Aku menarik napas dalam melihat mobil sedan merah itu terparkir di halaman rumahku. Aku tidak bisa menyembunyikan raut wajahku yang menunjukkan kecemasan. Kak Reza menatapku heran. Baginya ini merupakan hal yang sangat langka, mengingat aku yang dikenal sebagai pribadi yang selalu ceria.
"Kamu kenapa Dek? Mukanya stres banget."
"Lihat Kak, itu mobil Fandy."
"Oh .... Ya sudah Kakak duluan ya. Tolong selesaikan dengan baik-baik." Kak Reza berlalu meninggalkanku.
Aku mengigit bibirku, berharap rasa cemasku menghilang. Apa lagi yang sebenarnya dia inginkan? Bukankah dia sudah menerima keputusan bahwa hubungan kami sudah berakhir?
Aku melangkah pelan dan masuk ke dalam rumah. Tampak Fandy sedang duduk diam membisu di ruang tamu sambil memainkan smartphone-nya. Dia lalu menoleh ke arahku.
"Ada apa? Sudah lama menunggu?" tanyaku datar.
"Lumayan! Kenapa kamu pulangnya malam sekali?"
"Biasalah ada laporan yang ditunggu pak bos." Aku berbohong.
"Oh ya?" Fandy terlihat tidak percaya.
"Iya .... Kamu mau bicara hal penting apa?" tanyaku sinis.
"Kamu bisa mulai bohong ya sama aku? Tadi aku mau jemput kamu tapi aku malah bertemu Irene. Dia bilang kamu sudah pulang duluan dengan terburu-buru. Sebenarnya kamu kemana?" Fandy mulai mengintrogasi.
"Haruskah aku jawab hal yang memang bukan urusanmu lagi?"
"Sheryl, aku sungguh menyesal. Hubungan kita tidak seharusnya berakhir seperti ini. Tidak adakah sedikit kenangan manis kita selama ini?"
"Basi!" sahutku ketus.
Fandy meraih tanganku dan mencengkeramnya, "Kita ngobrol di luar. Nanti bisa mengganggu kakak dan orang tuamu."
"Aku bisa jalan sendiri. Lepaskan tanganku!"
Fandy tidak peduli dengan perintahku. Dia tetap menarik tanganku sampai dengan depan teras rumah. Aku pun terpaksa berjalan mengikutinya.
"Sejak kapan kamu jadi orang yang kasar?"
"Sejak kamu membuatku gila dengan keputusanmu. Ini benar-benar membuatku tidak bisa berpikir jernih." Fandy mengusap wajahnya gemas.
"Pulang saja jika kamu masih belum bisa berpikiran jernih. Aku tidak akan peduli lagi dengan hubungan kita. Bagiku sudah berakhir semuanya," sahutku.
Fandy memegang keningnya. Dia mengejapkan mata sejenak. Wajahnya terlihat begitu cemas lalu dia menoleh lagi ke arahku.
"Tidak bisakah kita bicara baik-baik?" jawabnya kembali tenang.
"Apa yang kamu inginkan?"
"Aku mencintaimu tapi aku juga masih ingin meraih cita-citaku. Aku masih ragu untuk melamarmu. Bolehkah aku minta waktumu?"
Apa yang harus aku jawab atas pertanyaannya kali ini? Dia adalah pria yang menemaniku selama ini. Pria yang aku cintai. Bukankah dia juga punya kesempatan.
"Bagaimana dengan rencanamu ke Jepang?"
"Masih dua bulan lagi. Masih ada waktu untuk kita berpikir mau dibawa ke mana hubungan ini."
Aku terdiam berpikir lalu berkata, "Baiklah, aku akan beri waktu selama satu bulan untuk kita masing-masing berpikir dan merencanakan masa depan kita."
Fandy terdiam, kemudian berkata, "Kalau jawabanmu seperti itu, untuk sementara aku bisa tenang. Aku akan memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya. Aku pulang dulu. Kamu langsung tidur ya. Kamu jelek sekali. Lihat kantung matamu bengkak dan hitam. Aku sayang kamu," Fandy memelukku erat dan mencium keningku.
