Malam semakin larut. Mobil yang dikemudikan Kak Baruna baru saja berhenti di halaman rumahku. Aku melangkahkan kaki keluar dari mobil. Kak Baruna berjalan mengikutiku dari belakang.
"Kakak mau mampir?" tanyaku.
"Iya sebentar saja. Kamu senyum dong jangan sedih lagi. Nanti orang rumah khawatir," katanya sembari menyunggingkan senyum kecil di hadapanku.
Aku pun ikut larut terbawa perasaan lalu tersenyum. Hatiku sudah jauh membaik.
Aku melirik ponsel dalam genggaman, sebuah notifikasi dua panggilan tidak terjawab dari Fandy menarik pandanganku. Mungkin nanti aku akan block nomornya agar dia tidak bisa menghubungiku.
Kak Reza membuka pintu ruang tamu. Dia begitu terkejut melihatku berdua dengan Kak Baruna.
"Kok bisa bareng?" tanyanya.
"Gak sengaja ketemu Za," jawab Kak Baruna.
"Hei Bar ... gimana kabar lo? Bukannya kemarin masih di Jepang?" Kak Reza menyambut sahabatnya dan memeluknya.
"Baik, lo gimana? Baru sampai tadi sore terus meeting dulu di kafe. Terus enggak sengaja ketemu Sheryl."
Kak Reza menoleh ke arahku, "Pergi ke kafe sama siapa kamu, Dek?"
"Mau tahu saja. Kalian ngobrol saja berdua. Aku mau ke kamar." Aku pamit dan berlalu meninggalkan mereka.
"Langsung istirahat ya. Jangan begadang!" perintah Kak Reza.
"Iya ka. Sudah ya." Aku bergegas meninggalkan mereka.
Baru saja aku selesai mandi saat ponselku tiba-tiba berdering. Tertera nama Fandy di layarnya. Kemudian aku menjawab panggilan itu.
"Ada apa lagi?"
"Apa kamu serius dengan perkataanmu tadi?"
"Menurutmu?"
"Apa kamu masih mencintaiku?"
"Apa artinya cintaku jika dibandingkan dengan segala mimpi yang kamu miliki?" Aku mulai emosi. Air mata mulai luruh turun ke kedua belah pipi.
"Aku pikir kamu akan mendukung semua cita-citaku. Ternyata aku salah. Kamu sama sekali tidak mendukungnya."
"Maaf, ini adalah bentuk dukunganku. Aku tidak mau bersamamu lagi. Aku pikir kita akan menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius dalam waktu dekat tapi ternyata aku juga salah menilaimu. Tidak ada diriku di dalam agenda cita-citamu. Ah ... sudahlah lupakan saja!"
"Sheryl, mengertilah kamu juga ada di dalam agenda hidupku. Aku mohon untuk bersabar. Kita pasti akan menikah. Jangan kamu jadikan umur sebagai patokan hidupmu untuk menikah. Saat aku sudah siap semua pasti aku akan menikahimu. Bersabarlah."
"Aku sudah sabar selama ini Fan. Mungkin kamu tidak bisa merasakan. Aku ini wanita yang butuh kepastian."
"Kamu ingin apa? Apa aku harus melamarmu untuk meyakinkanmu?!" Terdengar suara Fandy dengan intonasi yang meninggi.
"Apa aku harus mengulang kata-kataku lagi?!" Suaraku ikut meninggi. Hanya emosi yang tersisa dan pastinya akan membuat kami bertengkar lagi.
"Sudahlah besok aku akan menghubungi kamu lagi saat kepala kita sama-sama dingin dan dapat berpikir sehat."
Fandy memutus teleponnya sepihak. Aku menghela nafas panjang. Masih ingin memakinya.
Apa semua laki-laki tidak bisa menangkap sinyal yang diberikan perempuan kalau sedang marah? Aku hanya ingin jawaban 'ayo kita menikah', itu saja. Sesulit itu kah?
Tidak lama sebuah panggilan telepon muncul kembali. Kali ini Kak Baruna menelepon. Aku menyeka air mataku dan menjawab teleponnya.
"Sher sudah tidur?"
"Belum Kak." Aku menjawab dengan suara serak.
"Kamu masih menangis?"
"Tidak Kak. Kakak ada apa telepon?"
"Aku pamit pulang ya. Tadi habis berbincang-bincang dengan Reza dan papamu. Kamu jangan sedih berkepanjangan. Seperti yang aku katakan tadi, kalau kamu butuh bahu untuk bersandar aku siap berada di sampingmu."
