Marriage Order
Hidup sebagai orang berada atau orang-orang suka menyebutnya dengan kata "orang kaya" sudah merupakan sebuah beban selama hidupku. Sudah bisa hidup pun syukur, tapi ini masih ditambah banyak aturan. Tidak pernah bebas menentukan apa pun yang aku mau.
Semua ditentukan dari awal. Baik pendidikan maupun kesenanganku ditentukan oleh kedua orangtuaku. Untungnya setelah kelulusan pasca sarjanaku, aku diizinkan memilih pekerjaan di luar perusahaan Papa. Satu-satunya hal yang aku syukuri sepanjang hidupku. Mereka tidak bisa memaksakan kehendakku.
Hari itu berlalu tidak seperti biasanya. Aku melangkahkan kaki keluar dari kantor tiga jam lebih lambat dari biasanya. Langit mulai menggelap. Sebuah mobil sedan berwarna merah menungguku di luar. Seorang pria menunggu duduk di dalamnya. Dia adalah pacarku, namanya Fandy Raihan Ardhito. Aku lalu menghampirinya.
"Sayang, maaf aku telat keluar." Aku masuk ke dalam mobil.
"Iya sayang," jawabnya dengan wajah masamnya.
"Jangan cemberut gitu dong. Tadi ada deadline," balasku sambil mengenakan sabuk pengaman.
"Iya. Kita ngopi dulu. Aku lagi gak mood," ujar Fandy kemudian menginjak gas mobilnya.
Fandy sudah mendampingiku selama enam tahun terakhir. Dia yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajahnya tampan, alisnya tebal, matanya sedikit sipit dengan iris berwarna hitam, rambutnya sedikit bergelombang, kulitnya bersih dan dia tinggi berisi. Fandy juga seorang pekerja keras. Dia selalu berusaha dan berambisi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sepanjang perjalanan Fandy hanya diam membisu tidak mengajakku berbicara. Terlihat dari wajahnya yang tegang. Seperti banyak yang dipikirkan. Matanya fokus ke arah jalan dan tidak banyak berbicara. Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan. Tapi aku tidak berani mengutarakan karena wajahnya yang sedang tidak bersahabat.
Tidak lama kemudian kami tiba di sebuah kafe. Fandy keluar dari mobil berjalan cepat meninggalkanku di belakang. Aku yang memakai high heels tidak bisa menyusulnya. Dengan pasrah aku berjalan santai.
"Cuek sekali dia," gerutuku.
Fandy terhenti. Dia menoleh ke belakang dan berbalik arah meraih tanganku dan menggandengku. Lalu menggelengkan kepalanya.
"Kamu lama banget sih jalannya!"
Aku tidak membalas kata-katanya. Kepalaku menunduk ke bawah melihat jalan setapak.
"Hei tidak lihatkah ia kalau aku pakai sepatu hak tinggi? Menyebalkan sekali, padahal hari ini adalah peringatan hubungan kami yang ke enam tahun. Merusak suasana saja."
Kami duduk di sebuah meja bulat kafe tersebut. Suasana cukup ramai malam itu. Kafe ini adalah tempat favorit kami. Seorang pelayan wanita menghampiri kami. Dia menanyakan pesanan kami.
"Kamu mau pesan apa?" Fandy bertanya
"Aku Ice americano," jawabku.
"Aku coffee latte."
"Makanannya tidak sekalian, Pak?" tanya pelayan itu.
"Sementara itu dulu."
Pelayan wanita itu mengangguk kemudian berlalu meninggalkan kami. Fandy terlihat serius menatap dalam mataku.
"Bagaimana tadi di kantor?" Fandy membuka pembicaraan.
"Seperti biasa ... walaupun sebenarnya ada deadline dan jadi telat pulangnya."
Fandy menganggukkan kepalanya. Matanya kembali memandangku.
"Sheryl, aku ingin bicara penting." Fandy membuka pembicaraan.
"Bicaralah," jawabku.
Tidak lama kemudian pelayan wanita tadi datang membawa pesanan kami. Dia mengganggu momen pembicaraan yang baru saja kami mulai.
"Terima kasih, Mbak," ucap Fandy.
Aku menyeruput es kopi itu. Tenggorokanku yang kering langsung hilang sekejap.
"Baiklah langsung aja ada yang mau aku sampaikan, Sher." Fandy kembali menatapku dalam.
"Iya bicara saja sayang. Aku juga ada yang mau aku tanyakan ke kamu," kataku.
Fandy kali ini aku benar-benar akan bertanya tentang keseriusan hubungan ini. Aku sudah lelah dengan status pacaran ini. Aku butuh kepastian.
Fandy menarik nafas dalam kemudian berkata, "Aku dipercaya untuk mengontrol perusahaan cabang di Jepang untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Ini benar-benar berita bagus bukan? Pasti karirku akan berkembang. Di sana juga aku akan mencari beasiswa untuk pendidikanku selanjutnya. Kamu pasti bangga punya pacar sepertiku."
Mata Fandy berbinar menceritakan tentang kemajuan karir dan rencana pendidikannya. Aku mendengarkan sambil menghela nafas panjang beberapa kali.
"Lalu hubungan kita?" tanyaku.
"Ya begini saja, kita jalani hubungan jarak jauh dulu. Nanti aku pasti pulang dan menikahimu." Fandy menyeruput es kopinya.
