena telah memiliki anggota keluarga baru?

Aku mencari keberadaan anggota keluarga lainnya. Mereka tengah duduk di sofa, yang berada dekat pintu keluar. Wajah mereka mengekspresikan hal serupa dengan Kak Sita. Menatapku dengan tatapan tak bisa ditebak.

Ada apa ini?

Apa anakku baik baik saja?

Mengapa semua orang bersikap aneh?

Sebenarnya apa yang terjadi?

Bersambung...

...Sebenarnya saya udah pamit waktu itu 😄...

...tapi hati ini ingin kembali, membawa cerita baru....

...Gak jadi pamit deh😆😂😂...

SURAT ke DUA

Tidak seorangpun yang mengerti, tatapan penuh tanya dari mata ini. Aku merasa ada yg tidak beres. Perasaan ini mulai tak karuan.

"Kak, kakak kenapa?," Tanyaku dengan takut. Akan lebih menakutkan jika tidak bertanya. Mungkin beberapa saat lagi, kenyataan pahit yg harus kudengar.

Kak Sita mengusap pipinya yg basah. Tersenyum, namun senyum yg dipaksakan. Aku bisa tahu itu, bukan waktu sebentar mengenal Kakak iparku ini.

"Tidak papa Dek. Syukurlah kamu sudah sadar. Cukup lama matamu terpejam. Kakak takut kamu kenapa napa, meski dokter mengatakan kamu baik baik saja. Hanya kelelahan."

Oh, Kak Sita hanya khawatir padaku rupanya. Mengapa sampai menangis juga sih? Kak Sita kok jadi lebay begitu ya.

Tapi, wajah-wajah yang lain masih membuat aku bertanya. Sebenarnya, mereka tengah sedih? Marah? Atau senang sih sebenarnya?

Yang lebih membuatku terheran adalah Mama. Orang yang paling heboh ketika aku kontraksi, mengapa sekarang membisu? Tidak menghampiriku, memberi selamat, atau menanyakan keadaanku. Apa yg sedang terjadi saat ini?

Ah, memikirkannya membuat kepala kembali pusing.

"Dimana bayiku Kak?," Tanyaku menoleh pada Kak Sita.

Kak Sita tampak terkejut. Mengapa harus terkejut? Aku hanya menanyakan bayiku.

"Di-di ruangan khusus bayi Dek," jawabnya dengan tergagap. Mengapa Kak Sita jadi aneh?

"Aku ingin bertemu Kak. Tadi belum sempat menggendongnya. Hanya mendengar tangisannya saja. Bahkan aku belum menyusuinya, pasti dia sangat lapar."

Kak Sita gelagapan. Seperti mencari cari alasan untuk mencegahku.

"Kak, aku ingin ketemu dia."

"Ah, iya. Mari Kakak antar."

...***...

Kak Sifa mendorong kursi roda yg kududuki. Sementara aku memegang kantung infus di tangan.

Tidak seorangpun diantara Mama, Papa, Mbak Nuri, yang memberi selamat atas kelahiran anggota keluarga kami yg baru. Mas Fathan? Ah. Tentu saja lelaki itu tidak akan peduli. Rasanya, mau aku hidup atau mati, bayi itu hidup atau mati. Lelaki itu tidak akan peduli.

Lho, kok jadi ngelantur ya.

Tidak terlihat kehadiran Kak Ali, apakah kakakku itu sudah pulang? Oh ya, mungkin sudah pulang. Ameera kan tidak ikut dibawa. Rumah sakit tidak baik untuk anak kecil. Jadi Ameera di titipkan pada tetangga.

Ameera adalah anak tunggal Kak Ali dan Kak Sita. Dia masih berusia 5 tahun. Tidak terlalu kecil memang, jadi tidak begitu merepotkan mengasuhnya. Dia sudah bisa makan sendiri, kadang mandi pun ingin sendiri. Ah, aku jadi rindu dengan  Ameera.

Kami sampai di ruangan yg dipenuhi bayi bayi yg masih merah dengan ditemani seorang suster. Sangat lucu lucu sekali. Aku mengedarkan pandangan seraya berputarnya roda kursi yg didorong Kak Sita.

