"Pagi sayang," sapa Fandy dengan senyum kecil tersungging di bibirnya.
Aku meyeringai sinis, "Maaf aku buru-buru. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu."
Aku menelepon supir pribadiku dan memintanya mengantarku.
"Pak Erwin di mana? Tolong antarkan saya ke kantor sekarang," perintahku.
"Siap Mbak Sher."
Aku menutup telepon kemudian menunggu Pak Erwin datang. Fandy menghampiriku masih dengan wajah memelasnya.
"Kamu harus ikut aku." Fandy meraih tanganku menariknya erat.
Pak Erwin kemudian muncul dengan mobilku tapi Fandy memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Merekatkan sabuk pengaman secara paksa. Fandy menginjak pedal gasnya. Mobil matic itu berjalan kencang.
Ponselku berdering, Pak Erwin meneleponku. Aku lalu menjawab panggilan teleponnya.
"Mbak, bagaimana ini? Apa saya harus kejar Mbak?"
"Tidak usah Pak. Saya baik-baik saja."
Mobil berjalan kencang. Fandy mencengkeram setirnya sambil menaikkan kecepatan laju kendaraan. Aku memejamkan kedua mataku dengan kedua tangan sibuk menggenggam erat sabuk pengaman. Aku takut kami celaka.
Kerasukan setan apa dia sampai harus mengebut seperti ini?
Setengah berteriak aku mencoba menghentikannya, "Gila kamu ya?! Mau mati?!"
"Biar aja kita mati sama-sama. Aku mau tahu seserius apa kamu dengan kata-katamu semalam?" katanya dengan nada kesal.
"Aku serius, kita sudah putus Fan."
Fandy menghentikan mobilnya dengan rem mendadak membuat dadaku sakit terkena tarikan sabuk pengaman.
"Aku tidak mau dengar!" Nada suara Fandy mulai meninggi.
Aku membuka sabuk pengamanku dan membuka pintu tapi tidak bisa karena dihalangi Fandy.
"Kamu mau kemana? Kamu harus dengar dulu penjelasanku."
Aku terdiam mengangguk. Aku akan mendengarkan apa yang akan Fandy katakan.
"Kamu ini anak perempuan satu-satunya dari bapak Agung Praja Kusuma orang terkaya nomor sepuluh di negara ini. Aku tidak mungkin melamar kamu dengan kondisiku sekarang."
"Aku tidak peduli statusku apa. Aku cuma ingin mencari kebahagiaanku sendiri," Aku menyahut dengan suara berubah sedikit parau menahan tangis.
"Enam tahun berhubungan dan kamu mau mencampakkanku begitu saja?"
"Justru karena enam tahun kamu harusnya berpikir mau dibawa ke mana hubungan ini!"
Fandy menghela nafas panjang. Ada kekecewaan yang nampak di wajah tampannya. Kemudian suasana mulai hening tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami.
"Aku mau keluar. Aku mau kerja. Aku sudah telat Fan." Aku memecah keheningan.
"Sekali ini temani aku. Kamu ijin saja."
"Kenapa jadi kamu yang mengatur? Hubungan kita sudah beda visi dan misi. Mesti aku ulang berapa kali sih?!" Aku bertambah emosi.
"Tapi aku masih cinta kamu Sher. Jangan seperti ini. Kita bisa jalani hubungan jarak jauh nantinya. Gak perlu putus." Fandy memelas.
"Carilah wanita yang mengerti jalan pikiranmu. Sudah buka pintunya!" perintahku.
"Tidak mau!"
Fandy lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia menyentuh dan memberikan sebuah sentuhan di bibirku dengan belaian lembut bibirnya. Seketika aku terbawa suasana menikmati dan membalasnya.
Tidak lama kemudian aku tersadar ini adalah hal yang tidak benar. Aku sudah memutuskan untuk berpisah dengannya. Air mataku pun jatuh berlinang mengingat dia yang tidak bisa memperjuangkan hubungan kami. Aku lalu mendorong tubuhnya sekuat tenaga.
"Kenapa berhenti? Kamu terlihat menikmati ciumanku bahkan kamu membalasnya?"
"Maaf aku terbawa suasana. Hubungan kita sudah berakhir. Sudah lupakan saja. Anggap hal itu tidak pernah terjadi."
"Tapi kamu menangis. Itu tanda kamu menderita meminta putus denganku."
"Biarlah aku menderita. Karena derita ini yang nantinya akan menjadikanku kuat. Sekarang aku minta kamu buka pintunya."
Fandy menarik nafas dalam-dalam. Dia terlihat memikirkan sesuatu kemudian dia berkata, "Aku akan antar kamu ke kantor. Anggap saja ini pertolongan seorang teman."
"Baiklah," jawabku.
Setengah jam kemudian aku telah tiba di kantor. Datang telat yang dibumbui dengan tatapan sinis dari para karyawan lain. Aku melewatkan meeting penting dengan bagian tim marketing dan direktur. Aku hanya bisa diam dan menghela nafas panjang berkali-kali.
Seorang wanita cantik dengan tinggi semampai menghampiriku. Namanya Irene Putri. Dia sahabatku di kantor.
"Sher, ke toilet yuk," ajaknya.
Aku mengangguk dan mengambil pouch make up dari dalam tas karena wajahku kusut membuatku ingin berdandan sedikit agar terlihat lebih segar. Kami melangkah keluar menuju toilet.