"Terima kasih Kak. Malam ini Kakak sudah sangat baik padaku. Aku tidak tahu bagimana cara membalasnya."
"Hmm ... apa ya? Oh iya kebetulan sekali ada film yang ingin aku tonton. Kamu harus temani aku ya," pintanya.
"Ehm ... boleh deh."
"Sip. Besok aku jemput pulang kantor."
"Iya Kak."
Aku menutup telepon, terdiam merenung.
Mungkin saja menonton dapat menghiburku kembali.
Empat tahun lalu aku baru tahu kalau aku dijodohkan dengan Kak Baruna. Ayah Kak Baruna yang aku panggil Om Anton adalah teman karib sekaligus teman bisnis papa. Mereka merencanakan perjodohan ini dengan harapan perusahaan mereka bisa bersatu dan menambah keakraban antar keluarga.
Bukannya aku tidak suka dengan Kak Baruna. Dia adalah tipe pria yang diidam-idamkan banyak wanita. Wajahnya tampan, tubuhnya pun gagah dan atletis. Perangainya baik dan sopan. Pekerjaannya mapan sekali. Sekelas direktur sebuah perusahaan yang sudah mendunia, pasti banyak wanita yang ingin mendekatinya.
Anehnya saat dia tahu dijodohkan denganku dia tidak menolak. Dia mengikuti saja apa kata orang tuanya. Tapi aku tidak bisa seperti itu. Aku tidak punya hati untuknya. Aku mencintai kekasihku. Dia pun mengetahuinya dan tetap baik padaku. Aku tidak boleh terlalu percaya diri, mungkin saja dia seperti itu karena aku adik sahabatnya.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Rasa lelah menyelimuti tubuhku. Wangi semerbak yang berasal dari lilin beraromaterapi di kamar menemani malam yang sunyi. Aku masih teringat kata-kata Fandy kemudian mulai menangis lagi hingga akhirnya tidak sadar dan terlelap tidur.
Paginya ....
Malam tidak terasa berlalu begitu cepat. Bunyi alarm ponsel membangunkanku. Aku melihat jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku tersentak kaget, mataku terbuka dengan sekali kejapan mata. Aku menyadari keterlambatanku pagi ini. Segera aku mengambil handuk dan mandi secepat kilat.
Mata yang membengkak menghiasi wajahku sehingga membuat mood-ku hilang saat bercermin. Suara Kak Reza terdengar memanggilku dari balik pintu kamar.
"Dek cepetan! Kamu mau bareng Kakak tidak? Kakak dan Papa sudah telat banget nih mau meeting."
"Iya Kak, duluan saja. Aku bisa berangkat sendiri," sahutku.
Kami memang selalu berangkat bersama. Kak Reza, aku, dan Papa. Perusahaan Papa memang tidak jauh dari kantorku. Kak Reza pun bekerja di perusahaan Papa. Sedikit banyak masih belajar bisnis dan membantu Papa di perusahaannya.
Aku menata rambutku lalu meraih tas coklat yang tergantung di sebuah gantungan tas, bergegas keluar kamar terburu-buru hingga sampai di ruang makan menemui mama yang sudah ada di sana.
"Sher, sarapan dulu," Mama memanggilku.
"Maaf Ma, aku sudah telat," kataku sambil meraih segelas susu putih hangat dan meminumnya.
"Ya sudah, ini mama buatkan bekal saja. Nanti dimakan di kantor ya. Oh iya ada Nak Fandy nunggu kamu di teras."
"Dia sedang apa, Ma?"
"Ya jemput kamu lah. Kasian dia sudah menunggu lama."
"Ya sudah Ma, aku berangkat ya." Aku memeluk Mama dan mencium kedua belah pipinya dan pamit.
Mau apa dia datang ke rumah? Hubungan kami baru saja putus semalam. Aku belum siap bertemu dengan Fandy lagi. Bagaimana ini? Menghindar pun rasanya percuma. Jadi apa pun yang terjadi aku harus menghadapinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Mega Haerunita
aku pacaran 6 thn bukan kepastian yg di dapet tapi penghianatan. huhh
2020-12-29
0
Olive Zaitun Jatun
sy lebih lama lg thor..pacar n7thn ga da krpastian...ujung2nya sy nikah ama yg lain.
2020-11-05
4
Alensa
keren Thor ... lanjut mampir di sini juga, Kak "surga kedua di hatiku" like, vote dan coment ya, kakak ❤❤🙏🙏🙏
2020-05-01
0