Suster itu menunjukkan bayiku. Bayi yg sangat lucu. Berjenis kelamin perempuan, ia sangat cantik. Wajah Mas Fathan lebih dominan daripada aku. Coba saja kalau aku yg dominan, pasti dia tak secantik ini.

Aku menatapnya lekat lekat. Sungguh indah ciptaan Allah yg satu ini. Sembilan bulan Allah menghidupkan dia di dalam perutku. Kini aku bisa melihat dan memeluknya. Subhanallah.

Bayiku tengah tertidur. Sepertinya sangat pulas. Jadi tidak tega membangunkannya. Tapi dia pasti sangat lapar, aku belum menyusuinya.

Ada benda melingkar di tangan si bayi. Bertuliskan namaku dan namanya, sama dengan yang melingkar di tanganku. 'Arumi Nasha Razeta' begitu, nama yg tertulis kubaca.

Nama yg sungguh indah. Tapi, bukannya Mama mengatakan akan memberi nama belakang keluarganya?.

Ah, sudahlah. Itu tidak penting.

"Saya ingin menggendongnya Sus," pintaku.

Suster itu menggendong bayiku yg masih saja terlelap, lalu memberikannya padaku.

Mashaallah, sungguh indah ciptaanMu ini Tuhan.

Terima kasih ku ucapkan padamu.

Si kecil mulai menangis. Pasti sangat kepalaran. Dengan segera aku menyusuinya. Dan dengan lahap sekali dia menyusu. Kak Sita mengusap bahuku, mungkin memberi selamat karena aku sudah menjadi seorang ibu. Aku tidak menghiraukannya.

Tiba tiba Kak Sita yg memegangi kantung infus di sampingku, berubah posisi menjadi membelakangi. Sedikit terdengar, seperti suara isakan. Ah, mungkin aku salah dengar.

Dia masih saja memejamkan mata. Bukannya, tadi dia menangis. Tapi mengapa matanya masih saja terpejam? Padahal dia tengah menyusu dengan lahapnya.

"Kak," aku memanggil Kak Sita.

"Iya."

"Apa bayi memang seperti ini ya? Tidur terus? Tapi seingatku, dulu Ameera tidak seperti ini."

"Kan setiap bayi beda-beda Dek," begitu jawabnya.

Oh, benar juga. Mungkin bayiku ini memang calon tukang tidur. Hem, lucu sekali.

Perlahan isapannya melemah, dia kembali terlelap. Sudah kenyang rupanya.

Kak Sita kembali mengajak ke ruanganku. Meski sangat masih betah berada dekat bayi mungil ini. Tapi kami memang harus kembali.

...***...

Lorong demi lorong dilalui. Semakin dekat dengan ruanganku.

Belum juga terjawab pertanyaan tentang sikap orang-orang yg aneh. Timbul kembali pertanyaan baru yg lebih membuatku tak mengerti.

Aku mendengar kegaduhan. Sepertinya aku tau darimana asal suara kegaduhan itu. Dari arah kamarku!

"Bukankah kalian yg memohon? Sampai aku memaksa adikku untuk menikah dengan anakmu yg tidak pernah menganggapnya sebagai istri!"

"Dia bukan anak dari putraku. Siapa yg tau, adikmu itu memiliki hubungan dengan lelaki lain selain anakku. Dari sikap anakku yg dingin, apa bisa dia meniduri adikmu itu?"

Seperti suara Kak Ali dan Mama. Bukannya Kak Ali sudah pulang? Dan hal apa yg mereka perdebatkan? Mengapa aku disebut sebut dalam perdebatan mereka?

Arah menuju kamar semakin dekat. Tiba tiba Kak Sita memutar balik kursi roda yg tengah ia dorong.

"Mau kemana Kak?," Dia tidak menjawab.

Aku semakin tidak mengerti apa sebenarnya yg terjadi?

Sepertinya suatu hal yang sangat besar, tengah mereka sembunyikan dariku. Lalu apa?

"Kak! Tolong berhenti!," Aku berteriak, tapi tak direspons. Malah terdengar seperti Kak Sita tengah menangis.

"Kak!," Teriakku lebih kencang.

Kursi roda yg kududuki tetap tidak berhenti. Aku memberanikan diri untuk turun. Tidak peduli dengan rasa sakit. Aku tidak bisa terus berdiam diri begini. Ini pasti ada yg tidak beres.