Aku tidak membalas pelukannya. Aku menyadari di dalam diri ini ada sebuah pedebatan yang hebat antara hati dan pikiran. Aku pun jadi merasa ragu dengan keputusan yang telah kubuat.
Satu bulan adalah waktu yang singkat. Mungkinkah pemikiran kami akan berubah dan bertemu pada satu titik? Ditambah rencana pernikahanku dan Kak Baruna yang sudah di depan mata.
Fandy kemudian berlalu. Masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan rumahku. Aku pun masuk ke dalam rumah. Kak Reza yang menungguku di ruang tamu tersenyum menyeringai.
"Kamu yakin? Apa kamu lupa waktu satu bulan itu bersamaan dengan acara pertunanganmu dan Baruna?"
Iya aku tahu waktuku sedikit jika mengingat perjanjian antara keluargaku dan keluarganya. Aku harus bertunangan tepat di hari jadiku yang ke dua puluh lima bulan depan. Kemudian menikah dengan Kak Baruna satu bulan setelahnya.
"Kakak, aku kan sudah bilang aku belum setuju dengan perjodohan itu!" Aku membalas perkataan Kak Reza dengan ketus.
"We'll see lil' sist. What will you do to break out that plan," Kak Reza menepuk bahuku dengan sorot matanya yang tajam.
Ada apa sebenarnya? Kenapa masa depanku begitu sulit akibat hal yang aku tidak mengerti. Bisnis perusahaan harusnya menjadi masalah perusahaan. Kehidupan pribadi harusnya menjadi masalah pribadi. Mengapa harus mencampuradukkan semuanya sehingga aku terkena getahnya**?
Kepalaku jadi pusing memikirkan yang sudah dan akan terjadi. Aku melangkah gontai menuju kamar dan memanjakan diri dengan mandi berendam di dalam bathtub. Malam ini benar-benar menjadi malam yang panjang untukku.
Berendam membuat diriku menjadi lebih rileks. Pikiranku melayang jauh ke dalam ingatan empat tahun lalu saat Kak Baruna datang bersama keluarganya. Mereka datang menghadiri perjamuan makan malam bersama membahas rencana perjodohan itu.
Empat tahun lalu.
"Bagaimana Bar? Kamu setuju? Ayah tahu sudah lama kamu memendam perasaanmu kepada Sheryl. Apalagi Sheryl adiknya Reza dan kalian bertiga sudah berkawan sejak kecil. Ayah sih setuju saja." Om Anton memulai pembicaraan.
Kak Baruna hanya mengangguk malu-malu sambil berkata, "Iya Ayah."
"Baguslah kalau sudah begini rencana kita semuanya bisa lancar ya Gung?" Om Anton menoleh ke arah Papa.
"Iya dong. Kalau kalian bersatu nanti bisnis dan perusahaan kita akan lebih besar," tambah Papa terkekeh.
"Iya benar. Saya tidak akan salah memilihkan jodoh untuk cucu saya sendiri," tambah Kakek Awan. Dia adalah Kakek Kak Baruna yang saat itu ikut datang ke kediamanku.
Kak Baruna tidak banyak berbicara. Dia hanya tersenyum menanggapi perkataan para orang tua dan Kakeknya itu. Aku juga bisa melihat wajahnya yang bersemu merah malu. Hal itu sebenarnya menambah pesona ketampanannya berkali-kali lipat. Aku lalu memalingkan wajahku. Aku tidak akan tergoda akan wajah tampannya.
Cih .... Kenapa dia begitu tampan di saat seperti ini? Lihat saja nanti, aku akan menikah dengan pilihanku sendiri. Bukan dengan Kak Baruna tapi dengan pacarku.
"Sheryl, apa ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Papa tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Papa, spontan berseru, "Kenapa kehidupanku harus kalian yang sibuk mengaturnya? Hidupku adalah hidupku dan aku yang akan menentukannya. Sudah cukup Papa mengatur semua pilihan hidupku. Aku menolaknya sampai kapanpun."
Para orang tua yang saat itu sedang berada di ruang makan saling pandang dengan wajah kebingungan tapi tidak lama kemudian kembali seperti biasa dan hanya tersenyum.
Aku melirik ke arah Kak Baruna dan bergumam di dalam hati.
