Apa yang Mama maksud sebagai aib?
Sudah tidak kuhiraukan rasa sakit ini. Mengapa mereka berdebat begini? Harusnya ini hari bahagia untuk dua keluarga.
Aku melangkah dengan memegangi tembok sebagai tumpuan. Kak Sita mencoba menyuruhku untuk kembali duduk di kursi roda, aku tidak mau. Pasti wanita itu akan kembali membawaku pergi.
Braakk!
Pintu kubuka dengan keras.
Semua mata mengarah padaku.
"Aisha?," Kak Ali tampak terkejut dengan kehadiranku.
Ada banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku. Tapi lidah ini sangat sulit berucap, hanya menangis dan menangis.
Mama tengah menatapku dengan melipat kedua tangan di dada. Tatapan yg tidak pernah kulihat selama menjadi menantu. Seperti tatapan jijik.
Mbak Nuri tengah menangis. Entah karena apa, karena aku pun menangis tanpa alasan.
Mas Fathan dengan santainya duduk di sofa dengan merentangkan tangan ke sandaran sofa. Mengetuk ngetukkan sebelah kaki yang ditindih satu kaki lainnya.
Mama kenapa? Seolah begitu murka padaku. Padahal sebelumnya ia teramat menyayangiku.
Ku alihkan pandanganku pada Kak Ali. Ia hanya menatapku dengan haru.
"Ada apa ini?!," Tanyaku dengan keras agar semua bisa mendengar. Walau tidak berteriak pun semua pasti mendengarnya. Aku hanya sedang marah, entah karena apa.
Mama tersenyum miring dengan memutar bola matanya.
Siapa yang tengah berada di depan mataku ini?
Mama? Tidak! Ini bukan Mama. Dia tidak seperti ini. Dia ibu yg sangat baik, perhatian, manis. Lalu se*an apa yg ada dalam tubuh wanita itu?
(Jangan nyanyi ya. Hhaahhaaa)
"Sampai kapan kamu mau menyembunyikannya dari dia?," Mama menunjukku dengan dagunya.
"Lebih baik kalian pergi sekarang juga!," Kak Ali berkata dengan tegas.
"Oh. Tentu saja. Aku juga tidak ingin lama lama disini," begitu Mama menjawab dengan ketus.
"Ma,," Papa dan Mbak Nuri seolah mencegah. Menyatakan bahwa yg Mama ucapkan salah.
Dan lelaki itu? Masih saja bersikap santai. Sesekali melirik jam yg melingkar di tangannya.
Mbak Nuri menghampiri. Memelukku dan menangis. Dengan sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya hingga menjauh.
"Tolong katakan ada apa?!," Teriakku dengan keras.
"Anakmu cacat!"
Aku tersentak mendengar perkataan Mama. Tega teganya dia bilang anakku cacat! Aku baru saja menyusuinya, dan dia baik baik saja. Bukankah dia cucunya sendiri? Tega sekali dia berkata begitu.
Sangat marah. Ingin sekali rasanya menampar wajah perempuan yang telah melukai hatiku.
Semua orang terkejut dengan ucapan Mama. Apalagi Kak Ali. Mbak Nuri dan Papa menarik tangan Mama, menyuruhnya untuk berhenti. Tapi perempuan tua itu tidak mau berhenti.
Wanita yg kusebut 'Mama' itu menghampiriku.
"Apa kamu dengar? Anakmu cacat! Dengar? Kurang jelas?"
"Bohong!" Aku menampik semua yg Mama ucapkan. Aku menutup telinga dengan kedua tangan. Bersimpuh, menangis. Se*an apa yang telah merasuki Mama?.
(Eh, nyanyi lagi kan. Hhiii)
Dia bukan Mama yang kukenal. Kemana ibu mertuaku?
"Entah anak siapa yang kamu lahirkan? Aku tidak memiliki keturunan cacat seperti itu. Keturunanku sempurna, tidak seperti dia."
"Bohong! Mama bohong! Mama jahat! Tega!," Teriakku histeris.
Mbak Nuri berlari ke arahku. Memelukku yg berada dalam dekapan Kak Sita.
Belum sembuh luka bekas melahirkan, wanita itu menambah luka baru yg lebih sakit dari apapun.
"Cukup Ma!," Cegah Mbak Nuri.
"Dia harus tau yang sebenarnya!"
"Ma, biarkan Aisha pulih dulu. Baru kita katakan. Dan bukan dengan cara seperti ini mengatakannya," kata Papa sedikit berbisik, tapi aku bisa mendengarnya.
Kuraih kaki Kak Ali, "Kak. Katakan padaku. Katakan padaku!," Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Kak Adam berjongkok. Meraih pundakku yg tengah memeluk kakinya. Tidak ada jawaban. Kak Ali malah memelukku dan menangis.
"Kamu harus kuat Syah. Kamu adik kakak yg kuat," ucapnya lirih.
Aku tahu, ini bukanlah hal kecil. Ucapan Kak Ali sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.
Sok tegar, aku mendorong tubuh Kak Ali. Menghapus air mata, dan mencoba untuk berdiri.
"Kalau kalian tidak mau mengatakannya. Biar aku cari tahu sendiri."
"Sha," tangan Mbak Nuri mencegahku.
"Kami akan mengatakannya. Tapi kamu janji, apapun kenyataan yg akan kamu dengar, kamu akan tetap tegar," sambungnya. Aku mengangguk. Meskipun aku tidak yakin.
...***...
Mereka membawaku ke ruang seorang dokter yg membantuku bersalin. Papa, Mama, dan Mas Fathan tidak ikut serta. Dan Kak Ali pun memang mengusir mereka.
Wanita berusia sekitar 40 tahun, berada di depanku. Tampak gugup, dan ragu.
"Apa anda siap mendengarnya?."
"Iya," jawabku berusaha bersuara senormal mungkin, meyakinkan.
Dokter berkacamata itu menarik nafas berat. Ini benar benar hal besar. Aku harus siap dengan apapun yg akan kudengar.
"Bagaimanapun juga, anda harus tau. Saya harap anda membesarkan hati, menerima apapun yang akan saya sampaikan," begitu katanya.
"Baik Dok."
"Putri anda berbeda. Dia tidak normal sebagaimana anak lainnya," dengan sangat hati hati dokter itu menyampaikan. 'Hanindia' begitu nama yang tertera di bagian dada baju putihnya.
"Dia mengalami anophthalmia syndrome."
Dahiku berkerut. Istilah yang baru kudengar, sangat asing di telinga. Penyakitkah? Parahkah kondisi semacam itu? Tapi aku melihat putriku baik baik saja.
Hanya mendengarkan. Aku menyimak setiap kata yg diucapkan Dokter Hani, begitu nama panggilannya
"Putri ibu mengalami kondisi ekstrem anophthalmia syndrome yang terjadi pada satu dari seperempat juta jiwa. Namun walau bagaimana pun ia hanyalah bayi biasa yang berhak mendapatkan kasih sayang sebagai seorang anak."
Semengerikan apa kondisi itu? Ya Allah, beri hamba kekuatan. Apapun yang terjadi, rencanamu lebih indah dari mimpi indah hambamu ini.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Akak Mei
Sangat sedih.😔😔
2021-01-06
1
Dwi Nurhayati
lanjuutt Thor 💞💞💞
2020-12-22
1
Siti Junaeni
di tunggu up nya kaka author....cerita mu bagus👍🏻
2020-12-21
1