"Baru saja aku ingin menanyakan keseriusanmu tentang hubungan kita dan aku sudah tahu jawabannya," sahutku berusaha tenang.
"Maksud kamu apa?" Fandy memandang wajahku bingung.
Aku menghela nafasku lagi berusaha menahan emosi, "Sekarang kita putus saja. Aku rasa aku sama sekali tidak ada di dalam agenda hidupmu dalam waktu dekat ini. Aku capek."
Aku segera membuka tas yang kubawa dan menyerahkan sebuah kado kecil peringatan jadian kami untuknya.
"Ini untuk kamu .... Happy anniversary. Kita seharusnya gak perlu ketemu lagi di waktu yang akan datang. Cukup! Aku pamit pulang!" Aku bergegas melangkahkan kakiku keluar dari kafe tanpa melihat ekspresi wajah Fandy.
Dengan langkah cepat aku keluar dari kafe. Air mata mulai menetes tak bisa lagi kubendung. Aku menangis dalam diam. Aku berharap dia mengejarku dan meminta maaf padaku. Tetapi itu hanya ada dalam anganku. Dia tidak ada yang mengejarku.
Aku berjalan keluar memanggil taksi tepat di pinggir jalan raya.
"Sheryl!" Terdengar suara pria memanggil namaku.
Aku pun menengok ke belakang, melihat sesosok pria memakai jas biru navy dengan kemeja putih di dalamnya. Perawakannya tinggi dan tegap serta bertubuh atletis. Wajahnya tampan dengan warna kulit putih kecoklatan. Dia adalah Baruna Adrian Asyraf sahabat kakakku sekaligus pria yang sudah dijodohkan denganku. Umurnya yang sebaya dengan kakakku membuatku memanggilnya Kak Baruna.
Taksi yang baru saja berhenti di depanku langsung diperintahnya untuk berlalu. Kak Baruna memandangku heran. Aku buru-buru menyeka air mataku.
"Kamu sedang apa di sini?" tanyanya
"Sedang ada urusan Kak. Tapi sudah selesai kok."
"Lalu kenapa menangis? Ayo aku antar pulang. Tidak baik seorang gadis sendirian malam-malam begini." Kak Baruna menarik tanganku. Aku terpaksa berjalan mengikutinya.
Aku masuk ke dalam sebuah mobil sport milik Kak Baruna. Diam tanpa kata-kata. Kak Baruna pun tidak banyak bertanya. Dia segera menginjak pedal gasnya.
Sebuah telepon masuk ke dalam ponselku. Nama Fandy tertera di layar. Aku tidak ingin berbicara dengannya. Rasanya sudah cukup. Ini adalah bentuk ketegasanku untuknya yang lelah karena selama ini selalu mengikuti maunya. Tidak pernah mau tahu apa yang aku inginkan.
Kak Baruna melirik layar ponselku lalu bertanya, "Kenapa kamu gak angkat teleponnya? Kasihanlah siapa tahu penting."
Aku langsung berwajah masam saat itu juga. Malas sekali aku mengangkat telepon orang yang sudah mengabaikanku.
"Ya - ya - ya oke aku ngerti. Aku tidak akan banyak komentar." Kak Baruna mengangkat sebelah tangannya mengerti raut wajah masamku.
"Aku baru putus Kak." Sebuah kalimat meluncur begitu saja dari mulutku.
"Sama pacarmu yang dulu itu?"
"Iya Kak."
"Kenapa?"
"Capek," jawabku.
"Sini kalau capek, kamu bisa bersandar di bahuku. Tapi nanti saja ya, aku sedang menyetir. Hahaha." Kak Baruna terkekeh.
"Huu .... Kakak mengambil kesempatan dalam kesempitan," protesku.
Kak Baruna tersenyum dan berkata, "Sher meskipun kita sudah dijodohkan dari empat tahun yang lalu, aku tidak rela sih kalau kamu menangis karena pacarmu di hadapanku. Tapi berhubung kamu sudah putus, sepertinya akan jadi kesempatan untukku."
"Mulai deh ambil kesempatan. Kenapa Kakak tidak pacaran sama cewek lain saja sih? Secara fisik oke, secara finansial apalagi. Pasti banyak ceweklah yang mau sama Kakak," jawabku.
"Kalau bisa sudah dari dulu aku melakukannya."
Aku terdiam tidak membalas kata-katanya. Aku tahu ini pasti akan menjurus ke curahan hatinya yang sudah lama mengejar cintaku.
"Maaf kalau kata-kataku mengganggumu," ujar Kak Baruna.
Aku mengangguk menangapi kata-katanya. Sungguh aku belum bisa mencerna informasi lain selain pikiranku dipenuhi oleh Fandy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 304 Episodes
Comments
Adelina Simatupang
lebih baik di cintai daripada mencintai sekedar curhat sih.... krn dgn kita di cintai, dia akan selalu berusaha mambuat kita bahagia,
2021-04-08
14
ⓘ ⓝ ⓐ ⓨ
lah.. cewe mah lbh baik dicintai daripada mencintai... capek!! klo dicintai pasti bakal diperlakukan jd ratu atau paling ngga diperlakukan dgn baik sama pasangannya...
2021-03-26
12
Ully
mulai baca
2021-01-30
1