GDEBUK!

Aku menjatuhkan diri ke lantai.

"Aisha!," Kak Sita berteriak kaget. Lalu membantuku untuk berdiri. Aku menepis tangannya. Entahlah, rasanya aku sangat marah.

"Dia bukan cucukku! Ini aib bagi keluargaku!" lagi-lagi suara Mama meninggi. Sampai terdengar keluar.

Aib? Aib katanya? Apa maksudnya?.

Aku merangkak, dan sebisa mungkin mencoba untuk berjalan dengan normal. Berkali kali Kak Sita meraih tubuhku, berkali-kali pula aku menepisnya.

Mencari pegangan ke tembok. Sampai tidak mengingatnya, jarum infus ditanganku telah terlepas. Entah kapan aku melepasnya.

"Kalian pikir adikku apa hah?! Bisa kalian perlakukan seenaknya? Ini bukan keinginan! Ini takdir!"

Ini rumah sakit, mengapa Kak Ali teriak-teriak seperti itu? Aku sudah tidak bisa mengontrol diri. Air mata mulai bercucuran. Kak Sita membuntuti dari belakang. Mungkin sudah bosan hendak menolongku, dan ia juga ikut menangis.

Bersambung....

barangkali ada yang lupa meninggalkan jejak 🤭

SURAT ke TIGA

Apa yang Mama maksud sebagai aib?

Sudah tidak kuhiraukan rasa sakit ini. Mengapa mereka berdebat begini? Harusnya ini hari bahagia untuk dua keluarga.

Aku melangkah dengan memegangi tembok sebagai tumpuan. Kak Sita mencoba menyuruhku untuk kembali duduk di kursi roda, aku tidak mau. Pasti wanita itu akan kembali membawaku pergi.

Braakk!

Pintu kubuka dengan keras.

Semua mata mengarah padaku.

"Aisha?," Kak Ali tampak terkejut dengan kehadiranku.

Ada banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku. Tapi lidah ini sangat sulit berucap, hanya menangis dan menangis.

Mama tengah menatapku dengan melipat kedua tangan di dada. Tatapan yg tidak pernah kulihat selama menjadi menantu. Seperti tatapan jijik.

Mbak Nuri tengah menangis. Entah karena apa, karena aku pun menangis tanpa alasan.

Mas Fathan dengan santainya duduk di sofa dengan merentangkan tangan ke sandaran sofa. Mengetuk ngetukkan sebelah kaki yang ditindih satu kaki lainnya.

Mama kenapa? Seolah begitu murka padaku. Padahal sebelumnya ia teramat menyayangiku.

Ku alihkan pandanganku pada Kak Ali. Ia hanya menatapku dengan haru.

"Ada apa ini?!," Tanyaku dengan keras agar semua bisa mendengar. Walau tidak berteriak pun semua pasti mendengarnya. Aku hanya sedang marah, entah karena apa.

Mama tersenyum miring dengan memutar bola matanya.

Siapa yang tengah berada di depan mataku ini?

Mama? Tidak! Ini bukan Mama. Dia tidak seperti ini. Dia ibu yg sangat baik, perhatian, manis. Lalu se*an apa yg ada dalam tubuh wanita itu?

(Jangan nyanyi ya. Hhaahhaaa)

"Sampai kapan kamu mau menyembunyikannya dari dia?," Mama menunjukku dengan dagunya.

"Lebih baik kalian pergi sekarang juga!," Kak Ali berkata dengan tegas.

"Oh. Tentu saja. Aku juga tidak ingin lama lama disini," begitu Mama menjawab dengan ketus.

"Ma,," Papa dan Mbak Nuri seolah mencegah. Menyatakan bahwa yg Mama ucapkan salah.

Dan lelaki itu? Masih saja bersikap santai. Sesekali melirik jam yg melingkar di tangannya.

Mbak Nuri menghampiri. Memelukku dan menangis. Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya hingga menjauh.

"Tolong katakan ada apa?!," Teriakku dengan keras.

"Anakmu cacat!"

Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Tega teganya dia bilang anakku cacat! Aku baru saja menyusuinya, dan dia baik baik saja. Bukankah dia cucunya sendiri? Tega sekali dia berkata begitu.

Sangat marah. Ingin sekali rasanya menampar wajah perempuan yang telah melukai hatiku.

