Hari mulai sore. Waktu menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Aku keluar dari kantorku tergesa-gesa. Kak Baruna sudah menungguku lebih dari setengah jam.
"Hai Kak!" Aku melambaikan tangan.
Kak Baruna yang menungguku di depan pintu mobilnya melihat ke arahku membalas lambaian tanganku tersenyum.
"Maaf ya Kak lama."
"Tidak masalah, seribu tahun pun aku tunggu," jawabnya terkekeh.
"Kakak berlebihan sekali," ucapku tersenyum.
"Baguslah, kamu sudah bisa tersenyum. Ayo pergi!" Kak Baruna membukakan pintu mobilnya untukku.
"Ayo." Aku pun masuk ke dalam mobilnya.
"Kakak sering mengemudi sendiri ya?"
"Iya kalau tidak lelah. Biasanya asistenku yang kemudikan."
"Kak kita mau nonton apa?" tanyaku semangat.
"Action film," jawabnya singkat.
"Oke, aku ikut saja," sahutku.
Mobil Kak Baruna pun melaju dengan cepat. Aku melirik jam tanganku, "Kak, kita mau nonton yang jam berapa?"
"Jam enam lewat lima belas. Oh iya, aku boleh tanya sesuatu sama kamu?"
"Boleh. Mau tanya apa, Kak?"
"Alasan apa yang membuatmu putus darinya?" Tiba-tiba Kak Baruna menanyakan hal yang membuatku teringat kembali dengan Fandy. "Tapi kalo tidak ingin jawab juga tidak apa-apa."
"Aku ingin menikah dengannya, Kak. Tapi ternyata aku tidak ada di dalam rencananya dalam waktu dekat ini. Bahkan dia dipindahtugaskan ke luar negeri dan memintaku bersabar menjalani hubungan jarak jauh. Padahal kami sudah berpacaran selama enam tahun. Tidak ada kemajuan sama sekali. Huft ...." Aku menceritakan keluh kesahku.
"Jadi kamu kecewa gara-gara hal itu?"
"Hmm .... Tidak hanya gara-gara hal itu sih. Umurku juga bulan depan sudah menginjak dua puluh lima tahun. Kalau menunggu dia yang tidak pasti, nantinya aku keburu tua."
"Iya sih, bener juga. Tapi kalau kamu putus, nanti kamu mau menikah dengan siapa? Memangnya ada yang bisa dengan cepat menikahi kamu? Kalau kamu pilih aku, aku sih siap saja." Kak Baruna terkekeh.
"Belum tahu, Kak. Kakak bisa yakin sekali aku pilih Kakak?"
"Lalu dengan siapa? Pernikahan kita kan memang sudah ditentukan. Kamu tidak akan punya banyak waktu. Ingat, dua bulan lagi."
"Masa depanku bukan mainan, Kak. Kakak kenapa tertawa seperti itu?" Aku mulai kesal.
"Habis kamu lucu. Alasan kamu juga seperti mendesak orang yang memang belum mau memikirkan pernikahan. Sebenarnya, kamu itu masih mencintainya atau tidak?" Kak Baruna tersenyum simpul sedikit menahan tawa.
Aku sangat kesal melihat wajah Kak Baruna yang sedang tertawa. Bukannya curhat yang dapat membuat ketenangan pikiran, malah beban yang bertambah?
"Kak, hal itu sama sekali tidak lucu tahu!" sahutku ketus.
"Ya aku kan tanya, kamu masih mencintainya atau tidak? Kalau masih dukunglah dia. Kalau tidak ya benar cara kamu sudah putus dengannya."
Aku terdiam membeku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Apakah aku memang sudah tidak mencintainya. Masa aku harus selalu mendukung yang dia inginkan? Lalu kapan dukungan atas keinginanku?
"Tidak tahu ah!" kataku mengelak. "Kita sudah sampai kan? Ayo turun Kak." Aku melangkahkan kaki keluar turun dari mobil.
Aku dan Kak Baruna berjalan beriringan. Kami mulai masuk ke dalam ruang teater tempat film diputar. Suasananya sudah ramai penuh penonton. Kak Baruna membeli sekotak besar cemilan jagung popcorn dan dua buah minuman dingin.
Aku menoleh ke wajahnya yang fokus pada pertunjukan film action itu. Rambutnya yang disisir rapi, wajahnya yang bersih sampai wangi tubuhnya yang membuatku merasa nyaman. Semuanya tidak luput dari pengamatanku.
Cih .... *Se*jak kapan dia jadi lebih tampan dari biasanya?
Kak Baruna tiba-tiba menoleh ke arahku. Cepat-cepat aku memalingkan wajahku ke arah film yang sedang diputar. Jantungku berdegup kencang, takut jika dia menyadari kalau aku memperhatikannya.
"Sheryl, diam-diam kamu memperhatikanku ya? Filmnya di depan bukan di samping," bisiknya menggoda.