"Tumben lo telat. Mana muka kusut. Mata bengkak. Lo abis ngapain sih?" tanya Irene di depan cermin toilet.
"Panjanglah ceritanya. Nanti gue ceritain pas istirahat."
"Oke deh. Sini bawah mata lo gue pakein concealer biar gak kelihatan bengkaknya." Irene meraih concealer dari dalam pouch make up ku.
Irene mulai merias wajahku yang kusut itu. Dia yang paling mengerti saat-saat seperti ini. Saat aku sedang berada di titik terburukku. Dia yang menghiburku dan siap membantuku seperti ini walaupun merupakan hal kecil. MUA lepas ini memang sangat bisa aku andalkan sekarang.
"Lo tadi dicariin sama Pak Renaldy. Kelihatannya meeting nya gak berjalan lancar karena gak ada lo."
"Iya nanti gw ke ruangannya Ren. Gue tahu gue salah," jawabku.
"Tadi dia kelihatan cemas banget tahu nungguin lo dateng gara-gara teleponnya gak diangkat sama lo."
"Iya nanti gue minta maaf sama dia."
"Sip. Udah tuh gue dandanin. Nah gini kan bagus kelihatannya lebih cantik. Pantes si Fandy betah sama lo lama-lama."
Aku terdiam tidak membalas kata-kata Irene. Kami lalu melangkahkan kaki keluar dari toilet. Di tengah jalan aku bertemu muka dengan bapak Renaldy atasanku.
"Sher ikut saya ke ruangan. Saya mau bicara."
"I-iya pak," jawabku gugup.
Kemudian aku mengikutinya menuju ruang kerjanya. Sungguh cemas rasanya takut dia memarahiku habis-habisan.
"Kamu tahu kamu salah apa?" Pak Renaldy membuka pembicaraan.
"Iya pak saya telat. Gak ikut meeting sama tim marketing dan direktur."
"Kamu ini adalah karyawan saya yang paling saya percaya tapi kamu mengecewakan saya kali ini. Maaf kali ini kamu saya beri surat peringatan pertama," jelasnya sambil menulis surat peringatan buatku.
"Tanda tangan di bawahnya," katanya lagi.
"Iya pak," sahutku
Pagi yang sangat menyebalkan berlalu begitu saja berganti dengan waktu istirahat yang telah tiba. Aku dan Irene duduk di kantin kantor menikmati makan siang kami.
"Pak bos tadi ngomong apa Sher?"
"Gue dikasih surat peringatan pertama Ren."
"Gila .... Anak kesayangan dikasih surat peringatan? Belom tahu dia kalo lo ngambek bisa pindah kerja ke perusahaan bokap lo." Irene terkekeh.
"Enggak usah ngeledek deh. Gue kalo mau ke perusahaan bokap mah gampang. Tapi gue kerja di sini mau mandiri. Lo kan tahu."
"Iya deh. Non Sheryl memang selalu benar. By the way itu tadi pagi kenapa sih?"
Aku pun menjawab pertanyaan Irene dengan sejelas-jelasnya. Irene mendengarkan dengan seksama. Sesekali dia terlihat terkejut dan mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Gue enggak menyangka Fandy akan seperti itu sama lo Sher. Tapi masuk akal sih sama alasannya dia," kata Irene.
"Lo malah belain dia ya bukannya gue sahabat lo. Gue ini ceweknya tapi gak ada gue di prioritas hidupnya!" sahutku berapi-api.
Irene tersenyum mendengar pembelaanku lalu berkata, "Kita balik yuk. Udah kenyang nih gue."
Aku mengangguk mengiyakan kemudian melangkah meninggalkan kantin kantor. Kami berjalan melewati meja resepsionis. Mbak Maya salah seorang resepsionis memanggilku.
"Mbak Sheryl, ini loh tadi ada titipan buat mbak dari abang ojek online." Mbak Maya mengeluarkan sebuah dua kotak besar loyang pizza dan dua botol besar cola.
"Saya gak pesen pizza loh Mbak." Aku mengernyitkan dahiku heran mendapati dua makanan dan minuman itu.
"Tapi bener kok ini untuk Mbak Sheryl tim marketing. Ada suratnya pula ditempel di atas kotaknya."
Aku melihat sebuah amplop surat bertuliskan namaku di atasnya. Aku pun membuka amplop itu dan membaca sebuah pesan singkat yang menghiburku siang ini sehingga membuatku tersenyum-senyum sendiri.
"Bagaimana makan siangnya? Kalau belum kenyang aku bawakan seloyang pizza lagi untuk kamu yang cantik. Boleh juga kamu bagikan ke teman-temanmu yang baik hatinya. Salam manis dari seseorang yang memperhatikanmu."
"Dari siapa Sher? Kok lo senyum-senyum sendiri?" tanya Irene penasaran.
Aku memberikan surat yang baru saja aku baca kepada Irene. Dia lalu membacanya. Aku sangat penasaran dengan pengirim pizza tersebut. Siapa orang yang memperhatikanku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
♕FiiStory_
saya mampir Thor, salam kenal dari my Dream High 😊 mampir juga ya Thor di karyaku 😊
2021-07-24
0
Lis Manda Cel
dr sinopsis kykx si bos ya yg krm pitza🤔🤔🤔
2021-07-09
1
Naimatul Jannati
bagus ceritanya lngsung suka sm tokoh baruna😍
2021-06-02
0