Semua orang terkejut dengan ucapan Mama. Apalagi Kak Ali. Mbak Nuri dan Papa menarik tangan Mama, menyuruhnya untuk berhenti. Tapi perempuan tua itu tidak mau berhenti.

Wanita yg kusebut 'Mama' itu menghampiriku.

"Apa kamu dengar? Anakmu cacat! Dengar? Kurang jelas?"

"Bohong!" Aku menampik semua yg Mama ucapkan. Aku menutup telinga dengan kedua tangan. Bersimpuh, menangis. Se*an apa yang telah merasuki Mama?.

(Eh, nyanyi lagi kan. Hhiii)

Dia bukan Mama yang kukenal. Kemana ibu mertuaku?

"Entah anak siapa yang kamu lahirkan? Aku tidak memiliki keturunan cacat seperti itu. Keturunanku sempurna, tidak seperti dia."

"Bohong! Mama bohong! Mama jahat! Tega!," Teriakku histeris.

Mbak Nuri berlari ke arahku. Memelukku yg berada dalam dekapan Kak Sita.

Belum sembuh luka bekas melahirkan, wanita itu menambah luka baru yg lebih sakit dari apapun.

"Cukup Ma!," Cegah Mbak Nuri.

"Dia harus tau yang sebenarnya!"

"Ma, biarkan Aisha pulih dulu. Baru kita katakan. Dan bukan dengan cara seperti ini mengatakannya," kata Papa sedikit berbisik, tapi aku bisa mendengarnya.

Kuraih kaki Kak Ali, "Kak. Katakan padaku. Katakan padaku!," Hanya itu yang keluar dari mulutku.

Kak Adam berjongkok. Meraih pundakku yg tengah memeluk kakinya. Tidak ada jawaban. Kak Ali malah memelukku dan menangis.

"Kamu harus kuat Syah. Kamu adik kakak yg kuat," ucapnya lirih.

Aku tahu, ini bukanlah hal kecil. Ucapan Kak Ali sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.

Sok tegar, aku mendorong tubuh Kak Ali. Menghapus air mata, dan mencoba untuk berdiri.

"Kalau kalian tidak mau mengatakannya. Biar aku cari tahu sendiri."

"Sha," tangan Mbak Nuri mencegahku.

"Kami akan mengatakannya. Tapi kamu janji, apapun kenyataan yg akan kamu dengar, kamu akan tetap tegar," sambungnya. Aku mengangguk. Meskipun aku tidak yakin.

...***...

Mereka membawaku ke ruang seorang dokter yg membantuku bersalin. Papa, Mama, dan Mas Fathan tidak ikut serta. Dan Kak Ali pun memang mengusir mereka.

Wanita berusia sekitar 40 tahun, berada di depanku. Tampak gugup, dan ragu.

"Apa anda siap mendengarnya?."

"Iya," jawabku berusaha bersuara senormal mungkin, meyakinkan.

Dokter berkacamata itu menarik nafas berat. Ini benar benar hal besar. Aku harus siap dengan apapun yg akan kudengar.

"Bagaimanapun juga, anda harus tau. Saya harap anda membesarkan hati, menerima apapun yang akan saya sampaikan," begitu katanya.

"Baik Dok."

"Putri anda berbeda. Dia tidak normal sebagaimana anak lainnya," dengan sangat hati hati dokter itu menyampaikan. 'Hanindia' begitu nama yang tertera di bagian dada baju putihnya.

"Dia mengalami anophthalmia syndrome."

Dahiku berkerut. Istilah yang baru kudengar, sangat asing di telinga. Penyakitkah? Parahkah kondisi semacam itu? Tapi aku melihat putriku baik baik saja.

Hanya mendengarkan. Aku menyimak setiap kata yg diucapkan Dokter Hani, begitu nama panggilannya

"Putri ibu mengalami kondisi ekstrem anophthalmia syndrome yang terjadi pada satu dari seperempat juta jiwa. Namun walau bagaimana pun ia hanyalah bayi biasa yang berhak mendapatkan kasih sayang sebagai seorang anak."

Semengerikan apa kondisi itu? Ya Allah, beri hamba kekuatan. Apapun yang terjadi, rencanamu lebih indah dari mimpi indah hambamu ini.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!