Laki-laki apa itu yang tidak punya prinsip sama sekali dalam hidupnya? Semuanya diatur-atur oleh orang tua.
"Pernikahannya bukan saat ini sayan, tapi nanti saat kamu sudah berumur dua puluh lima tahun." Mama menanggapi dan menenangkanku.
Aku hanya menunduk dan menekuk wajahku kesal.
"Oh iya pertunangannya pas hari ulang tahun Sheryl aja ya Gung, bulan November. Lalu pernikahannya digelar bulan Desember. Tahun baru kalian sudah resmi jadi sepasang suami istri," kata Om Anton memberikan masukan.
"Boleh saja. Bagaimana menurut Om Awan?" tanya Papa.
"Kapan saja saya setuju. Lebih cepat lebih baik," jawab Kakek Awan.
Aku yang mendengar pembicaraan mereka menjadi tambah kesal dan berteriak, "Kalian tidak mengerti perasaanku!"
Aku bangkit dan angkat kaki dari perjamuan saat itu. Aku tidak peduli lagi mereka membicarakan apa. Sebentar lagi aku akan pergi dari rumah ini. Hanya itu yang terbesit di benakku.
"Sheryl! Kembali! Berani kamu bantah Papamu, hah?! Apapun yang terjadi nantinya kamu harus menikah dengan Baruna," Papah berteriak.
Kenapa mereka sangat bersikeras? Bahkan mama yang biasanya membelaku saat itu hanya diam. Kuliah pilihan Papa saja sudah membuatku pusing setengah mati. Sekarang dia merencanakan pernikahanku dengan Kak Baruna yang sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri.
Aku tidak mempedulikan kata-kata Papa dan masuk ke dalam kamarku. Membereskan baju-bajuku dan benda-benda penting lainnya, memasukkannya ke dalam sebuah koper besar. Aku ingin pergi saja dari kehidupan orang kaya yang banyak aturan ini.
Aku keluar kamar, berjalan mengendap-endap berharap tidak ada yang menyadari rencanaku. Aku melewati dapur dan berencana keluar lewat pintu belakang. Mama tiba-tiba saja menghadang dan menghentikan rencanaku saat itu. Dia hanya diam kemudian memelukku. Terlihat air mata mengembang di pelupuk matanya siap untuk jatuh.
"Maafkan Mama dan Papa. Kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu dan keluarga ini nantinya. Nanti saat sudah lebih dewasa kamu akan mengerti kenapa Papamu begitu bersikeras," jelasnya.
Melihat Mama yang menangis saat itu membuat hatiku luluh juga. Aku pun menangis. Ingatan itu begitu membekas sampai saat ini. Tapi aku benar-benar tidak tahu apa maksud kata-kata Mama.
Masa Kini
Aku tersadar dari lamunanku ketika ponselku berdering. Nama Kak Baruna muncul di layar. Aku pun menjawab panggilan teleponnya.
"Halo Kak, bagaimana kabar Om?" tanyaku.
"Iya Sher, akhirnya ayahku masuk ruang perawatan. Ini sudah masuk kamar."
"Ada siapa saja di sana?"
"Ada Bundaku dan Kakek."
"Kamu sedang apa sekarang? Suaramu mengapa terdengar menggema?"
"Ada deh! Sudah ya Kak, aku mau bersih-bersih dulu." Aku menutup telepon tidak mempedulikan Kak Baruna yang masih ingin berbicara lagi denganku.
Tidak lama sebuah pesan masuk dari Kak Baruna.
"Berendamnya jangan lama-lama. Mandinya yang bersih dan wangi ya. Agar wanginya bisa sampai sini. Hehehe."
"Lama-lama dia seperti dukun saja," gumamku tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
🍁 Fidh 🍁☘☘☘☘☘
baruna ja q stju .. dewasa pemikiranya ... sabar . penyayang .. sikapnya jg bagus kya nya ...
2020-12-29
2
fio_netuuitzhuuuuen🥳🤩😂
sama Baruna aja.... kayaknya LBH..santai n humoris
2020-08-03
2
Reanza
Aku baca sampai sini dulu ya thor nanti lanjut lagi, semangat selalu, ditunggu kehadirannya di tempatku ya, semangat!!
2020-06-22
0