Wajahku sontak memerah. Dia menyadari tatapan mataku tadi. Aku mencubit punggung tangan kak Baruna dan dia hanya bisa pasrah berteriak kecil, takut jika mengganggu penonton lainnya. Malu ... aku sungguh malu.
Tiba-tiba ponsel Kak Baruna berbunyi. Dia bangkit beranjak dari tempat duduknya, berjalan keluar menerima telepon. Sepertinya panggilan telepon yang penting. Wajahnya terlihat serius. Aku lalu meneruskan menonton film.
Tidak lama kemudian Kak Baruna datang kembali dengan wajah murung. Aku yang bingung dengan ekspresinya pun bertanya.
"Ada apa, Kak?"
"Ayo kita keluar," jawabnya pelan.
Aku pun menurut. Kami berjalan keluar. Di luar kak Baruna menjelaskan apa yang terjadi.
"Ayahku terkena serangan jantung. Sekarang sedang dibawa ke IGD. Aku antar kamu pulang dulu ya, sudah malam."
"Tidak usah kak. Aku bisa naik taksi. Kakak bisa langsung ke rumah sakit saja," tolakku.
"Tidak ... tidak .... Ini sudah malam. Sebentar, aku telepon Reza dulu."
Kemudian Kak Baruna mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Kak Reza. Menanyakan posisinya yang sedang berada di mana.
"Reza masih di kantor. Sebentar lagi juga sampai," ujarnya lagi.
Tidak lama kemudian Kak Reza datang menemui kami. Kak Baruna pamit dan menitipkanku ke Kak Reza.
"Za, sorry banget. Gue bukannya enggak mau antar Sheryl pulang. Tapi ini hal yang mendesak. Gue titip Sheryl ya."
"Iya Bar. Gue tahu kok. Iya Sheryl aman kok. Dia kan adek gue."
"Iya Za."
"Bar, salam buat keluarga lo dari gue ya. Semoga om Anton cepat sembuh." Kak Reza tersenyum.
"Iya. Terima kasih, Za. Sher kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut, Za! Gue cabut duluan," ucap kak Baruna pamit.
"Iya Kak, makasih," jawabku.
"Nanti aku telepon," bisik kak Baruna dan disusul anggukanku.
Tiba-tiba Kak Reza menolehku dan kak Baruna bergantian. Merasa ada sesuatu yang janggal terjadi. Dia menaikkan alisnya menatapku dengan pandangan yang penuh keingintahuan.
"Kamu sudah berpacaran dengan Baruna, Dek?"
"Tidak, Kak," jawabku santai.
"Tapi sepertinya aku melewatkan suatu hal penting. Kemarin pulang bersama. Hari ini pun jalan bersama."
"Ya ampun Kakak, aku tidak ada hubungan apa-apa. Hanya jalan dan nonton saja Kakak kira aku pacaran?"
"Ya siapa yang tahu. Siapa tahu kamu sudah putus dengan pacarmu?"
"Iya aku sudah putus. Kakak puas?!" jawabku ketus.
"Pantas saja ... sudahlah, pacaran saja sih. Kalian kan memang sudah dijodohkan," ucap Kak Reza.
Enak saja Kak Reza mengatakan pacaran-pacaran! Memangnya semudah itu menjalin hubungan?
"Ngomong-ngomong Papa mana, Kak?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Malam ini ada meeting lagi sampai jam sepuluh. Makanya tadi Kakak belum pulang karena menemani Papa meeting. Terus Baruna tiba-tiba telepon suruh jemput kamu."
"Oh ...."
"Jadi kamu jadian kan sama Baruna?"
"Ada deh! Kakak mau tahu saja urusan adiknya." Aku berlalu meninggalkan Kak Reza lalu masuk ke dalam mobil.
"Huu dasar!" Kak Reza menyusulku dan menghidupkan mesin mobilnya.
Suasana malam yang sepi itu membuatku teringat lagi kejadian tadi pagi saat Fandy menciumku dan aku yang sempat menikmatinya. Tetapi aku buru-buru menepis ingatan itu. Saat ini yang tersisa hanya kekecewaan dan penyesalan sudah membuang-buang waktu berhargaku selama enam tahun lamanya.
Mobil melaju kencang diterpa angin malam yang dingin. Pendingin udara yang terasa dingin di dalam mobil juga tidak kalah membuat bulu romaku berdiri. Sebuah pesan masuk ke ponselku. Tertera nama Fandy.
Dia lagi dia lagi ....
"Aku sedang berada di rumahmu. Menunggu kamu pulang. Ada hal penting yang harus kita bicarakan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Ratu dunia
Semangat Thorr💜
Salam dari
"The Beautiful Vampire"
Kisah seorang Vampir cantik dengan sang ceo tampan.
2021-04-14
1
Arty Asik
Fandy, Dy cinta pertamaku, sejak SMP kelas 2 sampai sekarang umurku kepala 3 tidak pernah lagi bertemu dengannya, obh ternyata kamu bareng Sheryl 😂😂😂
2021-03-17
0
maura shi
baruna dewasa bgt cara fikirnya
2021-01-13
1